Fiat Lux

Jumat, 20 Januari 2017

Thukul yang Tak Bisa Bilang “R”

02.54 Posted by Arasy Aziz , , , , 2 comments
Kapankah sebuah dialek, atau cara bertutur, menjadi patahan baru dalam lanskap sinema Indonesia? Beberapa tahun silam, Reza Rahardian menunjukkan pendekatan wicara yang brilian dalam perannya sebagai Habibie muda. Cara Habibie berbicara kerap kali terdengar khas; bahasa Indonesia dari rongga yang seolah terisi penuh, berat dan dihela-hela. Reza meniru, bahkan menduplikasinya, seolah ia Habibie yang baru saja kembali dari mesin waktu. Kita jadi cenderung mengabaikan fakta bahwa perawakan keduanya sama sekali tak mirip. Reza menjulang dengan hidung sedikit mancung, sementara Habibie tampak kate dengan hidung hampir tenggelam khas orang Timur. Pencerminan yang berhasil ini melahirkan puja-puji dan ketiban deretan penghargaan.

Namun sampai sejauh mana akting Reza yang memukau ini berkontibusi atas bangunan sinematurgi “Habibie dan Ainun”, film itu sendiri, secara keseluruhan? Baru saja, saya menemukan pembanding yang lain. Terhitung sejak 19 Januari kemarin, Istirahatlah Kata-kata tayang serentak di beberapa bioskop Indonesia. Sebuah kepulangan yang ditunggu-tunggu, mengingat film ini telah lebih dahulu dikenal publik lintas negara setelah diputar di sejumlah festival.

Sumber: rollingstone.co.id

Sentrum cerita Istirahatlah Kata-kata adalah sosok Wiji Thukul, khususnya dalam fragmen pelariannya ke Pontianak, Kalimantan Barat. Kita tahu, melarikan diri adalah konsekuensi dari kesenangannya untuk membikin aparatus Orde Baru terbakar, khususnya pada periode senjakala rezim. Senjatanya, sajak. Senjatanya adalah kata-kata.

Ketika Reformasi berlangsung pada tahun 1998, usia saya notabene masih 5 tahun. Saya hampir tak punya memori apapun tentang peristiwa akbar ini. Ingatan tentangnya sungguh tersamar, sebagian besar bersumber dari buku-buku yang saya baca di kemudian hari. Berbagai literatur cenderung menempatkan sejumlah nama babon politik sebagai pelakon utama peristiwa. Narasi sejarah menyederhanakan perwatakan hanya kepada nama-nama yang berulang tercetak di media massa.

Wiji Thukul selama beberapa waktu lebih banyak menghuni catatan kaki. Pada kenyataannya, ia adalah penghujam rezim yang konsisten. Mata kanannya pernah lebam akibat dipopor senjata ABRI kala turut mengorganisasi aksi mogok buruh PT Sritex di Solo. Pada era Orde Baru, “mogok” adalah sebuah gangguan sensitif atas hasrat stabilitas nasional. Ini adalah serangan telak atas usaha puluhan tahun menjinakkan gerakan buruh. Buruh-buruh Sritex kembali pada khittahnya, sebagai agen revolusi.

Thukul mendirikan Jaringan Kebudayaan Rakyat (Jaker), sebuah wadah pengorganisasian seniman-seniman dengan keberpihakan kepada akar rumput. Tidak sedikit diantara mereka, termasuk Thukul sendiri, datang dari kawula yang sama; buruh, kaum tani, rakyat miskin kota. Pada akhirnya, ia menggabungkan diri dan Jaker dengan organ politik yang lebih praktikal, Partai Rakyat Demokratik (PRD). Dan sebagaimana mogok, mendirikan partai politik adalah tindakan yang sama subversifnya. Kata subversif semakin identik dengan PRD seiring popularitasnya yang menanjak, hingga dihancurkan sementara oleh pergerakan jejaring militer Soeharto

Pasalnya adalah peristiwa 27 Juli 1996, yang diketahui sebagai tanggal penyerangan atas kantor pusat Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pada saat itu, partai dipimpin oleh Megawati Soekrnoputri. Menyandang nama Soekarno membuat banyak orang menaruh harap. Seolah ada kesepakatan umum untuk menjadikannya simbol, personifikasi atas harapan. Thukul, bersama PRD, berada dipihaknya. Tentu saja, sebagai partai yang notabene “didirikan” sebagai strategi politik pengusaan total a la Soeharto, tak semua anggota PDI sepakat dengan kepemimpinan Mega. Kerusuhan pada 27 Juli akhirnya pecah oleh serangan faksi yang nelangsa ini.

Ketika kekerasan di Jalan Diponegoro pecah, 3 orang tewas dan puluhan lainnya hilang. Tudingan provokator segera di arahkan kepada PRD. Thukul, dan kawan-kawannya, segera ditetapkan sebagai buronan.

Runtut cerita ini adalah konteks permulaan bagi film Istirahatlah Kata-kata.

Menariknya, Istirahatlah Kata-kata tidak segera dibuka dengan perkenalan langsung dengan Wiji Thukul. Yang justru ditampilkan pertama kali dengan jelas adalah sosok polisi yang sibuk menginterogasi keluarga Thukul. Pembawaannya tenang, dengan bahasa Jawa yang kalem, dan mulut sibuk mengunyah lemper kehijauan hingga tandas. Ruangannya tampak sempit dengan latar Fitri kecil, hanya tampak pundaknya membelakangi kamera, dibiarkan berdiri, terus menerus diam selama sesi tanya jawab. “Anak permepuan yang pemberani,” tutup si polisi hampir putus asa.

Bagi saya, scene ini memberikan titian yang menyambung jitu antara film dengan konteks yang tengah ia ekplorasi. Dalam situasi dikejar-kejar oleh intelejen rezim, dapat saya bayangkan semesta Thukul dan keluarganya tetiba menciut. Volume hidup mereka menyempit dalam kategori ruang dengan panjang, lebar, dan tinggi tersisa beberapa jengkal. Eksistensi mereka menjadi terbatas pada apa yang didefinisikan hanya melalui data-data dalam lembaran arsip. Area di luarnya adalah zona merah yang menolak sepenuhnya memberi rasa aman, sekaligus diacuhkan oleh penyelidik. Sebuah kurungan rumah kaca.

Ini di luar atmosfer menekan yang coba dibangun, kemudian dihidangkan kepada pemirsanya. Sampai berakhirnya adegan, sosok memasing tokoh tetaplah anonim. Yang dapat diidentifikasi dengan jelas hanyalah jaket kulit hitam lusuh, pertanyaan-pertanyaan menyelidik dalam nada datar, yang dapat dengan mudah diasosiasikan pada sosok intel melayu. Bagaimanapun, profesi ini adalah aparatus represi negara, barangkali dalam wajah terburuknya di bawah rezim yang otoriter.

Thukul baru hadir setelahnya, melihat ke luar jendela sebuah bus yang tengah melaju membelah hutan gambut. Wajahnya sengaja ditenggelamkan di bawah topi pancing, menghindari kontak mata dengan liyan. Masih membisu. Masih tanpa kata-kata. Hingga suaranya kemudian terdengar membahana dari balik layar lewat cara yang tak biasa.

Istirahatlah kata-kata
Jangan menyembur-nyembur
orang-orang bisu

Kembalilah ke dalam rahim
segala tangis dan kebususkan
dalam sunyi yang mengiris
Tempat oran-orang mengingkari
menahan ucapannya sendiri

Tidurlah kata-kata
kita bangkit nanti
menghimpun tuntutan-tuntutan
 yang miskin papa dan dihancurkan

Dibacakan terbata-bata, lirih oleh Gunawan Maryanto. Dengan nafas yang serba tertahan. Huruf-huruf “r” terdengar hampir absen, berbelok dan menggantung di udara, meniru lidah Thukul yang cadel. Saya mendadak dilanda rasa merinding hebat, tercekat. Separuh tubuh saya tampak terbang mengeluyur ke ruang bioskop, menunggu nafas saya yang sempat tertahan kembali. Pembukaan yang intens. Kata-kata yang mengalir serta-merta menjadi kalis dengan ketidakmampuan Thukul mengeja huruf “r” dengan baik. Dalam situasi ini, puisi-puisi Thukul yang ambil bagian di dalam naskah menjadi tersampaikan dengan baik. Terhindar dari bahaya menjadikannya sekadar sempalan. Pembacaannya terasa khidmat, sekaligus membangunkan.

Bagi saya, kecadelan ini adalah kunci mimikri Gunawan yang membuat sosok Thukul menjadi hidup, dan terasa kontekstual. Dengan acting yang hampir tanpa cela ditambah kemiripan fisik, Thukul justru diturunkan derajatnya sebagai manusia biasa dengan ketidakpurnaannya. Sebuah biopik tentang wajah orang kebanyakan.

Dalam banyak hal, ketepatan ini tentu tak dapat dicapai tanpa keterlibatan elemen lain. Perwatakan para tokoh diseputar Thukul, ditambah ketidakmampuannya mengucap “r” dengan tajwid yang benar,  mampu melahirkan humor tak terduga.  Alih-alih menjadi film serius yang menjaring kantuk, Istirahatlah Kata-kata sesekali menghadirkan lelucon yang membuat saya betah untuk tetap terjaga; renyah, alami dan tidak berlebihan. Simak misalnya, percakapan antara Thukul dengan seorang mahasiswa tempatnya menumpang. Dalam momen berdua, mereka memperbincangkan aktivitas membaca yang membikin Thukul dikejar-kejar. “Makanya saya ngga usah membaca,” ujar si mahasiswa sembari tertawa berderai, hingga berhenti sendiri karena respon Thukul yang dingin. Momen canggung ini, sebaliknya, membikin seluruh penonton yang bersama saya tak dapat menahan tawa.

Pilihan pengambilan gambar yang hampir selalu close-up mampu menangkap perubahan mimik dan mikroekspresi Gunawan yang terus terjadi dalam berbagai situasi. Ada distingsi yang jelas sekaligus tersamar ketika Thukul berada di tengah kawan-kawannya dibanding kala berdekatan dengan sosok perwira yang tengah bercukur.  Pada situasi yang satu, ada keberanian dan rasa aman. Pada situasi yang lain, ia adalah sosok yang ketakutan. Teramati hanya lewat getar bibir di bawah gigi tonggos (buatan)nya.

Istirahatlah Kata-kata pada akhirnya adalah pembalikan serius atas arah pengkultusan yang selama ini berkelindan di seputar nama Thukul. Sejak hilang hampir 20 tahun silam, ia telah menjelma menjadi sosok yang abstrak dan mengawang. Absensinya membuat saya dan jutaan generasi millennial Indonesia yang lain hanya mampu mengenalnya dari sajak-sajaknya yang melulu dibaca ulang. Di kafe-kafe hingga diatas aspal panas, di tengah aksi. Menerbangkan karya-karya Thukul dalam derajat nubuat, sementara hal-hal yang diperbincangkan di dalamnya kadang-kadang remeh dan teramat dekat. Gambaran dari wajah Indonesia, wajah akar rumput, suara yang tak terdengar pada sebagian besar periode waktu. Lewat medium layar perak, Wiji Thukul mendadak terasa dekat saja. (*)

Istirahatlah Kata-kata
Sutradara    :    Yosep Anggi Noen
Pemain       :    Gunawan Maryanto, Marissa Anita, Eduard Manalu
Rating        :    9/10

Sabtu, 14 Januari 2017

Tentang Rumahku (1)

08.07 Posted by Arasy Aziz , No comments

Pernahkah kamu merasa karib pada detil-detil yang, ganjilnya, baru pertama kali kamu sambangi; terasa seperti rumah sendiri, seakan-akan perjalananmu adalah sebuah kepulangan kedua?

Sensasi itu saya rasakan beberapa bulan silam, di kepulauan Banda.

Suatu waktu, sekadar membiarkan namanya terbersit di benak saja sudah mendirikan bulu-bulu roma. Membayangkan sebuah ziarah kepada muasal sejarah bangsa Indonesia, latar lintas zaman bagi banyak cerita kita.

Awalnya saya pikir, merinding tak lain merupakan efek samping dari kegirang yang meluap-luap. Serupa girang seorang anak pada awal dekade 2000-an yang pada suatu malam diperbolehkan membeli Tamiya, setelah berhari-hari hanya bisa memandang iri temannya beradu balap dari pinggir lintasan. “Besok, ikut Ayah ke pasar.” Girang bukan main, hingga jarak antara satu menit dengan menit yang lain tampak jauh berlipat-lipat. Rasa girang yang meluap-luap itu cairannya tumpah hingga membanjiri tengkuk tempat seluruh bulu roma berkerumun. Bulu roma, bagaimanapun, adalah bulu-bulu yang amat muda. Ketika air tumpah dari atas, tanpa sadar satu persatu akan mulai menari mengira hujan tengah turun.


Dapat dikatakan, saya memang menanti-nanti perjalanan Banda Naira, dan kepulauan Banda secara umum, setelah bertahun membayangkan kebersahajaan kawasan ini justru dari unit folk nelangsa dengan nama serupa. Atau diungkit secuil dalam edaran biografi singkat Bung Hatta di internet (sayang sekali saya belum membaca autobiografinya yang tiga jilid itu).  Ide perjalanan ke Banda Naira barangkali merupakan salah satu yang paling membangkitkan gairah vakansi saya. Sejak dimulai perencanaannya, hingga tubuh saya perlahan meniti tangga kapal penumpang yang sesekali bergoyang di lamun ombak Tual. 

Belakangan, kegirangan berganti dengan perasaan yang lain. Rasa girang tetaplah pemicu perjalanan yang penting. Titik pijak bagi alunan kaki saya, namun campur tangannya berhenti disana. Sementara itu, katalisator koor bulu roma sesungguhnya tengah bersembunyi, menunggu saya di Banda. Mewujud dalam pribadi manusia-manusianya, serta detil-detil yang memanjakan seluruh indera.

***

KM Tidar yang membawa saya perlahan-lahan memasuki perairan pesisir kepulauan Banda. Ratusan ton beratnya, berkelok di selat antara gunung api Banda dan pulau Banda Besar. Air asin berwarna biru kelam, tanda kedalaman, berganti dengan warna-warna toska yang menyegarkan. Jika saja bisa berenang, saya barangkali sudah meloncat dari ketinggian selasar kapal ke laut di bawah sana. Menoleh ke kanan, dermaga pelabuhan Banda Naira tampak semakin dekat.

Dari atas kapal, saya dapat melihat gerombolan orang asing yang tengah mengaso di halaman belakang sebuah bangunan yang tampaknya adalah penginapan. Letaknya persis bersebelahan dengan pelabuhan. Beberapa penumpang yang berkerumun di tepian anjungan melambai-lambai kepada mereka dengan antusias. Mencoba menarik atensi, berbagi fokus dengan tumpukan barang bawaan masing-masing. “Mister! Mister!” Sebagian dari mereka akan turun di pelabuhan Banda Naira sebagaimana saya. Dari kejauhan, sang lawan interaksi tampak tersenyum-senyum tipis saja.

Butuh beberapa menit hingga kapal akhirnya benar-benar sandar di beton dermaga yang menjorok ke laut. Butuh tambahan bebeberapa menit setelahnya hingga kaki saya akhirnya benar-benar menjejak tanah Banda. Saya berjalan sendirian, perlahan-lahan, di tengah kerumunan penumpang kapal yang berlalu menuju gedung pelabuhan. Gelombang ini bertemu dengan gelombang lain, campuran dari kulit angkut dan keluarga penjemput yang berebut masuk ke kapal. Di pundak sebagian mereka, tersemat karung-karung penuh yang menguar aroma yang teramat memanjakan penciuman. Bau legendaris yang menggoda bangsa Eropa untuk menjelajah Samudra Atlantik Selatan dan Hindia berabad silam. Karung-karung pala dan cengkih dinaikkan ke kapal.


Terselip sebiji distraksi di sela gelombang manusia yang setengah bergegas itu,  Tak jauh dari saya, seseorang tengah menjebak diri dalam sujud yang panjang. Tak peduli dengan panas beton yang terbakar matahari dan orang-orang yang beranjak, tak kunjung bangun hingga setidaknya beberapa menit. Saya menebak-nebak, dia adalah perantau yang bertahun-tahun lamanya meninggalkan Banda Naira, tertatih mengumpul seperak dua agar dapat pulang. Barangkali baru saja berkata cukup pada perjudian dengan hidup, di salah satu kota besar tempat singgah KM Tidar. Ketika saya mengembalikan pandangan ke arah depan, beberapa wanita tampak berlari menerobos penjagaan pelabuhan. Dua orang hampir menabrak saya, sebelum menggeser langkah sedikit ke kanan dan kiri. Bersisa angin kibasan tubuh. Di tengah dermaga, belahan-belahan keluarga ini bertemu, melepas haru. Sang priayang masih setengah berlutut menyambut pelukan penjemputnya.

Pemandangan  ultra sinematik. Melihat masing-masing tenggelam dalam syukur, adalah  ramah tamah  pembuka dari Banda Naira yang amat berkesan.

Saya tidak disambut siapa-siapa ketika keluar dari pintu pelabuhan. Mengingat matahari telah tepat di atas kepala, saya memutuskan untuk memulai penelusuran dari desa Lonthoir, pulau Banda Besar. Waktu menjelajah Banda Naira saya sisakan di sore hari, sembari mencari penginapan nantinya. Untuk saat ini, saya perlu menyeberang terlebih dahulu.


Menurut informasi yang saya peroleh dari internet, di Lonthoir-lah kebun-kebun pala tertua di kepulauan Banda masih dibudidayakan dan berproduksi. Kepada penjaga pelabuhan, saya bertanya mengenai cara menyeberang ke sana. Dengan baik ia mengarahkan saya ke dermaga pelabuhan nelayan, beberapa ratus meter di sisi lain Banda Naira. Berjalan kaki melalui pasar kecamatan. Di dermaga telah menunggu beberapa kapal yang akan membawa penumpang ke beragam tujuan di memasing pulau di Banda. Saya memilih kapal menuju Lonthoir, bersama penumpang lain.

Saya menduduki satu bagian bangku di pojokan, mengawasi lambung kapal yang hampir terisi penuh dengan orang-orang yang naik satu persatu.  Di sebelah saya berdiam seorang pria paruh baya dengan mata cokelat buram dan paras serupa Eropa. Tampak mencolok dibanding penumpang lain yang berkulit cokelat gelap. Kepada saya, mereka, termasuk pria Indo tadi, melempar senyum. Salah satu diantaranya membuka percakapan, menanyakan asal saya.

“Saya dari Malang, pak. Barusan turun dari Tidar, naik dari Tual.”

Penumpang yang lain, seorang pria tua berwajah ramah dengan perawakan kecil, menimpali bahwa menantunya rupanya berbagi kapal yang sama dengan saya. Ia menunjuk seorang wanita yang sibuk dengan bayi di ujung lambung kapal, dan memperkenalkan pria di sebelahnya sebagai anaknya. Sang mantu adalah seorang keturunan penduduk asli Banda yang kini bermukim di Banda Eli, ssalah atu ohoi di Maluku Tenggara. Ia mulai menanyakan tujuan saya melanglang ke Banda. Baronda-ronda, dalam bahasa setempat.

“Ingin melihat kebun Pala,” saya katakan.

“Wah, kalo di Lonthoir memang banyak kebun pala,” sang penanya pertama kembali menimpali. “Kalau mau, nanti saya antarkan ke salah satunya.”

Ditengah siang yang seterik ini, tawaran orang ini sungguh menggiurkan. Akan sangat memudahkan bagi saya untuk segera sampai ke tujuan. Di sisi lain, saya tak menyangka ia akan begitu saja menawarkan diri kepada saya yang sesungguhnya asing. Sayangnya, saya teringat bahwa waktu shalat Jumat akan segera tiba.

Tawaran tersebut kemudian terpaksa saya tolak. Pria baik tersebut tampak sedikit kecewa. Sebagai gantinya, ia memberi tahu beberapa lokasi yang layak dikunjungi. “Pokoknya nanti tanya saja ke orang-orang. Nanti mereka kasih tunjuk.” Di dermaga desa Lonthoir, kami semua berpisah jalan. Saya bergegas menuju masjid. Adzan sudah berkumandang di langit.


Keputusan untuk tetap mendirikan sholat Jumat rupanya tak buruk-buruk amat. Pertama-tama, bebauan harum semakin tajam semakin saya mendekati masjid. Kejutan. Tepat disampingnya, terhampar kebun pala meskipun tak benar-benar luas. Di dalamnya berdiri belasan pohon.  Dapat saya rasakan kedua mata saya berbinar-binar. Saya mengamati bebuahan pala yang mekar dari bawah. Dagingnya yang terbelah menampilkan biji berbungkus urat-urat merah. Komoditas mahal, penyedap rasa sekaligus ramuan hangat bernama fuli. Kegiatan ini saya lanjutkan hingga bermenit-menit seusai shalat Jumat ditunaikan.

Cukup puas, saya melanjutkan penjelajahan saya di Lonthoir. Kali ini saya menjajal situs tangga-tangga yang anak pertamanya dimulai beberapa meter dari masjid. Baru setengah jalan, ketinggian tangga dengan kemiringan hampir 70 derajat mulai menguras tenaga saya. Saya berpapasan dengan seorang gadis setempat yang berlalu enteng saja. Melihat saya mengambil nafas, ia tersenyum-senyum sendiri. Saya membalasnya dengan kecut, menahan diri untuk tidak mengatai diri sendiri. Sebagaimana diceritakan Maria di KM Tidar, ada pantangan yang melarang kita mengeluh saat menaiki tangga-tangga. “Teman saya,” ujarnya, “langsung nda bisa bangun dari tempat tidur berhari-hari gara-gara mengeluh. Betulan itu pantangan.”

Saya cukup lega karena akhirnya dapat mencapai puncak tangga-tangga. Kepada dua orang remaja beririsan jalan, saya meminta arah menuju pemakaman Belanda di Banda yang juga kesohor. Mereka melempar telunjuk ke satu arah. “Nanti di sana belok kanan, baru dapat sumur keramat.”

Saya mengikuti arah yang mereka tunjukkan. Berpapasan dengan sumur keramat, kemudian menanjak kembali ke puncak bukit. Sesampainya di sana, saya sedikit terkejut. Alih-alih komplek perkuburan tua, yang saya temui justru barisan nisan pemakaman desa dengan pohon-pohon kamboja segar. Di rumah terdekat, saya kembali bertanya arah kepada seorang lelaki dewasa yang duduk terkantuk-kantuk di teras. Ia bangkit dari kursi plastiknya, menjelaskan sedikit, lalu memanggil anaknya di dalam. “Coba antar dulu ini mas ke Kubur Satu Jengkal”. Kubur Satu Jengkal adalah situs sejarah lain yang rupanya berlokasi di pemakaman tersebut. Namanya menggambarkan secara harfiah ukuran makam yang memang amat kecil. Mitos mengatakan, ukuran kuburan pada mulanya normal dewasa dan menyusut seiring waktu.

Saya mencoba menolak bantuannya, sedikit merasa sungkan karena mengganggu waktu istirahat siang. Namun si anak membalasnya dengan ajakan ramah. Bersamanya saya menelusuri celah-celah petak kuburan hingga ke tengah, lokasi situs berada. Untuk kedua kalinya dalam sehari, saya bertemu keramahan yang tak dibuat-buat.


Setelahnya, destinasi saya bergeser menuju benteng Hollandia, satu-satunya tangsi pertahanan kolonial di Lonthoir. Karena kelelahan, saya memutuskan mampir ke salah satu warung sembari meminta izin menumpang beristirahat. Tenggorokan terlanjur kering setelah beberapa jam berjalan kaki. Dalam sekali dua teguk, sebotol air mineral yang saya beli tandas. Si pemilik warung sibuk mencari kutu di sela lebat rambut anaknya. Kepadanya saya bertanya arah menuju Hollandia. Percakapan berkembang ke arah yang penuh kejutan.

“Saya dari Malang, tapi aslinya dari Gorontalo,” ucap saya kepada sang ibu. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Rita Martinus. Jawabannya membuat saya tertarik lebih jauh.

“Saya punya keluarga di Gorontalo,” sembari tetap menekuni kepala anaknya.

“Tinggal dimana?”

“Di kota. Tapi sekarang sudah di Jakarta. Namanya Norman Kamaru.”

Saya terperanjat. Siapa orang di bawah langit Gorontalo yang tidak mengenal nama ini; ex-anggota Brimob yang terkenal karena ber-lipsync lagu India, belakangan memilih fokus pada dunia tarik suara. Dalam karirnya yang pendek, ia dipuja-puja sebagai wajah Gorontalo. Definisi paripurna dalam versi nestapa atas pameo legendaris Andy Warhol.; dimasa depan, orang-orang akan terkenal dalam 15 menit.

Sudah jadi rahasia umum bahwa ibunda Norman Kamaru berasal dari kepulauan Maluku. Tiba-tiba saja saya terduduk di rumah masa kecilnya. Tiba-tiba saja orang-orang ini terasa terhubung dengan saya.

Badai de javu belum tuntas. Seseorang kemudian menyambangi warung Rita di tengah percakapan kami. Segera saya kenali ia sebagai anak dari pria tua yang bercakap dengan saya di kapal penyeberangan. Ia tersenyum sepintas, lalu masuk ke warung menuntaskan tujuannya. Sebelum berlalu kembali ke rumahnya, ia menawari saya agar mampir. “Saya masih beristirahat, Bang.”  Ia menjawab dengan senyum yang lain, kemudian undur diri.

Beberapa menit kemudian, ayahnya datang tergopoh-gopoh dari belokan jalan. Mukanya tampak berseri-seri, senyum mengembang terekam dari jauh. Ia menyapa saya hangat, kebapakan, menjabat tangan saya erat. Kembali memperkenlkan saya kepada Rita sebagai orang yang berbagi cakap di atas kapal.

“Sudah baronda ke mana saja? Mampir makan dulu di rumah!”

Pada titik ini, saya merasakan sebuah sensasi yang ganjil. Orang-orang Banda memang terkenal akan keramahannya, namun baru kali ini saya dapat menyaksikannya secara langsung. Mereka menghampiri saya seolah-olah  menjenguk tetangga yang baru pulang dari kota. Menyiapkan telinga untuk kisah-kisah yang barangkali dilebih-lebihkan. Tak sungkan untuk mengundang mampir ke rumah, menawarkan kue-kue hangat dan jika perlu tempat menginap. Yang terasa adalah rasa hangat di tengah orang-orang yang seolah telah bersilangan jalan dalam hidup saya bertahun-tahun. Tetiba saja, saya merasa telah lama menghuni desa dan gugus pulau-pulau ini. Lonthoir dan Kepulauan Banda. Tiba-tiba saja, saya merasa tengah berada di bawah atap rumah kedua.

Saya bercakap-cakap cukup lama dengan dua orang tersebut; Rita Martinus dan si bapak bernama Hud Robo. Rupanya, saya akan berbagi kapal dengan orang yang saya sebut belakangan, pun dengan tujuan berbeda. Hud  akan turun di pelabuhan Amahai, Maluku Tengah. Di pulau Seram ia akan berdagang, mengisi hari-hari pengganti rutinitasnya sebagai petani pala serabutan.

Belakangan, adik Rita bergabung dari dalam rumah. Pria ini memperkenalkan dirinya sebagai Fadlun Martinus. Jika tersenyum lebar, geligi Fadlun yang rontok di beberapa bagian turut mengembang. Saya tersadar telah duduk terlalu lama di beranda rumah Rita. Menengok sebentar ke jam digital di smartphone saya, waktu telah menunjukkan pukul 2 siang. Saya beranjak, bergegas pamit kepada tiga orang baik hati yang telah menerima saya.  Satu persatu saya menjabati tangan-tangan mereka yang liat. Kepada Hud Robo, saya berjanji untuk bertemu kembali dengannya besok di atas kapal. Ia sempat menawari saya untuk menginap saja di rumah saudaranya sembari menunggu kapal. Saya memilih untuk tinggal di penginapan saja agar tak merepotkan lebih jauh. Lagipula, ia merencanakan menyeberang kembali ketika hari sudah sore. Pada saat itu, saya harusnya sudah berkeliling Banda Naira.

Badan saya sesungguhnya mulai terasa letih, apalagi matahari semakin menyala menggila. Terasa sejengkal saja di atas kepala. Namun memilih kembali ke Naira sekarang jelas pilihan yang tak bijak. Tinggal satu situs desa Lonthoir yang belum disambangi di daftar saya, benteng Hollandia. Tanggung sekali. Akhirnya saya mulai menyusuri jalan masuk menuju benteng yang terselip di antara rumah warga. Berupa sepetak titian tanah dengan pepohonan di kanan-kirinya. Hollandia sendiri dibangun pada abad ke-17 di atas ketinggian sebuah bukit. Bangunannya menghadap ke selat antara Banda Besar dan gunung api Banda. Dari puncaknya, pengamanan kolonial mengawasi lalu lintas kapal di pelabuhan Banda Naira.


Langkah saya sedikit tertatih-tatih. Semakin lama, salah satu sisi dinding semakin tampak dekat dengan latar puncak gunung api Banda. Mata saya mulai dapat menangkap detil-detil tekstur bangunan. Warna batu andesit yang menyusunnya mulai berubah kecokelatan, dengan lumut menjalar di sana-sini. Sejenak, saya membiarkan tangan saya menjelajah. Agar lebih puas mengamati, saya bergeser semakin ke depan mencari pintu masuk benteng.


Sebelum menemukannya, penorama yang sedari tadi tertutupi dan hanya tampak sepintas-pintas mulai membentuk dalam cakrawala yang lebih luas. Saya terkesiap, darah terasa mendesir berlomba menuju ke atas kepala. Tengkuk saya meremang diserang gelombang gaduh kebangkitan bebuluan roma. Tanpa ampun, saya mengerahkan tenaga untuk berlari memasuki benteng. Di salah satu sisi bagian dalam benteng tersandar seunit tangga kayu guna menjangkau puncak sisa-sisa bastion. Bergegas menaikinya, melempar tas saya sekenanya pada ruang lapang dipuncaknya, lalu menatap bentang alam yang kini terlihat semakin jelas dari ketinggian. Saya tenggelam mematung bermenit-menit, menyisakan bibir semata yang terus bergerak melantun puja-puji kebesaran pencipta semesta. Kombinasi hormonal berganti-ganti dengan cepat, lalu menyisakan haru yang panjang yang terasa di ujung mata.


Inilah klimaks perjalanan saya di Lonthoir. Di hadapan saya terbentang lanskap gunung api Banda yang diitari lautan dangkal kehijauan. Teduh, teramat tenang, serupa giok yang jatuh dari langit.

(Bersambung ke Tentang Rumahku - Part 2)

Sekelumit tentang Desa Lonthoir, Pulau Banda Besar:
Desa Lonthoir merupakan desa tertua di kepulauan Banda, terletak di pulau Banda Besar. Dapat dicapai dengan kapal kecil dari dermaga perikanan Banda Naira. Untuk menyeberang dikenakan tarif Rp 5.000 sekali jalan. Mengelilingi seluruh desa dapat dilakukan dengan berjalan kaki atau menyewa ojek dengan tarif sekitar Rp. 100.000 (dengan rute menjangkau seluruh pulau Banda Besar).


P.S  : Judul “Tentang Rumahku” diambil dari judul album unit folk asal Bali, Dialog Dini Hari. Kawan yang pas menemani waktu sore hari di Banda. 

Rabu, 04 Januari 2017

Di Atas Kapal Kertas

02.58 Posted by Arasy Aziz , 2 comments

Saya gelisah. Saya gelisah sendirian di atas KM Tidar yang bergerak perlahan membelah laut Banda. Sebidang laut yang tak kurang 500.000 km2 luasnya, dengan titik terdalam mencapai 6,5 km. Menoleh ke kanan, lautan biru. Menoleh ke kiri pun, hanya ada jutaan kubik air dalam jarak pandang tak hingga. Jam digital di smartphone saya telah menunjukkan pukul 8 pagi, namun belum ada tanda-tanda kapal akan segera merapat. Belum tampak daratan.

Sekali lagi saya merogoh dompet, mengecek detil-detil perjalanan yang tercantum pada tiket kapal yang terselip di dalamnya. “Sialan,” ujar saya dalam hati, “jam segini harusnya saya sudah sampai,” mengacu pada waktu ketibaan ideal yang tertera di sana.

Umpatan ini bahkan telah meluncur berjam-jam sebelumnya, terus kembali ke selisih bibir saya ulang berulang. Pun tindakan sia-sia mengecek tiket perjalanan. Mengeluarkannya, sebentar membiarkan mata saya meneliti, kemudian memasukkannya kembali. Di atas KM Tidar, tindakan-tindakan sederhana nan repetitif semacam itu pun tetiba jadi bermutu. Sekurang-kurangnya bagi upaya mengusir jenuh. Lebih dari 10 jam telah berlalu sejak kapal meninggalkan pelabuhan Tual tempat saya naik. Kesalahan terbesarnya, saya tak membawa satupun buku untuk dibaca sebagai teman perjalanan.


Bagaimanapun ini adalah kali pertama, setelah belasan tahun saya kembali menumpang kapal Pelni. Dalam selang waktu yang lama itu, saya lebih banyak bepergian dengan moda transportasi yang lain, menawarkan durasi perjalanan yang lebih efisien. Semisal ketika menuju Tual, kota tempat saya bekerja beberapa bulan silam. Dalam situasi normal, perjalanan pulang pergi Malang-Ambon-Tual dapat ditempuh dengan pesawat udara. Total durasi bersih perjalanan kurang dari 3,5 jam.

Namun kali ini sedikit pengorbanan  perlu dilakukan. Jauh hari saya memutuskan mengalihkan budget transportasi udara ke dalam perjalanan dengan kapal laut. Legenda dari sebuah kepulauan terasing di tengah laut Banda telah mengerek sesuatu dari sanubari saya. Mendengar namanya berulang di dalam benak, berkali-kali mendirikan bulu roma. Sebuah perasaan rindu akan tanahnya seumur hidup tak pernah terjejak. Fernweh.

Banda Naira memanggil saya pulang. Kebosanan ini akan segera terbayar beberapa jam lagi.

***

Malam sebelumnya di pelabuhan Tual.

Saya gelisah. Sebuah kegelisahan permulaan yang menjelaskan kegelisahan yang lain. KM Tidar yang hendaknya membawa saya ke Banda Naira tak kunjung datang. Terlambat berjam-jam dari jadwal keberangkatan yang ditetapkan pukul 17. Beruntungnya, kali ini saya gelisah tak sendirian. Larson, tukang ojek kawan saya di Tual, berkali-kali berusaha menenangkan. Ia telah menemani saya sejak siang hari, dan belum beranjak. “Wajar ini. Biasanya kapal memang belum datang jam segini.”

Saya tersenyum padanya, berterima kasih atas upayanya. Diam-diam, tatapan mata saya kembali menaut kepada dermaga pelabuhan. Masih belum ada tanda-tanda kapal merapat.


Kegelisahan saya yang berkali-kali ini agaknya beralasan, mengingat betapa rencana perjalanan saya di Banda Naira terentang pada waktu yang amat terbatas. Kurang dari sehari semalam, terhitung sejak kapal tiba (apabila tepat waktu) di pelabuhan Banda di hari Jumat, hingga waktu keberangkatan kapal Pelni berikutnya yang akan membawa saya ke Ambon pada Sabtu subuh. Di luar itu, tak ada alternatif kendara lain yang mampu bersinergi dengan jadwal pesawat saya di hari Minggu.

Saya sempat berharap pada pilihan kapal cepat Banda-Ambon yang tersedia dua kali seminggu. Salah satunya akan berangkat di hari Minggu dengan estimasi waktu 5 hingga 6 jam. “Tepat sekali!”, cetus saya, sebuah kegembiraan yang terlalu dini. Belakangan saya ketahui, kapal cepat diberangkatkan sekira pukul 10. Artinya, saya akan berkejaran dengan waktu ketika check in. Belum lagi menimbang lokasi pelabuhan tujuan di Tulehu, sebuah kecamatan yang berjarak 1 jam dari kota Ambon. Pilihan ini saya kubur dalam-dalam. Mungkin lain kali.

Saya mulai khawatir tak dapat menjangkau seluruh detil Banda Naira yang jauh bergelayut di dalam imaji. Setidak-tidaknya pada apa-apa yang telah saya sesuaikan dengan waktu yang amat terbatas. Keseluruhan kepulauan, saya sadari sejak semula, tentulah tak akan cukup dijelajahi dalam sehari.

Pukul 9 kurang, suara parau teramat kencang tetiba membelah udara dari laut sebelah utara kota Berulang tiga kali, mengencang dan terasa semakin dekat sumbernya. Suara terompet kapal. Terbit cahaya dari wajah-wajah putus asa calon penumpang yang barangkali telah menunggu jauh lebih lama dari saya. Memutuskan bangun dari duduk panjang, lalu mulai menyiapkan barang bawaan. Sebagian yang lain, termasuk saya dan Larson, memilih mendekat ke celah yang sedikit terbuka di dinding pelabuhan, memberi vista pada lautan yang gelap. “Kapal so datang,” ujar Larson. Dimulai dari haluannya, lalu anjungan tujuh lantai yang terang benderang dan tampak kukuh mencakar langit. Kontras dengan latar langit malam di belakangnya yang pekat. Antusiasme saya akan perjalanan ini segera terisi kembali. Beberapa menit kemudian, seluruh calon penumpang akhirnya dipersilakan untuk naik ke kapal.


Pada momen ini, nuansa di seputar saya tetiba menjadi sentimental. Sebelum masuk ke ruang tunggu, saya berbalik kepada Larson, yang sedari tadi tampak tenang-tenang saja, untuk meyampaikan salam perpisahan. Entah kapan kami berdua dapat bertemu kembali, mengingat perjalanan ke Tual barangkali adalah jenis perjalanan sekali seumur hidup. Melalui lampu pelabuhan yang menerangi wajahnya samar-samar, saya melihat kedua mata Larson memerah. Ia menangis diam-diam.

“Saya menyesal nda bisa ngasih kamu bekal apa-apa,” ujarnya lirih. Saya berusaha meyakinkan ia bahwa bekal yang saya bawa lebih dari cukup. Kami berjabat tangan erat. Sosok di hadapan saya ini, bagaimanapun, telah menjadi kawan setia selama perjalanan saya di Maluku Tenggara. Rutin menjemput saya ke bandara, lalu mengantar ke kantor-kantor tanpa bosan. Kadang-kadang tanpa diduga, ia membawakan saya sekantung jambu air dari pohon belakang rumahnya. Darinya, saya memperoleh sudut pandang yang sederhana, namun layak simak, tentang hidup di kepulauan Kei. Sosok polos yang, bersama keluarganya, lebaran idul adha tahun silam luput menyantap daging kurban. Beberapa bulan terakhir, ia adalah tokoh penting dalam cerita saya.

Usai memberikan ongkos untuk ojeknya hari ini, saya mempersilakan dia untuk pulang terlebih dahulu. Sekali lagi ia mengingatkan agar saya berhati-hati dengan barang bawaan, sebelum berlalu pergi. Di tengah kerumunan yang berdesakan, ia menyempatkan diri untuk berbalik, lalu melambai kembali. Saya membalasnya dengan anggukan kecil dan senyum selebar mungkin. Sebentar kemudian saya  telah melangkah menyambut dermaga. Pintu masuk kapal terbentang beberapa meter di depan sana.

Di muara tangga naik ke KM Tidar, saya mendadak harus berjuang. Ketiadaan sistem antrean yang jelas menciptakan pertempuran kecil-kecilan antara ibu-ibu brutal, manula, kardus-kardus serta barang bawaan yang oversize, dan saya terjebak ditengah-tengahnya. Dorong mendorong terjadi, kadang-kadang dalam tenaga yang cukup membuat nyeri. Butuh usaha ekstra agar tetap dapat bernafas dengan baik, sembari tetap awas atas keselamatan ransel saya. Kalau-kalau ada anak kecil yang terjepit di tengah pun perlu diantisipasi. Situasi kaeos ini bahkan tak dapat ditangani oleh seorang perwira Angkatan Darat yang, ganjilnya, tengah berjaga. Amukannya tenggelam, menjadi tak signifikan di tengah seruan riuh rendah bernada putus asa dalam bahasa lokal. Lima menit kemudian, akhirnya saya berhasil membebaskan diri dari kerumunan. Di pintu kapal, seorang Anak Buah Kapal (ABK) menunggu sembari sesekali mengawasi tumpukan manusia di dermaga. Kepadanya saya bertanya lokasi ruangan tempat saya menginap.


Saya sedikit beruntung karena telah membeli tiket jauh sebelum tanggal keberangkatan, sehingga memperoleh kamar di atas KM Tidar. Terhitung sejak pertengahan tahun 2015, Pelni sejatinya memberlakukan sistem baru dengan menghapus kelas-kelas di atas kapal. Kini, tiada lagi hierarki berbentuk kelas 1, 2, 3 dan Ekonomi melalui penggolongan kamar tidur. Namun, masih ada celah kenyamanan. Beriring sistem kelas tunggal, diperkenalkan mekanisme ticketing baru dengan prinsip first come, first serve. Mereka yang membeli tiket lebih dahulu berkesempatan tidur di ruangan yang dulunya merupakan kamar kelas 1, 2 maupun 3.  Sementara mereka yang membeli tiket belakangan masih harus mengadu diri untuk mencari kasur di kabin ekonomi yang serupa barak. Alasan sesungguhnya di balik pertempuran kecil di dermaga. Apabila tak mendapat tempat, pojok manapun yang tersisa dan tampak luas terpaksa diokupasi untuk sekadar meluruskan badan. Gelaran tikar, tubuh-tubuh manusia yang terlelap tenang di tengah tumpukan barang adalah pemandangan yang jamak di berbagai sudut kapal.

Di kamar, saya berbagi ruang dengan seorang pemuda yang turut naik dari pelabuhan Tual, dengan tujuan Ambon. Beberapa menit kemudian, dua orang lain yang ia sebut adiknya masuk ke ruangan mengisi kasur-kasur yang kosong. Sekalipun, tiket masing-masing menunjukkan kategori yang berbeda. Kedua orang yang menyusul tampak jauh lebih muda. Salah satunya seorang pemuda lain, mengenakan singlet dengan  potongan leher rendah. Yang lainnya adalah seorang gadis dengan paras khas kepulauan. Kami menyempatkan bercakap sebentar, mengajukan pertanyaan retoris tentang tujuan masing-masing.

“Saya turun di Banda Naira.”

Di antara ketiganya, si gadis mengaku pernah menghabiskan seminggu dua di sana, dalam rangka Kuliah Kerja Nyata. Ia mulai bercerita dengan antusias tentang tempat-tempat yang ia kunjungi. Sebagian besar diantaranya telah masuk daftar saya, sebagian yang lain baru pertama kali saya dengar namanya. Tak luput peringatan akan sejumlah hal yang pantang dilakukan selama berkelana di Banda. “Kalo naik tangga-tangga, nda boleh mengeluh.” Tangga-tangga yang ia maksud, mengacu pada situs berbentuk ratusan anak tangga vertikal yang berlokasi di desa Lonthoir, Banda Besar. Gadis itu tak lupa menunjukkan foto-foto dalam beragam pose berlatar tempat-tempat yang ia acu dalam ceritanya. Belakangan saya ketahui namanya Maria (jika saya tak salah ingat). Saya berterima kasih untuk cerita yang penuh semangat dari gadis yang sejatinya berasal dari Timor Leste ini.

Kapal telah jauh lepas sandar. Tidak ada guncangan berarti terasa di dalam kabin, pertanda air laut tenang. Hampir tengah malam, saya memutuskan untuk beristirahat. Saya terbangun cukup dini keesokan paginya, dan mulai melakukan kegiatan yang semalaman saya tunda. Banda Naira masih jauh. Saya mulai mengelilingi isi KM Tidar, dari lambung hingga ujung-ujung geladak.


Kadang-kadang, perasaan nostaligis menyeruak kala saya mulai menangkapi satu persatu detil-detil kapal. Pada kantin-kantin yang menyempil di pojokan. Pada lorong-lorong kapal. Pada orang-orang yang menatap nanar, barangkali terlalu capai untuk tidur sementara kota tujuan masih berjarak berhari-hari. Pada jeda antar lantai dengan lukisan-lukisan besar di dindingnya. Ingatan masa balita menyembur dari salah satu sudut gelap. Pada suatu masa saya pernah tidur bergelar tikar pada sudut yang serupa, pun dalam kapal yang berbeda, tergeletak disela-sela tubuh Papadan Mama.

Sejak era 80-an awal mula operasi, hingga hari ini, agaknya memang tak banyak yang berubah dari Tidar dan kapal-kapal sejenis. Tikar ekonomis yang terserak di lantai kapal pun rasanya memiliki model yang serupa dengan satu yang saya gunakan belasan tahun silam. Terbuat dari anyaman plastik bekas karung dengan alas karton cokelat.  Modernisasi baru benar-benar kasat ketika kaki melangkah ke bagian buritan. Saya mendapati satu unit Indomaret Point berdiri di sana.


Di selasarnya, saya menghabiskan sisa waktu perjalanan dengan memandangi hamparan biru laut Banda yang tertinggal di belakang. Akhirnya, sebuah sudut tenang hanya bagi diri saya sendiri. Memutari mixtape yang telah saya siapkan jauh-jauh hari, hingga pengumuman yang saya tunggu-tunggu akhirnya bergema. Saya bergegas mengalun tubuh ke haluan kapal. Di kejauhan, gunung api Banda yang kesohor mulai tampak. Agung menyembul ditengah-tengah biru samudra. Saya mengecek jam digital di telepon genggam. Hari jelang siang, saya berdoa diam-diam agar masih tersisa cukup waktu untuk mencumbui seisi kota.

“Penumpang yang terhormat, sebentar lagi KM Tidar akan merapat di pelabuhan Banda Naira. Para penumpang yang akan mengakhiri perjalanan di pelabuhan Banda Naira diharapkan untuk mempersiapkan diri.”

Sekelumit tentang KM Tidar:
KM Tidar merupakan kapal penumpang besar yang dikelola oleh PT Pelni. Perjalanan dari Tual ke Banda Naira ditempuh dengan durasi lebih kurang 12 jam. Tiket kapal dapat dibeli di kantor cabang PT Pelni dengan harga Rp. 141.000 plus bea administrasi. Harga tiket termasuk makan tiga kali sehari, tergantung pada rute yang  ditempuh. Kapal tersedia di pelabuhan Tual setiap dua minggu sekali.

P.S:   Judul "Di Atas Kapal Kertas" terinspirasi dari salah satu lagu unit folk nelangsa Banda Naira. Sayang sekali, band keren ini tak berumur panjang. RIP.