Fiat Lux

Selasa, 26 Februari 2013

Deviana Safara (Sonata) - Masa Lalu

00.58 Posted by Arasy Aziz No comments
Inilah anthem dibalik layar Brawijaya Law Fair 3: sebuah lagu koplo akar rumput. 

Pada bulan-bulan awal perkuliahan semester ganjil lalu, kami disibukkan oleh persiapan sebuah acara penting besutan fakultas, umum dikenal dengan BLF. Akibatnya selain kuliah, bangku nyaman ruang kemahasiswaan menjadi tempat menghabiskan sebagian besar waktu luang. Mendesain beberapa perlengkapan, menyiapkan berkas, atau menjawab mention, misalnya. Setiap hari, dari pagi hingga malam larut.

Dan ini bagian menyenangkannya. Sebuah komputer di kemahasiswaan secara menerus memutar sebuah tembang koplo pantura milenium selama jam kerja aktif, berbulan-bulan. Saya gagal paham bagaimana hukum gossen 1 tidak berlaku pada pengguna komputer tadi. Akibat sering terpapar, beberapa bagian lagu ini pelan-pelan melekat di jidat.

Simaklah penggalan liriknya yang sederhana dan mudah dihapal, seperti:

Kau kira tak menyakiti aku disaat dia menelfonmu
Meskipun kau telah jadi milikku
Karena dia bekas pacarmu…

Dan bagian reffrainnya yang quotable:

Masa lalu biarlah masa lalu
Jangan kau ungkit jangan ingatkan aku
Masa lalu biarlah masa lalu
Sungguh hatiku tetap cemburu

Pengetahuan saya akan skena dangdut Indonesia dewasa ini tidaklah cukup baik. Pengecualian untuk para pegiatnya yang tampil di acara musik pagi dalam satu sesi bersama JKT 48. Dan menurut pengetahuan saya ini, lirik-lirik tersebut amat asing dan tidak masuk radar TV nasional. Padahal huru-hara tidak hanya melanda ruang kemahasiswaan. Pada trip saya ke Semarang tiga pekan lalu, beberapa kali saya dapati lagu ini diputar di bis kota, di bis ekonomi AC, di warung-warung, dimana-mana. Underrated. Jadi siapa sosok-sosok dibalik lagu candu pendobrak hukum gossen ini? The real idol dangdut vocalist of East Java, Indonesia, who is the most expetit(expected?) one always: Deviana Safara, bersama Orkes Dangdut Sonata dan Samudra Record dalam lagu Masa Lalu! 



Sabtu, 23 Februari 2013

Semarang: Asemi!!

22.48 Posted by Arasy Aziz No comments

Akhir seri setengah Pantura Jawa Tengah yang..(sedikit) mengecewakan. Super subyektif, super udik, saya ingatkan.

Jatuh cinta adalah masalah menyeragamkan ketukan, setidaknya dalam persepsi saya. Saya sempat coba memulainya sejak akhir tahun lalu, dan berakhir tidak cukup baik #salahfokus. Serupa di Semarang, sejak awal saya gagal melakukannya. Saya belum pernah berkunjung ke ibukota Jawa Tengah ini sebelumnya dan tiba-tiba tur di Semarang menjadi bagian paling tidak menarik dalam serangkai trip ini. Entahlah. Selain lagi-lagi kurang riset dan berinteraksi dengan manusia yang paham, sepertinya dengan suasana kota besar, saya sudah tidak akur. Sejak awal menginjakkan kaki, saya cukup kaget dengan kondisi terminal yang kalah menarik dibanding bandar bus serupa di Kudus. Sebagai kota terbesar di bagian tengah Jawa dan salah satu titik terpenting pembangunan kawasan Pantura, agaknya pemerintah kota lupa membenahi salah satu beranda rumahnya. Dan denyut-denyut ketidak-sepahaman semakin terasa ketika bus umum yang saya tumpangi mulai membelah urat-urat kota.

Ikon. Lawang Sewu, Tugu Muda, dan mobil
Dalam momen ini saya tersadar akan sifat udik yang barangkali dibangun oleh waktu. Terakhir kali mengecap kehidupan kota besar, saya masih duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar. Selebihnya hingga detik ini, saya terbiasa dengan atmosfer pusat-pusat peradaban berukuran menengah. Saya bahkan sempat menghabiskan masa aliyah di tengah pedesaan yang hanya ramai oleh panggilan sujud. Dan urban-urban bising sepertinya mulai tidak seirama dengan kuping. Pun dengan jalan-jalan Semarang yang besar dan penuh, serta gedung-gedung tinggi. Hukum ini rasanya tak cuma berlaku di Semarang. Contoh lain, Bandung, kota masa kecil (dan cinta pertama) saya terkadang mulai terasa menyebalkan oleh jalanan yang gagal menampung volume besar kendaraan berplat nomor B, juga sampah.


Ada hal-hal yang dapat dikritik dari tata kelola pariwisata kota ini. Satu obyek yang layak dijadikan fokus adalah kawasan kota tua. Sadarkah kita yang pernah berkunjung kesana bahwa tidak tersedia jalur pedestrian di hampir seluruh area? Kota tua, diluar dugaan saya, tidak menyediakan trotoar dan zebra cross, sementara sela bangunan-bangunannya masih dapat dilalui oleh kendaraan bermotor. Teror. Keinginan saya akan suasana era kolonial diperkosa oleh deru mesin. Hal ini patut disayangkan, mengingat dibanding kawasan Jakarta Kota, bangunan-bangunan kota tua Semarang masih terawat cukup apik. Di kawasan ini berdiri pula beberapa gedung penting dan bersejarah, semisal stasiun Tawang sebagai salah satu stasiun kereta api tertua di Indonesia. Informasi yang saya peroleh belakangan, umumnya pengunjung menghabiskan waktu di kawasan kota tua sebatas untuk mengaso di taman Gereja Bleduk. Kami dibuat cukup kesal pula oleh pengelola museum Mandala Bhakti di seputaran Tugu Muda. Sempat diminta menunggu lama, kami dipaksa gigit jari oleh petugas yang tidak kunjung kembali dan membukakan pintu. Museum tutup di hari kerja, menarik. Jangan tanya pula soal Lawang Sewu. Setelah dihitung-hitung berwisata ke landmark kota ini tergolong cukup menguras kantong (Hampir mirip dengan kondisi harga makanan (bahkan disekitar kampus) yang sulit dipahami oleh sekelompok anak kos dari Malang ini. Bayangkan Rp 9.000 untuk Tahu Gimbal a.k.a Tahu Telor). Rasionalisasinya, bea relatif besar dihabiskan guna pelestarian bangunan berusia seabad lebih ini. Dugaan usil lain, pengelola menikmati citra yang dibangun oleh kisah-kisah para-fisik. Akhirnya kami menikmati kemegahan bekas kantor Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij dari balik terali pagar. Pelit? Bisa jadi. Saya masih harus mengirit tabungan untuk sebuah event yang juga penting di lain bulan. Mohon maaf.

Diluar itu Semarang patut dipuji oleh konsep transportasi massanya yang berjalan baik. Jelang akhir trip kami menyempatkan diri berkeliling kota menggunakan layanan Trans Semarang. Kami juga cukup terbantu dengan kehadiran dua haltenya di depan balai kota. Pada sekitaran jam 2 hingga 3 siang ruang sempit ini disesaki oleh remaja-remaja dari dua buah SMA berisisan yang tuntas belajar harian. Cita-cita Novada terkabul, saya dan Marvey terimbas baik. Asemi!!

Raksasa Jamu

Terdapat dua perusahaan jamu besar dan berumur yang menjadikan Semarang sebagai lokasi markas utama, PT Industri Jamu Cap Jago alias Jamu Jago dan PT Jamu Cap Potret Nyonya Meneer. Selain secara bersama-sama memegang temali penting dalam industri herba nusantara, keduanya memiliki kesamaan lain yang menggembirakan: membuka museum.




Museum Jamu Jago terletak di daerah Srondol, Semarang. Selain menampilkan memoar aktivitas perusahaan, museum ini dikenal pula sebagai pusat pengabadian rekor-rekor yang dibuat masyarakat Indonesia. Kita patut berbangga, karena beberapa diantaranya turut pula memecahkan raihan dunia. Selain potret raksasa Ciputra yang dibangun dengan paku, atau gincu raksasa untuk Buto Ijo-wati, sebagian besar dokumentasi rekor berwujud foto. Kisah yang lebih detil tentang sejarah usaha jamu kami peroleh di museum Nyonya Meneer yang lokasinya kami temukan secara insidental. Nyonya Meneer cukup terkenal dengan anekdot sebagai wanita terkuat di Indonesia, karena “berdiri sejak 1919”. Fakta yang lebih penting, wanita bernama asli Lau Ping Nio ini mulai meracik jamu sebagai wujud cinta kepada sang suami. Pada masa penjajahan sang suami mengalami radang lambug yang tak kunjung sembuh hingga Nyonya Meneer menemukan formula yang tepat. Pada 1919, Nyonya Meneer mulai mengkomersilkan racikannya kepada masyarakat. Konon, masyarakat hanya mau mengonsumsi jamu dari tangan dingin sang nyonya. Hal ini diakali dengan menggunakan potret dirinya sebagai logo perusahaan. Di akhir tur museum kami ditawari sejumlah produk. Kami berkelit, kemudian pulang ke rumah untuk rehat dan berkemas. Esoknya kami kembali ke Malang, kota dengan seribu alasan untukmu bersemu merah.

Sekelumit tentang Semarang (Bea):
Semarang dapat dijangkau dari Surabaya menggunakan bus ekonomi AC dengan bea Rp. 45.000. Masuk museum Nyonya Meneer dan Jamu Jago (MURI) gratis. Waktu satu setengah hari menjelajahi kota ini pada dasarnya tidak cukup.

Jumat, 22 Februari 2013

Ambarawa: Sebuah Sisa Arena Palagan

17.20 Posted by Arasy Aziz 1 comment

Kemenangan di palagan Ambarawa menuntut kita memenangkan dipalagan pembangunan.
Soeharto, pada sebuah dinding di museum Isdiman.

“Kamu harus percaya, insting saya selalu benar”, ujar Novada. Saya mengangguk. Beberapa menit sebelumnya, kami terduduk didepan sebuah jaringan mini market, sedikit kelelahan, hampir penat menunggu, hingga tiba-tiba si mesum mengajak berdiri. Sebuah bus merah yang kami cari kemudian melintas pada detik yang sama. Bus yang kemudian membawa kami menuju Ambarawa. Barangkali kebetulan, namun insting Novada memang seolah terbukti.

Salah satu bagian relief monumen Palagan Ambarawa
Sedikit yang terlintas tentang Ambarawa, awalnya, adalah museum kereta apinya yang legendaris oleh lokomotif-lokomotif dan rel bergerigi. Atau Rawa Pening yang dewasa ini dipenuhi gulma, atau senyap komplek candi Gedong Songo. Belakangan, semua gambaran awal saya tentang Ambarawa tidak mewujud. Trip ke Gedong Songo dan Rawa Pening yang kehilangan padu antara jarak dan alokasi waktu kami batalkan. Dan yang lebih menyebalkan: museum kereta api yang tutup. Lepas berjalan kaki diantara panas yang membakar, kami hanya bisa meringis di hadapan gerbang yang ditutupi bambu melintang. Museum sedang direnovasi. Setidaknya, kami bisa menyimak sembilan lokomotif tua dari balik pagar. Lumayan.

Lokomotif Uap sepuh yang masih aktif beroperasi. 
Hal lain yang layak ditertawakan adalah, semua gambaran yang saya punya tadi mendistorsi sebuah fakta penting mengenai sejarah kota ini. Hari sebelumnya, Novada mengajak saya dan Marvey menyambangi sebuah pusat perbelanjaan di Semarang untuk bersua dengan seorang kenalannya. Kami memutuskan menunggu di sebuah toko buku. Diantara deret-deret kalam terjilid, saya menemukan sebuah tulisan menarik terbitan Kompas Gramedia mengenai sisi lain seorang Jenderal Besar Soedirman. Pada 12 November 1945 beliau dipilih melalui voting, amat berbeda dengan model promosi jabatan dewasa ini. Sebulan kemudian, sang panglima baru langsung dihadapkan pada salah satu pertempuran paling heroik dalam sejarah: Palagan Ambarawa.

30 menit lepas bus meninggalkan Semarang, kami mulai memasuki kota Ambarawa. Satu per satu penumpang turun, menyisakan kami yang menengok ke kanan ke kiri, sedikit khawatir kehilangan destinasi. Di sebuah pertigaan kami meminta berhenti. Mata kami menangkap monumen Palagan Ambarawa di salah satu pojokknya. Siang terik membuat monumen terlihat lengang. Hanya ada seorang petugas tiket yang terduduk malas di balik loket, dan beberapa anak-anak berseragam di depan gerbang. Kami bergegas membeli tiket.

Kolonel Isdiman dan peringatan dari Soeharto.
Di sudut kiri, sebuah bangunan berdimensi mini berdiri. Museum Isdiman namanya, mengenang seorang tokoh kunci yang tewas pada awal Palagan Ambarawa. Museum ini menyimpan memoar-memoar seputar peristiwa saling serang di bulan desember itu. Seragam-seragam militer, senjata, alat perbekalan dipamerkan. Sayangnya tidak banyak keterangan yang diserak. Informasi Palagan Ambarawa justru banyak saya temukan di internet, melengkapi sisa ingatan masa sekolah. 12 Desember 1945, para perwira TKR menyerbu Ambarawa yang dikuasai sekutu. Empat hari tembak menembak, pada 15 Desember mereka berhasil merebut kembali kota ini. Beberapa versi menyebutkan, adalah tentara sekutu yang kehabisan perbekalan menyebabkan mereka menyerah dan memilih mundur ke Semarang.

Vandal. Apalagi coretan tentang hubungan-hubungan, terkampunglah kalian.
Pesawat yang berhasil di tembak jatuh TKR
Matahari yang menyengat diimbangi dengan baik oleh taman seputaran monumen yang asri. Beberapa kendaraan sisa perang ditata apik, semisal bangkai pesawat yang konon sukses ditembak jatuh oleh para TKR pada hari-hari perang. Ambarawa barangkali perlu juga menasbihkan diri sebagai kota lokomotif uap. Sejarah menutur, Ambarawa di masa kolonial Belanda adalah sebuah kota militer. Stasiun kereta api kemudian didirikan (tertua ke tiga di pulau Jawa) untuk memudahkan mobilitas tentara. Pada 1976 stasiun dialih fungsikan menjadi museum oleh PT KAI untuk melestarikan lokomotif-lokomotif uap. Dan salah satu mesin kepala kereta ini terparkir pula di halaman monumen. Buatan Jerman. Dan ini yang mengecewakan, sebuah gerbong kayu dibelakangnya yang pernah mengangkut para kusuma generasi awal dipenuhi noda marker, pulpen, tipe-x yang tercecer di mana-mana. Beruntung relief palagan tidak bernasib sama. Belajarlah tata krama, manusia-manusia wau.

Sekelumit tentang Ambarawa (Bea):
Ambarawa dapat dicapai dari Semarang dengan waktu tempuh 30-45 menit menggunakan bus. Biaya dalam kisaran Rp 6.000 (saya agak khawatir kami ditipu, sila mencoba). Tiket masuk monumen Palagan Ambarawa Rp 4.000. Beberapa destinasi di Ambarawa butuh biaya ekstra (seperti wisata kereta berloko uap, Rp 50.000), kapan-kapan saya harus membawa lebih banyak uang, barangkali.


Senin, 11 Februari 2013

Kudus: Pusaran Semesta Sunan Kudus

05.59 Posted by Arasy Aziz No comments

Tentang ikon toleransi berabad di pusat kretek Jawa.

Jafar Shoddiq, seorang bumiputra yang tengah menjaring ilmu di timur dekat, menyelamatkan tanah Palestina dari sebuah wabah pada abad ke-16 M. Atas usahanya ini, oleh amir tanah perjanjian beliau diberi wewenang untuk menguasai wilayah yang diinginkannya, sebagai bentuk penghargaan. Jafar Shoddiq belakangan meminta wewenang ini dipindah ke tanah kelahirannya. Tanah Jawa. Beliau kemudian mendirikan sebuah mesjid bernama Al-Aqsa, meniru mesjid legendaris bernama serupa, untuk mengenang eksistensinya di Baitul Maqdis. Daerah tempat mesjid ini berdiri kemudian disebut Kudus, terinspirasi dari julukan Yerusalem, Al-Quds, kota yang suci. Semua momen ini berputar pada kisaran tahun 1549 M. Siapa Jafar Shoddiq? Belakangan beliau lebih dikenal sebagai Sunan Kudus, salah satu tokoh kunci penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Bersama delapan juru dakwah lainnya lebih dikenal sebagai Wali Sanga, wali yang sembilan. Sadar tidak sadar, kota Kudus berputar dalam eksistensinya, dari zaman ke zaman.

Mendung menggelayut diatas komplek mesjid Al-Aqsa.
Mesjid Al-Aqsa terletak di perkampungan Kauman, tengah kota Kudus. Kami cukup beruntung karena sempat mengejar sholat dzuhur tepat waktu di mesjid ini. Sejak bisa membaca, mesjid Al-Aqsa, yang lebih dikenal sebagai Mesjid Menara Kudus, saya masukkan dalam daftar favorit. Menaranya yang menganut langgam arsitektural Hindu menjadi penciri kota. Merunut sejarahnya, menara ini merupakan salah satu cara bagi Sunan Kudus guna membumikan ajaran Islam bagi masyarakat lokal yang umumnya menganut agama Hindu. Versi lain menambahkan, sang wali demikian terkesan oleh kebaikan seorang juru Weda yang memberinya beberapa teguk air. Jejak panjang toleransi beragama memang telah lama terpatri dalam sejarah kota ini. Selain menara mesjid yang ikonik, ragam tradisi kuliner turut pula terimbas. Alkisah, Sunan Kudus melarang kaum muslimin untuk menyembelih sapi, pun dalam momen hari raya ied kurban. Motifnya tak lain untuk menghindari luka di hati umat Hindu yang mengkultuskan hewan ini sebagai kendaraan suci salah satu trimurti. Kerbau direkomendasikan kemudian sebagai pengganti sumber protein hewani. Implikasi yang paling nyata adalah tidak adanya menu tradisional Kudus berbahan daging sapi. Belakangan Kudus menjadi legendaris oleh Soto Kerbaunya, dan tentu saja, Soto Kudus yang menggunakan potongan daging-daging ayam sebagai komponen utama. 

Gerbang menuju tempat kanjeng sang pelopor terbaring abadi.

Semangkok Soto Kudus yang disajikan lepas hujan itu ...
Satu cela dalam trip ini adalah tidak terpenuhinya tujuan awal dan utama kami. Kami menyambangi Kudus dalam niat melihat dari dekat denyut industri sigaret di kota ini. Kudus memang terkenal sebagai kota kretek, dan cukup bangga dengan julukan ini. Di jalan-jalan yang kami lewati aroma tembakau dirajang amat tajam tercium. Sejak tahun 1870 pengusaha-pengusaha Kudus memproduksi kretek, atas jawaban dari perpindahan-perpindahan poros industri batik Jawa. Lepas dua abad, statistik terakhir menunjukkan angka fantastis: 78,14% dari total angkatan kerja kota Kudus terserap dalam industri kretek. Dengan landasan deret angka-angka tadi, sepintas kami dapat melihat implikasi propaganda seputar PP Tembakau yang masih hangat melantai bagi kota ini, meski secara pribadi saya belum menetapkan sikap. Amat disayangkan, kurangnya riset terhadap niat dan medan membuat tujuan ini gagal terpenuhi. Akhirnya kami sibuk berburu bis, menuju Semarang.

Terlarang. Gembok terpasang kukuh memastikan siapapun tidak menaiki menara sembarangan.
Sekelumit tentang Kudus (Bea):
Kudus dalam trip kami dapat dicapai dari Surabaya (dan Semarang) dengan bus ekonomi dengan tarif lebih kurang Rp. 35.000. Sholat di mesjid Al-Aqsa atau mesjid Menara Kudus tidak dipungut biaya (ya iyalah). Pengunjung tidak diperbolehkan untuk naik ke puncak menara mesjid. Soto Kerbau dan Soto Kudus dihargai pada kisaran Rp. 5.000-Rp. 10.000.

Minggu, 10 Februari 2013

Rembang: Semangat Pluralitas dan Emansipasi

02.05 Posted by Arasy Aziz 2 comments

Dalam pencarian jawaban mengenai bagaimana pluralitas ditempatkan dalam praktik, kami menjelajah sisa budaya peranakan di sebuah kota kecil. Tak lupa memenuhi rasa penasaran akan RA Kartini dan ditutup dengan perburuan kulinari lezat. Inilah bagaimana Rembang diramu di mata kami.

Saya awali pemilihan Lasem sebagai salah satu destinasi dengan sebuah pertanyaan: bagaimana masyarakat pribumi dan tionghoa dapat berpadu dengan serasi dalam sebuah bingkai bernama Kawedanan Lasem? Tanya ini berangkat dari pemahaman ortodoks saya bahwa dalam kultur mayarakat desa, yang dalam studi sosiologi kerap dikenal sebagai gessenschaft, umumnya berciri adanya sentimen komunal terhadap perbedaan. Menariknya, Lasem, sependek pengetahuan saya, nihil namanya dari pemberitaan di Indonesia dewasa ini yang kerap dihiasi oleh kabar pertikaian antar etnis yang mengundang miris. Kasus-kasus dengan pola berulang pernah menghantui daerah serupa Poso, Ambon, Sampit bahkan Makassar, yang notabene merupakan sebuah kota metropolitan, dengan suasana mencekam oleh konflik SARA. Pertanyaan saya tadi membutuhkan jawaban, meskipun sederhana.


Kami menjejakkan kaki di Lasem diantara alunan pengajian jelang maghrib di mesjid-mesjid. Usai beristirahat sejenak dan mendirikan kewajiban tiga rakaat, kami bergegas mencari tempat menginap. Sejak awal perjalanan kami tetapkan hanya ada tiga pilihan: mesjid, kosan teman atau kantor polisi. Mengingat larangan tidur yang tertera di mesjid besar Lasem dan tiadanya kenalan di kota kecil ini, kami memilih opsi ketiga. Selama berkeliling saya masih dapat menerka detil bangunan-bangunan tua diseputaran Lasem, meski gelap telah naik. Aroma langgam arsitektural tionghoa terasa amat pekat dan masih dibiarkan terawat oleh para penghuninya. Namun hadiah belum berakhir. Kami mendapati bangunan kantor kepolisian sektor Lasem menganut langgam yang sama, dipadu dengan beberapa aroma kolonial Belanda. Usai meminta izin kepada petugas yang sedang berjaga, kami beristirahat. Polisi yang baik, gedung-gedung tua, saya langsung jatuh cinta dengan sukarela terhadap kewedanan ini.

Hotel Prodeo. Jangan maknai satir, saya serius soal gratisnya.
Pagi berikutnya, pukul setengah enam kurang, kami memutuskan meninggalkan hotel prodeo kami. Lasem pagi terbuat dari rona lembut sinar matahari yang menyapu bangunan-bangunan tuanya. Ciamik! Dengan semangat yang telah terisi, kami memulai blusukan ke pelosok desa untuk mencari batik tulis lasem yang merupakan cendera mata popular dari kawasan ini (sayangnya tanpa niat membeli).

Ornamen Cina di mana-mana.
Adalah sebuah kesalahan awalnya memulai pencarian pada dini pagi, karena umumnya rumah-rumah produksi batik lasem memulai aktivitasnya pukul 8. Kami berkeliling dan hampir kecewa oleh dealer-dealer batik yang masih tutup. Siapa sangka, semesta tiba-tiba memberi jalan dari sebuah rumah merangkap kios sederhana. “Mau kemana mas?” tanya seorang bapak dari teras rumahnya. Kami menjelaskan tujuan kami, si bapak mempersilahkan kami naik ke rumahnya. Bapak itu memperkenalkan diri sebagai Pak Agus, seorang penerus usaha batik tulis lasem yang telah diwariskan turun temurun. Tanpa segan beliau menggelar lembaran-lembaran kain terajah siap jual, meskipun kami telah mengungkapkan bahwa tidak akan membeli. Pak Agus menunjukkan kepada kami motif paling tradisional yang didominasi biru dan merah darah ayam sebagai warna utama. Beliau turut menjelaskan bahwa metode pemesanan dan promosi batik Lasem rupanya telah cukup modern (melebihi prakira saya), menggunakan Facebook, surat elektronik dan Blackberry Messanger, dengan sebaran distribusi yang mencapai sejumlah kota besar di Indonesia. Harga batik lasem berada pada kisaran Rp. 150.00-Rp. 2.000.000 tergantung kerumitan pola. Di akhir percakapan beliau merekomendasikan satu nama legendaris untuk menambah khasanah kami: Pak Sigit Wicaksono.

Juru Selamat. Jangan nilai manusia dari parasnya, bapak ini menyelamatkan trip kami. Kain yang dibentangkannya bernilai Rp 2.000.000.
Awalnya kami agak sungkan bertamu, mengingat waktu masih menunjukkan pukul 7 dan kami tidak membuat janji terlebih dahulu. Kesungkanan kami dibalas telak dengan sambutan hangat dari sang pemilik rumah, tak lain Pak Sigit Wicaksono. Beliau yang tengah duduk santai di kursi malasnya berdiri dan menyambut kami (setelah kami menjelaskan tujuan terlebih dahulu) dengan sebuah pertanyaan jenaka “Ini masih muda kok mau belajar batik? Ayo masuk, masuk. Duduk, duduk!” Beliau bahkan memuji Gorontalo kota asal saya sebagai rahim gadis-gadis manis (dalam hati saya berujar: Bapak mestinya tau alasan saya kuliah di Jawa pak. Intinya saya cenderung kurang sepakat). Dari mulut beliau kami menemukan sedikit demi sedikit potongan puzzle yang kami cari, dengan ditemani segelas teh hangat.

Usia pak Sigit telah mencapai kepala delapan, namun masih luwes dalam bertutur (meski kadang kami harus berbicara dengan intonasi tinggi untuk mengimbangi pendengaran beliau yang telah menurun). Secara umum kriya batik di tanah Jawa terbagi atas dua kelompok besar, batik pesisir dengan masukan budaya luarnya yang kental dan batik keraton. Batik tulis lasem termasuk dalam kelompok pertama bersama batik dari Madura, Cirebon, Pekalongan dan Tuban. Terdapat dua motif utama dalam seni batik lasem dengan latar belakang sejarah masing-masing. Motif pertama, latoan, terinspirasi dari sejenis tanaman laut yang umum dimanfaatkan masyarakat pesisir untuk sayur mayur. Motif kedua memiliki nilai sejarah yang menggugah. Watu pecah, adalah ekspresi kemarahan masyarakat Lasem atas mega proyek jalan raya pos Anyer – Panarukan besutan Deandles pada zaman kolonial Belanda. Sebuah cara mengenang mereka yang gugur sebagai tumbal sebuah ambisi. Persaingan dengan produsen batik yang lebih muda kemudian memberi Pak Sigit sebuah ilham. Pada sebuah kesempatan beliau mulai melukiskan sederet aksara Cina pada selembar kain batik. Awalnya hal ini menimbulkan perdebatan dengan sang istri. Dewasa ini, motif baru ini malah diakui umum sebagai hasil karsa cipta seorang Sigit Wicaksono. Pak Sigit bercerita bahwa sejumlah muda-mudi kerap datang untuk memesan sepasang seragam dengan kaligrafi yang lebih kurang berarti kehangatan cinta. “Motifnya tidak dipatenkan pak?” tanya kami. “Nggak usah, nanti juga dipakai produsen sini”.

Motif paling tradisional.
Motif modifikasi dengan aksara Tiongkok.
Beliau juga turut menjelaskan mengapa klaim Malaysia atas batik tempo hari layak ditertawakan. Pada 1923 orang tua Pak Sigit memulai usaha batik tulis di Lasem. Beberapa tahun kemudian, pada medio 30-an, usaha ini mendapat order raksasa dari negeri seberang. Bayangkan 500 potong kain batik tulis dalam sebulan untuk sebuah industru rumahan! Dan tebak asal order tersebut? Ya, Malaysia. Logika yang kemudian beliau bangun adalah apabila batik merupakan produk budaya Malaysia, bagaimana mungkin pada tahun 1930an mereka masih harus mengimpor dari tanah air. Maka ketika 20 Oktober 2009 batik diakui oleh UNESCO sebagai milik bangsa Indonesia, beliau senang bukan kepalang. Pak Sigit kemudian berjanji untuk mengenakan batik pada setiap kesempatan, dan memberi 10.000 rupiah bagi siapapun yang mengingatkannya apabila beliau lupa mengenakan batik.

Ketika disinggung tantang bagaimana pertemuan budaya di Lasem berlangsung tanpa gesekan, beliau menjawab sederhana. Masyarakat Lasem, baik pribumi maupun keturunan, bersikap santai soal masalah ini. Sikap yang barangkali terbangun oleh waktu. Pak Sigit mencontohkan bahwa di Lasem terdapat sebuah pesantren yang kental desain arsitekturalnya dengan budaya tionghoa. Saya mendapati pula fakta bahwa Pak Sigit menikahi seorang wanita Jawa, menjadi pelopor yang diikuti oleh banyak masyarakat Lasem kemudian. Sependek pengamatan saya juga, tidak terdapat gap mencolok antara kaum peranakan dan pribumi di kota kecil ini. "Saya orang Indonesia!", kata Pak Sigit. Tentang pluralitas, masyarakat Indonesia rasanya perlu belajar disini.

Museum RA Kartini dan Sate Serapeh

Terlepas dari kontroversi kecil-kecilan di media sosial tentang seberapa penting peran RA Kartini dalam gerakan emansipasi wanita Indonesia, eksistensinya tetap layak kita kenang. RA Kartini menyumbang sedikit banyak pemikiran tentang bagaimana seharusnya wanita Indonesia diposisikan, mendobrak tatanan lama, dan terjun langsung dalam praktek. Memoar-memoar tentang tokoh wanita ini tersimpan rapi di museum RA Kartini, Rembang.


Museum RA Kartini menempati bangunan bekas rumah dinas Bupati Rembang, yang juga pernah digunakan beliau selama menjadi istri adipati Rembang di masa itu, RM Adipati Ario Singgih Djojoadhiningrat. Dari museum ini kami berhasil mengumpulkan fakta-fakta kecil terserak yang membangun pribadi wanita ini. Menurut penjelasan pemandu museum, Kartini merupakan putri adipati Jepara yang lahir dari rahim seorang selir. Hal ini berimplikasi pada tata cara pergaulan antara Kartini dengan ibunya. Dalam bercakap, sang ibu diharuskan bertutur dengan bahasa jawa krama inggil, sementara Kartini menggunakan tipe moko yang dalam tatanan bahasa jawa merupakan bentuk paling kasar. Stratifikasi bahasa berdasarkan status sosial ini menimbulkan trauma bagi Kartini muda dan kelak menghasilkan gagasan ajaib. Dalam prosesi pernikahannya kelak dengan adipati Rembang, Kartini menwajibkan penggunaan bahasa belanda dalam semua rangkaian ritus sebagai bentuk protes. Mengapa adipati Rembang, dengan segala kuasanya, memilih manut saja? Konon, sang adipati demikian bangga karena dapat beristrikan seorang Kartini yang kala itu telah terkenal di seantero tanah Jawa oleh gagasan-gagasannya tentang wanita yang melamapaui zaman.

Surat untuk Abendanon yang tak pernah terkirim.  Kartini didahului umur.
Siapa sangka anak laki-laki yang didandani cantik ini kelak menjadi salah satu perwira TNI generasi awal yang paling disegani?
Kartini selama mengandung anak pertamanya (dan terakhir. Kartini meninggal empat hari lepas melahirkan) sangat menginginkan anak perempuan. Sebagai permaisuri adipati Rembang, secara otomatis anak yang lahir dari rahimnya akan meneruskan kepemimpinan berdasarkan model pemerintahan feodal-monarki yang dianut masyarakat Jawa kala itu. Berdasarkan keinginan itu anaknya yang lahir kemudian kerap didandani mirip perempuan, meskipun terlahir sebagai laki-laki. Anak laki-laki ini kemudian dikenal sebagai RM Soesalit Djojoadhiningrat. Lepas dewasa Soesalit tidak melanjutkan kepemimpinan ayahnya, masuk PETA dan sempat menjadi tangan kanan Jendral Soedirman.


Di salah satu ruangan kami disajikan sejumlah panel yang berisi kutipan-kutipan surat Kartini kepada JA Abendanon yang belakangan dihimpun dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Gagasan-gagasan Kartini kambali mendirikan bulu roma. Saya kemudian iseng bertanya kepada pemandu museum “Mbak, gedung ini nggak pernah dipakai buat pengambilan gambar acara mistis abal-abal kan?”. Si pemandu tersenyum dan memastikan hal tersebut belum pernah terjadi. Eksploitasi berlebihan (dan layak diragukan kebenarannya) akan eksistensi mahluk gaib dalam sebuah situs sejarah, yang kerap ditayangkan di sebuah stasiun TV nasional telah sampai pada titik mengkhawatirkan. Selain membodohi masyarakat, hal ini mencederai semangat lestari yang dikandung sebuah situs.

Kami mengakhiri tur di kabupaten Rembang dengan mencicipi Sate Serapeh. Para pemandu museum merekomendasikan sebuah warung di selatan alun-alun Rembang dengan nama menarik: Berry and Friends. Kami mendapati bahwa sate serapeh disusun dari potongan-potongan daging ayam lembut dengan aroma santan yang memikat lidah. Tentang penjelajahan kami di Rembang, saya meniru jargon umum girlband Cherrybelle: istimewa!! 

Tanpa membuang waktu kami mengejar bis, menuju Kudus..

Sekelumit tentang Rembang (Bea):
Rembang dan sekitarnya dapat dicapai dengan angkutan bus ekonomi dari Surabaya dan Semarang dengan tarif Rp 20.000-25.000. Berpindah antar kecamatan dapat menggunakan bis dua pintu dengan tarif sekitar Rp. 2.000-Rp. 5.000. Masuk museum RA Kartini dikenakan biaya karcis Rp. 2.000. Satu porsi sate serapeh dapat ditebus dengan harga sekitar Rp. 5.000, dengan harga tambahan untuk varian lauk.  

Prolog: Seri Setengah Pantura Jawa Tengah

00.08 Posted by Arasy Aziz 7 comments

"The World is a book, and who those do not travel read only a page."
St, Augustine

Titik Awal. Kalo tak salah ingat, amat jarang rasanya saya mejeng di blog sendiri.

1..2..3..saya alpa menghitung berapa kali tengkuk saya meremang. Vakansi dalam mode meransel lima hari ini luar biasa dan memaksa bulu kuduk saya berdiri berulang. Kami memilih rute jalur pantura dengan lanskap hutan gunung sawah lautan sepanjang jalan, tambak-tambak garam, semangat pluralitas di Lasem, jejak-jejak Kartini, penghargaan keberagaman a la Sunan Kudus dan heroisme Palagan Ambarawa.

Jalur pantura membentang sepanjang 1.316 km dari Merak ke Banyuwangi, melintasi lima provinsi di pulau Jawa. Hitungan kasar saya, kami menjelajah seperenamnya. Berdasarkan catatan yang saya kumpulkan, wisata jalur pantura didominasi oleh destinasi pantai dan religi. Yang saya sebut belakangan tak lepas dari sejarah penyebaran agama Islam di tanah Jawa dan kisah Wali Sanga. Selain itu pantura diwarnai pula oleh cerita kebudayaan peranakan tionghoa dengan latar sejarah panjang. Terhitung tujuh kali rombongan Laksamana Cheng Hoo alias Ma He alais Sam Poo Kong menyandarkan armada di pantai-pantai utara Jawa dalam ekspedisi menyuarakan kebesaran eksistensi Dinasti Ming. Sebagian kru kapalnya memilih tidak melanjutkan perjalanan, menetap, beranak-pinak, membangun peradaban.

Perjalanan ke setengah bagian pantai utara Jawa Tengah ini awalnya merupakan rencana cadangan dalam mengisi waktu liburan. Momentumnya sangat tepat. Sebelumnya saya cukup direpotkan dengan urusan KRS yang konon online, namun harus diakhiri dengan validasi di kampus. Trip kali ini saya ditemani dua orang kawan, sebut saja Novada dan Marvey. Kami bertiga memiliki modus berbeda. Saya fokus pada wisata arsitektural, budaya dan alasan-alasan personal lainnya. Novada yang berniat menemukan gadis-gadis layak simak dari berbagai belahan Indonesia dan Marvey yang (konon) berburu ragam kulinari. Tujuan kami satu persatu terpenuhi, dengan silang-campur pada prosesnya. Belakangan, misalnya, saya dan Marvey ikut-ikutan Novada menyimak gadis-gadis SMA Semarang yang bergerak pulang sekolah. Sindroma jomblo akut.

Saya harus berterima kasih kepada menara-menara suar yang turut membantu perjalanan kami. Perjalanan kami dibuka dengan momen salah turun dari bus, yang memaksa kami merepotkan Launa. Launa kemudian bersedia menjemput kami, menyediakan makan siang yang lezat, dan menjadikan rumahnya titik tolak keberangkatan.Selanjutnya Zahir yang menyediakan kontrakannya untuk kami bermukim selama menjelajah Semarang, Raras dengan sumbangan destinasinya dan Veda dengan informasi berharga tentang jam pulang SMA di Semarang. Tak luput setiap individu di pinggir jalan yang berkenan menunjukkan arah.

Ibarat gadis kecil yang menjahit bonekanya dari kain perca, saya sedang berupaya menyulam pecahan-pecahan penyusun Indonesia, yang dalam bayangan saya akan bermanfaat guna meretas jalan negarawan saya sendiri. Mereka bebas kalimat Soe Hok Gie bahwa 'Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat'. Jika kamu masih menerka bagaimana keindahan negara kita sesungguhnya, kami melihat dengan mata kepala sendiri alasan-alasan mengapa tanah air merdeka kita layak dirawat dan dibanggakan. Mulailah iri.