Fiat Lux

Sabtu, 26 Januari 2019

Peristiwa 23 Januari 1942 dalam Percakapan tentang Norma Dasar Indonesia

01.11 Posted by Arasy Aziz No comments
Sumber: eljohnnews.com

Dimulai dari 23 Januari 1942 dini hari, sekelompok pemuda yang dipimpin oleh Nani Wartabone berhasil melakukan kup kecil terhadap pemerintahan kolonial Belanda yang saat itu masih berkecimpung di Gorontalo. Para pamong kolonial tersebut saat itu barangkali masih terlelap di dipannya, memeluk guling, memimpikan pekerjaan-pekerjaan yang belum selesai. Dalam sekali dua gerakan, administrator-administrator kulit putih itu berhasil dibuat tak berdaya. Satu per satu mereka kemudian digiring ke penjara-penjara yang mereka bangun sendiri.

Sebelum matahari benar-benar tinggi, pemuda-pemuda tersebut berhasil melaksanakan sebuah upacara formal, menaikkan bendera merah putih, dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Pemuda-pemuda Gorontalo itu dengan lantang berseru bahwa “(p)ada hari ini ... kita bangsa Indonesia yang berada disini sudah merdeka, bebas dan lepas dari penjajahan bangsa manapun juga. Bendera kita yaitu Bendera Merah Putih, lagi kebangsaan kita adalah lagu Indonesia Raya. Pemerintah Belanda telah diambil alih oleh pemerintah Nasional.” 3 tahun sebelum momentum yang sama terjadi di Pegangsaan, Batavia. 3 tahun sebelum Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. 

Peristiwa 23 Januari 1942 sejak saat itu dikenal sebagai hari patriotik, mengenang keberanian para pemuda Gorontalo mengusir penjajah dari tanah kelahirannya. Setiap tahun malam renungan suci dan upacara peringatan dilaksanakan di lapangan-lapangan sekolah.

Namun demikian, peristiwa 23 Januari 1942 sejatinya menyimpan signifikansi yang lebih jauh daripada sekadar hari perayaan. Ia bisa jadi membuka kembali percakapan lama mengenai apa yang paling tepat disebut sebagai grundnorm dalam tatanan konstitusional Indonesia. Selama ini, perdebatan identifikasi tersebut didominasi oleh Pancasila dan Proklamasi 17 Agustus 1945 itu sendiri.
  
Grundnorm di Indonesia Selama Ini…
Masyarakat ilmiah hukum Indonesia cenderung meletakkan Pancasila sebagai sebuah norma dasar yang membentuk tata hukum Indonesia. Dalam posisi ini, seluruh peraturan perundang-undangan tertulis, di mulai dari konstitusi, undang-undang, sampai peraturan daerah, harus dibentuk dengan mengacu pada Pancasila. Paradigma ini pun diadopsi secara formal hingga hari ini. Dalam bahasa UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pancasila disebut sebagai “sumber dari segala sumber hukum.”

Namun demikian, bagi sejumlah sarjana, mendudukkan Pancasila dalam posisi ini sejatinya problematis. Salah duanya adalah analisis Hamidi atau Asshiddiqie dan Safaat, yang berangkat dari konstruksi Hans Kelsen tentang grundnorm, yang juga menjadi acuan bagi penempatan Pancasila sebagai norma dasar. Karakter grundnorm menurut Kelsen sejatinya bersifat transeden, abstrak sepenuhnya. tidak tertulis, dan keabsahannya tidak dapat lagi dinilai dengan norma yang lebih tinggi. Grundnorm adalah puncak dari segala puncak penormaan. Ia memberikan otoritas terhadap suatu masyarakat untuk membentuk suatu tatanan hukum formal. Grundnorm adalah alasan di balik keabsahan suatu konstitusi.

Pancasila, menurut Hamidi, Asshiddiqie, dan Safaat, tidak memenuhi karakter itu. Ia sejatinya merupakan bagian tak terpisahkan dari konstitusi. Secara formal, rumusannya dapat ditemukan di dalam alinea keempat bagian pembukaan UUD 1945. Dengan demikian, ia tidak memenuhi kriteria sebuah grundnorm yang keberadaannya mendahului konstitusi.

Adapun penyebutan Pancasila secara terpisah selama ini tak lain merupakan kebiasaan ketatanegaraan yang dipositifkan. Kebiasaan ini pun memiliki watak politis-ideologis, mengingat penggunaannya yang massif dalam kurun pemerintahan Orde Baru. Pancasila dalam masa itu “memihak” pada kepentingan untuk mengkonsolidasikan kekuasaan, termasuk melalui instrumen hukum.

Berseberangan dengan kecenderungan tersebut, para sarjana kemudian menilai bahwa peristiwa Proklamasi 1945-lah yang justru lebih sesuai dengan karakter grundnorm Kelsen. Proklamasi tidak hanya memungkinkan masyarakat Indonesia untuk membebaskan diri dari penjajahan. Lebih jauh, ia menjadi jaminan bagi masyarakat Indonesia untuk dapat mengatur secara bebas alam pergaulan berdasarkan hukum yang mereka buat sendiri. Dengan demikian, masyarakat Indonesia pasca kemerdekaan dapat menikmati posisi sebagai warga negara kelas satu, di dalam negara yang dibentuk untuk kepentingan mereka sendiri.

Namun demikian analisis ini melupakan satu hal penting: bahwa Proklamasi 1945 sejatinya memiliki latar sosial yang tidak homogen sama sekali. Ia cenderung melupakan bahwa beberapa daerah di Indonesia telah berhasil membebaskan diri dari kolonialisme sebelum 17 Agustus 1945. Beberapa daerah yang lain bahkan tidak pernah sekalipun merasakan menjadi masyarakat yang (mengikuti istilah Pramoedya Ananta Toer) “terprentah”.

Problematika Proklamasi 1945 sebagai Grundnorm
Melihat Proklamasi 1945 sebagai sebuah monumen tunggal barangkali hanya akan tepat jika kita dapat membuktikan setidaknya empat asumsi. Pertama, bahwa Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS) yang membagi masyarakat Hindia Belanda dalam tiga kategori kelas (Eropa, Timur Asing, dan Pribumi) benar-benar menciptakan segregasi sosial yang ketat antar golongan-golongan yang diaturnya. Kedua, bahwa politik Pax Nederlandica pada akhirnya berhasil ditegakkan secara efektif di seluruh wilayah Nusantara. Ketiga, bahwa seluruh masyarakat Pribumi tertindas di bawah rezim kolonial. Keempat, bahwa pasca Proklamasi, kekuasaan administrasi negara seketika beralih dari kolonial kepada masyarakat Indonesia.

Namun demikian, situasi sebenarnya di seputar Proklamasi tidaklah sesederhana itu. Pasal 163 IS, yang substansi utamanya berada dalam koridor hukum perdata itu, efeknya memang berkelanjutan dalam ruang politik yang penuh pengecualian dan diskriminatif. Namun masyarakat Hindia Belanda sejatinya dapat memilih untuk dikecualikan atau tidak, dengan memilih mengadopsi salah satu hukum perdata. Artinya, kemungkinan untuk nasik kelas sosial tetap terbuka. Kantong-kantong masyarakat Pribumi yang memutuskan menganut hukum perdata Eropa akhirnya cenderung memperoleh keistimewaan dari administrasi kolonial. Salah satunya, mereka kerap direkrut untuk menjadi serdadu-serdadu kolonial. Tidak perlu heran jika dalam banyak narasi sejarah peperangan di wilayah Nusantara, yang saling berhadapan justru tentara pribumi bersenjata lengkap melawan pribumi berbambu runcing.

Masyarakat Pribumi yang menikmati kemudahan hidup di bawah kolonialisme pun sejatinya bukan hanya mereka yang memutuskan menganut hukum perdata Eropa. Dalam masyarakat Hindia Belanda, rezim kolonial juga melanggengkan pembagian kelas yang telah ada di dalam masyarakat. Mereka tak lupa membentuk klasifikasi sosial baru. Sebagai contoh, di Jawa dikenal sebuah kelas bernama priyayi yang mengharuskan rakyat biasa berjalan berjongkok di hadapan mereka. Anak-anak priyayi ini diprioritaskan untuk menduduki jabatan sebagai ambtenaar alias pegawai negeri dan masuk sekolah-sekolah Belanda untuk pribumi. Politik kelas dan kebangsawanan yang juga diterapkan di berbagai wilayah lain di Nusantara ini menjadi bagian dari upaya meredam potensi konflik. Sementara bagi elit Pribumi, ini berarti memanjangkan usia tatanan feodal yang telah berabad mereka nikmati kemewahannya.

Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua masyarakat pribumi menderita di bawah kekuasaan kolonial. Pun tidak ada alasan bagi mereka untuk mendorong kemerdekaan, mengingat kepentingan sebagian pribumi tersebut telah diakomodasi oleh hukum yang berlaku pada saat itu.

Yang juga perlu dicermati adalah fakta bahwa Pax Nederlandica bukanlah sebuah kebijakan yang dijalankan secara seragam di seluruh Nusantara. Belanda memang pada akhirnya berhasil menyatukan seluruh wilayah Nusantara, sepanjang bukan protektorat dari negara lain, di bawah administrasinyaNamun tidak semuanya diperlakukan Belanda sebagai bawahan. Beberapa wilayah harus diakui menjalin kerjasama dengan Belanda, terutama dalam melawan wilayah-wilayah lain dengan kepentingan berseberangan. Pada masa tersebut, imaji tentang sebuah identitas tunggal bernama bangsa tidaklah relevan.

23 Januari dalam Lintasan Sejarah Hukum Tata Negara
Diskusi ini akhirnya berujung pada simpulan, bahwa menerakan grundnorm pada peristiwa Proklamasi pada dasarnya tak boleh mengabaikan dinamika-dinamika politik di daerah pada masa kolonial. Kemawasan ini penting agar kajian kita tidak terjebak pada kecenderungan untuk menggeneralisasi konteks yang sejatinya bhinneka dan spesifik. Bahwa ribuan suku yang berbeda di Indonesia pada dasarnya memiliki ingatan kolektif dan pengalaman yang berbeda mengenai kolonialisme, dan karenanya, Proklamasi 1945.

Apa yang terjadi di Gorontalo pada 23 Januari 1942 semakin menegaskan hal tersebut. Para pemuda Indonesia di Gorontalo pada tanggal tersebut berhasil menyatakan kemerdekaan Indonesia, tiga setengah tahun sebelum Proklamasi 1945. Untuk sementara waktu, masyarakat Gorontalo sempat menikmati pemerintahan oleh mereka sendiri, mengatur pergaulan berdasarkan nilai-nilai yang mereka yakini.

Proklamasi 23 Januari 1942 lebih jauh sejatinya memberikan tiket bagi pembentukan tatanan hukum baru, setidaknya di wilayah Gorontalo. Memberikan para proklamatornya, Nani Wartabone, Kusno Danupoyo, dkk., wewenang untuk membentuk sebuah republik yang berdaulat atas wilayah Gorontalo. Pilihan tersebut, beruntungnya, tidak pernah diambil oleh mereka yang menyebut dirinya Komite Dua Belas itu.

Alih-alih, para proklamator tersebut memilih untuk tetap berkomitmen pada gagasan besar Pax Indonesiana yang baru dapat terwujud tiga setengah tahun kemudian. Mereka memilih mengabdi pada bangsa Indonesia yang saat itu masih terbayang. Hal ini setidaknya tampak dari bunyi naskah proklamasi 23 Januari 1942 itu sendiri: “Pada hari ini ... kita bangsa Indonesia yang berada disini sudah merdeka, bebas dan leps dari penjajahan bangsa manapun juga. Bendera kita yaitu Bendera Merah Putih, lagi kebangsaan kita adalah lagu Indonesia Raya. Pemerintah Belanda telah diambil alih oleh pemerintah Nasional.” Sebagai tindak lanjutnya, mereka membentuk pemerintahan interim bernama Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG).

Apa-apa yang terjadi pasca 23 Januari 1942 barangkali akan semakin membongkar persepsi kita soal ketunggalan grundnorm dan finalitas sebuah kedaulatan. Melalui PPPG, para proklamator 23 Januari 1942 memang sempat memerintah wilayah Gorontalo secara otonom. Di saat yang bersamaan, Jepang pun mulai berhasil menggantikan kekuasaan Belanda di Nusantara. Akhirnya pada pertengahan 1942, Jepang berhasil masuk ke Gorontalo dan disambut dengan sukacita. Dua orang perwakilan PPPG dikirim untuk melaporkan penangkapan para serdadu Belanda. Akhirnya, Jepang dengan leluasa mengubah struktur PPPG di bawah komando teritorialnya.

Kedudukan Gorontalo di bawah komando militer Jepang tidak serta merta berakhir pasca Proklamasi 1945. Pun demikian dengan nasib Indonesia secara keseluruhan. Sekalipun kemerdekaan telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, dan disambut dengan pesta hingga ke Gorontalo, namun pemerintah belum benar-benar beralih ke tangan Pribumi.

Angkatan Darat Jepang (Rikugun) yang berkuasa atas wilayah Barat Nusantara pasca 17 Agustus masih menolak mengakui kemerdekaan Indonesia. Sebagai pihak yang kalah Perang Dunia II, mereka terikat pada perjanjian Postdam, yang diantaranya memuat klausul penyerahan kembali Hindia kepada Belanda. Tak berselang lama pasca Proklamasi 1945, Agresi Militer Belanda I dimulai. Artinya, kehendak “pemindahan kekuasaan dilaksanakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya” tak pernah benar-benar sangkil terwujud, hingga setidaknya pada 27 Desember 1949.


Gambaran ini semakin menegaskan bahwa Proklamasi 1945 sulit untuk disebut sebagai sebuah monumen tunggal, apalagi menjadi norma yang memberikan kontras antar babak-babak sejarah. Berbagai peristiwa pasca Proklamasi, baik 23 Januari 1942 di Gorontalo maupun 17 Agustus 1945 di Indonesia, sama-sama menunjukkan bahwa masyarakat pasca kolonial itu tidak serta merta berwenang membentuk tata hukumnya sendiri dan masih terpengaruh pada dinamika ekonomi-politik global. Sebagaimana keseluruhan teori kemurnian hukum Kelsen yang terus mengalami pembaruan, bahkan cenderung ditinggalkan, grundnorm adalah sebuah aksioma yang masih terbuka pada penafsiran-penafsiran baru. Apalagi dengan mengingat situasi Indonesia sebagai peradaban yang disusun atas kemajemukan. Alih-alih dilihat sebagai norma final yang tak dapat diganggu gugat, grundnorm sejatinya adalah proses dan aliran sejarah itu sendiri. (*)