Fiat Lux

Sabtu, 23 Februari 2013

Semarang: Asemi!!

22.48 Posted by Arasy Aziz No comments

Akhir seri setengah Pantura Jawa Tengah yang..(sedikit) mengecewakan. Super subyektif, super udik, saya ingatkan.

Jatuh cinta adalah masalah menyeragamkan ketukan, setidaknya dalam persepsi saya. Saya sempat coba memulainya sejak akhir tahun lalu, dan berakhir tidak cukup baik #salahfokus. Serupa di Semarang, sejak awal saya gagal melakukannya. Saya belum pernah berkunjung ke ibukota Jawa Tengah ini sebelumnya dan tiba-tiba tur di Semarang menjadi bagian paling tidak menarik dalam serangkai trip ini. Entahlah. Selain lagi-lagi kurang riset dan berinteraksi dengan manusia yang paham, sepertinya dengan suasana kota besar, saya sudah tidak akur. Sejak awal menginjakkan kaki, saya cukup kaget dengan kondisi terminal yang kalah menarik dibanding bandar bus serupa di Kudus. Sebagai kota terbesar di bagian tengah Jawa dan salah satu titik terpenting pembangunan kawasan Pantura, agaknya pemerintah kota lupa membenahi salah satu beranda rumahnya. Dan denyut-denyut ketidak-sepahaman semakin terasa ketika bus umum yang saya tumpangi mulai membelah urat-urat kota.

Ikon. Lawang Sewu, Tugu Muda, dan mobil
Dalam momen ini saya tersadar akan sifat udik yang barangkali dibangun oleh waktu. Terakhir kali mengecap kehidupan kota besar, saya masih duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar. Selebihnya hingga detik ini, saya terbiasa dengan atmosfer pusat-pusat peradaban berukuran menengah. Saya bahkan sempat menghabiskan masa aliyah di tengah pedesaan yang hanya ramai oleh panggilan sujud. Dan urban-urban bising sepertinya mulai tidak seirama dengan kuping. Pun dengan jalan-jalan Semarang yang besar dan penuh, serta gedung-gedung tinggi. Hukum ini rasanya tak cuma berlaku di Semarang. Contoh lain, Bandung, kota masa kecil (dan cinta pertama) saya terkadang mulai terasa menyebalkan oleh jalanan yang gagal menampung volume besar kendaraan berplat nomor B, juga sampah.


Ada hal-hal yang dapat dikritik dari tata kelola pariwisata kota ini. Satu obyek yang layak dijadikan fokus adalah kawasan kota tua. Sadarkah kita yang pernah berkunjung kesana bahwa tidak tersedia jalur pedestrian di hampir seluruh area? Kota tua, diluar dugaan saya, tidak menyediakan trotoar dan zebra cross, sementara sela bangunan-bangunannya masih dapat dilalui oleh kendaraan bermotor. Teror. Keinginan saya akan suasana era kolonial diperkosa oleh deru mesin. Hal ini patut disayangkan, mengingat dibanding kawasan Jakarta Kota, bangunan-bangunan kota tua Semarang masih terawat cukup apik. Di kawasan ini berdiri pula beberapa gedung penting dan bersejarah, semisal stasiun Tawang sebagai salah satu stasiun kereta api tertua di Indonesia. Informasi yang saya peroleh belakangan, umumnya pengunjung menghabiskan waktu di kawasan kota tua sebatas untuk mengaso di taman Gereja Bleduk. Kami dibuat cukup kesal pula oleh pengelola museum Mandala Bhakti di seputaran Tugu Muda. Sempat diminta menunggu lama, kami dipaksa gigit jari oleh petugas yang tidak kunjung kembali dan membukakan pintu. Museum tutup di hari kerja, menarik. Jangan tanya pula soal Lawang Sewu. Setelah dihitung-hitung berwisata ke landmark kota ini tergolong cukup menguras kantong (Hampir mirip dengan kondisi harga makanan (bahkan disekitar kampus) yang sulit dipahami oleh sekelompok anak kos dari Malang ini. Bayangkan Rp 9.000 untuk Tahu Gimbal a.k.a Tahu Telor). Rasionalisasinya, bea relatif besar dihabiskan guna pelestarian bangunan berusia seabad lebih ini. Dugaan usil lain, pengelola menikmati citra yang dibangun oleh kisah-kisah para-fisik. Akhirnya kami menikmati kemegahan bekas kantor Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij dari balik terali pagar. Pelit? Bisa jadi. Saya masih harus mengirit tabungan untuk sebuah event yang juga penting di lain bulan. Mohon maaf.

Diluar itu Semarang patut dipuji oleh konsep transportasi massanya yang berjalan baik. Jelang akhir trip kami menyempatkan diri berkeliling kota menggunakan layanan Trans Semarang. Kami juga cukup terbantu dengan kehadiran dua haltenya di depan balai kota. Pada sekitaran jam 2 hingga 3 siang ruang sempit ini disesaki oleh remaja-remaja dari dua buah SMA berisisan yang tuntas belajar harian. Cita-cita Novada terkabul, saya dan Marvey terimbas baik. Asemi!!

Raksasa Jamu

Terdapat dua perusahaan jamu besar dan berumur yang menjadikan Semarang sebagai lokasi markas utama, PT Industri Jamu Cap Jago alias Jamu Jago dan PT Jamu Cap Potret Nyonya Meneer. Selain secara bersama-sama memegang temali penting dalam industri herba nusantara, keduanya memiliki kesamaan lain yang menggembirakan: membuka museum.




Museum Jamu Jago terletak di daerah Srondol, Semarang. Selain menampilkan memoar aktivitas perusahaan, museum ini dikenal pula sebagai pusat pengabadian rekor-rekor yang dibuat masyarakat Indonesia. Kita patut berbangga, karena beberapa diantaranya turut pula memecahkan raihan dunia. Selain potret raksasa Ciputra yang dibangun dengan paku, atau gincu raksasa untuk Buto Ijo-wati, sebagian besar dokumentasi rekor berwujud foto. Kisah yang lebih detil tentang sejarah usaha jamu kami peroleh di museum Nyonya Meneer yang lokasinya kami temukan secara insidental. Nyonya Meneer cukup terkenal dengan anekdot sebagai wanita terkuat di Indonesia, karena “berdiri sejak 1919”. Fakta yang lebih penting, wanita bernama asli Lau Ping Nio ini mulai meracik jamu sebagai wujud cinta kepada sang suami. Pada masa penjajahan sang suami mengalami radang lambug yang tak kunjung sembuh hingga Nyonya Meneer menemukan formula yang tepat. Pada 1919, Nyonya Meneer mulai mengkomersilkan racikannya kepada masyarakat. Konon, masyarakat hanya mau mengonsumsi jamu dari tangan dingin sang nyonya. Hal ini diakali dengan menggunakan potret dirinya sebagai logo perusahaan. Di akhir tur museum kami ditawari sejumlah produk. Kami berkelit, kemudian pulang ke rumah untuk rehat dan berkemas. Esoknya kami kembali ke Malang, kota dengan seribu alasan untukmu bersemu merah.

Sekelumit tentang Semarang (Bea):
Semarang dapat dijangkau dari Surabaya menggunakan bus ekonomi AC dengan bea Rp. 45.000. Masuk museum Nyonya Meneer dan Jamu Jago (MURI) gratis. Waktu satu setengah hari menjelajahi kota ini pada dasarnya tidak cukup.

0 komentar:

Posting Komentar