Fiat Lux

Senin, 24 Oktober 2016

Surga Nasi Kuning

01.33 Posted by Arasy Aziz , No comments

Tanpa ragu, saya menganugerahi kota Tual sebagai sepotong surga kecil saya, khususnya dalam urusan makan-memakan. Di dalam sepiring nasi kuning favorit, ada jejak dari seorang wanita rantau yang menempuh perjalanan jauh demi cinta. Di tanah yang lain, olahan tangannya menjadi favorit tetangga-tetangga barunya. 

Satu porsi nasi kuning di salah satu warung di Tual

Sahut-menyahut berkumandang adzan maghrib dari menara-menara masjid kota Tual, penanda bahwa malam telah tiba. Tirai gelap dikerek naik perlahan dari horizon di timur hingga menutupi seluruh kubah langit. Pemandangan awan putih yang memantulkan terik matahari di siang hari mulai berganti gemintang yang terbit satu demi satu. Titik, kemudian titik berpendar yang lain. Polusi cahaya belum benar-benar serius di kota ini. Kecuali di rumah-rumah, penerangan masih teramat minim sehingga kegelapan masih memenuhi jalan-jalan kota ini. Dekorasi langit di atas kepala saya notabene jadi tak punya saingan berarti.

Situasi ini meleluasakan saya untuk mendongak sebagai pengamat yang antusias. Pengalaman yang terasa mewah disbanding kala berhadapan dengan langit di kota-kota di pulau Jawa. Semakin melenakan mengingat tidak mengenakan helm saat berkendara merupakan pemandangan yang lazim di Tual. Berboncengan di atas motor omprengan milik Larson, kami beradu melawan laju angin laut berbau garam. Tidak terlalu kencang, namun meneduhkan kepala.

Saya sendiri baru saja mendarat kembali di Tual lepas perjalanan hampir seharian dari Malang, kota saya bermukim. Melelahkan, mengingat dalam prosesnya melibatkan perjalanan darat dini hari menuju bandar udara Djuanda. Bersambung dengan pesawat langsung ke Ambon, untuk kemudian transit beberapa jam menunggu penerbangan lanjutan ke Tual. Dari Pattimura, saya berganti menumang pesawat kecil dengan baling-baling selama satu jam setengah. Bagian terburuknya, penumpang di sebelah saya memilih tidak mematikan telepon genggam. Di tengah menit-menit persiapan mendarat, gawai tersebut sempat berbunyi tanda telepon masuk. Beruntung tidak terjadi apa-apa hingga kami mendarat sempurna di bandara Karel Satsuitubun, kepulauan Kei. Udara panas khas kepulauan nusa ina langsung terasa.

Waktu menunjukkan lewat pukul setengah tujuh malam ketika saya tiba di pemondokan. Belum tuntas merapikan barang-barang, rasa lapar telah menyergap saya duluan. Saya segera mengajak Larson yang menjemput saya untuk makan bersama. Jauh di kala tubuh saya masih melanglang di udara, saya telah memutuskan hendak makan apa malam ini. 

“Cari nasi kuning, bang!”

Menjelajah berbagai penjuru Indonesia, kita barangkali akan bisa menemukan nasi kuning di mana saja. Tidak ada label “endemik” atau “khas” dari penganan ini. Apalagi di kepulauan Kei, Maluku Tenggara, dimana sawah-sawah musykil untuk digalakkan. Beras di pasar Tual atau Langgur, ibukota Maluku Tenggara, sepenuhnya didatangkan dari Jawa, Sulawesi atau pulau Seram di utara. Bisa ditebak bahwa nasi kuning termasuk olahan yang baru dikenal seiring dengan masuknya beras. Orang-orang Kei telah terlebih dahulu memangan embal sebagai makanan pokok.

Namun ada saja yang membikin beda nasi kuning satu daerah dengan daerah yang lain. Barangkali terletak pada cara ia dihidangkan, dan jejalin interaksi antar manusia yang hidup di seputarnya.

Bagi saya yang kerap menasbihkan diri sebagai penggemar nasi kuning nomor wahid, kepulauan Kei adalah surga dunia. Ia tak hanya unggul dengan pantai-pantai eksotisnya yang selalu menawarkan porsi sunyi yang terukur untuk anjangsana. Di sini, nasi kuning dapat ditemukan tumpah ruah di seluruh pelosok wilayah. Sekalipun, tentu saja, tak gratis. Sepanjang jalan-jalan utama di kota Tual maupun Langgur, lapak-lapak kecil nasi kuning berdiri menunggu pembeli. Dari sekadar tersusun dari satu unit meja kecil, hingga bangunan permanen lengkap dengan kursi bagi tetamu.

Yang juga menarik, nasi kuning-nasi kuning di kepulauan Kei hanya dapat ditemui di malam hari. Ia seolah hadir untuk mengakomodasi kecenderungan orang-orang Kei untuk bersantap di luar rumah.  Larson, kawan saya, mengamini pengamatan saya. Meskipun memiliki banyak saingan, memasing lapak agaknya tak takut merugi karena kebiasaan ini. Lepas maghrib, jalan-jalan dan pedestrian dipenuhi orang-orang yang berderap mencari makan, baik sendiri-sendiri maupun dengan keluarga. Pun tak ditemani orang dewasa, anak-anak kecil mendatangi warung nasi kuing dengan menggenggam lembaran puluhan ribu merupakan pemandangan yang lumrah. Dengan bersemangat, mereka mengutarakan porsi pesanan mereka dalam satuan rupiah kepada mama-mama yang berjualan. Dialog berbalas dengan tangan-tangan cekatan perempuan-perempuan yang meracik nasi kuning beserta lauk tambahannya.

Saya sendiri telah memiliki warung nasi kuning langganan, dikelola oleh seorang ibu separuh baya bernama Hadija bersama anak-anaknya. Meskipun memiliki perawakan, penciri fisik dan cara bertutur yang mirip dengan penduduk setempat, Hadija berasal dari belahan bumi yang sama dengan tempat saya berdomisili saat ini.

“Saya aslinya orang Jawa,” ujarnya.

Hadija tepatnya berasal dari salah satu desa di pelosok Gunung Kidul, Yogyakarta. Kebetulan yang ganjil mengingat alam kepulauan Kei memiliki nuansa yang hampir serupa dengan daerah asalnya; tandus dan berbatu. Struktur tanah Gunung Kidul didominasi oleh batuan gamping, yang notabene merupakan hasil sedimentasi lanjutan dari batuan karang sebagaimana penyusun tanah Kei. Situasi ini, sedikit banyak, memudahkan Hadija menyesuaikan diri dengan alam barunya.
 
Hadija tengah melayani pelanggan-pelanggannya.

Ketibaan Hadija di tanah Kei lepas tiga puluh tahun silam semata-mata untuk merunut kepulangan suaminya. Sejak saat itu, ia menyandang identitas baru sebagai bagian dari orang-orang Kei. Di belakang namanya kini tersemat marga Rhumra. Sebuah marga yang besar di Banda Eli, pulau Kei Besar. Dari namanya, kita bisa menebak muasal keluarga ini. Marga Rhumra memiliki jejak yang jauh pada penguasaan atas tanah pulau Rhun di kepulauan Banda. “Kami adalah keturunan orang Banda yang melarikan diri ke selatan untuk menghindari penjajahan Jepang.” Selain keluarga Rhumra, sebagian besar penjaja nasi kuning di tepian jalan menuju pasar Tual memang memiliki tautan darah yang kental dengan orang-orang Banda. "Saya sepenuhnya orang sini sekarang."

Tiga puluh tahun silam, Hadija kemudian berkenalan dengan apa yang kemudian menjadi sumber penghidupan utamanya hari ini. Untuk pertama kalinya, ia mulai memasak nasi kuning.

Sebagaiamana nasi kuning di negeri-negeri timur nusantara pada umumnya, penciri utama nasi kuning ibu Hadija adalah baluran kunyit yang berani. Ini menjadikan nasi kuning benar-benar “kuning”, menyala-nyala dengan menggoda. Komposisi kunyit yang dilebihkan membuat rasa nasi menjadi lebih tajam dan gurih. Belum lagi jika menghitung santan segar yang diolah di dapur sendiri, diperas dari parutan kelapa yang dipetik di belakang rumah. Dengan lemak kelapa yang bersisa di dalam campurannya, ada perbedaan rasa yang signifikan dibanding nasi berbalur santan instan pabrikan.

Kemewahan terbesar dari nasi kuning di Tual barangkali adalah fillet dari daging ikan yang “hanya mati sekali”. Sebuah anekdot yang secara tepat menggambarkan kesegaran ikan di Tual yang tiada dua. Ikan-ikan tongkol yang baru diangkut dari kapal-kapal nelayan segera berpindah ke dapur milik mama-mama penjual ikan, diolah dengan ragam bumbu dan resep.  

Fillet tongkol dihidangkan beriringan dengan taburan tumis ikan teri kering. Di daerah asal saya, teri adalah jenis ikan musiman yang hanya dapat ditemui pada periode bulan gelap. Sementara di Tual, pasokannya melimpah sepanjang tahun. Membuat saya takjub, mengingat betapa saya dan adik-adik saya kerap bergembira kala perkedel ini terhidang di meja makan keluarga kami.

Agaknya, bukan saya semata yang menjadi pemuja kenikmatan nasi kuning olahan Hadija. Ada tanda air yang terjanjur ia tinggalkan di dalam resepnya, sesuatu yang barangkali tak akan terganti. Sembari melayani pelanggan yang mengerumuni lapaknya, ia mulai berkisah tentang betapa orang-orang merasakan kehilangan ketika ia absen berjualan beberapa hari. Singgasananyadiisi oleh anaknya secara tunggal, sementara sang ibu bepergian ke Ambon menghadiri hajatan keluarga. Selang beberapa hari ketika ia kembali, Hadija harus terlebih dahulu berhadapan dengan pelanggan yang mencecar protes. “Rasanya beda,” tirunya, sembari menyembunyikan rasa bangga tertahan di dalam nada suara.  

Jauh di dalam hati saya mengamini kegelisahan pelanggan-pelanggannya. Namun perut kenyang dan rasa rempah yang tertinggal di lidah menahan saya untuk berkomentar lebih jauh. Saya memilih menikmati pemandangan dihadapan saya; orang-orang Kei yang berkerumun, lauk yang terhidang di dandang-dandang mini, dan setermos besar nasi kuning merona menyala. (*)

Sekelumit tentang Nasi Kuning Ibu Hadija:
Ibu Hadija berjualan di tepi jalan Yos Sudarso, Kota Tual, mulai lepas maghrib hingga pukul 3 dini hari. Satu porsi lengkap nasi kuning dengan fillet ikan tongkol, tumis teri kering, mie goreng, oseng tempe dan telur ayam dijual seharga Rp. 15.000. Selain nasi kuning Tual, racikan nasi kuning a la masyarakat pulau Seram dengan dendeng daging rusa juga patut dicoba.

Minggu, 16 Oktober 2016

Komunitas Terbayang

21.45 Posted by Arasy Aziz , 6 comments

Di tengah siraman terik matahari pukul 11 siang, kelengangan menjadi pemandangan yang lazim di salah satu kantor pemerintahan di Maluku Tenggara. Selain jumlah pegawai yang umumnya dapat dihitung dengan jari, sistem presensi yang ketat juga belum benar-benar berlaku di tempat ini. Masing-masing orang hanya diwajibkan membubuhkan tanda tangan pada selembar kertas dengan daftar nama tercantum di dalamnya. Dua kali sehari pada waktu apel pagi dan sore hari jelang kepulangan ke rumah.

Jam kerja berlaku dari pukul 8 hingga 2 siang, atau 12 pada hari Jumat, tanpa waktu istirahat. Berlangsung selama enam  hari, dari Senin hingga Sabtu.

Apabila tak ada dokumen yang harus digarap atau hal lain yang perlu diurus, pegawai-pegawai ini bisa saja mengeluyur. Memilih kembali ke rumah, menunggui anak di sekolah atau mencari penganan ringan, sebelum kembali ke kantor untuk mengisi absen dan benar-benar pulang. Jika malas beradu dengan sengatan sinar surya dan udara panas khas kepulauan, mereka akan memilih berkumpul di ruang tamu kantor, di depan sebuah televisi. Duduk-duduk bersama, sesekali berceloteh satu sama lain mengomentari gambar-gambar yang bergerak di dalam kotak 21 inci. Siang itu, saya tengah duduk di tengah mereka. Menunggu giliran untuk menghadap salah satu pejabat setempat.

Kanal demi kanal, program demi program yang terus berganti. Berita tentang pemilihan kepala daerah DKI Jakarta memenuhi ruangan ketika saya tiba.

Sebelumnya pada hari- hari yang tak berselisih jauh, calon-calon yang diajukan memasing partai baru saja diumumkan. Persiapan pesta rakyat memunculkan tiga pasang nama yang akhirnya benar-benar memasukkan berkas pendaftaran ke meja Komisi Pemilihan Umum Daerah; Ahok-Djarot sebagai petahana, bersaing dengan Anies-Sandiaga dan Agus-Sylvi. Ada narasi berbau ulasan yang terdengar bertutur dari balik layar, disertai sejumlah prediksi berlandaskan hasil penjajakan berbagai lembaga survey.

Pada adegan berita selanjutnya, nama Ahok kembali muncul, diketengahkan dalam posisinya sebagai seorang gubernur yang menjabat. Yang disorot kali ini adalah kebijakan gusur-menggusur yang terus ia jalankan, terlepas dari kontroversi yang menggelayut di seputarnya. Termasuk, keberaniannya untuk melawan putusan sela peradilan tata usaha negara yang memerintahkan penundaan sementara seluruh aktivitas perataan hunian warga tepian Ciliwung di Bukit Duri. Tak butuh waktu lama bagi rumah-rumah tak beruntung itu menjadi rata digaruk bulldozer. Tidak ada perlawanan berarti, kabarnya, kecuali aksi damai yang digalang warga setempat.

Seluruh pemirsa di ruang tengah kantor itu mematung, agaknya sibuk dengan benak masing-masing, sebelum salah satunya berceletuk memecah kesunyian.

“Ahok ini memang ee. Dia mau dapa ini.” Ada nada seorang pendukung di dalam suaranya, sejenis kekaguman konstituen yang telah yakin dengan pilihannya jauh-jauh hari dan secara swadaya menunjukkannya kepada publik.  Para pegawai lain di ruang yang sama tak tergerak untuk menanggapi. Berita-berita pada jedanya berganti iklan. Salah satu pegawai yang terdekat dari layar berinisiatif untuk memindahkan kanal.

Kini, layar televisi menampilkan wajah yang sangat ikonik. Kehadiran yang identik dengan sebuah produk kapitalisme mutakhir, digadang sebagai investasi paling aman dan menguntungkan. Kini, layar televisi menampilkan Fenny Rose yang tengah berjualan apartemen. Gedung-gedung megah puluhan lantai yang notabene masih berupa purwarupa dan pondasi dasarnya bahkan belum berdiri. Ditawarkan dengan harga yang sesungguhnya membikin dompet mengkerut namun tampak ringan saja oleh cicilan menggiurkan. Kredo-kredo tentang keuntungan yang dijanjikan terus-terusan bersemat. Berbagai fasilitas yang eksistensinya masih tertunda ditambahkan di dalamnya. Kolam renang di puncak atap, hutan mini, kanal-kanal serupa Venesia, hingga akses dekat ke pusat perbelanjaan. Lampu-lampu berkilat dan terang benderang diantara gelap-gelap pekat langit Jakarta. “Senin, harga naik.”

Saya kembali memerhatikan wajah-wajah di sekitar saya. Masing-masing masih mematung, dengan mata yang terpaku di layar. Bedanya, ada mimik yang berubah kecil-kecilan. Dari penyimak khidma,t menjadi wajah-wajah yang separuh terpana. Barangkali terkagum-kagum. Barangkali di dalam senyap, tengah membiarkan imajinasi beradu untuk memiliki salah satu kapling di sana. Dari sebuah kantor di kepulauan Kei, puluhan ribu kilometer jauhnya dari Jakarta.

Imajinasi sesunguhnya adalah perkakas paling tepat guna untuk menjangkau hal-hal yang jauh. Di dalamnya, apa-apa yang tidak lazim dapat terjadi begitu saja di bawah kontrol alam pikir. Televisi dengan segala kemungkinan di dalam kotak kecilnya member stimulasi lebih lanjut terhadap hasrat melanglang itu. Pun kadang-kadang, ia lebih banyak mematikannya.

Namun dalam konteks keindonesiaan, imajinasi menjelma menjadi kata kerja yang asasi. Berpuluh tahun silam, ia adalah modal dasar untuk mengalih bentuk masyarakat remah-remah kolonialisme, menjadi negara yang mandiri. Di dalam zona antaranya, dikenal sebuah bentuk kolektivitas bernama “bangsa”.

Bangsa, oleh Benedict Anderson dirumuskan sebagai “komunitas terbayang”; sebagai sebuah “komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan.” Disebut imajiner, karena antara satu anggota dengan anggotanya yang lain hanya dapat membayangkan eksistensi masing-masing. Mereka mengenali sebuah identitas bersama, tanpa benar-benar mengetahui siapa liyan yang meyandang keterangan-keterangan serupa. Secara faktual diri-diri tersebut terpisah oleh ruang dan waktu, namun  memasing merasa cukup terikat pada identitas tersebut, tanpa benar-benar mengetahui pencirinya.

“Bangsa Indonesia” sendiri adalah sebuah kategori yang dirumuskan untuk menyebut orang-orang yang menghuni kepulauan nusantara. Membentang dari Sumatera hingga Nuu Waar. Ada budaya yang amat majemuk disana. Roman budaya manasuka dari orang-orang Batak, Minang, Minahasa, Kei, Betawi, Sunda dan Dayak,. Satu-satunya yang mengikat mereka adalah rasa solidaritas sebagai komune-komune yang pernah tertindas di bawah kolonialisme, meskipun pada kenyataannya bisa jadi berlangsung pada derajat yang berbeda-beda. Belum lagi jika menghitung dan mengelompokkan dengan jeli siapa yang pernah melawan dan siapa-siapa yang justru mengambil keuntungan dari sana. 

Keterbayangan itu, dengan kata lain, mensyarakatkan sebentuk asumsi keseragaman dan kesetaraan nasib. Akhirnya, ia menjadi janji yang perlu diajukan pula, terutama ketika “bangsa” ini beralih bentuk kepada komunitas yang lebih formal. Sebuah “negara”, dengan seluruh komponen dan daya jangkaunya yang dianggap menyeluruh. Pembentukan negara diidealkan mengakhiri daur imajinasi itu, menjadikan segala sesuatu serba kongkrit dan dapat diindera.

Namun, apa yang terjadi di ruang tamu sebuah kantor pemerintahan di Maluku Tenggara bagi saya adalah sebuah pertunjukan bagaimana elemen-elemen imajinasi itu masihlah  jauh dari menemui perwujudannya. Adegan ini, bagi saya, memuat banyak metafor mengenai proses membayangkan yang belum selesai. Alih-alih, justru menjangkau dimensi yang kian beragam dan rumit.

Yang kasat mata ialah perihal daya jangkau pengawasan pemerintah pusat terhadap aparat daerahnya. Melalui berbagai peraturan perundang-undangan, birokrasi Indonesia barangkali telah dirancang seefisien mungkin. Aparat diidealkan sebagai orang-orang yang siap mengabdi demi kepentingan masyarakat. Otonomi daerah digalakkan, dengan kewenangan yang besar dibebankan kepada daerah demi tercapainya tujuan negara. Namun itikad ini agaknya tidak diikuti dengan modal ekonomi dan sosial yang berkecukupan. Pemerintah pusat di ibukota bisa jadi mengklaim reformasi birokrasi tengah berjalan dengan baik, namun kenyataan di daerah kerap kali amatlah timpang. Aparat yang menonton televisi di tengah jam kerja hanyalah sebuah puncak gunung es.

Kita barangkali dapat menyalahkan jarak yang jauh dari pusat pemerintahan sebagai akar permasalahan. Namun bukankan itu semua sudah menjadi risiko ketika memutuskan membentuk sebuah negara yang wilayahnya mencakup kepulauan maha raksasa? Kita bisa jadi menekankan bahwa otonomi  menyebabkan pengawasan kinerja aparat harusnya selesai di level daerah. Namun apabila inefisiensi itu demikian sistematis hingga menjangkau petinggi-petinggi pemerintahan setempat, siapa lagi yang selayaknya kita harapkan untuk menegur?

Para pegawai yang menonton televisi di Maluku Tenggara adalah metafor dari masalah-masalah birokratis di atas yang belum selesai. Apa yang tengah mereka tonton, dan reaksi mereka terhadapnya, menunjukkan pergulatan proses mewujudkan imajinasi Indonesia pada aras yang berbeda.

 Televisi berhasil membuat jarak antara Kepulauan Kei dan Jakarta menjadi tak benar-benar berarti; apa yang terjadi di salah satu sisi seolah-olah menjadi milik sisi yang lain. Masalahnya, Jakarta an sich lebih banyak mengambil porsi pemberitaan, atau lebih tepatnya, melakukan monopoli. Apa yang terjadi disana adalah sebuah realitas yang diinjeksikan ke ruang keluarga, dan diterima secara sukarela. Televisi mengkonstruksikan sebuah dunia ideal, apa yang kemudian menjadi mimpi-mimpi yang tidak sepadan ketika dibicarakan dalam ruang hidup daerah. Mengapa, semisal, orang-orang Kei yang hidup berkalang laut membutuhkan apartemen? Apa pentingnya pemilihan gubernur DKI bagi alam demokrasi di Langgur?

Televisi menciptakan standar hidup dengan bercermin pada kelas menengah Jakarta, ditengah persebaran akses terhadap ekonomi dan sumber daya yang belum merata. Para pegawai yang menonton bersama saya menerima jejalan videografi promosional tentang apartemen di Jakarta, membayangkan kemungkinan perputaran uang diseputarnya. Membiarkan diri alpa menengok kemungkinan peningkatan nilai guna di habitat hidupnya, yang menanti untuk dimanfaatkan bagi kemajuan daerah. Yang tertinggal, kemudian, tetap tertinggal.

Imajinasi di masa lalu boleh jadi berfungsi sebagai perajut jalinan sebuah bangsa. Namun pada hari ini, maknanya telah benar-benar harfiah untuk menggambarkan jurang yang tidak terjangkau antara warga Indonesia kebanyakan. Imajinasi tentang Indonesia justru telah menjauh dari alasan asali kenapa ia dimulai; sebagai wahana untuk mencapai kesetaraan hidup yang layak. Pada hari ini, ketimpangan tersebut justru dipertontonkan secara vulgar lewat hubungan satu arah televisi dan pemirsanya di daerah. Ketimpangan itu justru dirayakan, meskipun dengan malu-malu. Pada akhirnya, yang ditunjukkan secara lugas hanyalah sanggahan di depan kamera televisi. (*)