Fiat Lux

Minggu, 10 Februari 2013

Rembang: Semangat Pluralitas dan Emansipasi

02.05 Posted by Arasy Aziz 2 comments

Dalam pencarian jawaban mengenai bagaimana pluralitas ditempatkan dalam praktik, kami menjelajah sisa budaya peranakan di sebuah kota kecil. Tak lupa memenuhi rasa penasaran akan RA Kartini dan ditutup dengan perburuan kulinari lezat. Inilah bagaimana Rembang diramu di mata kami.

Saya awali pemilihan Lasem sebagai salah satu destinasi dengan sebuah pertanyaan: bagaimana masyarakat pribumi dan tionghoa dapat berpadu dengan serasi dalam sebuah bingkai bernama Kawedanan Lasem? Tanya ini berangkat dari pemahaman ortodoks saya bahwa dalam kultur mayarakat desa, yang dalam studi sosiologi kerap dikenal sebagai gessenschaft, umumnya berciri adanya sentimen komunal terhadap perbedaan. Menariknya, Lasem, sependek pengetahuan saya, nihil namanya dari pemberitaan di Indonesia dewasa ini yang kerap dihiasi oleh kabar pertikaian antar etnis yang mengundang miris. Kasus-kasus dengan pola berulang pernah menghantui daerah serupa Poso, Ambon, Sampit bahkan Makassar, yang notabene merupakan sebuah kota metropolitan, dengan suasana mencekam oleh konflik SARA. Pertanyaan saya tadi membutuhkan jawaban, meskipun sederhana.


Kami menjejakkan kaki di Lasem diantara alunan pengajian jelang maghrib di mesjid-mesjid. Usai beristirahat sejenak dan mendirikan kewajiban tiga rakaat, kami bergegas mencari tempat menginap. Sejak awal perjalanan kami tetapkan hanya ada tiga pilihan: mesjid, kosan teman atau kantor polisi. Mengingat larangan tidur yang tertera di mesjid besar Lasem dan tiadanya kenalan di kota kecil ini, kami memilih opsi ketiga. Selama berkeliling saya masih dapat menerka detil bangunan-bangunan tua diseputaran Lasem, meski gelap telah naik. Aroma langgam arsitektural tionghoa terasa amat pekat dan masih dibiarkan terawat oleh para penghuninya. Namun hadiah belum berakhir. Kami mendapati bangunan kantor kepolisian sektor Lasem menganut langgam yang sama, dipadu dengan beberapa aroma kolonial Belanda. Usai meminta izin kepada petugas yang sedang berjaga, kami beristirahat. Polisi yang baik, gedung-gedung tua, saya langsung jatuh cinta dengan sukarela terhadap kewedanan ini.

Hotel Prodeo. Jangan maknai satir, saya serius soal gratisnya.
Pagi berikutnya, pukul setengah enam kurang, kami memutuskan meninggalkan hotel prodeo kami. Lasem pagi terbuat dari rona lembut sinar matahari yang menyapu bangunan-bangunan tuanya. Ciamik! Dengan semangat yang telah terisi, kami memulai blusukan ke pelosok desa untuk mencari batik tulis lasem yang merupakan cendera mata popular dari kawasan ini (sayangnya tanpa niat membeli).

Ornamen Cina di mana-mana.
Adalah sebuah kesalahan awalnya memulai pencarian pada dini pagi, karena umumnya rumah-rumah produksi batik lasem memulai aktivitasnya pukul 8. Kami berkeliling dan hampir kecewa oleh dealer-dealer batik yang masih tutup. Siapa sangka, semesta tiba-tiba memberi jalan dari sebuah rumah merangkap kios sederhana. “Mau kemana mas?” tanya seorang bapak dari teras rumahnya. Kami menjelaskan tujuan kami, si bapak mempersilahkan kami naik ke rumahnya. Bapak itu memperkenalkan diri sebagai Pak Agus, seorang penerus usaha batik tulis lasem yang telah diwariskan turun temurun. Tanpa segan beliau menggelar lembaran-lembaran kain terajah siap jual, meskipun kami telah mengungkapkan bahwa tidak akan membeli. Pak Agus menunjukkan kepada kami motif paling tradisional yang didominasi biru dan merah darah ayam sebagai warna utama. Beliau turut menjelaskan bahwa metode pemesanan dan promosi batik Lasem rupanya telah cukup modern (melebihi prakira saya), menggunakan Facebook, surat elektronik dan Blackberry Messanger, dengan sebaran distribusi yang mencapai sejumlah kota besar di Indonesia. Harga batik lasem berada pada kisaran Rp. 150.00-Rp. 2.000.000 tergantung kerumitan pola. Di akhir percakapan beliau merekomendasikan satu nama legendaris untuk menambah khasanah kami: Pak Sigit Wicaksono.

Juru Selamat. Jangan nilai manusia dari parasnya, bapak ini menyelamatkan trip kami. Kain yang dibentangkannya bernilai Rp 2.000.000.
Awalnya kami agak sungkan bertamu, mengingat waktu masih menunjukkan pukul 7 dan kami tidak membuat janji terlebih dahulu. Kesungkanan kami dibalas telak dengan sambutan hangat dari sang pemilik rumah, tak lain Pak Sigit Wicaksono. Beliau yang tengah duduk santai di kursi malasnya berdiri dan menyambut kami (setelah kami menjelaskan tujuan terlebih dahulu) dengan sebuah pertanyaan jenaka “Ini masih muda kok mau belajar batik? Ayo masuk, masuk. Duduk, duduk!” Beliau bahkan memuji Gorontalo kota asal saya sebagai rahim gadis-gadis manis (dalam hati saya berujar: Bapak mestinya tau alasan saya kuliah di Jawa pak. Intinya saya cenderung kurang sepakat). Dari mulut beliau kami menemukan sedikit demi sedikit potongan puzzle yang kami cari, dengan ditemani segelas teh hangat.

Usia pak Sigit telah mencapai kepala delapan, namun masih luwes dalam bertutur (meski kadang kami harus berbicara dengan intonasi tinggi untuk mengimbangi pendengaran beliau yang telah menurun). Secara umum kriya batik di tanah Jawa terbagi atas dua kelompok besar, batik pesisir dengan masukan budaya luarnya yang kental dan batik keraton. Batik tulis lasem termasuk dalam kelompok pertama bersama batik dari Madura, Cirebon, Pekalongan dan Tuban. Terdapat dua motif utama dalam seni batik lasem dengan latar belakang sejarah masing-masing. Motif pertama, latoan, terinspirasi dari sejenis tanaman laut yang umum dimanfaatkan masyarakat pesisir untuk sayur mayur. Motif kedua memiliki nilai sejarah yang menggugah. Watu pecah, adalah ekspresi kemarahan masyarakat Lasem atas mega proyek jalan raya pos Anyer – Panarukan besutan Deandles pada zaman kolonial Belanda. Sebuah cara mengenang mereka yang gugur sebagai tumbal sebuah ambisi. Persaingan dengan produsen batik yang lebih muda kemudian memberi Pak Sigit sebuah ilham. Pada sebuah kesempatan beliau mulai melukiskan sederet aksara Cina pada selembar kain batik. Awalnya hal ini menimbulkan perdebatan dengan sang istri. Dewasa ini, motif baru ini malah diakui umum sebagai hasil karsa cipta seorang Sigit Wicaksono. Pak Sigit bercerita bahwa sejumlah muda-mudi kerap datang untuk memesan sepasang seragam dengan kaligrafi yang lebih kurang berarti kehangatan cinta. “Motifnya tidak dipatenkan pak?” tanya kami. “Nggak usah, nanti juga dipakai produsen sini”.

Motif paling tradisional.
Motif modifikasi dengan aksara Tiongkok.
Beliau juga turut menjelaskan mengapa klaim Malaysia atas batik tempo hari layak ditertawakan. Pada 1923 orang tua Pak Sigit memulai usaha batik tulis di Lasem. Beberapa tahun kemudian, pada medio 30-an, usaha ini mendapat order raksasa dari negeri seberang. Bayangkan 500 potong kain batik tulis dalam sebulan untuk sebuah industru rumahan! Dan tebak asal order tersebut? Ya, Malaysia. Logika yang kemudian beliau bangun adalah apabila batik merupakan produk budaya Malaysia, bagaimana mungkin pada tahun 1930an mereka masih harus mengimpor dari tanah air. Maka ketika 20 Oktober 2009 batik diakui oleh UNESCO sebagai milik bangsa Indonesia, beliau senang bukan kepalang. Pak Sigit kemudian berjanji untuk mengenakan batik pada setiap kesempatan, dan memberi 10.000 rupiah bagi siapapun yang mengingatkannya apabila beliau lupa mengenakan batik.

Ketika disinggung tantang bagaimana pertemuan budaya di Lasem berlangsung tanpa gesekan, beliau menjawab sederhana. Masyarakat Lasem, baik pribumi maupun keturunan, bersikap santai soal masalah ini. Sikap yang barangkali terbangun oleh waktu. Pak Sigit mencontohkan bahwa di Lasem terdapat sebuah pesantren yang kental desain arsitekturalnya dengan budaya tionghoa. Saya mendapati pula fakta bahwa Pak Sigit menikahi seorang wanita Jawa, menjadi pelopor yang diikuti oleh banyak masyarakat Lasem kemudian. Sependek pengamatan saya juga, tidak terdapat gap mencolok antara kaum peranakan dan pribumi di kota kecil ini. "Saya orang Indonesia!", kata Pak Sigit. Tentang pluralitas, masyarakat Indonesia rasanya perlu belajar disini.

Museum RA Kartini dan Sate Serapeh

Terlepas dari kontroversi kecil-kecilan di media sosial tentang seberapa penting peran RA Kartini dalam gerakan emansipasi wanita Indonesia, eksistensinya tetap layak kita kenang. RA Kartini menyumbang sedikit banyak pemikiran tentang bagaimana seharusnya wanita Indonesia diposisikan, mendobrak tatanan lama, dan terjun langsung dalam praktek. Memoar-memoar tentang tokoh wanita ini tersimpan rapi di museum RA Kartini, Rembang.


Museum RA Kartini menempati bangunan bekas rumah dinas Bupati Rembang, yang juga pernah digunakan beliau selama menjadi istri adipati Rembang di masa itu, RM Adipati Ario Singgih Djojoadhiningrat. Dari museum ini kami berhasil mengumpulkan fakta-fakta kecil terserak yang membangun pribadi wanita ini. Menurut penjelasan pemandu museum, Kartini merupakan putri adipati Jepara yang lahir dari rahim seorang selir. Hal ini berimplikasi pada tata cara pergaulan antara Kartini dengan ibunya. Dalam bercakap, sang ibu diharuskan bertutur dengan bahasa jawa krama inggil, sementara Kartini menggunakan tipe moko yang dalam tatanan bahasa jawa merupakan bentuk paling kasar. Stratifikasi bahasa berdasarkan status sosial ini menimbulkan trauma bagi Kartini muda dan kelak menghasilkan gagasan ajaib. Dalam prosesi pernikahannya kelak dengan adipati Rembang, Kartini menwajibkan penggunaan bahasa belanda dalam semua rangkaian ritus sebagai bentuk protes. Mengapa adipati Rembang, dengan segala kuasanya, memilih manut saja? Konon, sang adipati demikian bangga karena dapat beristrikan seorang Kartini yang kala itu telah terkenal di seantero tanah Jawa oleh gagasan-gagasannya tentang wanita yang melamapaui zaman.

Surat untuk Abendanon yang tak pernah terkirim.  Kartini didahului umur.
Siapa sangka anak laki-laki yang didandani cantik ini kelak menjadi salah satu perwira TNI generasi awal yang paling disegani?
Kartini selama mengandung anak pertamanya (dan terakhir. Kartini meninggal empat hari lepas melahirkan) sangat menginginkan anak perempuan. Sebagai permaisuri adipati Rembang, secara otomatis anak yang lahir dari rahimnya akan meneruskan kepemimpinan berdasarkan model pemerintahan feodal-monarki yang dianut masyarakat Jawa kala itu. Berdasarkan keinginan itu anaknya yang lahir kemudian kerap didandani mirip perempuan, meskipun terlahir sebagai laki-laki. Anak laki-laki ini kemudian dikenal sebagai RM Soesalit Djojoadhiningrat. Lepas dewasa Soesalit tidak melanjutkan kepemimpinan ayahnya, masuk PETA dan sempat menjadi tangan kanan Jendral Soedirman.


Di salah satu ruangan kami disajikan sejumlah panel yang berisi kutipan-kutipan surat Kartini kepada JA Abendanon yang belakangan dihimpun dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Gagasan-gagasan Kartini kambali mendirikan bulu roma. Saya kemudian iseng bertanya kepada pemandu museum “Mbak, gedung ini nggak pernah dipakai buat pengambilan gambar acara mistis abal-abal kan?”. Si pemandu tersenyum dan memastikan hal tersebut belum pernah terjadi. Eksploitasi berlebihan (dan layak diragukan kebenarannya) akan eksistensi mahluk gaib dalam sebuah situs sejarah, yang kerap ditayangkan di sebuah stasiun TV nasional telah sampai pada titik mengkhawatirkan. Selain membodohi masyarakat, hal ini mencederai semangat lestari yang dikandung sebuah situs.

Kami mengakhiri tur di kabupaten Rembang dengan mencicipi Sate Serapeh. Para pemandu museum merekomendasikan sebuah warung di selatan alun-alun Rembang dengan nama menarik: Berry and Friends. Kami mendapati bahwa sate serapeh disusun dari potongan-potongan daging ayam lembut dengan aroma santan yang memikat lidah. Tentang penjelajahan kami di Rembang, saya meniru jargon umum girlband Cherrybelle: istimewa!! 

Tanpa membuang waktu kami mengejar bis, menuju Kudus..

Sekelumit tentang Rembang (Bea):
Rembang dan sekitarnya dapat dicapai dengan angkutan bus ekonomi dari Surabaya dan Semarang dengan tarif Rp 20.000-25.000. Berpindah antar kecamatan dapat menggunakan bis dua pintu dengan tarif sekitar Rp. 2.000-Rp. 5.000. Masuk museum RA Kartini dikenakan biaya karcis Rp. 2.000. Satu porsi sate serapeh dapat ditebus dengan harga sekitar Rp. 5.000, dengan harga tambahan untuk varian lauk.  

2 komentar:

  1. nice travel story, khasanah literasi yg kaya.
    lasem emang terkenal perpaduan tionghoa-jawa nya ya.. mantab

    BalasHapus