Fiat Lux

Sabtu, 31 Mei 2014

On Genealogy of an Introvert Melancholia

10.32 Posted by Arasy Aziz 2 comments
I want you touch me in my bleed / I want you touch my ancient week // Violence is what you are, is what you’ll be, is what you’ll take in everyday.
Melancholic Bitch - On Genealogy of Melancholia (dalam Re-Anamnesis: 2013)

#1

Dibelahan dunia yang asing, jauh sebelum trilogi saru Tuan Grey lalu mendudukkan wacana seksualitas menyimpang sebagai raja kios-kios buku di bandar udara, di pinggir jalan, di metromini, seorang penulis berkulit kuning menarasikan topik sadomasokisme dengan cara yang terlampau absurd. Penulis ini, sebagian dari kita mengenalinya dari sebuah scene serial animasi Detective Conan, tepat ketika sang detektif remaja yang tetiba mengecil tersudut oleh pertanyaan bertubi akan siapa kamu. Si detektif (sekarang) cilik sesegera melirik, demi nama samaran yang tepat daintara deretan buku-buku yang dia tumpu, dan voila, menemukannya, Edogawa Rampo. Apa yang tengah kita bicarakan adalah salah satu karya penulis misteri tersukses Jepang ini, Blind Beast. Pada 1969, novel ini di angkat ke layar perak.

Shima Aki, model foto diculik oleh seorang tunanetra yang dilanda obsesi untuk menemukan wanita berkulit terhalus di muka bumi sebagai obyek magnum opus-nya. Si model mulai tampak menjadi Sisyphus: awalnya menolak mati-matian, menghalalkan segala cara untuk lolos dari studio kelam si tunanetra. Belakangan, ia menikmati setiap detiknya yang menekan.

Dalam gelap yang seluruh, model kita mulai kehilangan penglihatan dan menjadi penyampai pepesan bangunan dramaturgi: “they never know the tactile ecstasy of our caresses”, kenikmatan seksual yang dibangun oleh sentuhan-sentuhan dalam ketiadaan pelita abadi, “like the lower orders of life, without eyes, only able to feel. Ia jatuh hati pada gulita. Dalam gelap yang seluruh, sepasang tunanetra kemudian tak lagi merasa cukup oleh sekadar sentuhan a la organisme primitif yang mereka rasakan, memulai tragedi orgasmik yang berangkat dari selangkangan, turun ke tangan, turun ke sepasang kaki, lalu nihilitas, tidak ada lagi.

Hasilnya, sebuah karya sinema noir-romantik yang sulit diterima akal sehat.

 #2

Dalam The Neurotic Personality of Our Time, Karen Horney memulai diskusi mengenai kasih sayang sebagai sebuah kebutuhan neurotik dengan membagi modus-modus mendasar manusia dalam mempertahankan diri dari rasa cemas: menagih kasih sayang, bersikap inferior dan tenggelam didalamnya, menunjukkan betapa dirinya dominan, atau terakhir, memilih jalan sunyi. Lebih lanjut, Horney menegaskan bahwa tidak ada satupun kebudayaan yang secara eksklusif hanya menjembatani salah satu bentuk. Dengan kata lain, setiap masyarakat mengekspesikan hibridasinya masing-masing.

Ibarat, jika setiap modus adalah selingkar diagram venn dalam sangkar sejarah, maka individu-individu, masyarakat-masyarakat tertentu agaknya mewarisi irisannya.

Dan diantara yang empat, kasih sayang yang berangkat dari kecemasan, perlahan memulai neurosis.

#3

Di belahan dunia yang asing, seseorang mencurigai sadomasokisme telah mengambil rupa yang lain. Dia, Yang Curiga.

Secara sederhana, sadomasokisme sebagai pseudo-ideologi seksual membimbing alam bawah sadar penganutnya dalam mencapai puncak hedonitas dengan mendera subyek yang liyan (atau dirinya sendiri) dengan penderitaan. Sebagaimana pelakon-pelakon kita membahasakannya dengan keterlaluan dalam Blind Beast: setiap rintih, setiap perih, setiap darah yang mengalir, adalah rantai-rantai esoterik yang tak terkatakan.

Dalam kalimat yang terselip, Horney mendeskripsikan seksualitas sebagai kesepakatan antara perilaku yang berangkat dari kepuasan dan di sisi lain, kecemasan, rasa takut. Namun, kasih sayang dengan rasa takut yang dominan adalah awal mula neurosis. Mereka yang memahami ini agaknya menggolongkan sadomasokisme sebagi salah satu bentuknya.

Namun, kasih sayang bukan satu-satunya modus penuntas kecemasan. Jika setiap modus adalah selingkar diagram venn dalam sangkar sejarah, maka individu-individu, masyarakat-masyarakat tertentu agaknya mewarisi irisannya.

Irisan tersebut dapat bertumpuk dalam pola yang rancak. Dalam lingkar sunyi, kita dapat mewakilkannya pada lelaku pengasingan sejumlah Sufi dalam keterbatasan. Yang Curiga merasa apa yang dilakukan kelompok ini merupakan titik tegang antara ketakutan akan tuhan-tuhan mereka di satu sisi, kepuasan transenden akan tuhan-tuhan mereka di sisi yang lain, dan kesunyian sebagai cara.

Yang Curiga secara a priori menyimpulkan, terdapat kemiripan antara sadomasokisme dan jalan penyembahan ini, kecuali aksioma kesadaran-ketaksadaran, dalam penderitaan yang terpilih.

Namun, dia tak sungguh peduli pada mainan baru. Seseorang yang menaruh curiga belum menemukan jawaban atas keraguannya. Dia mengambil perangkat pemutar musik miliknya, dan mulai memutar lagu-lagu.

I want you touch me in my bleed/ I want you touch my ancient week  //
Violence is what you are, is what you’ll be, is what you’ll take in everyday //

Di dalam lingkaran sunyi, sadomasokisme itu telah berubah rupa dalam dirinya, dalam jalan derita yang dipilihnya untuk perasaan-perasaannya sendiri, dilakukannya dengan kesadaran yang bulat. Berasal dari apa-apa yang tak terkatakan, disemai oleh diamnya, ketunaannya.

Yang Curiga meranggas. Dia menikmatinya.


Post-Scriptum      :      Saya sangat menyukai formula ini sebagai morfin melankolia yang mujarab: dimulai dengan menonton Blind Beast (1969), membacanya ulang dengan esai-ringkasan singkat dari karya Karen Horney, Kebutuhan Neurotik Terhadap Kasih Sayang (dalam Anatomi Cinta, Komunitas Bambu: 2009) sembari mendengar Melancholic Bitch - On Genealogy of Melancholia (dalam album Re-Anamnesis: 2013). Tulisan diatas adalah karangan bebas asal ucap dengan menyari-tautkan ketiganya.