Fiat Lux

Rabu, 20 Februari 2019

Konstitusi Pendidikan, Pendidikan Konstitusi

23.37 Posted by Arasy Aziz , No comments
Sumber: SekolahDasar.net

Konstitusi Pendidikan
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang dibangun di atas kemewahan pendidikan. Untuk itu, kita harus sedikit berterima kasih pada arus balik politik hukum, kebijakan, dan pendekatan administrasi kolonialisme Belanda terhadap penduduk Nusantara jelang akhir abad ke-19. Sebelumnya, selama berabad-abad, administrasi kolonial berorientasi sepenuh-penuhnya pada upaya eksploitasi terhadap kekayaan alam Nusantara. Pada setiap masanya, eksploitasi diarahkan pada pemenuhan permintaan pasar Eropa. Pada periode awal, rempah-rempah sempat menjadi komoditas pionir untuk melawan musim dingin yang keji. Namun belakangan, ladang-ladang baru dibuka untuk memenuhi permintaan yang bergeser pada gula dan kopi.

Selama periode itu, yang sedang mengalami perambahan sesungguhnya bukan saja lanskap dan alam raya Indonesia. Setiap tatanan kolonialisme, mau tidak mau, juga berarti eksploitasi terhadap sumber daya manusianya. Sebagai warga kelas tiga, kaum pribumi sengaja dikondisikan sebagai pekerja tuna aksara bagi kekayaan bangsa Eropa. Melalui kebijakan yang sistematis, tatanan masyarakat direkayasa demi melanggengkan kolonialisme. Mereka harus dijauhkan dari pendidikan agar tetap menanam komoditas yang laku di pasaran Eropa, tidak banyak bertanya, dan akhirnya tidak mengenal kata “perlawanan”. Satu-satunya pembelajaran informal yang mereka dapatkan adalah tentang mengubah kultur pertanian dari sawah-sawah petak menjadi perkebunan skala raksasa; Dari penanam padi menjadi penanam tebu. Pengajaran itu berkontribusi pada perubahan petani pribumi dari pemilik lahan menjadi pekerja untuk perkebunan kolonial.

Beruntung, jelang akhir abad ke-19, kolonialisme Eropa mulai menyadari pentingnya pendidikan bagi golongan pribumi. Sekalipun, kesadaran ini lahir justru dari motif untuk mempertahankan kekuasaan Eropa di Nusantara selama mungkin. Sebuah esai berjudul Eereschuld  (Utang Budi) gubahan van Deventer memicu arus balik tersebut, yang kemudian berkembang menjadi sebuah cetak biru politik hukum bernama “Politik Etis”. Politik Etis mengedepankan pengajaran bagi pribumi, selain irigasi dan emigrasi, sebagai program utamanya.

Generasi awal yang menikmati kemewahan pendidikan inilah, baik di dalam maupun di luar Hindia, yang kelak menjadi para penggerak kemerdekaan Indonesia. Beberapa nama yang terkenal adalah Muhammad Hatta dan Soepomo. Sedangkan di sekitaran sekolah-sekolah tinggi bentukan Belanda di dalam negeri untuk pribumi, lahir organisasi-organisasi pergerakan nasional. Di STOVIA, sekelompok calon dokter dari kalangan priyayi Jawa berhasil menginisiasi Boedi Oetomo. Sementara THS Bandung, yang menjdi cikal bakal ITB, menjadi tempat menimba ilmu calon pemimpin Indonesia pertama, Soekarno.

Narasi tersebut menunjukkan pentingnya peran pendidikan bagi bangsa Indonesia. Tak ayal, UUD 1945 menetapkan proyek “mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagai tujuan pertama pembentukan negara Indonesia. Pendidikan adalah sebuah modalitas dasar yang perlu dijamin pemenuhannya, sebelum membangun fondasi-fondasi kemasyarakatan yang lain. Mustahil suatu bangsa dapat berbicara mengenai hukum, ekonomi, infrastruktur, dan aspek elementer kesejahteraan lain, jika mereka sendiri tidak terdidik, tidak mengenal struktur nalar untuk menyampaikan gagasannya. Selain itu, hanya melalui pendidikan pula, nilai-nilai dasar kebangsaan Indonesia dirawat dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Lebih lanjut, berbagai pasal di dalam konstitusi kemudian disusun untuk menguatkan upaya “mencerdaskan kehidupan bangsa” tersebut. Pasal 28C ayat (1) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa “(s)etiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” Dalam rumusan pasal tersebut, hak atas pendidikan dirumuskan dalam satu nafas dengab kebutuhan dasar, peningkatan kualitas hidup, dan kesejahteraan umat. Dengan demikian, UUD NRI 1945 memahami pendidikan sebagi sebuah institusi dengan dua wajah sekaligus, yaitu ke dalam dan ke luar. Artinya, manfaat pendidikan tidak hanya dinikmati oleh individu per individu, namun juga masyarakat bangsa secara umum. Institusi pendidikan akibatnya tak boleh dirancang secara legal-formal semata untuk memenuhi kebutuhan ekonomis (oikos), terutama wahana reproduksi tenaga kerja, melainkan juga harus berdimensi sosial (deimos) secara langsung.

UUD NRI 1945 juga menggeser pendidikan ke dalam posisi sebagai hak dan kewajiban sekaligus. Kategori pendidikan sebagai hak berarti menempatkan pemenuhannya secara manasuka kepada peyandangnya. Dengan kata lain, si orang dapat memilih untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak tersebut. Namun Pasal 31 ayat (2) kemudian menegaskan bahwa pendidikan di aras dasar juga berdimensi kewajiban. Artinya, ia menjadi sebuah institusi yang memaksa dan imperatif. Terdapat konsekuensi legal-formal apabila ia tidak dijalankan. Untuk mengimbanginya, konstitusi juga mewajibkan pemerintah membiayai pendidikan di level tersebut. Setidaknya 20 persen anggaran negara harus diinvestasikan ke dalam sektor ini, sesuai amanat konstitusi. Dengan demikian, pendidikan menjadi sektor dengan presentase anggaran terbesar di dalam APBN dibandingkan sektor-sektor lainnya. Hal ini terlepas dari kenyataan bahwa 20 persen tersebut juga menghitung belanja Aparatur Sipil Negara di sektor pendidikan.

Dengan menetapkan “mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagai tujuan bernegara, ditambah operasionalisasinya di dalam pasal-pasal, UUD 1945 (baik sebelum maupun sesudah amandemen) tak lagi dapat dipandang sebagai sebuah konstitusi politik semata. Lebih dari itu, UUD 1945 juga telah menjelma menjadi sebuah konstitusi pendidikan. Sebagai sebuah konstitusi pendidikan, maka seluruh peraturan dan kebijakan mengenai pendidikan di Indonesia harus sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.


Pendidikan Konstitusi
Salah satu fungsi utama pendidikan, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, adalah berkaitan dengan upaya merawat dan mewariskan nilai-nilai luhur kebangsaan dari satu generasi ke generasi. Dalam perspektif hukum, nilai-nilai tersebut sejatinya telah mengalami kristalisasi di dalam bentuk konstitusi. Hal ini tentu tanpa mengabaikan nilai-nilai dan aturan-aturan tidak tertulis yang masih hidup di dalam masyarakat.

Konstitusi sejatinya tidak dapat dipandang semata-mata sebagai sebuah dokumen politik atau sumber dari segala sumber hukum. Konstitusi juga memiliki signifikansi lain sebagai sebuah hasil kesepakatan luhur antar bangsa Indonesia, baik melalui keterlibatan langsung atau tak langsung dalam proses pembentukannya. Dalam kajian Rosseauian tentang kontrak sosial, konstitusi merupakan hasil negosiasi antar berbagai kepentingan di dalam masyarakat. Melalui konstitusi, masyarakat mempercayakan sebagian haknya kepada negara untuk dirawat dan dilindungi.

Bagi bangsa Indonesia yang majemuk, peran konstitusi pun menjadi semakin penting untuk menjadi pengikat kebangsaan Indonesia. Sebagai sebuah hasil kesepakatan luhur, konstitusi harus diposisikan tidak memihak dan berdiri di atas semua golongan. Sebuah konstitusi harus mampu memoderasi kepentingan beragam suku, bangsa, agama, dan ribuan kategori identitas lainnya. Komitmen ini sejatinya telah tercermin oleh golongan-golongan yang berseteru dalam proses perumusan UUD 1945. Namun atas kebijaksanaan mereka, UUD 1945 dan negara Indonesia dapat dilahirkan dengan selamat sentosa. Dengan kebijaksanaan sejenis, negara konstitusional dapat melindungi kesemuanya tanpa terkecuali.

Oleh karena itu, pendidikan khusus mengenai konstitusi sejatinya sangat penting dimulai sejak jenjang terendah. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 31 ayat (5) UUD NRI 1945, yang menyatakan bahwa “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.” Sejak semula, persatuan bangsa telah menjadi nilai konstitusional utama dalam sistem pendidikan nasional.

Selama ini, kurikulum mata pelajaran Kewarganegaraan telah berupaya mengakomodasi hal-hal tersebut. Di jenjang SD, siswa umumnya masih diajarkan mengenai nilai-nilai dan moralitas yang baik. Konten mata pelajaran Kewarganegaraan pun berkembang semakin kompleks seiring dengan perkembangan waktu. Namun sayangnya, durasi pelajarannya tergolong sangat singkat. Di satu sisi, sekolah umumnya hanya menganggarkan satu jam pelajaran untuk pelajaran ini. Sementara di sisi lain, Kewarganegaraan juga terlanjur memperoleh cap sebagai mata pelajaran membosankan. Akibatnya, transfer nilai-nilai kebangsaan menjadi tidak maksimal.

Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai penanggungjawab tertinggi administrasi pendidikan Indonesia perlu mempertimbangkan untuk menambah jam pelajarannya. Selain itu, mata pelajaran Kewarganegaraan juga perlu membedah secara eksplisit materi muatan UUD 1945, terutama nilai-nilai dasar yang tengah diperjuangkannya. Kata kuncinya adalah penghormatan terhadap keberagaman. Di tengah pasang naik gerakan politik yang memiliki tendensi untuk mengubah nilai dasar ketatanegaraan Indonesia ini, integrasi nilai-nilai keberagaman dan toleransi penting untuk mendapat porsi besar di dalam sistem pendidikan nasional.

Untuk menjauhkan Kewarganegaraan dari kesan membosankan, aspek normatifnya juga perlu diimbangi dengan kedekatan empiris terhadap realitas di dalam masyarakat. Para siswa perlu diajak untuk banyak bertamasya, mendengar dan melihat sudut pandang orang-orang dengan latar belakang berbeda. Soe Hok Gie pernah mendalilkan bahwa “untuk mengenal Indonesia, kamu harus mengenal masyarakatnya,” sehingga perjalanan dan tamasya ke beragam kantong-kantong sosial sangat penting untuk membangun perspektif kebangsaan Indonesia yang majemuk.


Dengan pendekatan yang tepat, pendidikan konstitusi dapat menjadi investasi yang besar bagi keutuhan bangsa Indonesia di masa mendatang. Hal ini sesuai dengan prinsip “Revolusi Mental” yang menjadi platform dasar bagi Nawacita di era pemerintahan kiwari, yang juga telah diformalisasi melakui Peraturan Presiden tentang RPJMN 2015-2020. Di dalam Nawacita, telah ditegaskan bahwa revolusi karakter bangsa setidaknya mencakup tiga aspek, yaitu pertama, membangun pendidikan kewarganegaraan, kedua, menghilangkan model penyeragaman dalam sistem pendidikan nasional, dan ketiga, jaminan hidup yang memadai bagi para guru terutama bagi guru yang ditugaskan di daerah terpencil. Dengan demikian, salah satu puwarupanya dapat dimulai dari hal-hal yang kecil, yang dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, yaitu pendidikan konstitusi bagi anak-anak kita. (*)

P.S.: Versi asli dari artikel ini diterbitkan di laman Hukum Online, 18/2/2019 [Link]

Rabu, 06 Februari 2019

DPR yang Kuat, DPR yang Ilegitim

22.53 Posted by Arasy Aziz No comments
Sumber: Suara Pembaruan

Pada tahun 2014 silam, melalui Putusan No. 14/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi (MK) memutus bahwa pemilihan umum (pemilu) Presiden dan Wakil Presiden yang dilaksanakan setelah pemilu DPR bertentangan dengan konstitusi. Sebelumnya, undang-undang pemilu yang menjadi obyek Putusan No. 14/PUU-XI/2013 mengatur bahwa untuk dapat mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden, partai atau gabungan partai politik harus memperoleh minimal 20 persen suara dalam pemilu DPR. Mengingat sulitnya satu partai dapat menjadi mayoritas dalam sistem multipartai yang dianut Indonesia, maka koalisi antar partai menjadi niscaya demi dapat memajukan calon Presiden dan Wakil Presiden. Praktik inilah yang dituding sebagai lahan basah bagi politik transaksional. Ada harga yang harus dibayar untuk selembar kertas rekomendasi pencalonan Presiden.

MK pada saat itu tampak sepaham dengan argumentasi pemohon, bahwa keniscayaan transaksional ini akan berujung pada kegagalan pemerintahan berjalan secara efektif. Selain menjadi pemegang prasyarat utama pencalonan, partai-partai yang berhasil melenggang ke Senayan juga memiliki daya tawar lain berupa jumlah kursi yang mereka miliki di dalam DPR. 

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pasca Reformasi, posisi DPR RI memang mengalami penguatan yang signifikan. Beberapa pakar bahkan tak ragu menyebut fenomena ini sebagai sebagai legislative heaviness. Banyak kategori wewenang yang harusnya menjadi hak prerogatif Presiden kini harus dijalankan atas persetujuan dari DPR. Sebagai contoh, Pasal 11 ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan bahwa dalam menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian internasional, Presiden harus memperoleh persetujuan DPR. Pertimbangan DPR juga perlu didengarkan dalam hal pengangkatan duta besar dan konsul, sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (2) UUD 1945.

Dengan demikian, semakin besar jumlah kursi yang dimiliki partai politik di dalam DPR, maka semakin besar pula pengaruh mereka dalam proses pembentukan undang-undang strategis atau pengambilan keputusan-keputusan administrasi negara yang harus mendapat persetujuan DPR. Presiden terpilih nantinya, mau tidak mau, harus memastikan agar kepentingan setiap partai pendukungnya dapat terakomodasi dengan baik. Komposisi menteri di dalam kabinet, di tambah lembaga-lambaga negara tambahan (state auxilliary organ) yang bertanggung jawab kepada Presiden akan diisi oleh elit-elit partai. Jika tidak, ancaman kebuntuan pemerintahan dapat terjadi sewaktu-waktu.

Dalam konfigurasi ini, fungsi utama pemilu DPR akhirnya hanya sebagai pemilu pendahuluan (preliminary election) bagi pemilu Presiden. Pemilu DPR semata dilaksanakan untuk menyeleksi partai mana saja yang berhak untuk mencalonkan Presiden dan mana yang tidak. Ini menjadi penanda lainnya bagi karakter unik presidensialisme Indonesia. Di satu sisi, skema ambang batas pencalonan Presiden (presidential threshold) ini sejatinya lebih umum dikenal dalam sistem pemerintahan parlementer multipartai. Namun di sisi lain, posisi pemilu DPR sebagai preliminary election menunjukkan bahwa partai politik di Indonesia umumnya secara sadar bersepakat bahwa lembaga Kepresidenan jauh lebih penting daripada DPR itu sendiri. Kepesertaan di dalam pemilu DPR hanyalah jalan untuk mencapai tujuan yang lebih besar, yaitu menguasai sistem birokrasi dan administrasi negara beserta anggarannya, yang tidak mungkin dilakukan secara utuh dari lembaga legislatif. Dengan demikian, posisi eksekutif dalam sistem ketatanegaraan Indonesia tetap seronok dan powerful, sebagaimana jamaknya sistem presidensial murni di negara lain.

Dengan demikian, Putusan No. 14/PUU-XI/2013 patut dirayakan tidak hanya dari optik penguatan lembaga Presiden. Putusan ini pun sejatinya memiliki imbas positif bagi penguatan posisi tawar faktual DPR. Dengan amanat pelaksanaan pemilu Presiden-Wakil Presiden dan DPR secara serentak, partai politik kini dituntut untuk lebih berfokus untuk memenangkan pemilu DPR. Terbuka kemungkinan bahwa partai yang memperoleh suara terbanyak di dalam pemilu DPR nantinya bukanlah bagian dari koalisi partai pendukung Presiden-Wakil Presiden terpilih. Akibatnya, DPR nantinya dapat memaksimalkan fungsi-fungsi check and balances terhadap pemerintah, baik dalam segi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dan bahkan jika diperlukan,  bersikap lebih galak terhadap pemerintah.

Statistik kepemiluan Indonesia pasca pemilu Presiden langsung diperkenalkan pada tahun 2004 masih menunjukkan keberpihakan bagi pemilu DPR. Apabila dilihat dari jumlah partisipasi pemilih dalam pemilu, proporsi antara pemilih pemilu DPR dan pemilu Presiden selalu berada pada posisi fluktuatif, dengan pemilu DPR unggul 2-1 atas pemilu Presiden. Pada tahun 2004, angka pemilih aktif pada pemilu DPR sejumlah 124.420.339 orang. Sementara pemilih Presiden (putaran pertama) pada tahun yang sama berjumlah 122.293.844 orang. Proporsi pemilih aktif pada pemilu Presiden kemudian meninggalkan pemilu DPR pada tahun 2009. Para pemilih yang aktif datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada pemilu DPR 2009 sejumlah 121.588.366 orang. Sementara pemilu Presiden 2009 berhasil menarik 127.983.655 orang untuk datang ke TPS. Akhirnya, pada tahun 2014, jumlah pemilih aktif pemilu DPR mencapai 139.573.927 orang. Adapun pemilih dalam pemilu Presiden hanya mencapai jumlah 134.953.967 orang. 

Angka-angka tersebut setidaknya menunjukkan bahwa masyarakat pada umumnya masih menaruh minat besar pada pemilu DPR. Sekalipun di saat yang sama, prestasi DPR tidak pernah memuaskan. Sebagai contoh, pada tahun-tahun pemilu (2009 dan 2014), Indeks Korupsi Birokrasi rilisan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru menempatkan DPR sebagai lembaga terkorup. Contoh lainnya berkaitan dengan fungsi legislasi, di mana dari 50 rancangan undang-undang yang masuk program legislasi nasional (prolegnas) pada tahun 2018, DPR hanya mampu mengesahkan lima diantaranya. Pemilu 2019, dengan demikian, dapat dilihat secara optimistik (sekaligus naif) sebagai momentum bagi perbaikan kinerja DPR. Siapa tau pasca pemilu 2019, DPR yang baru dapat meningkatkan kinerjanya yang meleset jauh pada tahun-tahun silam.

Masalah Legitimasi Pemilu DPR
Namun demikian, skema pemilu 2019 yang menjalankan Putusan No. 14/PUU-XI/2013 membawa konsekuensi lain yang dapat kita amati dengan mata telanjang. Karena pemilu Presiden-Wakil Presiden dilaksanakan secara serentak dengan pemilu DPR, maka percakapan tentang kategori pemilu yang disebut belakangan cenderung tenggelam dari ruang publik. Statistik-statistik pembanding pemilu DPR dan pemilu Presiden pun tak lagi relevan, karena konstituen keduanya secara otomatis beririsan. Masyarakat menjadi lupa bahwa selain harus memilih Presiden pada 17 April mendatang, mereka juga masih harus memilih anggota-anggota DPR yang akan mewakili mereka di Senayan. Publik lebih mudah mengidentifikasi diri mereka dan orang lain secara hitam-putih dengan kandidat Presiden, alih-alih partai politik yang rupa-rupa warnanya. Sebutan Cebong atau Kampret terdengar lebih karib dibanding banteng, kepala garuda, beringin, bola bumi, kabah, dan sebagainya. Bahkan lembaga survey pun lebih asyik memprediksi hasil pemilu Presiden.

Hilangnya percakapan mengenai pemilu DPR di ruang publik menjadi pekerjaan rumah besar bagi partai politik. Kecuali mereka menerima imbas ekor jas dari pemilihan Presiden-Wakil Presiden, partai-partai harus berusaha keras untuk menembus parliamentary threshold yang ditetapkan sebesar 4 persen. Dengan jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap pemilu 2019 yang mencapai 192.828.520 orang, maka sebuah partai setidaknya harus mengumpulkan 7.713.141 suara sah di seluruh Indonesia.

Parliamentary threshold sendiri adalah presentase minimum dari jumlah seluruh suara sah nasional yang harus diperoleh sebuah partai politik agar diikutkan dalam konversi suara ke dalam kursi DPR. Ibarat seleksi CPNS, ini adalah passing grade yang harus diperoleh seseorang dalam Tes Kompetensi Dasar (TKP) agar dapat mengikuti tahapan tes selanjutnya. Apabila salah satunya tidak terpenuhi (semisal ia hanya memperoleh nilai 138 dari standar 143 untuk Tes Karakteristik Pribadi), maka si peserta secara otomatis dianggap gugur.

Dengan tidak lolos parliamentary threshold, sebuah partai akan dianggap tidak pernah ikut pemilu DPR dan semua suara yang diperolehnya dianggap hangus. Aturan ini, untungnya, hanya berlaku bagi pemilu DPR. Sementara di level DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota berlaku prinsip tarung bebas, sesuai dengan Pasal 414 ayat (2) UU Pemilu. Semua partai politik, dengan demikian, diikutkan dalam perhitungan suara dan konversi kursi di level DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

Masalahnya, survei-survei dari berbagai lembaga menunjukkan hanya 5 atau 6 dari 16 partai politik peserta pemilu yang diprediksi dapat menembus 4 persen parliamentary threshold tersebut. Mengacu pada hasil survei unit penelitian salah satu media (Litbang Kompas), total presentase dari suara prediktif kelima partai tersebut mencapai 63,2 persen. Artinya, akan ada 36,8 persen sisanya, atau 70.960.896 suara, yang akan hangus sia-sia dan sama sekali tidak diperhitungkan.

Apabila realitas nantinya sejalan dengan prediksi-prediksi tersebut, maka pemilu 2019 akan dicatat sejarah Indonesia pasca Reformasi sebagai pemilu DPR paling tidak representatif, sekaligus paling tidak legitim. Dengan alam sosial Indonesia yang mejemuk, situasi ini jauh dari kata ideal dan dapat mencerabut hak representasi politik dari kelompok-kelompok masyarakat yang spesifik. Masing-masing daerah cenderung memiliki karakter masyarakat yang berbeda dan memungkinkannya menjadi basis suara bagi partai dengan karakter yang selaras. Kebijakan parliamentary threshold yang tinggi ini pada akhirnya akan menyebabkan suara-suara yang spesifik itu menjadi tidak terwakili.

Dalam kurun waktu yang tersisa jelang pemilu DPR ini, pemerataan presentase suara sejatinya menjadi target paling realistis bagi partai politik. Selain berfokus pada pilpres, partai politik seharusnya bahu membahu demi tujuan ini dan menjaga iklim demokrasi Indonesia agar tetap sehat.

Lebih lanjut, fenomena ini barangkali akan memantik kita untuk mempertanyakan lebih lanjut pilihan-pilihan ketatanegaraan yang telah kita ambil, seperti mengenai sistem pemilu dan bentuk pemerintahan. Pada periode Reformasi memang telah lahir kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial, dan penerapan parliamentary threshold yang ketat adalah salah satu bentuk implementasinya. Dengan semakin sedikitnya jumlah partai yang lolos ke DPR, maka lawan negosiasi yang harus dihadapi pemerintah dalam proses pengambilan keputusan semakin sedikit pula. Presiden akhirnya akan memilih meninggalkan partai-partai pendukungnya yang gagal lolos parliamentary threshold dalam proses penyusunan kabinet, terutama setelah reshuffle dilaksanakan.

Namun, 70.960.896 suara tetaplah jumlah yang terlalu mencolok untuk berakhir sebagai abu dan asap, tanpa pernah dihitung sama sekali. Jika dibiarkan, DPR akan gagal merepresentasikan realitas politik yang sebenarnya di dalam masyarakat, dan dengan demikian, kehilangan legitimasinya. Partai-partai dalam jangka panjang kemudian akan semakin berjarak dari kemajemukan masyarakat Indonesia. Yang diuntungkan adalah oligark yang menjadikan kemenangan di pemilu sebagai pusat kehidupan ekonominya. (*)