Fiat Lux

Kamis, 01 Oktober 2015

Matinya Ganool

00.14 Posted by Arasy Aziz , 4 comments
Obituari untuk Ganool agar tak mati selamanya.
Penyesalan terbesar saya dalam pekan-pekan terakhir adalah tidak mengepul film sebanyak-banyaknya dari ganool.video. Dibanding berbagai alternatif yang tersedia untuk memirsa, apa yang ditawarkan Ganool adalah pilihan termudah. Yang utama tentu saja karena ia tak berbayar. Mengunduh melalui aplikasi Torrent yang berbasis jaringan peer-to-peer sangat rentan ditunggangi malware dan kecepatannya sulit ditebak. Direktori Ganool juga relatif lengkap (meskipun tentu saja tak sekaya jejaring Torrent). Saya beruntung menemukan Metropolis (Fritz Lang, 1927) edisi restorasi rilisan Criterion diantara tumpukan datanya. Koneksi internet yang tak putus, hampir 24 jam sehari di rumah adalah jalan bebas hambatan menuju surga itu.
Namun saya tak mengantisipasi sebuah kenyataan pahit; portal unduh film gratis favorit saya itu terpaksa tutup usia. Ini sesungguhnya bukan kematian yang pertama, namun sepertinya tak ada kehidupan lagi setelahnya. Penutupan Ganool untuk jangka waktu yang tak ditentukan secara resmi diumumkan oleh para pengelolanya melalui akun Facebook pada postingan bertanggal 20 September 2015. Disini saya kutipkan bulat-bulat, yang jika dibaca dengan seksama, lebih mirip manifesto politik;
Pemerintah benar bro memblokir Ganool dan situs sejenis, seharusnya kita memang bisa menghargai hasil karya orang lain, tapi pembuat konten juga harus mengerti rakyat Indonesia kantongnya tidak setebal mereka untuk membeli konten secara legal. Mereka masih tetap saja tamak dengan menginginkan keuntungan sebesar-besarnya dari film-film mereka yang ternyata mungkin hanya 1% yang memang bermutu, dan lainnya hanya sampah.
Kemarin pemerintah memblokir situs-situs judi dan porno, hari ini mereka memblokir Ganool dan situs sejenis, besok mereka akan memblokir situs-situs agama dengan mengatakan mereka ekstrimis, besoknya lagi mereka akan memblokir tulisan rakyat di media online karena tidak sejalan dengan pemerintah, besok-besok-besoknya lagi bahkan mungkin Facebook rakyat akan dipantau oleh pemerintah dan memidanakan bagi siapa saja yang status atau komentarnya dianggap melanggar UU ITE.
But remember people power will always win. Pemerintah memblokir 1 Ganool dan situs sejenisnya, besok beberapa situs sejenis akan bangkit. Akan saja selalu seperti itu. Entah sampai kapan pemerintah dan pemilik konten melakukan pekerjaan sia-sia ini. Mungkin sampai mereka bangun dan sadar bahwa zaman sudah berubah, bukan lagi zaman kaset pita, tapi sudah zaman streaming online. Deal or Die.
Akhir kata kami ucapkan terimakasih telah mendukung Ganool selama ini, tapi dengan sangat berat kami putuskan untuk mematikan layanan Ganool.com dan Ganool.Video dalam kurun waktu yang tidak ditentukan. Tetap dukung Ganool, karena Kami akan kembali dengan sesuatu yg LEGAL, entah bagaimanapun itu caranya.
Seperti kebanyakan situs senasib, Ganool adalah korban dari jurus pemerintah untuk menangkal pembajakan berbagai produk budaya yang beredar melalui internet. Sebuah mekanisme yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif. Jika sebelumnya menyasar berbagai situs penyedia konten pornografi, maka kali ini 21 situs penyedia film gratis yang jadi korban blokir Internet Positive. Ganool sempat kembali berkelit, namun menemui jalan buntu.
Tapi benarkah pemerintah dapat seberwenang itu?
Pada tahun 2010, sekelompok penulis mengajukan pengujian Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan Yang Mengganggu Ketertiban Umum ke Mahkamah Konstitusi sebagai respon aksi pemusnahan buku oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Muatan beberapa buku dinilai oleh lembaga tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Lekra tak Membakar Buku karya Muhidin M Dahlan dan edisi Indonesia Dalih Pembenuhan Massal karya sejarawan John Roosa adalah beberapa contoh yang terimbas, disebabkan tak mencantumkan PKI dibelakang singkatan G30S.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi kemudian mengingatkan kembali makna normatif sebuah konsep negara yang kita klaim di dalam konstitusi: bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dalam negara hukum, pembatasan-pembatasan hak konstitusional warga negara harus didasarkan pada proses peradilan (due process to law). Aksi Kejaksaan yang berlegitimasi pada kedua undang-undang diatas pada dasarnya adalah praktik pelampauan kekuasaan administratif. Akibatnya, kewenangan Kejaksaan untuk menetapkan sebuah buku tak layak edar dicabut. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya kemudian mengamanatkan pembentukan peradilan buku sebagai wadah penyelesaian sengketa perbukuan.
Konstruk teoritik yang sama sesungguhnya berlaku pada kasus Ganool dan kawan-kawan. Sebagai sebuah medium, situs-situs internet berhak untuk menyebarluaskan informasi apapun hingga ada putusan pengadilan berkekuatan hukum mengikat yang menyatakan sebaliknya. Meskipun secara kasat mata apa yang dilakukan oleh para penyedia film gratis melanggar Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta maupun Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, namun pelanggaran tersebut perlu dibuktikan terlebih dahulu dalam proses peradilan yang jujur dan fair.
Konfigurasi penegakan hukum dalam Peraturan Menkominfo Nomor 19 Tahun 2014 menempatkan kekuasaan pembentukan, eksekusi dan penegakan hukum di satu tangan. Fungsi-fungsi ini seharusnya didistribusikan ke berbagai lengan kekuasaan untuk menjamin check and balances, sekalipun Kementerian Kominfo berwenang membawahi segala urusan terkait telekomunikasi. Aturan tersebut bahkan melangkahi prosedur peradilan Transaksi Elektornik yang diatur dalam Undang-undang ITE. Dengan kata lain, praktik Internet Positive a la pemerintah melalui Kementerian Kominfo adalah perwujudan apa yang disebut oleh bapak-bapak pendiri negara sebagai machstaat, negara yang otoritatif.
Kematian Ganool bukanlah akhir dari strategi pemerintah dalam memberantas pembajakan. Badan Ekonomi Kreatif pimpinan Triawan Munaf telah mempersiapkan perangkat hukum yang kali ini akan menyasar para pengunduh materi illegal. Sistem penindakan yang konon diadopsi dari Perancis dan Korea Selatan ini dirancang dengan sanksi bertingkat yang berujung pada pemutusan internet untuk selamanya. Apa yang tampak disini adalah sebuah kebijakan yang mendemonisasi masyarakat pengguna internet Indonesia, alih-alih mempersiapkan solusi struktural. Gagasan ini sedikit banyak menunjukkan kegagalan pemerintah melihat lanskap pasar perfilman negeri kita sebagai basis kontekstual pembentukan hukum.
Membincang lanskap perfilman dan pasarnya akan berujung pada percakapan mengenai kecenderungan negara untuk merapat ke salah satu sisi. Namun masyarakat bukan berarti akan selalu tanpa daya di hadapan persekongkolan. Sebuah fragmen dalam sejarah perfilman Jerman barangkali adalah contoh terbaik bagaimana arus balik dari hal-hal abstrak itu bekerja.
Kekalahan Jerman pada Perang Dunia I menyebabkan negara bangkrut dengan setumpuk utang. Krisis sosial dan ekonomi yang terjadi berujung pada penggulingan monarki Prussia. Sebuah republik baru kemudian mekar. Diam-diam ada api yang hendak berkobar diantara sisa-sisa revolusi, sebuah harapan baru bagi sinema Jerman.
Kemiskinan yang merebak menyebabkan vakansi ke luar kota menjadi sesuatu yang mahal. Masyarakat Jerman kemudian beralih ke gedung-gedung bioskop untuk mencari hiburan yang tak menghabiskan banyak waktu dan uang. Industri perfilman menjadi salah satu yang berhasil bertahan hidup. Sineas Jerman pada periode transisi berlomba-lomba mencipta film-film bermutu untuk menarik minat penonton sebanyak-banyaknya.
Dalam priode yang getir ini kemudian lahir sebuah pakem yang kelak dicatat sebagai awal-mula kecenderungan skena berbasis negara. Ekspresionisme Jerman, sebuah gaya yang diinisiasi sebagai bentuk perlawanan atas tradisi seni borjuis yang cenderung positivis melalui dramatisasi atas berbagai unsur teknis film; tata latar, gestur hingga pencahayaan. Tercatat sejumlah karya produksi dari masanya yang kemudian mencapai level kultivasi dan tetap menjadi buah bibir hingga hari ini. Metropolis yang saya sebut dimuka adalah salah satunya, selain Nosferatu: A Symphony of Horror (F W Murnau, 1922) atau The Cabinet of Dr. Caligari (Robert Wiene, 1920).
Kemampuan perfilman Jerman untuk bertahan hidup di tengah krisis bisa jadi disebabkan tingkat konsumsi yang meningkat pesat. Namun hal tersebut agaknya bukanlah faktor yang tunggal. Dalam struktur kapitalisme, mereka yang tercerabut dari jejaring besar arus modal memiliki potensi untuk melawan balik. Kita tahu bahwa Ekspresionisme Jerman sebagai gerakan dirangkum dari film-film dengan tema yang arbitrer. Metropolis menghadirkan sebuah gambaran distopian mengenai dunia masa depan, mengambil simbol-simbol industrialisasi dan menghadirkannya sebagai ejekan diam-diam. Sebaliknya Nosferatu adalah sebuah horror mula-mula, diadaptasi dari kisah legendaris Dracula. Keanekaragaman tersebut hanya dimungkinkan dalam kondisi hagemoni yang minim dari hubungan mutual negara dan pasar. Dalam tataran ini, sistem kepemilikan pusat-pusat pemutaran film memiliki fungsi yang signifikan. Bioskop-bioskop Jerman pada masanya dimiliki oleh perusahaan-perusahaan pembuat film yang semarak dan beraneka ragam. Selain memangkas alur distribusi, hal ini mengakibatkan sulitnya membentuk deskripsi tunggal terhadap komposisi pasar. Tak ada satu pihak yang dapat mengklaim secara persis film apa yang ingin ditonton orang-orang. Pun, bioskop bukan satu-satunya tempat dimana film mungkin diputar. Nosferatu bahkan ditayangkan perdana di komplek kebun binatang. Intervensi terhadap kreativitas pembuat film menjadi minim, dan karya-karya tak lekang zaman kemudian lahir.
Bulan madu ini berakhir seiring dengan kebangkitan Reich ketiga dibawah regulasi Nationalsozialistische Deutsche Arbetreipartai pada 1933. Demokrasi yang jatuh diiringi pergeseran fungsi sinema sebagai semata-mata alat propaganda program partai. Genosida antisemit menyebabkan pionir-pionir Ekspresionisme Jerman berdarah Yahudi seperti Fritz Lang memilih kabur ke negara lain, menghindari kematian.
Hagemoni adalah kata kunci yang menghubungkan kita dengan alam sosial Ekpresionisme Jerman dari masa lampau. Di era Orde Lama hingga awal Orde Baru, bioskop Indonesia pernah menjadi usaha yang semarak. Satu gedung bioskop, utamanya di daerah-daerah, dirancang untuk menjangkau wilayah yang terbatas. Di sebuah kecamatan kecil di bagian utara Sulawesi tempat kakek saya tinggal bahkan pernah terdapat gedung bioskop yang dikelola sebuah keluarga lokal. Sebagian bioskop-bioskop yang lain secara spesifik menyasar peminat khusus, untuk tidak menyebut film rating dewasa.
Pada era tersebut kontrol bukannya sama sekali tak ada. Pergeseran kekuasaan kemudian mengubah kebijakan terkait distribusi film, menumpuk konsentrasi sumber daya hingga hari ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa industri film Indonesia bekerja dibawah oligopoli segelintir pemilik melalui perusahaan impor dan jaringan bioskop berskala gigantis. Usaha distribusi film menjadi usaha yang padat modal. Perlahan ia membunuh bioskop-bioskop kecil di daerah yang tak memiliki cukup daya tawar atas harga sebuah rol film.
Kondisi yang monopolistik ini menciptakan delusi akan kuasa selera; kita seolah-olah memiliki kebebasan untuk memilih secara sadar apa-apa yang hendak kita tonton. Selalu ada pilihan-pilihan di dalam bioskop-bioskop, di dalam beberapa studio yang terbuka. Yang terjadi sesungguhnya adalah kita digiring untuk menelan mentah apa-apa yang telah dikelompokkan para pemilik jejaring bioskop. Kuasa untuk memilih, menolak dan memutar suatu judul atau tema selalu ada di tangan mereka. Di luar sana ada ribuan film diproduksi setiap tahunnya, sebagian diantaranya memiliki kualitas avant-garde. Namun yang benar-benar sampai ke hadapan publik hanyalah segelintir, bisa jadi didominasi oleh film-film dengan level pelimbahan namun menjamin keuntungan yang besar. Apa yang disebut sebagai pembeli tak lagi benar-benar relevan dan kehilangan kontrol terhadap singgasananya.
Kuasa oleh segelintir orang lebih lanjut menyebabkan film menciptakan label kelas melalui mahalnya harga tiket. Ironi ini menjadikan dunia perfilman menjadi sesuatu yang jauh.
Di tataran ini kemudian apa yang dikerjakan Ganool dan situs-situs sejenis tak lagi dapat dipandang sebagai aksi pembajakan biasa. Aksi sepihak situs-situs tersebut telah menggeser subyektivitas kita dari sekadar konsumen dalam pasar perfilman, menjadi bagian dari sebuah gerilya politik berbasis kerumunan. Para pengunduh, disatukan oleh ketertarikannya, menggoyang kemapanan yang diciptakan oleh perserongan kapital. Selain karena sifatnya yang nirekonomis karena tak mencari keuntungan, Ganool dan kawan-kawan menyediakan alternatif-alternatif memirsa melalui film-film yang tak tersedia di bioskop. Kita barangkali tak akan mengenal film-film bernas Jean Luc-Godard, Alejandro González Iñárritu hingga Lars von Trier, atau mengakrabkan diri dengan generasi ateur yang lebih tua seperti Akira Kurosawa dan Stanley Kubrick. Ada nuansa perlawanan disana, sebuah kontrahagemoni untuk kembali memanusiakan selera.

Kerugian yang ditimbulkan oleh mereka agaknya cukup untuk membuat para pemain besar industri perfilman kelabakan, sehingga perlu menggandeng tangan lain; negara. Monopoli dilanggengkan, bombardir diarahkan ke rumah-rumah lebenswelt. Disini semuanya menjadi terang benderang. Tindakan pemerintah, dimulai dengan memblokir situs penyedia film gratis hingga menghukum pengunduhnya, tak lain merupakan bentuk keberpihakan terhadap kepentingan kapital. Kita barangkali perlu menggalakkan kembali pemutaran-pemutaran di kebun binatang agar tak tenggelam.

Minggu, 24 Mei 2015

Here She Comes

02.28 Posted by Arasy Aziz , 4 comments
Pada suatu masa halte dan stasiun adalah tempat dimana harapan-harapan bertumbuh ulang berulang. Dan masih akan tetap begitu, selama ada yang datang dan pergi, ada yang menunggu, ada yang tertinggal. Akan tetap begitu selama ada hal-hal yang tak selesai.
“Suatu hari nanti ketika aku kembali, aku tak akan segan untuk menghambur kepadamu untuk peluk yang panjang”, kata seseorang.
Kata yang lain, naïf, “Jangan pernah kembali. Disanalah hidupmu yang sebenar-benarnya”.
Namun mereka bukan satu-satunya yang berhak. Kita tahu disana tempat bertemu manusia dengan beragam urusan yang tak melulu berkutat dengan haru. Ada modernitas yang berderap sejak semula ketika lokomotif uap ditemukan oleh Trevithick. Setelahnya, manusia tak akan pernah lagi sama; menjadi sekrup, mur, baut kecil dari tatanan pasca pencerahan. Disana bertemu manusia-manusia yang tak pernah lagi sama. Kerumunan komponen.
Diantara mereka mungkin ada seorang prajurit yang esok harus berlayar ke ujung kepulauan. Di sana menunggu tugas di perbatasan negara, kadang-kadang menyapa pelintas batas yang hendak berbelanja ke pasar. Lihatlah mereka tak menggunakan rupiah, Dik, dan betapa fasihnya mereka bergaul dengan kami. Kadang-kadang aku tak bisa membedakan pelintas batas negara sebelah dengan yang disini. Lagipula disini nyamuknya besar-besar, Dik, tapi ku sudah biasa karena ku rajin meminum pil kina tanpa perlu kau ingatkan. Cerita ini akan tertahan berbulan-bulan menunggu di peron.
Entah bagaimana imajinasi ku selalu menautkan stasiun dengan prajurit. Mungkin dari cerita di majalah anak-anak tentang paman yang suka berteka-teki tentang meja oval. Lagipula militer adalah dunia asing dengan lokomotif yang lain.
Prajurit kita tadi memeluk istrinya yang, agar dramatis, tengah hamil delapan bulan;
“Ketika aku kembali, ku harap dia mengenaliku. Pun ketika aku luput meniupkan adzan di daun telinga kanannya.”, katanya. Agaknya ini masih keharuan yang lain.
Atau seorang dokter yang menggerutu karena mobilnya mogok dan di rumah sakit ada pasien mengantre yang harus dioperasi. Terpaksa ia naik kereta listrik yang datangnya kadang-kadang tak dapat ditebak. Ia berdedikasi, dan gerutunya adalah gerutu dedikasi.
Atau seorang insinyur, pilot, pedagang cendol, ibu-ibu pengajian, mahasiswi.
Di halte stasiun aku menunggu untuk sebuah pertemuan dengan masa lalu, yang sayangnya tak datang dengan bus maupun kereta.
Pukul satu masih beberapa menit lagi. Kemudian ingatan-ingatanku berderap mundur tanpa bisa ku cegah. Ketika lima tahun silam, atau hampir enam tahun, menunggu akhir pekan menjadi saat-saat yang kalut demi mengirim pesan singkat: “Aku nelpon ya?”.
Kami bertemu dalam momen yang tak jamak; di Bandung, ketika menebak-nebak dari ufuk bumi mana mineral ini dimasak, menjilat batuan untuk merasai, menyimak dengan takzim lapis-lapis bumi di bawah kaki kita dalam diagram tiga kali satu. Mendedah patahan, lipatan setumpuk sedimen. Dalam ketika yang lain, berpindah ke Balikpapan aku melihatnya dari jauh tanpa sekalipun ingin menyapa, seseorang yang asing. Ketika akhirnya berhadapan dengan tes sebenarnya, yang ku takutkan hanya tentang mesin hitung yang tetiba menghilang dari tas. Ketika berlari ke panggung menyambut gempita perjuangan, tentangnya sama sekali tak terbesit. Ketika pesawat membawaku pulang, dia tak ada.
Akankah ia membunuhku pada kesempatan pertama?
Sebagaimana beberapa pekan silam, ketika ku baca di koran-koran tentang seseorang yang ditemukan mati mengambang di danau Universitas Indonesia. Syahdan ia mengisi tasnya dengan batu-batu sebelum terjun ke pelimbahan. Kita mengira ini semata-mata agar ia tak perlu menghadap lagi ke dunia kita yang fana setelah bunuh diri. Bahkan memutuskan mati dengan sepihak membutuhkan laku dan prinsip yang tak putus.
Namun terselip surat perpisahan yang tak ikut basah. Justru sebuah titik terang; ini tak lain merupakan pembunuhan yang amat jali. Di Indonesia, yang membuat kerja polisi menjadi berlipat seperti ini sungguh tak banyak. Yang biasanya ku baca dari novel-novel detektif, tiba-tiba meloncat ke laman-laman warta.
Pembunuhan-pembunuhan yang rapi, dan berbagai kasus lain, yang menghubungkan aku dan dia kembali pada lima, hampir enam tahun silam. Hanya Sherlock Holmes yang agung dan deduksinya. Kami berbincang tentangnya pada permulaan, dan mengular pada apapun yang remeh-remeh.
Aku memutuskan untuk mengikatnya.
Lewat sambungan telepon selundupan, hal-hal yang tertahan dapat kulihat mengawang ke langit-langit kamar mandi, terbang ke menara air. Terbawa angin hingga ke laut Jawa, diam-diam menumpang kapal feri ke Bakauheuni, hingga tiba ke suatu tempat yang asing dan belum pernah ku jejak. Setelahnya, menunggu akhir pekan menjadi saat-saat yang kalut demi mengirim pesan singkat: “Aku nelpon ya?”. Akhir pekan adalah waktu untuk Adler-ku.
Aku memanggilnya Adler, kau tahu. Betapa noraknya.
Di halte stasiun, penjaja tahu sumedang agaknya sedikit khawatir ketika aku mulai tersenyum sendiri. Ia bergeser perlahan ke ruang yang sebelumnya diduduki seorang ibu yang sedari tadi sibuk menampik tawaran ojek. Jemputannya telah tiba.
Yang membuatnya bertahan dari hubungan tanpa kehadiran ini agaknya adalah janji-janji. Bahwa suatu ketika kita akan dipertemukan kembali, barangkali mengenyam kuliah di universitas yang sama. Sampai saat itu kita akan menjadi sepasang individu yang bersabar.
Namun suatu hari ia bertanya hal-hal yang terlalu jauh, aku menjadi ragu. Sejak semula harusnya mudah ditebak ujungnya; aku akan berdiri di pihak yang ingkar. Bukankah kau bukan seorang pemufakat yang baik?
Liburan yang sedikit panjang yang seharusnya kami rayakan berubah menjadi saat-saat perpisahan. Ba’da Isya, aku meringkuk di luar pintu agar sebisanya tiada siapapun yang mendengar percakapan kami. Sejak perlombaan itu aku ketinggalan pelajaran, kataku. Dia diam. Setelah ini seluruh perhatianku akan terpusat pada hasil ujian nasional yang baik, kataku. Dia diam. Aku ingin masuk universitas negeri di Jawa, kataku. Dia diam. Dan kau, mengganggu, kataku diam-diam. “Semoga kita bisa bersahabat baik”. Tak ada lagi pesan singkat di akhir pekan setelahnya.
Ini agaknya adalah cara yang buruk untuk putus cinta; menyisakan pertanyaan yang belum dijawab, kenapa? Kepada kosmos ada hutang yang harus dibayar pada suatu hari nanti. Pada lima, hampir enam tahun silam hal-hal seperti itu agaknya tak terpikirkan.
 “Akankah aku kembali ke kota kecilku dengan sebagian tubuh yang tak genap?
Maju pada titimangsa yang lebih dekat, tiga tahun silam. Akhirnya aku punya ingatan sendiri tentang stasiun. Sesungguhnya tak ada kejadian apapun. Hanya di dunia antar-dunia, kubayangkan ada yang diam-diam mendorong tubuhku jatuh ke gerigi rel yang curam.
Pada akhirnya kesempatan pertama untuk bertemu kembali hadir ketika aku memutuskan ke Jakarta untuk sebuah urusan. Kali ini kita bisa bertemu, ujarku melalui pesan singkat setelah diam yang lama. Kita bisa bertemu di stasiun sesampainya aku di ibukota, segera setelah urusanku selesai, pada Ahad kepulanganku. Namun di hari keberangkatanku Matarmaja tak pernah benar-benar sampai ke Senen. Di pantai utara dekat Cirebon, gerbong-gerbong berbelok, berpindah rel menuju ke kegelapan yang tak putus. Seluruh penumpang berteriak. Aku berteriak! Hei, hei, masinis!! Di Senen menunggu Adler-ku!!
Ketika berkas-berkas matahari membuatku terbangun, mataku mengenali langit-langit pondokan di kota kecilku. Aku berlari ke perempatan jalan untuk koran pagi, meneliti baris demi baris, satu demi satu kolom-kolom. Tak ada berita tentang Matarmaja yang lenyap ke dalam kegelapan, rupanya. Kesinilah keheningan pantura berujung, kepada mereka-mereka yang tak percaya magisnya. Pukul tiga sore nanti aku harus kembali ke stasiun mengejar Matarmaja yang berangkat sekali setiap hari. Matarmaja hampir tak mengenal kesempatan kedua. Tak hanya bagi penumpang-penumpangnya, namun juga pengasong yang pada suatu ketika adalah nyawa gerbong. Ada yang ganjil ketika pada akhirnya kuhempaskan tubuhku ke salah satu kursinya yang hampir tegak lurus itu. Riuh tak ada lagi.
Matarmaja tak mengenal kesempatan kedua. Tak ada tempat untuk kesempatan kedua.
Diantara Solo dan Semarang aku mulai menimbang-nimbang kembali; apakah ini waktu yang tepat? Tidak, kataku. Momentum yang dipilih secara salah bisa berakibat buruk. Ketika di Jakarta, maka; Kita jadi ketemu kan? Tidak. Aku udah di Matraman, beberapa kilometer dari Senen, sangat dekat. Tidak. Keretamu pukul dua kan? Sepertinya masih sempat kok. Tidak, Ay. Ini belum saatnya. Selamat tinggal.
Sekali lagi, pada waktunya, aku berkhianat. Aku mulai menebak-nebak, apa yang akan dilakukannya ketika kami berhadap-hadapan. Menenggelamkan aku ke danau? Mendorong ke haribaan kereta komuter yang menderu dari Bogor? Satu peluru dilepaskan dari senapan burung? Tikaman yang lamat-lamat? Menampar dalam slowmotion?
Pukul satu lebih sepuluh, ketika aku menyadari bahwa seseorang hadir. Disanalah dia berdiri.
Dan ada kebahagiaan di dalam senyumnya, penanda bagi jiwa yang telah bergerak jauh. Hari ini, menjelma teror itu sendiri. Menjatuhkan vonis di dalam diam; Mampus kau, aku hari ini adalah perempuan dengan hati merdeka! Dan kau! Kau pada akhirnya dikutuk untuk membayar setiap serpih remuk kerakal yang kau tebar! Mampus kau, untuk usahamu melarikan diri dari masa lalu! Penolakan untuk mengakui bahwa pada suatu ketika kau jatuh cinta oleh cara-cara Tuhan yang jenaka! Kau yang rumit hari ini dan penimbang omong-omong kosong tak lain adalah cara semesta menghadirkan karma!
Namun senyumnya, aku segera tahu, adalah sekaligus senyum pembebasan. Di halte stasiun, yang terakhir ku dengar adalah riuh yang dulu hilang dari Matarmaja.
“Hai, Dan.
“Apa kabar?”

**

Slowdive - Here She Comes


Saya mulai mendengar Slowdive baru sekali, dan segera merasa terganggu oleh album Souvlaki (1993). Diantara isi-isinya, Here She Comes saya tempatkan dalam posisi yang agak spesial. Ada keheningan yang ganjil setiap kali track ini terputar. Semacam representasi yang ditunda dari obyek imajiner sang penggubah di dalam durasi lagunya yang singkat, dan terselip.

Ketika mereka menobatkan unit asal Manchester ini sebagai pionir dream pop, saya kira-kira jadi tahu mengapa.

Rabu, 06 Mei 2015

Symmetry

05.05 Posted by Arasy Aziz , , No comments
Setiap kali alarm pukul enam pagi mengantarkanku kepada hidup membosankan yang diam-diam kunikmati, aku segera teringat pada Plato.
Kita tahu Plato malu-malu untuk mengakui bahwa apa yang ada di balik dialog-dialog yang ia tulis tak lain merupakan pergumulan dengan dirinya sendiri. Barangkali semacam usaha untuk menghindari pengulangan nasib buruk gurunya yang mati dalam racun dengan sukarela. Masyarakat Yunani betapapun majunya agaknya cukup kaget dengan semaian bid’ah-bid’ah atas kuil. Dengan dialog, ia seolah pura-pura ulang, melaporkan apa yang seolah pada suatu waktu didengarnya, melempar tanggung jawab kepada yang lain.
Namun bukan itu yang membuatku mengingatnya pada kesempatan pertama. Dalam Symposium, melalui wakil-wakilnya Plato berujar: pada mulanya di awal penciptaan, Tuhan membagi manusia dalam tiga kelompok kelamin: lelaki, perempuan, dan satu lagi, sejenis hibrida antar keduanya. Dalam artian, ia sepenuhnya adalah maskulinitas dan sifat-sifat feminim dalam satu tubuh. Mungkin dilengkapi sel sperma dan ovum sekaligus dalam satu kelenjar, kemampuan membuahi diri sendiri, hermaphrodite.
Sampai saat itu dunia berlangsung baik-baik saja, hingga Tuhan Plato agaknya sadar telah keliru menetapkan rancang bangun. Kemenduaan ialah relasi yang saling menyempurnakan. Sementara tiga merusak tatanan, sebuah bilangan yang bersisa. Dalam dunia yang serba sulit, tak ada tempat bagi yang hidup setengah-setengah.
Selain itu, sebagian pria-pria dan wanita-wanita yang sejak lahirnya sendirian mulai menggugat kebijaksanaan sang maha pencipta. Ketika yang Hibrida dapat berpuas hasrat dengan dirinya sendiri, cinta bagi laki-laki dan perempuan asali adalah perjuangan yang mensyaratkan tawaran-tawaran dan saling pengertian. Kehidupan bersama antar kedua kelamin dimulai oleh pilihan acak berjalan tidak sebagaimana mestinya. Ia tak seperti hubungan Hawa yang diramu dari rusuk Adam yang hilang di taman Eden. Yang menjadikan mereka manusia yang lahir dari unsur-unsur bumi justru kealpaan dan toleransi.
Yang Hibrida kemudian dipisahkan. Dan turunlah nubuat-nubuat; “telah kuciptakan bagimu pasangan-pasangan”, baik-buruk, gelap-terang, lupa sekaligus ingat, menghapus memori kita dengan putusan kodrati bahwa dunia disusun atas negasi-negasi. Dalam dunia yang serba sulit, tak ada tempat bagi yang diantara.
Namun ada yang tersisa dalam ingatan yang Hibrida, bahwa pada suatu masa mereka pernah berbagi tubuh dan pikiran yang sama, berbagi hasrat, keinginan, motif, laku hidup yang sama. Bagi anak cucu keturunannya, ini menjadi semacam kutukan yang diwariskan. Dunia setelah itu adalah perjuangan menemukan belahan jiwa.
Aku, adalah salah satu diantaranya.
Setidaknya demikianlah bagaimana ibuku selalu menceritakannya padaku sebelum tidur, bersama Symposium. Kami adalah bangsa hermaphrodite yang dipaksa Tuhan melebur ke dalam kelamin laki-laki dan perempuan. Ketika ku tanya, apakah Ayah adalah salah satunya juga, ia akan mulai terisak diam-diam. Dalam hal ini aku gagal, anakku. Namun kau beruntung karena aku ibumu. Akulah yang bertugas menjaga agar warisan kesadaran bangsa kelamin kita tetap berlanjut.
Hari itu aku memutuskan akan meringkuk seharian di kamar, menatap manusia-manusia yang berlalu lalang saling mengabaikan satu dengan yang lain, dari sini, dari kursi kayu di tepi jendela. Hidupku yang memuat pengulangan-pengulangan perlu sekali-kali diberi spasi, utamanya ketika aku mengingat-ingat alasan primer kemengadaanku; mencari pelengkap. Pada hari-hari biasanya pada pukul tujuh, aku akan menjadi sebagian dari mereka, berjalan kaki menuju kantor yang terletak beberapa blok dari bangunan apartemen. Hidupku yang memuat pengulangan-pengulangan agaknya perlu sekali-kali menempatkan dirinya sebagai pengamat bebas. Lagipula, misi bangsaku belum tuntas kuselesaikan.
Dibawah sana barisan manusia seperti air limpahan yang tak henti mengalir menuju tuba. Individu-individu kantoran berganti segerombol anak taman kanak-kanak yang berarak dengan balon-balon, berganti penjaja makanan ringan dan kuaci, berganti motor sesekali. Aku mengira-ngira, adakah yang ideal, sebagian diriku, tengah berlalu dibawah sana dan selalu luput dari perhatianku? Mungkinkah ada yang tersenyum ketika berpapasan namun tak kusadari?
Hingga pukul 8 tak ada yang benar-benar menarik. Hingga pukul 8 sesuatu terjadi.

#

“Coba tebak, terbagi dalam berapa ruang isi kepalaku. Maksudku, otakku?”
Hmm.
“Kukira.. empat, lima. Mungkin enam. Biar kuingat. Setauku orang normal mempunyai otak kecil, batang otak..”
“Hei, kita tak sedang membicarakan itu. Aku menanyaimu tentang jumlah ruang, kau tahu.” tegasnya.
“Jadi, maksudmu ruang sebagai “ruang”, harfiah?”
“Tentu.”
Aku mengerling padanya untuk sebuah jeda. Pada dasarnya tak benar-benar mengerling, pun tak mencoba menebak-nebak apapun. Aku tepatnya ingin menatapnya sedalam-dalamnya. Wajah jenaka dengan garis-garis lelucon alami yang tak dapat ditutupi potongan pixie maskulin merah matahari. Aku pada dasarnya tak menyukai warna-warna yang demikian hidup seperti selubung di rambut gadis di hadapanku. Tapi merah itu berkali-kali meluruh di mataku seolah disaput begitu saja dari tube cat pastel. Georgia punya sihir, semacam tipuan mata.
Tak sekalipun aku terkejut dengan pertanyaannya. Sejak semula, ku tahu ia punya sesuatu yang sedang kucari.
Tiga hari lalu ketika aku bertemu dengannya pertama kali ku kira ia melakukan tindakan yang jauh lebih sensasional. Dari jendela kamarku di lantai dua, lalu lintas di tengah kota kami tampak sedang padat-padatnya ketika mendadak sebuah motor yang melaju kencang dari selatan menabrak mobil dari ujung jalan yang lain.
Motor itu menolak berhenti meski jelas tak lagi berbentuk dan pengemudinya telah lebih dahulu terlempar jauh ke atap sebuah kafe sebelum tanpa ampun menghujam tanah. Dalam birama enam per delapan, motor itu mulai mendaki bagian depan lawan mainnya, menembus kaca dengan kaki-kakinya yang patah. Aku bisa memainkan satu partitur Chopin.
Tengah kota kami yang sebelumnya tak punya waktu untuk sekadar berimajinasi akan dunia alternatif, sebuah anti-kota, tiba-tiba menahan napas. Tiga hari lalu, aku mengamati bagaimana air limpahan yang menuju tuba tiba-tiba berubah mencerat seperti dulang yang ditepuk. Sebuah tatanan kosmik telah runtuh.
Namun ku kira drama belum berakhir. Orang-orang yang sebelumnya terpana, tetiba berlari ke arah manapun yang pertama kali terlintas dalam pikiran mereka, arah manapun yang dapat mereka capai. Aku mahfum. Dapat kulihat sesuatu mengalir diantara dua rongsok yang kali ini telah menyatu sepenuhnya. Bensin.
Tentu saja harus ada ledakan. Seseorang membutuhkan setting untuk melengkapi kemenjadiannya.
Ku teringat pepatah ini; ada asap ada api, namun tak mungkin rasanya gasolin menghasilkan api tanpa api yang lain. Rambut merah dihadapanku kemudian mengambil perannya di dalam pentas. Kejadian yang berlangsung demikian cepat, saksi-saksi terlanjur panik luput menyadari adegan penting ini.
Tentu saja ada ledakan, pada akhirnya. Tak butuh waktu lama. Si gadis diam-diam tertawa senang. Aku melihatnya.
“Kau menghayal.” Georgia menyentuh jariku dengan ujung garpu.
“Baiklah. Bantu aku melengkapi sejumlah premis yang hilang sehingga gambaran mengenai jumlah ruang otakmu lengkap.”
Ia tampak tertarik. “Baiklah.”
“Tiga hari lalu, Georgia, mengapa kau melempar korek api ke genangan bensin pada kecelakaan itu? Kau tahu di dalam mobil masih ada pengendara, kan?”
“Ya.”
“Ya, saja?”
Ia kembali ke mode default wajahnya yang tampak sedingin embun pukul enam pagi, tenang sekaligus menggemaskan. Sepasang pundaknya yang semula maju hingga ujung-ujung hidung kami berhadapan dalam lima inci, rilis.
“Itu pertolongan terbaik yang dapat kuberikan pada mereka, kau tahu. Pria yang berada di balik kemudi telah tewas, sementara si wanita sekarat.”
“Itu belum menjelaskan apapun. Kau bisa saja menunggu ambulan.”
“Ku rasa dengan meledakkan mobil semuanya berlangsung lebih cepat. Pengiriman tuntas ke surga. Aku yakin sudah terlambat untuk menyelamatkan apapun. Aku dapat merasakannya.
“Kita harus membayangkan si wanita berbahagia.”
“Kau mengutip kalimat terakhir...” Aku menimpali, sebelum kalimatku disergah. Ia membaca pikiranku.
“Dengan perubahan. Lagi pula, kau sama gilanya karena menghampiri seseorang yang rupanya kau tahu, kau satu-satunya orang yang tahu, baru memantik api ke genangan bensin lalu mengajaknya berkenalan, seolah-olah tak terjadi apapun. Api bahkan masih menyala. Alih-alih menelepon polisi, kau malah meminta nomor teleponku. Disinilah kita.”
Aku sedikit terbahak, ia tak tampak kaget.
“Kau bercanda. Seseorang telah melakukannya dan kau lihat bagaimana mereka menanganinya? Kepanikan orang-orang sesegera itu mereka simpulkan sebagai penanda bahwa api tersebut lahir dari relasi sebab-akibat kecelakaan. Jika jeli batang korekmu harusnya masih ada di tempat kejadian. Mereka malas saja.
“Tak ada yang perlu kulakukan dengan model aparat seperti itu.”
Kami terdiam.
“Jika kau ada di posisiku, apa yang akan kau lakukan?” Ujar Georgia memecah kesunyian.
Aku berpikir sejenak.
“Karena kau bertanya; aku tak akan melakukan apa-apa. Kamarku ada di lantai dua, kau ingat?” Namun segera ku ralat. “Mungkin menelepon ambulan. Tepatnya, aku memang menelepon ambulan. Dibanding polisi, mereka kadang lebih bisa diandalkan.”
Kami terdiam untuk lima menit.
“Jadi …
“Ada berapa ruangan di otakku, Jonas?”
Ia telah kembali dengan pertanyaan itu. Kali ini aku perlu menjawabnya dengan sedikit serius, untuk meyakinkannya akan sesuatu. Telah ku putuskan, ia memilikinya.
“Kukira hanya setengah yang akan kaubagi denganku. Bukan. Maksudku, sebenarnya, sejak semula aku tau bahwa kau memiliki setengah otakku. Aku dikutuk mencarimu. Aku menemukanmu.”
“Apa maksudmu?”
“Mendekatlah. Biar kubawakan sesuatu ke telingamu.
Ia tampak ragu. “Maksudku, mengapa tak kita lihat saja?

#

Pukul enam pagi suara lonceng yang mendentang tak karuan di ujung lorong mengantarkanku kepada hidup membosankan yang diam-diam kunikmati. Itu peringatan bahwa setiap orang harus bergegas bangun untuk pemeriksaan rutin. Tak ada tempat untuk berleha-leha disini. Penjara pada akhirnya hanyalah perihal memindahkan absurditas, tak ada yang benar-benar berbeda dengan ruang kehidupan manusia-manusia mesin di luar sana. Di sini, hidupku adalah repetisi atas perbuatan-perbuatan, yang bedanya, satu-satunya pembeda, ditetapkan oleh orang lain.
Pada malam kencan pertamaku dengan Georgia, aku berhasil mengajaknya pulang ke kamarku yang kecil. Di dalam matanya menyala-nyala gairah, semakin meyakinkanku bahwa dialah sang belahan jiwa yang hilang. Pada akhirnya kami dipertemukan oleh sebuah insiden setelah abad-abad keterpisahan. Lihatlah bagaimana semesta bekerja dengan unik. Malam ini kami akan menjadi waktu untuk kembali memintal satu kesadaran yang tercerai berai.
Di kamarku telah menunggu seperangkat bius.
Ketika kami tiba di pintu, aku tak sabar untuk segera memilikinya. Georgia berbaring, berupaya meraih-raih kemejaku. Aku mendekap mulutnya dengan sapu tangan. Georgia meronta sia-sia sebelum terdiam dalam koma. Kami selangkah lebih dekat, satu tahap lagi.
Aku menyeret tubuhnya yang lunglai ke kamar mandi untuk memeriksa jumlah ruang di otaknya dengan palu dan gergaji.
Yang ternyata, tak seperti bayanganku, utuh dengan dua sisi yang bersebelahan simetris, tak sama sekali bersebagian.
Mengecewakan.
Kau tahu, dari sekian banyak sisa-sisa penciptaan yang mula-mula, tak banyak yang benar-benar sadar bahwa ia adalah keturunan dari laki-laki dan perempuan asali. Kepadanya terdapat pilihan bebas untuk mencari belahan jiwa secara acak, tak terikat pada pembagian Tuhan yang ganjil atas entitas ketiga. Kesempatan yang tak pernah benar-benar diambilnya, terlalu terlambat untuk diambil. Mereka terjebak pada upaya menemukan bagian lain yang ideal, melengkapi hidup yang penuh teka-teki. Di ujung jalan, ketika tak ada lagi yang tersisa untuk diperjuangkan, dengan Kesepian ia bergandengan tangan.

#

Mew - Symmetry



Harus saya katakan bahwa Symmetry adalah salah satu lagu Mew favorit saya; bagaimana Mew tetap menjadi Mew tanpa vokal angelic Jonas Bjerre.

Rabu, 11 Maret 2015

TAP MPR XXV: Daging Tumbuh Dalam Hukum Positif Kita

00.48 Posted by Arasy Aziz , No comments
Sejenak, kita perlu mengingat ini; pada 11 Maret 1966, Soekarno di ujung kekuasaannya menandatangani surat berisi perintah bagi seorang jendral yang tersisa dari gegar di awal Oktober tahun sebelumnya untuk melakukan tindakan yang dinilai perlu untuk melakukan stabilisasi. Jenderal tersebut, Soeharto, belakangan dimandatkan MPR sebagai presiden dan memulai era kepemimpinan otoriter di bawah kakinya. 

Pada periode tersebut lahir sejumlah peraturan yang bersifat reaksioner atas peristiwa G30S. MPR mengeluarkan Ketetapan MPR No. XXV/MPRS/I966 tentang Pembubaran Partai Kornunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme/Leninisme yang secara umum berisi larangan bagi penyebaran ajaran-ajaran Marxisme dan turunan-turunannya. Ketetapan tersebut juga menurunkan pengaturan yang secara gamblang membatasi hak-hak kewarganegaraan anggota Partai Komunis Indonesia dan keluarga keturunannya.

Ketetapan MPR
MPR sendiri merupakan pranata yang dirancang sebagai perwujudan nilai musyawarah mufakat sebagai spirit kenegaraan bangsa Indonesia. Sebelum amandemen pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa (k)edaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR.” MPR berfungsi sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia; Die gessamte Staatsgewalt liegt allein bei der Majelis (AM Fatwa, 2009; 265). MPR diposisikan sebagai lembaga tertinggi negara melampaui konstitusi itu sendiri.

Sebagai lembaga tertinggi negara, MPR berwenang menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar dari pada haluan negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Dasar 1945. Garis-garis besar dari pada haluan negara mencakup dua pengertian, yaitu garis besar haluan negara dalam arti luas dan dalam arti sempit (Asshiddiqie, 2010; 266). Yang dipahami dalam arti sempit adalah Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang ditetapkan setiap 5 tahun sekali sebagai acuan untuk presiden untuk melaksanakan tugas-tugas pembangunan lima tahunan. Adapun yang dipahami dalam arti luas adalah segala arahan bagi haluan negara yang diperlukan selain naskah GBHN itu. Oleh karena itu, haluan negara selain GBHN itu perlu ditetapkan juga dalam bentuk Ketetapan-Ketetapan MPR dengan kedudukan dibawah Undang-Undang Dasar. Kewenangan ini kemudian melahirkan  banyak Ketetapan MPR yang terus dibentuk hingga amandemen konstitusi.

Namun, kewenangan yang maha besar kerap menjadi senjata di tangan orang yang salah. Sejak kemenangan telak Golongan Karya pada pemilu 1971 yang diikuti fusi dengan paksaan partai-partai politik, MPR pada era Orde Baru tak lebih dari sekadar boneka rezim dengan politik anti-komunisme sebagai raison d’etat.

Reformasi pada medio 1998 yang ditandai mundurnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan dan diikuti amandemen undang-undang dasar membawa harapan baru bagi demokratisasi dan kembalinya ruang publik. Amandemen ke-III pada tahun 2001 kemudian menghapuskan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.

Namun hal ini tidak menyebabkan Ketetapan MPR yang telah dibentuk sebelum amandemen kehilangan landasan legal-politiknya. Melalui Ketetapan MPR No. I/MPR/2003, MPR berupaya memberikan legitimasi bagi Ketetapan MPR-Ketetapan MPR yang dianggap masih sesuai dengan kondisi dan kebutuhan bangsa Indonesia. Di dalam pasal 2, sejumlah Ketetapan MPR dinyatakan masih berlaku dengan ketentuan masing-masing. Melalui hukum positif, keberlakuan Ketetapan MPR tersebut kemudian diperkuat melalui pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang memasukkan kembali Ketetapan MPR ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan setelah sebelumnya dihapuskan melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.

Salah satu Ketetapan MPR yang masih berlaku adalah Ketetapan MPR No. XXV/MPRS/I966. Hal ini juga berarti, diskrimasi atas keturunan anggota PKI (maupun mereka yang tertuduh) tetap dirawat. Dan politik rekonsiliasi kita tak bergerak kemana-mana.

Problematisasi
Eksistensi Ketetapan MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan telah bermasalah sejak kelahirannya. Hierarki perturan perundang-undangan merupakan sistem yang disusun berdasarkan stuffentheorie Hans Kelsen. Menurut Kelsen dalam The Pure Theory of Law, suatu norma dikatakan absah apabila dibentuk otoritas yang memperoleh kewenangan untuk membentuknya dari norma lain yang berkedudukan lebih tinggi. Undang-Undang Dasar 1945 tidak menyebutkan secara spesifik adanya kewenangan MPR untuk membentuk jenis peraturan perundang-undangan ini. Produk ini lahir dari penafsiran sepihak MPR atas konstitusi, meskipun hal tersebut dimungkinkan mengingat kedudukan MPR yang melampaui hukum. Posisi melampaui hukum bersifat ambivalen dengan pengakuan dalam penjelasan yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) dan bukan negara kekuasaaan (machstaat).

Dengan diamandemennya pasal 3 Undang-Undang Dasar 1945, kewenangan MPR untuk membentuk Ketetapan MPR hilang. Hal ini menyebabkan Ketetapan MPR-Ketetapan MPR yang dibentuk sebelum amandemen sesungguhnya telah kehilangan keabsahannya dalam rezim hukum positif hari ini.

Disisi lain, substansi Ketetapan MPR XXV/MPRS/1966 memuat sejumlah sesat pikir akibat pembacaan yang tak utuh. Ketetapan tersebut berupaya mendudukkan Marxisme dan turunannya dalam posisi yang bertentangan dengan alinea ke-IV pembukaan undang-undang dasar. Syahdan, bangsa Indonesia dibangun berdasarkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan Indonesia, kerakyatan dan keadilan sosial guna mencapai cita-cita besar memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Marxisme yang dibangun atas fondasi filsafat materialisme dituduh membawa kita kepada ketakbertuhanan.

Apa yang tak pernah diurai adalah bagaimana konsepsi Marxian atas materialisme berangkat dari putusan bahwa realitas mendahului subyek, bahwa materi mendahului bentuk, bahwa ada mendahului kesadaran. Dalam The German Ideology, Marx dan Engels memulai bangunan epistemologinya dengan mendefinisikan kerja atau produksi sebagai kategori kemengadaan manusia. Kesadaran bukan merupakan faktor penentu yang membedakan antara manusia dan binatang. Perbedaan antara manusia dan binatang baru lahir ketika kesadaran tersebut digunakan untuk menjalankan produksi alat-alat untuk bertahan hidup, yang didasarkan atas alam material disekitarnya (Marx dan Engels, 2013; 11).

Disini tampak ketegori dialektika sederhana dalam materialisme Marx dan Engels. Marx dan Engels menempatkan fungsi kerja sebagai instrumen rekayasa atas materi. Kesadaran manusia menawarkan kemungkinan-kemungkinan alternatif atas suatu kondisi faktual di alam material. Kerja kemudian menjadi penyaluran atas kemungkinan alternatif tersebut. Dengan kata lain, titiberat materialisme dialektika terletak pada fungsi estetis ide atas suatu kondisi material yang dituangkan melalui kerja atau produksi. Bahwa (k)ebenaran obyektif (gegenständliche) bisa dianggap berasal dari pemikiran manusia bukanlah soal teori melainkan soal praktek. Dalam praktek manusia harus membuktikan kebenaran itu, yaitu, kenyataan dan daya, kesegian-ini (Diesseitigkeit) dari pemikirannya. Perdebatan mengenai kenyataan atau bukan kenyataan dari pemikiran yang terasing dari praktek merupakan soal skolastik semata-mata.”, sebagaimana ditegaskan Marx dalam naskah pengantar Theses on Feurbach.

Peran fundamental kerja atas realitas tersebut menimbulkan suatu konsekuensi logis, bahwa hukum-hukum materialitas Marxian sesungguhnya bergerak dalam ruang yang rigid: sejarah, era manusia berusia ratusan ribu tahun. Materialisme dialektika tidak dapat digunakan untuk memeriksa apa-apa yang bekerja di luar itu, sebagaimana kritik Georg Lukacs atas naskah Dialektika Alam Frederick Engels. Di sanalah konsepsi mengenai Tuhan yang esa menjadi mungkin, di metaruang yang tak dapat dicapai oleh kesadaran estetis manusia.

Dan sejarah juga menjadi medium bagi gerak dilektis yang lebih besar, perjuangan kelas, perjuangan untuk keadilan sosial, cita-cita yang sama yang hendak kita perjuangkan sebagai bangsa.

Pelarangan dalam penyebaran suatu paham dan ideologi juga bertentangan dengan konsep negara hukum yang demokratis yang dianut Indonesia sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pengakuan sebagai negara hukum mensyaratkan keharusan untuk memenuhi ciri-ciri dan kriteria negara hukum itu sendiri. Menurut Jimly Asshiddiqie, salah satu elemen penting dalam konsep negara hukum Indonesia adalah perlindungan hak asasi manusia (Asshiddiqie; 13). Salah satu hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi Indonesia adalah hak untuk berserikat dan berkumpul. Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) berbunyi “(k)emerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.” Sementara pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Jenis hak yang dibatasi secara vulgar di dalam Ketetapan MPR No. XXV/MPRS/1966.

Pelarangan ini diperparah dengan adanya diskriminasi bagi keturunan anggota Partai Komunis Indonesia. Diskriminasi telah dimulai sejak penggolongan mereka yang dituduh terlibat G30S dalam tiga label; A, untuk mereka yang harus menerima hukuman mati; B, untuk mereka yang dikirim ke pengasingan sebagai tahanan politik dan C, bagi mereka yang secara tidak langsung terlibat dalam G30S, termasuk keluarga. Hingga hari ini, mereka dengan label B dan C kerap kali menghadapi kesulitan-kesulitan dalam memenuhi hak-hak kewarganegaraannya. Negara pasca reformasi belum mampu memenuhi kewajiban untuk mendudukkan warganya secara sama dan setara dihadapan konstitusi.

Rekonsiliasi
Meskipun secara konseptual kedudukan Ketetapan MPR tak lagi dapat diterima, namun argumentasi tersebut tak dapat diterima secara formal hingga dibuktikan di dalam pengadilan sesuai asas praduga keabsahan. Sayangnya, sejumlah gugatan atas Ketetapan MPR yang membatasi hak konstitusional diajukan kepada Mahkamah Konstitusi membentur tembok tinggi mengingat konstitusi membatasai kewenangan mahkamah semata-mata untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar. Ketetapan MPR menjadi daging tumbuh dalam hukum positif kita; eksistensinya diakui, namun di sisi lain tidak tersedia mekanisme pengujian atasnya yang diatur secara eksplisit. MPR sebagai lembaga pembentuknya juga tak lagi dapat diharapkan mengingat konsekuensi penghapusan kewenangan membentuk Ketetapan MPR berarti ketidakmungkinan untuk mencabutnya.

Namun majelis dalam Mahkamah Konstitusi masih dapat mengambil putusan drastis dengan melakukan penafsiran ekstensif terhadap kewenangannya yang diatur dalam Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Posisi Ketetapan MPR yang terjebak diantara undang-undang dan undang-undang dasar menunjukkan bahwa perturan tersebut bersifat organik terhadap konstitusi meskipun dibentuk oleh lembaga yang juga membentuk konstitusi. Ketetapan MPR mengandung materi muatan yang seharusnya diatur dalam undang-undang, atau dengan kata lain sebagai undang-undang dalam arti material, wet in materiele zin. Apabila terdapat materi muatan yang bertentangan dengan konstitusi, seperti dalam Ketetapan MPR No. XXV/MPRS/1966, menjadi kewajiban Mahkamah Konstitusi untuk menegakkan asas lex superior derogate legi inferior.

Kita juga perlu mendesak eksekutif guna memengaruhi pendapat publik dan menyebarluaskan penyimpangan Ketetapan MPR di hadapan hak-hak konstitusional. Tindakan serupa pernah dilakukan pada era kepresidenan Abdurrahman Wahid namun berakhir dengan kontroversi. Hal ini bertujuan untuk mengendurkan daya ikat sosial Ketetapan MPR No. XXV/MPRS/1966 dan mengembalikan wacana-wacana kritis Marxian ke ruang publik. Setelah lima puluh tahun, setengah abad kebohongan-kebohongan sejarah, telah tiba saatnya bagi kita untuk sekali lagi memperbaiki kekeliruan.

Minggu, 08 Maret 2015

Solo: Roman Singkat Mengenai Rambut dan Pesta Perpisahannya

00.14 Posted by Arasy Aziz , No comments
Jalan lintas Surabaya-Yogyakarta berdasarkan statistik pribadi sepanjang tahun 2014 menjadi jalur trip favorit saya. Tiga kali tempuh bolak-balik, entah untuk tujuan Jogja atau Solo. Saya bahkan mulai hapal pukul berapa waktu yang tepat untuk berangkat dan berapa menit yang harus dihabiskan di kamar kecil agar tak ketinggalan bis yang tengah transit di terminal Madiun.

Dibanding sesamanya di utara, jalan-jalan yang melintangi  Jombang hingga Jogja tak banyak menyuguhkan keragaman yang menarik perhatian. Masyarakat Nganjuk-Madiun-Ngawi-Sragen-Solo-Yogya pada umumnya berbagi sebuah ide kultural yang sama, apa yang disebut budaya Mataraman. Bandingkan, misalnya, dengan masyarakat Pantura yang lebih kosmopolit dan berupa-rupa akibat pertemuan dengan berbagai ekspresi kebudayaan, ditambah megaproyek jalan raya pos yang menyintas sekat-sekat. Hal ini berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk pola pemukiman dan arsitektur yang kasat dari jendela bis.

Ketidaknyamanan ini ditambahi oleh pemandangan menyedihkan akibat kemarau yang berlarut-larut, terutama bagi pohon-pohon jati yang mencolok kebotakannya. Saya dapat merasakan betapa sulit dan menyebalkan musim angin yang membawa dahaga dari timur bagi mereka. Kekeringan memaksa menggugurkan daun sebagai mekanisme bertahan hidup, pemandangan yang tidak sedap dipandang. Mengingatkan pada masalah-masalah rambut panjang saya yang seringkali gugur karena patah, ditambah kulit kepala yang beregenerasi hebat gegara kegerahan akut.

Setelah 3,5 tahun, saya akhirnya memutuskan kembali memangkas rambut.

#

Wacana mengenai potong rambut pada dasarnya tak benar-benar baru, terutama jika menengok salah satu akun media sosial saya yang dipenuhi pertanyaan “kapan potong?” oleh sejumlah anonim. Sebagian lagi menanyakan alasan mengapa saya menjadi gondrong. Hal ini sangat sulit untuk saya jawab; sejak semula tak pernah terpikirkan akan memelihara rambut dan alasan-alasan, apalagi hingga sepanjang “ini”.

Sejarah membentuk makna spesial rambut panjang yang kepadanya dia ditautkan bagi laki-laki. Semua dimulai pada era 70’an dimana gerakan hippie menjadi wabah baru dunia, ditandai kampanye gaya hidup cinta damai, spritualitas timur, bohemian nan urakan. Di Indonesia, ini menjadi masalah pelik; gondrong sebagai salah satu elemen fashionnya berseberangan dengan retorika pemurnian Pancasila dan nilai ketimuran Indonesia yang ditabuh Orde Baru. Pemuda-pemuda gondrong dianggap sebagai penyakit yang kontra pembangunan bangsa. Gondrong belakangan menjadi kontras bagi potongan rambut cepak satu senti ala militer yang menggenggam rezim dengan disiplin dan kecurigaan. Kegondrongan tak sekadar gaya, melainkan ekspresi ketidaksepakatan terhadap status quo. Gondrong adalah politik perlawanan itu sendiri.

Pasca reformasi dimana ekspresi diri menjadi sesuatu yang banal, relasi tersebut semakin tenggelam oleh keragaman konteks. Gondrong hari ini memiliki signifikansi yang tak satu dan terlepas-lepas, sebagai fashion, sebagai perlawanan, sebagai kemalasan yang lain.

Pun demikian, perkawinan gondrong dan perlawanan bohemian tersebut bagaimanapun masih cukup kuat untuk membentuk kesadaran pribadi saya. Setelah sadar bahwa rambut semakin panjang, saya memutuskan mengganti potongan post-hardcore kid menjadi tampak lebih trash. Seiring dengan hilangnya poni yang menghalangi akses terhadap gerbang cakra di dahi, saya merasa semakin bebas dalam berpikir dari hari ke hari (perihal eksistensi satu dari delapan gerbang cakra di dahi, saya memercayai konsep ini, termasuk ketika menolak untuk turut dalam gerakan membotaki diri seangkatan zaman kelas 3 madrasah aliyah). Ini mengamini diktum eksistensialis a la Jean-Paul Sartre; bahwa Ada mendahului esensi, bahwa kesadaran di pengaruhi anasir-anasir historis di balik realitas kita. Ditambah mengenal Marx dan pengembangnya dari Frankfurt, dua puluh empat jam saya dipenuhi permen sunkist.

Namun, memanjangkan rambut tanpa perencanaan yang matang belakangan menjadi ide buruk. Jika situasi bagi pohon-pohon jati akan kembali baik-baik saja seiring kembalinya wewangi petrichor di udara (atau nasib baik, berujung menjadi perabot rumah tangga), rambut saya justru semakin tak tertangani.

Saya akhirnya tiba pada keputusan yang cukup berat dan sentimental. Ke-Gondrong-an bagaimanapun telah membentuk ke-Itu-an Arasy (Itu dengan I besar, menunjukkan saya sebagai obyek putusan bagi sang liyan) selama tahun-tahun di perguruan tinggi. Gondrong telah menjadi penanda bagi peralihan identifikasi Arasy-yang-unyu menjadi Arasy-yang-sangar (meskipun ini tak sepenuhnya benar mengingat betapa orang-orang kerap memanggil saya “mbak” di tempat umum). Dia telah menjadi mosi debat utama di rumah antara saya dan mama yang lebih banyak saya menangkan. Dia menjadi teman yang selalu siap dipelintir-pelintir di hadapan masalah yang tampak rumit. Bersamanya saya menemui orang-orang luar biasa yang turut mengubah hidup saya, menemui melankolia-melankolia dan keseruan-keseruan, kemudian patah hati. Di dalam rambut itu terdapat dokumen yang mencatat saya.

Dengan semua yang telah saya lalui bersamanya, sekadar berpisah dengan datang ke barbershop untuk lima belas menit kemudian keluar dengan gaya rambut baru merupakan tindakan yang luar biasa kurang ajar. Memotong rambut merupakan sebuah pilihan sunyi yang radikal, dan harus dirayakan besar-besaran.

#

Saya kembali ke bus Surabaya-Jogja demi memenuhi panggilan umrah Rock in Solo 2014. “Umrah” menjadi ibarat dengan makna yang hampir harfiah bagi saya; mengingatkan pada ibadah perjalanan singkat ke tanah suci Mekkah dengan tahallul sebagai salah satu rukunnya. Mereka yang tuntas melaksanakannya umumnya mudah didentifikasi berdasarkan potongan rambut gersang. Apa yang sebentar lagi akan saya tuntaskan.

Meskipun sempat ragu karena Watain yang diisyukan menjadi salah satu headliner terbukti tak masuk rundnown, saya pada akhirnya nekat menempuh perjalanan singkat demi memberikan penghormatan terakhir yang layak untuk rambut saya. Seorang kawan meyakinkan bahwa Carcass mempunyai sesuatu yang lebih dari cukup sebagai alasan. Album terakhir unit old-school death metal asal Inggris yang dirilis pada 2013, Surgical Steel memanen pujian, dipenuhi ritme putaran gergaji bedah di antara daging dan belulang.

Saya tiba di benteng Vastenburg tempat festival berlangsung jelang maghrib, dan selebihnya, kau tahu sendiri, adalah bagaimana sebaik-baiknya merayakan rambut panjang: headbang hingga encok dan lepas sendi leher (meskipun ketika Carcass naik panggung, crowd justru terasa dingin). Rock in Solo 2014 adalah konser metal pertama (dan terakhir) yang saya datangi dengan rambut kemana-mana, diurai sepenuhnya tanpa sekalipun terikat kunciran.

Hari minggu pukul empat sore saya tiba kembali di Malang. Ba’da maghrib saya menuntaskan janji kepada diri sendiri, setelah berjam-jam mematut-matut diri di depan cermin. Tak saya duga memangkas rambut merupakan tindakan yang amat berat, meskipun sebagai pemuja momentum, sangat penting untuk melakukannya diwaktu yang tepat dan penuh perhitungan sehingga jauh hari saya berusaha menyiapkan mental.

Di depan cermin, disaksikan abang-abang pangkas rambut, saya menyempatkan diri ber-selfie untuk terakhir kalinya. Diantara jari-jari abang-abang pangkas rambut terselip ingatan-ingatan yang gugur satu persatu.

Farewell, mein lof.

… dan dunia rupanya masih baik-baik saja setelah saya memangkas rambut.

Sekelumit tentang Rock in Solo 2014
Solo, sebuah kota di Jawa Tengah, dapat dicapai melalui jalur darat selama 6-8 jam dari kota Malang. Terdapat sejumlah penginapan super murah di belakang Terminal Tirtonadi seharga Rp 50.000 - Rp 60.000 yang lumayan untuk perjalanan singkat berdurasi semalam; Benteng Vastenburg berlokasi dekat dengan Keraton Surakarta Hadiningrat, terletak di tengah kota, merupakan benteng peninggalan era kolonial Belanda yang dibangun pada tahun 1741. Dapat dicapai dengan becak atau taksi dari Terminal Tirtonadi atau Stasiun Solo Balapan dengan bea Rp 15.000 - Rp 20.000; Rock in Solo 2014, harga tiket masuk Rp 150.000 (pre-sale) dan Rp 300.000 (normal).