Fiat Lux

Rabu, 31 Januari 2018

Bukittinggi: Kesan-kesan Pertama

06.52 Posted by Arasy Aziz , , , 3 comments
Saya mengecek ponsel pintar saya sebelum turun dari bus Bengkulu-Bukittinggi. Jam saya menunjukkan pukul 9 lebih sedikit. Sisa-sisa penumpang di dalam bus turun perlahan-lahan, memastikan diri tidak terjerembab ke aspal keras terminal. Sesekali kernet bus membantu orang-orang yang lebih tua dan renta, sebelum dimintai tolong mengambil barang di bagasi. Kerumunan telah berpindah dari lorong ke lambung kanan bus, memastikan barang bawaan mereka lengkap dan baik-baik saja.

Saya sendiri tak membawa bagasi. Bekal saya hanya satu tas ransel kuliah. Yang saya lakukan pertama kali ketika menjejak tanah adalah minum air sebanyak-banyaknya. Di hari-hari biasa, saya bisa menghabiskan air seliter dua dalam sehari. Dalam perjalanan 18 jam Bengkulu-Bukittinggi, kebiasaan itu terpaksa saya tinggalkan sejenak untuk memastikan agar tidak berkali-kali harus buang air kecil. Walaupun di dalam bus tersedia toilet, namun bolak-balik ke sana jelas merepotkan. Toilet itu terletak di pojok belakang badan bus, sementara saya kebagian kursi hanya dua baris di belakang pengemudi.

Setelah segala urusan dahaga dituntaskan, saya mulai merenggang-renggangkan badan yang terasa patah-patah. Rasanya, saya belum pernah duduk berkendara selama ini. Waktu tempuh kereta Matarmaja Malang-Jakarta pun sama panjangnya. Namun kereta api masih memungkinkan kita berjalan-jalan sesekali. Sementara di bus, kita dituntut untuk diam semata-mata.

Diam-diam, saya mulai membayangkan kasur yang empuk.

Saya bergegas membuka aplikasi penyedia jasa travel, dan mulai mencari-cari hotel.  Sejak semula, perjalanan ini saya rancang tanpa itenerary yang kaku. Semuanya saya biarkan dilakukan dengan spontan berdasarkan pikiran sepintas lalu. Tujuan-tujuan dan akomodasinya direncanakan dan dieksekusi dalam waktu yang bersamaan. Pada mulanya, model seperti ini tampak menawarkan keseruan-keseruan yang tak terduga. Apalagi perkembangan pesat teknologi digital hari ini semakin memudahkan perjalanan-perjalanan. Namun ada sisi-sisi pahit yang muncul kemudian, dana akan saya ceritakan pada bagian yang lain.

Aplikasi saya segera menunjukkan hotel murah bernama NZSW yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari terminal Aur Kuning. NZSW menyewakan ruangan berkasur tunggal, dengan kamar mandi berair panas dan kipas angin. Peranti yang disebut belakang rasanya tidak benar-benar diperlukan, mengingat dingin telah menyergap saya sejak menjejakkan kaki di kota ini. Hawa dingin mejadi identik dengan Bukittinggi karena letaknya yang menyempil di dataran tinggi Minangkabau, diapit gunung Singgalang dan Marapi, 909-941 meter di atas pemukaan laut. Tanpa ragu, saya mengambil tawaran NZSW itu.

Saya sempat mengalami disorientasi ketika mencoba menentukan arah mata angin dan nama jalan yang menjadi alamat NZSW dari titik mula saya. Saya hampir berbelok ke arah yang salah, sebelum seorang bapak yang tengah mengaso memperbaiki kekeliruan saya. Pencarian lokasi selebihnya  saya serahkan kepada asistensi Google Maps.

Tak kurang dari 10 menit, saya telah tiba di depan hotel itu. Dari luar, tidak ada identitas apapun yang menandai eksistensi NZSW. Papan namanya baru terpampang besar-besar di belakang meja resepsionis, segera setelah kita memasuki lobby hotel: NZSW, dengan tambahan anak nama “Khusus Sales”. Belakangan saya ketahui bahwa anak nama itu berarti harfiah. Hotel ini, termasuk sejumlah fasilitas pendukungnya, mulanya hanya disediakan khusus pedagang keliling yang tengah singgah di Bukittinggi. Termasuk motor rental yang tidak disewakan untuk tamu umum. Entah apa alasannya.

Yang juga cukup mengecewakan, hotel ini rupanya tidak membolehkan tamu untuk check in sebelum waktu yang ditentukan, yaitu pukul 14.00. Artinya, saya masih harus menunggu beberapa jam lagi untuk merebahkan diri.  Beruntung, mereka masih berbaik hati untuk meminjamkan toilet, sehingga saya bisa menunaikan hajat. Di lobby juga tersedia sejumlah port listrik yang bersebelahan dengan bangku-bangku jati. Saya memanfaatkannya untuk mengisi ulang baterai gawai-gawai yang hampir habis, sebelum memutuskan untuk langsung mengelilingi Bukittinggi terlebih dahulu.

Bukittinggi merupakan salah satu kota modern tertua di bumi Andalas. Sejarah keramaiannya telah dimulai sejak periode yang amat lampau, ketika orang-orang Minang yang permulaan menjadikannya pusat perdagangan. Lokasinya sangat strategis, terletak pada irisan-irisan Luhak Nan Tigo: Tanah Datar, Agam dan Lima Puluh (Lima Puluah). Luhak nan Tigo sendiri menandai ruang-ruang hidup tertua dalam sejarah masyarakat Minang. Dari ketiganya, peradaban Minang dimulai dan menyebarluas ke wilayah yang lebih rendah. Saya mebayangkan, Bukittinggi pada masa itu menjadi wadah silaturahim antara saudara sesuku yang terpisah jarak.

Pecahnya perang Padri pada 1803 secara langsung semakin menguatkan fungsi Bukittinggi sebagai kota modern. Konstelasi perang yang dimulai oleh kaum padri (ulama) dan kaum adat itu segera berubah ketika Belanda mulai dilibatkan. Awalnya diundang untuk membantu kaum adat melawan kaum padri, Belanda justru menjelma menjadi musuh bersama. Seiring dengan persatuan masyarakat Minang di bawah panji bersama, Belanda mulai memindahkan pusat militernya ke tempat baru, yang menjadi kota Bukittinggi pada hari ini. Sebagian besar peninggalan dari era itu kini tersebar di penjuru kota, dan menjadi pusat-pusat perhatian pariwisata.

Saya mengarah ke tengaran (landmark) Bukittinggi yang paling terkenal: Jam Gadang. Resepsionis NZSW mengarahkan saya untuk menaiki angkot merah. Ia tak lupa mengingatkan bahwa salah satu provider ojek daring telah tersedia jasanya di kota ini. Saya memilih naik angkot.


Mulanya saya mengira bahwa Jam Gadang akan tampak begitu saja dari dalam angkot, sehingga saya akan segera tau harus turun di mana. Bangunan ini harusnya tampak mencolok dengan ketinggiannya. Namun bermenit-menit kemudian saya mulai meragukan keyakinan saya sendiri. Pada salah satu pusat keramaian, secara instingtif saya memutuskan bertanya ke salah satu penumpang. “Di mana harus turun kalau mau ke Jam Gadang, uni?” Ia menjawab bahwa saya harusnya turun di sini, sekarang juga, sembari meminta angkot menepi. Saya berterima kasih kepadanya, dan memberikan selembar lima ribuan kepada pengemudi angkot. Si pengemudi menyerahkan selembar dua ribu sebagai kembalian.

Pusat keramaian ini dikenal sebagai Pasar Ateh atau Pasar Atas. Di tengah-tengahnya, pada sebuah plaza yang cukup luas, berdiri Jam Gadang yang mahsyur itu.

Dibanding Pasar Ateh, usia Jam Gadang sesungguhnya relatif lebih muda. Pasar Ateh telah didirikan sejak 1858 oleh administrasi kolonial, seiring dengan pertumbuhan Bukittinggi pasca perang Padri. Adapun pembangunan Jam Gadang diselesaikan pada tahun 1926, sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, kontrolir Bukittinggi pada masanya.  Menariknya, menara ini dibangun tanpa adukan semen sama sekali. Strukturnya tersusun atas campuran pasir, batu, kapur dan putih telur. Mesin jamnya dipesan dari sebuah pabrik di Jerman.

Perubahan rezim yang terjadi di nusa antara sepanjang abad 20 turut berimbas pada rona-rona wajah Jam Gadang, terutama pada ornament yang melingkupi pucuknya. Pada mulanya, Jam Gadang mengenakan “topi” runcing dengan patung ayam jantan di puncaknya.  Ketika Jepang masuk dan menggantikan administrasi Hindia Belanda pada 1942, ornamen itu segera berganti dengan bentuk atap yang khas, terinspirasi dari kuil-kuil Shinto di Jepang. Barulah setalah Indonesia merdeka, pemerintah meletakkan atap bergonjong di puncaknya, meniru bentuk rumah adat Minangkabau.

Pada siang yang mulai menerik itu, plaza di seputaran Jam Gadang sedang ramai-ramainya. Ribuan manusia menyemut dalam sekali waktu. Namun suasana yang riuh tak melunturkan kharisma sang menara. Jam Gadang yang seputih pualam berdiri tegak, berpendar-pendar kontras memantulkan cahaya matahari.

Puas mengambil gambar, saya kemudian bergeser ke bagian dalam pasar, mengamati aktivitas jual beli yang berlangsung riuh. Sebagian besar pedagang di dalam memilih berjualan tanda mata khas Bukittinggi dalam beragam bentuk. Dari pernik dan aksesoris-aksesoris mini, tees dengan ungkapan-ungkapan jenaka dalam bahasa Minang, hingga miniatur Jam Gadang dalam beragam ukuran. Selain oleh-oleh, para pedagang yang lain juga menawarkan berbagai produk garmen untuk dikenakan di rumah. Mereka adalah pengungsi dari bagian Pasar Ateh yang terbakar setahun silam dan hingga kini belum direnovasi kembali. Beberapa pelancong tampak berhenti sejenak untuk melihat-lihat dan terlibat tawar menawar.

Alih-alih berbelanja, saya sendiri lebih tertarik untuk mencari makan siang. Salah satu segmen kawasan pasar Ateh memang dikenal sebagai pusat kulinari nasi kapau terbaik di Bukittinggi. Ketika saya menemukannya, puluhan lapak nasi kapau tampak berdiri berderet-deret, menguarkan bau ke udara yang langsung memancing produksi saliva. Saya memilih salah satu yang sudah sangat terkenal kelezatannya. Di papan namanya, tertulis nama “Nasi Kapau Uni Lis”. Mata saya setengah berbinar demi mengamati jejeran baskom-baskom berisi masakan kaya bumbu di dalamnya. Saya masuk dan memesan satu porsi dendeng lado ijo. Kesan tentangnya agaknya harus saya ceritakan di segmen berbeda, bersama ragam kulinari lain yang saya coba di bumi Minang.

Ketika urusan dengan logistik telah selesai, saya kembali mengayunkan langkah ke destinasi lain. Kali ini saya menuju ke Fort de Kock, di belahan kota yang lain. Kota Bukittinggi yang kecil memungkinkan perpindahan antara dua tujuan dijangkau dengan berjalan kaki. Tantangan terbesarnya adalah lanskap kota yang berbukit-bukit. Kadang saya dipaksa mendaki, sebelum menuruni jalan kembali.


Benteng Fort de Kock sendiri memiliki sejarah yang berkelindan erat dengan Bukittinggi tempatnya berdiri. Benteng ini didirikan di tengah periode perang Padri pada tahun 1825, atas inisiatif Kapten Bouer. Nama de Kock diambil dari nama belakang Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada masa itu, Hendrik Merkus de Kock. Keberadaannya menjadi monument bagi perluasan kekuasaan kolonial, yang memanfaatkan retakan-retakan oleh perang saudara di bumi Minang. Belakangan, nama, Fort de Kock justru diabadikan sebagai nama resmi dari Bukittinggi. Fakta ini seolah menggambarkan bahwa bukan Fort de Kock yang sejatinya menjadi basis pertahanan terkuat bagi bangsa Belanda, melainkan topografi Bukittinggi yang berlereng-lereng dan berbukit-bukit. Bukittinggi pun terlindungi oleh parit maha raksasa yang tak dapat dibangun oleh kekuatan manusia manapun. Pagar itu adalah ngarai Sianok, membentang sepanjang 15 kilometer di timur kota.

Dugaan ini tampak relevan apabila kita menengok struktur fisik Fort de Kock. Ia adalah sebuah bangunan persegi dengan tinggi sekitar 6 meter dari permukaan tanah. Puncak-puncaknya memberikan gambaran leluasa ke penjuru kota. Walaupun berat badan bertambah, saya berhasil naik ke sisi ini. Ia tampak berbeda apabila dibandingkan dengan bentuk-bentuk benteng yang pernah saya temui di sisi lain Nusantara. Tidak ada dinding tebal dari batu cadas atau bata yang berkeliling. Tidak ada bastion-bastion dengan moncong meriam tembaga mengarah ke luar. Fort de Kock lebih tampak sebagai menara jaga ke segala ada. Anehnya dengan struktur yang tampak ringkih itu, tiada satupun yang berhasil mengganggu gugat keberadaannya, setidaknya hingga Belanda menyerah ke tangan Jepang pada 1942.




Saya tak berlama-lama di atas Fort de Kock. Di kawasan yang sama juga terdapat suaka marga satwa mini serta taman budaya Minang. Uniknya, kedua sisi ini terletak berseberangan, terbagi dua oleh jurang yang di dasarnya terdapat jalan raya. Satu-satunya akses yang menghubungkan sisi-sisi ini adalah jembatan Limapeh. Dari tengah jembatan, kita dapat mengamati puncak Jam Gadang.

Ketika matahari semakin membakar, saya berjalan kaki sekali lagi untuk mencapai tujuan saya yang lain. Menziarahi masa kecil dia yang namanya hanya saya kenal dari buku-buku sejarah, dari masa lalu bangsa ini. Saya berlalu menuju Rumah Masa Kecil Bung Hatta. Sayangnya ketika saya tiba di sana, pagar rumah tampak terbelit rantai dengan gembok besar menggantung di sela-selanya. Tidak ada aktivitas yang tampak di dalam. Seorang pemilik warung disebelahnya segera member tahu bahwa sang penjaga sedang beristirahat siang. “Kembalilah sekitar jam 2 nanti.”

Saya menengok ponsel pintar saya. Jam digital di antar mukanya menunjukkan waktu yang belum jauh meninggalkan tengah hari. Ke mana saya harus menunggu? Saya iseng membuka browser HP saya, dan mencari kedai kopi menyenangkan di sekitaran Bukittiinggi. Di antara beberapa rekomendasi, saya memilih Taruko. Ia tampak menggoda dan tak biasa karena terletak di dasar ngarai Sianok. Saya beralih ke aplikasi ojek daring, menunggu beberapa detik, sebelum muncul notifikasi bahwa order saya diterima. Di layar tercantum nama Zulfadli. Sang empunya nama segera merapat sekejap kemudian, dan bersiap mengantar saya ke Taruko di dasar Sianok. Belakangan, dari Zulfadli saya mendapat cerita-cerita sederhana namun menarik dari ngarai yang spektakuler itu. (*)

Sekelumit tentang Pusat Kota Bukittinggi:
Selain menjadi tengaran, Jam Gadang juga berfungsi sebagai titik nol kilometer dan penanda pusat kota Bukitinggi. Tidak ada biaya yang dipungut untuk memasuki kawasan ini. Dari Jam Gadang, berbagai destinasi wisata lain relatif dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Semisal Fort de Kock yang hanya berjarak lima menit. Untuk memasuki kawasan Fort de Kock yang merangkap Taman Margasatwa Kinantan, pengunjung harus membeli tiket seharga Rp15.000. Pengunjung akan kembali dipungut tiket seharga Rp10.000 apabila hendak memasuki Rumah Adat Baanjuang.

Saya memilih hotel NZSW untuk menginap di Bukittinggi. Apabila memesan melalui biro perjalanan daring, tarif menginap berkisar Rp150.000. Harga tersebut mencakup fasilitas yang relatif lengkap, yaitu kasur tunggal, kamar mandi dengan air panas, kipas angin, WiFi, televisi, dan air isi ulang bersama. Selain NZSW, tersebar juga beragam penginapan lain dengan harga bervariasi.

Selasa, 30 Januari 2018

Dari Van Der Wijk ke Bukittinggi

10.46 Posted by Arasy Aziz , , , 6 comments

Saya diam-diam menyimpan asa untuk mengunjungi ranah Minang sejak masa Madrasah Aliyah. Pada awal tahun 2018, tepat sehari setelah tahun baru, saya akhirnya berhasil mewujudkannya. Dalam perjalanan panjang di atas bus Bengkulu-Bukittinggi, saya mengingat-ingat kembali mengapa tanah yang melahirkan banyak perumus keindonesiaan kita hari ini layak diziarahi.


Saya membaca Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk untuk pertama kalinya di bangku kelas 2 Madrasah Aliyah. Buku itu bersampul biru gelap dengan sejumput warna putih yang seolah tumpah di atasnya, ibarat buih-buih yang disisakan sapuan gelombang laut.  Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk terselip di antara rak sastra perpustakaan madrasah kami, di antara puluhan judul novel-novel lain. Saya tak benar-benar ingat alasan mengapa memilih membacanya. Barangkali saya tergoda oleh nama penulisnya yang mahsyur, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), atau atas judulnya yang tersusun dari lima kata. Keduanya tercetak di punggung buku, yang segera tampak sepintas lalu ketika ia berdiri dijejerkan.

Yang benar-benar saya ingat kala itu adalah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk tak tuntas saya baca dalam sekali duduk, di sela waktu istirahat pertama kami yang hanya 30 menit. Di akhir waktu yang singkat itu, saya memutuskan meminjam Van Der Wijk untuk dibawa pulang ke asrama.

Ringkasnya, kisah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk berpusat pada kemalangan Zainuddin. Sejak lahirnya, ia dianggap tak berbangsa dan tak beradat karena lahir dari kawin silang yang tak jamak antara seorang putra Minang dan perawan Bugis. Kita tahu bahwa orang-orang Minang adalah suku terbesar di dunia yang masih mempertahankan sistem matrilineal. Artinya, garis keturunan seseorang ditentukan berdasarkan siapa ibunya. Sementara orang-orang Bugis adalah kontrasnya yang berkebalikan, dimana pihak ayah yang menjadi landasan perunutan latar kesukuan seseorang. Dalam situasi berayah Minang beribu Bugis, asal-usul Zainuddin dianggap ganjil dan serba kabur. Ia merantau jauh-jauh ke Batipuh, kampung halaman ayahnya di barat Andalas, hanya demi mendapati penolakan dari keluarganya.

Kesedihan itu sedikit terobati ketika Zainuddin bertemu dengan Hayati. Berawal dari pinjam meminjam payung sepulang mengaji, kedunya terlibat dalam hubungan surat-menyurat yang mendayu. Kebiasaan itu berlanjut sekalipun Zainuddin telah dipaksa pindah ke Padang Panjang. Ini sejenis konspirasi yang dirancang denga sengaja untuk menjauhkan Zainuddin dan Hayati. Ketika memisahkan keduanya tampak tak menghentikan masa-masa manis dan bergairah itu, ninik mamak Hayati mengambil langkah lebih lanjut. Hayati dipaksa untuk menikahi Aziz, seorang pemuda mapan putra ambtenaar kolonial. Tragedi kedua ini tampak lebih berat untuk ditanggung oleh Zainuddin, membikin ia lupa akan masalah ketunabangsaannya.

Belakangan, butuh berhari-hari hingga halaman demi halaman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk benar-benar saya tandaskan. Bagi saya di bangku kelas 2 Madrasah Aliyah, gaya bahasa yang dipilih HAMKA relatif rumit dan sulit dicerna. Ia tampak  bertutur di atas pengaruh naratif hikayat Melayu. Kita mafhum, mengingat pada saat roman itu ditulis, HAMKA menjabat sebagai redaktur di sebuah surat kabar di Medan, pusat kebudayaan Melayu Deli. Ada bunga-bunga kalimat di sana-sini, yang dihela-hela agar tampak puitik. Struktur bahasanya mengikuti ejaan zamannya, pada tahun-tahun ketika roman itu ditulis, 1938. Kadang-kadang, saya membaca satu dua paragraf berkali-kali, sebelum mencermati segmen-segmen cerita yang lain.

Di antara kesulitan-kesulitan itu, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk menyisakan banyak hal yang membekas di benak saya. Yang terbayang-bayang adalah gambaran mengenai keindahan sisi-sisi dataran tinggi Minangkabau yang diapit oleh gunung-gunung berapi. Kadang-kadang, dapat saya dengar sayup-sayup nyanyian dari seruling pada pagi yang dingin di tepian danau Singkarak, atau pemandangan mata elang rumah-rumah gadang yang berdiri di tengah sawah-sawah muda.

Kadang-kadang, saya merasa sebagai orang Minang yang lahir di tempat lain. Ragam bahasa jerman memiliki kosa kata yang menandai fenomena itu: fernweh. Kerinduan kepada tanah-tanah yang belum pernah kita pijaki.

Dalam Van Der Wijk, beberapa kali keindahan yang layak dirindukan itu menemui bentuk dalam diri Hayati. Hayati adalah “lambaian gunung Merapi, yang terkumpul padanya keindahan adat istiadat yang kokoh dan keindahan model sekarang.” Hayati adalah kembang yang berpendar di dalam rumah gadang ninik mamaknya.

Beberapa tahun kemudian, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk diangkat ke layar lebar, memberi gambaran visual yang semakin tajam dan lengkap tentang kecantikan alam Minangkabau. Air permukaan danau di subuh yang dingin menjadi latar tempat bagi kegelisahan Zainuddin. Di tepiannya, Zainuddin kerap digambarkan menulis syair-syairnya, curahan kegelisahannya. Matahari belum naik hingga sepenggalan, dalam terang yang masih samar, menampilkan lanskap memukau dan tragis sekaligus.


Ketika cakrawala saya semakin meluas, rasa "rindu" kepada tanah Minang tak lagi sekadar tentang kehendak untuk menziarahi realitas Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Semakin banyak saya membaca, semakin saya menyadari bahwa tanah ini juga merupakan rahim dari tokoh-tokoh bangsa yang saya kagumi. Menyebutnya satu per satu tak akan habis. Dari Tan Malaka, Muhammad Yamin hingga Bung Hatta. Dari HAMKA sendiri, AA Navis, hingga Raudhal Tanjung Banua yang saya gemari cerpen-cerpennya. Pun, masing-masing mewakili bias politik yang berbeda-beda.

Demokrasi untuk Indonesia, biografi pemikiran politik Hatta yang ditulis Zulfikri Suleman, menautkan muasal dari tradisi intelektual ini pada nilai-nilai dan pepatah-petitih yang diwariskan masyarakat Minang sendiri. Suleman menilai, terdapat kecenderungan egaliter dalam dinamika sosial masyarakat Minang. Orang-orang Minang telah lama membentuk perspektif kesetaraan antara satu manusia dengan manusia yang lain. Sekalipun di dalam setiap individu ditemukan
“perbedaan fungsional … tidak menghilangkan kesamaan nilai masing-masingnya, seperti dijelaskan dalam ungkapan: Nan buto paambuih lasuang, nan pakak palapeh badie, nan lumpuah pauni rumah, nan kuek pambao baban, nan binguang di suruoh-suruoh, nan cadiek lawan barundiang (yang buta penghembus lesung, yang tuli penembak bedil, yang lumpuh penunggu rumah, yang kuat pembawa beban, yang bingung disuruh-suruh, yang cerdik untuk lawan berunding).”

Setiap manusia dianggap memiliki keunggulan yang memungkinkan mereka berhimpun dalam masyarakat guna melengkapi kekurangan satu dengan yang lain. Saling hormat-menghormati, tanpa praduga yang merendahkan kemampuan masing-masing. Situasi ini, sebagaimana didalilkan Habermas puluhan tahun silam, adalah kondisi ideal agar diskursus dalam berlangsung dengan kondusif. Dengan terbentuknya ruang diskursif, pembentukan wacana dapat diselenggarakan dengan memadai. Memudahkan literasi anggota-anggotanya.

Di dalam alam sosial Minang, giat literasi itu mewujud secara fisik dalam pranata surau. Sejak muda, anak-anak Minang didorong untuk mengaji dan mempelajari kitab-kitab klasik. Beberapa orang yang saya temui nantinya di dalam perjalanan saya mengamini fungsi penting surau hingga hari ini. Semisal Amzal, sosok pegawai yang menjaga rumah kelahiran Bung Hatta. Pria paruh baya itu mengaku masih mendorong ketiga anaknya untuk mengaji di surau, dan diam-diam sibuk memikirkan penyelenggaraan khataman Quran si sulung. Di Minang, kelulusan dari surau tampak dirayakan sama meriahnya dengan momen-momen kegembiraan yang lain.

Orang-orang Minang pun memegang prinsip “baa di urang, baa di awak”: apabila seseorang mampu, kita pun pastilah bisa melakukannya. Mereka dididik untuk terus berusaha demi mencapai kemajuan individu. Kemajuan ini didapat dari proses belajar yang terus menerus, dari sumber ilmu di seluruh penjuru bumi. Seiring sejalan dengan kredo “alam takambang jadi guru”, alam semesta sebagai guru seumur hidup.

Tentu saja sekadar menjadi pejalan dalam hitungan hari tak akan membuat saya tuntas mempelajari nilai-nilai luhur itu. Namun kesemuanya lebih dari cukup sebagai alasan untuk berziarah ke Minangkabau minimal sekali seumur hidup. Ziarah kepada gambaran molek di dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, hinga kekaguman saya kepada sosok-sosok terbaik yang mungkin tak dapat dilahirkan untuk kali kedua di Indonesia hari ini.

Ketika perjalanan di Bengkulu saya tuntaskan, arah kompas saya arahkan ke utara. Ke alam Minangkabau yang permai. Rencana awalnya, pengeluyuran saya akan dimulai dari Bukittinggi, terus ke utara menuju danau Maninjau, sebelum mengakhirinya di Padang, ibukota provinsi Sumatera Barat.

Bengkulu ke Bukittinggi dapat diakses secara langsung dengan kendaraan darat. Walaupun terletak bersisian atas bawah di peta Indonesia, perjalanan Bengkulu ke Sumatera Barat rupanya memakan waktu yang cukup lama. Dalam situasi normal, bus harus bergesekan dengan panas aspal selama 18 jam. Bus-bus tersebut memang memilih rute yang sedikit memutar. Mereka akan menuju ke kota Lubuk Linggau di Sumatera Selatan terlebih dahulu, kemudian Jambi, baru bergerak ke Timur Laut, memasuki wilayah Sumatera Barat. Pukul 11 lewat sedikit, di bawah terik matahari Bengkulu yang memanggang, bus berarak meninggalkan kota.

Lepas Curup, ibukota kabupaten Rejang Lebong, laju bus mulai tampak tersendat. Kemacetan yang awalnya tampak satu dua, mulai kelihatan mengular dan berkilo-kilo panjangnya. Walaupun menggelisahkan, waktu tak benar-benar terasa terbuang oleh pemandangan di kanan-kiri jalan. Bus kami terjebak di tengah sebuah kawasan dataran tinggi dengan hamparan kebun sayur mayur yang menjangkau kaki-kaki Bukit Barisan. Ketika bus berjalan, pemandangann berganti dengan kebun-kebun bunga yang tengah mekar. Saya terkagum-kagum diam-diam, Butuh dua jam hingga kami tiba di ujung simpul kemacetan, yaitu sebuah kawasan danau buatan yang tampaknya tengah ramai. Danau elok itu terletak di tepian jalan lintas Bengkulu-Linggau. Tak terhitung jumlah kendaraan yang berhenti sekenanya untuk menikmati panorama.



Bus kami akhirnya beristirahat sejenak di Lubuk Linggau untuk makan malam. Sisa perjalanan yang masih berjam-jam lagi saya habiskan dengan tidur yang tak benar-benar lelap. Keesokan paginya, saya terbangun oleh alarm HP saya yang lupa dimatikan. Waktu menunjukkan hampir setengah 6 lewat, lepas waktu subuh di wilayah Sumatera Barat. Bus singgah sekali lagi di salah satu masjid, sebelum kembali melaju. Kami telah memasuki wilayah Solok.

Bus kami lalu berkelok-kelok sedikit, hingga lepas salah satu tikungan, pemandangan bukit dan perumahan berganti dengan muka air yang meluas. Sepanjang mata memandang hanya ada air, kemudian air lagi, hingga ke ujung-ujung yang berbatasan dengan gunung-gunung di sisi seberang. Permukaannya tampak tenang dan tidak beriak, memantulkan sisa-sisa gelap malam yang hampir berganti. Dari jendela bus, sisa gelap itu tampak membungkus sampan-sampan yang bergerak di atas danau. Bus masih melaju perlahan di jalan sempit yang masih berkelok, sebelah menyebelah dengan tepi-tepi air. Kadang-kadang, jalan itu beririsan dengan rel-rel kereta yang telah mati dan ditinggalkan,

Kami telah memasuki kawasan danau Singkarak. Kami telah memasuki latar yang bisu dari tragedi cinta Zainuddin dan Hayati.

Mata saya terpaku pada ketenangan Singkarak di pagi yang dingin itu. Sepanjang 30 menit, bus berjalan bersisian dengan muka airnya yang luas. Perlahan, sisa-sisa malam ditelan cahaya malu-malu matahari pagi. Langit beganti dalam layer yang memukau, bersusun-susun antara biru gelap, jingga yang semburat, dan hijau. Hijau dari gunung-gunung di sisi Singkarak yang lain. Cahaya pagi yang hangat membuat gunung-gunung mulai tampak mendetil.

Kadang-kadang, pemandangan tepian Singkarak diselingi dengan permukiman-permukiman rakyat. Atap-atap runcing rumah gadang tampak menyembul di sela-sela rumah-rumah yang lebih modern. Awalnya satu dua, lalu semakin semarak. Sebagian berdiri lapuk, namun sebagian besar sisanya masih tampak terawat dengan baik. Dinding-dindingnya dilumuri dengan warna-warna dan ukiran khas Minang. Lepas subuh, jendela-jendelanya dibiarkan terbuka untuk menyilakan udara sejuk datang bertamu. Saya membayangkan udara itu berputar-putar sejenak di dalam rumah, sementara mamak-mamak di dalamnya memandang keluar dengan secangkir teh yang hampir dingin.

Dari dalam bus, vista yang saya lihat dalam mimpi-mimpi saya menemui wujud materialnya, Danau Singkarak, dataran tinggi, rumah-rumah gadang yang elok itu. Agaknya saya tak dapat menikmatinya dengan cara yang lebih-lebih lagi, kecuali terdiam dan memaku pandangan saya sedalam-dalamnya ke lanskap memukau itu.

Bus masih bergerak, belum sepenuhnya meninggalkan Singkarak, ketika ia melalui sebuah papan penanda wilayah yang segera saya kenali: Batipuh. 

Batipuh hari ini telah menjelma menjadi dua kecamatan yang membentang dari tepian Singkarak hingga ke dataran yang lebih tinggi. Pemandangan tanpa terasa telah berganti, antara muka air yang habis, dengan lahan-lahan pertanian warga yang dikerumuni padi-padi siap panen, bersusun-susun di kaki bukit membentuk unit-unit terasering. Dari puncak jalan yang mendaki, danau Singkarak semakin tampak mengerdil, menjauh.

Apa yang saya lihat hari ini, dari puncak-puncak tanjakan ini, saya bayangkan sebagai pemandangan yang juga disaksikan Zainuddin ketika tiba di Batipuh pertama kali. Bedanya, Zainuddin harus menerima kenyataan pahit yang tak sejalan dengan apa yang dibayangkannya sebagai sebuah tempat peraduan, kampung halaman yang hilang. Alih-alih menjadi kampung, Batipuh justru bersikap sudi tak sudi menghadapi sang manusia yang tuna bangsa itu.

Penelusuran lebih lanjut kemudian menemukan bahwa Batipuh tidak hanya menjadi latar bagi kesunyian Zainuddin. Sejak lama, wilayah ini telah menjadi saksi bagi banyak peristiwa penting dan berdarah-darah dalam sejarah Minangkabau.

Batipuh menjadi salah satu arena pertempuran dalam Perang Padri yang kompleks dan trigunal; dimulai oleh kaum padri (ulama) dan adat secara berhadapan, sebelum militer kolonial terlibat dan mengubah peta kekuatan. Kehadiran Belanda, yang awalnya diharapkan akan membantu kaum adat dalam menghadapi kaum padri, justru menjadi musuh bersama yang mempersatukan keduanya. Perang Padri pada akhirnya memang berhasil diredam pada 1833, namun sisa-sisa duka dan kebencian masih tersisa di hati masyarakat Minang. Apalagi kemenangan itu diikuti dengan perubahan besar-besaran dalam sistem sosial ekonomi masyarakat.

Pada 1841, pecah pemberontakan di Batipuh yang notabene merupakan residu dari Perang Padri. Ada setidaknya dua motif yang melatari perlawanan ini; kehendak Tuan Gadang, regent Tanah Datar, agar diangkat sebagai raja baru kerajaan Pagaruyung, serta kebijakan tanam paksa yang amat menyengsarakan rakyat. Sisa-sisa kebijakan itu adalah kebun-kebun kopi yang tersebar di beberapa sudut wilayah ini.

Lokasi Batipuh dan daerah sekitarnya memang serba strategis, dijepit oleh hawa dingin dan tanah subur limpasan gunung Singgalang dan ruah air dari Singkarak. Inilah anugerah alam dan paradoks Batipuh yang berulang kali digambarkan HAMKA terpersonifikasi dalam diri Hayati, dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Menyulitkan Zainuddin untuk sekadar pindah ke Padang Panjang dan meninggalkan gadis yang dipujanya.

Mulanya saya membayangkan bahwa jarak Batipuh-Padang Panjang tentulah memang jauh. Ternyata, kedua wilayah ini berbatasan satu sama lain. Sebelum saya tersadar dari khayalan saya yang bercampur baur antara alam fiksi dan realitas Batipuh, bus kami telah memasuki gerbang kota Padang Panjang. Sebagaimana ditulis HAMKA dalam Van Der Wijk, jarak yang menganga antara Batipuh-Padang Panjang memang semata terbentuk dari budi pekerti dan tabiat Zainuddin sendiri, alih-alih menggambarkan satuan yang aktual.

Bus kami singgah di terminal Padang Panjang untuk menurunkan penumpang. Saya semakin dekat dengan Bukittinggi. Jarak keduanya memang hanya sepelemparan batu. Kurang dari sejam kemudian, hampir pukul 9, bus kami mulai menemukan kemacetan lagi. Pemandangan perkebunan berganti dengan jejeran ruko yang solid dan riuh di tepian jalanan. Saya mulai memasuki kota Bukittinggi. Dengan badannya yang besar, bus kami meliuk di jalanan yang dipenuhi kendaraan pribadi dan angkutan dalam kota. Saya segera tersadar bahwa saya sedang berbagi waktu liburan dengan ribuan anak sekolahan. Pada hari yang belum terlalu siang itu, jalanan Bukittinggi relatif semarak, terutama oleh mobil dengan plat nomor asing.

Sesuai pesan Om E sehari sebelumnya, saya baru turun ketika bus tiba di pemberhentiann terakhirnya, Terminal Aur Kuning Bukittinggi. Udara dingin khas pegunungan segera menyergap saya, di tengah suasana terminal yang riuh oleh kernet bersahut-sahutan. Beberapa tukang ojek juga berusaha menawarkan jasanya kepada saya, namun saya tolak dengan halus. Di terminal yang sama berjejer beragam jenis kendaraan umum lain dengan tujuan yang berbeda-beda pula, dipanaskan, bersiap membawa penumpang ke sisi-sisi lain ranah Minang. Kernet-kernet itu beradu dengan kerongkongannya masing-masing.

Saya minum air banyak-banyak, mengisi dahaga yang saya tahan-tahan untuk mencegah buang air kecil berlebihan di dalam perjalanan, sebelum memulai petualangan di Bukittinggi. (*)

Sekelumit tentang Perjalanan Bengkulu-Bukittinggi:
Kota Bukittingi dapat dijangkau dari Bengkulu dengan perjalanan darat. Saya memilih menggunakan bus SAN dengan biaya Rp200.000. Tiket bus harus dipesan sehari sebelumnya demi mendapatkan nomor kursi yang nyaman serta menghindari kehabisan tiket. Tidak perlu khawatir jika harus buang air kecil di tengah jalan, karena armada SAN umumnya dilengkapi dengan toilet. Beberapa titik layak simak yang dilalui dalam perjalanan ini adalah Danau Dendam Tak Sudah, Liku 9, Dataran Tinggi Curup, dan Danau Singkarak. Bus akan berhenti dua kali untuk istirahat dan makan. Makanan berat per porsi rata-rata dihargai Rp25.000, dengan pilihan lauk beragam.

Selain itu, penerbangan Jakarta-Padang tersedia setiap hari. Di bandara umumnya tersedia jasa travel yang melayani perjalanan menuju Bukittinggi. 

Selasa, 09 Januari 2018

Dialektika, Literasi dalam Tiga Matra

05.35 Posted by Arasy Aziz , , , No comments
Akhir 2017 hingga awal tahun 2018, saya berlibur selama kurang lebih dua pekan ke beberapa kota. Dimulai di Makassar bersama Papa, Mama dan adik-adik saya, transit semalam di Jakarta, lalu melanjutkan perjalanan ke sisi barat Andalas. Di Makassar, waktu saya lebih banyak dihabiskan bersama keluarga. Namun saya sempat mengunjungi Kampung Literasi Wesabbe dan hampir menyeberang ke Pulau Samalona jika tidak digagalkan oleh badai yang datang tiba-tiba. Saya kemudian menghabiskan pergantian tahun di kampung halaman kekasih saya, Bengkulu, sebelum mengeluyur sendirian di ranah Minang.

Cerita saya akan dimulai dari Dialektika, sebuah kedai kopi sederhana di Kampung Literasi Wesabbe.

Revolusi-revolusi terbesar di dunia dimulai dari warung-warung kopi.

Di salah satu segmen sungai Seine, Paris, atau di persimpangan-persimpangan jalan pada bulan-bulan jelang revolusi 1789, warung-warung kopi riuh oleh sekelompok pemikir yang beradu cakap, bersitegang, bersilat gagasan. Situasi Prancis sedang tak nyaman, rakyat hidup miskin, sementara kaula monarki bermewah-mewahan di kastil-kastil. Lampu sorot mengarah langsung kepada jantung kekuasaan yang kelewat boros dan nir empati: Raja Louis XVI dan ratunya Marie Antoinette. Kawanan di warung kopi ini terus gelisah, menunggu waktu untuk berbuat sesuatu.

Mereka, kawanan itu, adalah segelintir kelas menengah yang merasakan langsung kemewahan Aufklarung, abad pencerahan. Mereka adalah generasi dengan akses pada monograf-monograf penting pemikir pendahulu mereka, seperti Rosseau, Montesqiueu, dan Voltaire. Dari setidaknya ketiga nama itu, gagasan mengenai tatanan Prancis yang baru digali, mulai diidealkan sebagai cita-cita, sebelum mewujud di dalam gerakan bersama. Rosseau, semisal, memberikan manual hampir lengkap mengenai bagaimana menjalankan sebuah pemerintahan dari rakyat dan untuk rakyat berdasarkan kontrak khalayak. Sebuah Republik. Sedangkan Montesqiueu mengajari mereka mengenai sistem pemerintahan yang dibagi untuk memastikan pelampauan kekuasaan tiada.

Rosseau, Montesquieu maupun Voltaire, menariknya, tak sekadar berbagi gagasan. Ketiganya berbagi cangkir-cangkir kopi yang sama dengan kelas menengah penerusnya, meja-meja yang sama, di kafe-kafe tepian Seine dan persimpangan jalan Paris yang sama. Ketiganya juga merupakan pengunjung kafe-kafe Paris yang rutin. Gelas-gelas kopi yang pernah mereka pakai dicuci berulang kali, kembali ke rak-raknya, digunakan tahun demi tahun melewati halaman-halaman kalender.

Revolusi Prancis akhirnya benar-benar pecah. Ketika negara Republik didirikan di atas remah-remah feodalisme Prancis, kepala Antoniette terlanjur terpisah dari tubuh pualamnya, lalu berguling di bawah sembilu gilotin.

Warung-warung kopi kemudian dikenang sebagai saksi mata yang tetap membisu dalam revolusi-revolusi. Ia adalah rumah bersama bagi kelas menengah yang bohemian dan pemimpi. Dinding-dindingnya mencuri dengar gagasan-gagasan rumit dari pemimpin-pemimpin pergerakan. Sampai di titik ini, ia tanpa sadar menunjukkan wajah dengan kesan yang elitis dan tak terjangkau.

Bagaimanapun pada saat itu, kopi adalah komoditas langka yang harus diambil dari negeri-negeri basah yang jauh. Namun seiring waktu, konsep kafe a la Prancis terus menyebar ke pelosok dunia. Ngopi terlanjur menjadi aktivitas publik, alih-alih sekadar urusan rumah tangga. Penemuan mesin-mesin industri memungkinkan kopi-kopi diproduksi dalam volume gigantis, dipak ke dalam kemasan saset siap seduh. Mesin-mesin industri memangkas rantai produksi secangkir kopi, menekan harga, membut kopi semakin memasyarakat. Pun dengan aktivitas mengonsumsinya. Ngopi segera menjadi kata kerja.

Profanasi itu tak lantas membuat ngopi kehilangan fungsinya sebagai pranata bagi dialektika dan pewacanaan kerja-kerja kebudayaan. Dari seluruh tingkatan kelasnya, ngopi selalu menjadi ruang bagi adu gagasan dan tumbuh kembang ide. Dari Starbucks hingga lesehan sederhana di terminal bus antar kota yang bersebelahan dengan kakus. Dilakukan oleh generasi yang wangi hingga mereka yang berjam-jam dipanggang matahari. Membincang urusan publik dengan reme-remeh, seolah kekuasaan dekat saja.

Di tempat asal saya, Gorontalo, dikenal istilah parlemen jalanan sebagai penanda bagi eksistensi suatu pusat wacana alternatif di luar kekuasaan, yang lahir dari gelas-gelas kopi yang dibagi. Warung kopi kerap menjadi indikator popularitas suatu isyu, dan menjadi wadah bagi para pemimpin untuk mengukur dirinya sendiri. Saya yakin, hal serupa terjadi di berbagai daerah lain dengan kultur warung kopi yang kuat.

Namun demikian, ada satu prasyarat penting yang memungkinkan aktivitas ngopi dapat berlangsung dengan baik; sebuah prinsip sederhana dalam demokrasi diskursus. Seluruh pihak yang terlibat, sekurang-kurangnya haruslah juga menjadi pembaca. Mereka umumnya telah membekali diri dengan cadangan pengetahuan yang diperoleh dari kata-kata di koran, di buku-buku. Ngopi adalah pengulangan dari apa-apa yang dibacanya, proses pencarian makna yang terus menerus.

Belakangan, semakin banyak kedai kopi yang berusaha menjembatani aktivitas membaca dan diskusi itu sendiri, berusaha mengondisikan agar keduanya dapat berlangsung dalam satu waktu. Mereka tak hanya menyediakan meja-meja diskusi, namun melangkah lebih jauh dengan menghadirkan ruang baca di tengah-tengah. Salah satu yang tanpa sengaja saya kunjungi adalah Kafe Dialektika di Makassar. Kafe ini, bahkan juga merangkap pusat distribusi buku-buku. Dengan pemiliknya, saya bercakap banyak hal. Tentang Kampung Literasi Wasabbe, tentang buku-buku favoritnya, toko-toko buku favoritnya, tentang Makassar yang terus bergeliat.

###

Pada sore 27 Desember, saya hendak menemani kawan-kawan tempat saya menginap di Makassar bermain futsal. Namun menunggu 2 jam jelas akan menjemukan jika hanya diisi dengan menonton dua tim berebut bola. Saya kemudian iseng mengakses internet, dan menemukan bahwa Kampung Literasi Wasabbe terletak amat dekat dengan lapangan futsal. Kepada seorang teman, saya memutuskan meminjam motor. Tujuan mula saya hendak ke Katakerja. Perpustakaan ini telah lama dikenal sebagai rumah bagi beberapa penulis muda asal Makassar, seperti Aan Mansyur dan Faisal Oddang. Beberapa pekan sebelumnya, seorang kawan telah menuliskan risalah kunjungannya ke sana, yang semakin membuat saya tertarik.

Namun perjalanan ke sana tidak berlangsung lancar-lancar saja. Motor yang saya gunakan sedikit bermasalah dengan gas dan injakan koplingnya. Beberapa kali ia mati di tengah jalan dan sulit dinetralkan. Bagi saya yang mudah berkeringat, ini sangat-sangat mengganggu. Perjalanan ke Wesabbe sejatinya tidak memakan waktu lama, namun terpotong signifikan oleh kemalangan itu.

Saya mulai bersyukur ketika pintu gerbang kompleks Wesabbe mulai terlihat. Wesabbe sesungguhnya tak dapat benar-benar disebut sebuah kampung. Ia adalah sebuah unit perumahan pinggiran kota, terletak persis di seberang pintu gerbang Universitas Hasanuddin. Beberapa ratus meter dari tepian jalan raya Perintis Kemerdekaan, poros Makassar-Maros.

Namun kemalangan belum selesai. Sebelum saya menemukan Katakerja, motor saya kembali mati dan kali ini tak kunjung bisa dinyalakan. Ia kehabisan bahan bakar.

Beruntung di salah satu pojokan jalan, seorang bapak duduk sendirian mengaso. Ia mulanya mendelik curiga kepada saya, menginterogasi singkat, dan belakangan menawari saya tumpangan untuk mencari bensin. Ia menunjuk ke salah satu pojok dan meminta saya meninggalkan motor di sana. “Di sini aman.” Kami harus ke perumahan sebelah untuk mendapatkan bensin eceran. Setelah tangki motor kembali terisi dan botol saya kembalikan, saya mengitari Wesabbe sekali lagi, mencari Katakerja.

Namun perpustakaan itu tak kunjung saya temukan. Melewati lorong-lorong yang sama berkali-kali, hingga para penghuni perumahan mulai menaruh pandangan ganjil setiap kali saya berlalu. Hari semakin sore, dan saya memilih menyerah mencari Katakerja. Saya yang kehausan memutuskan singgah ke salah satu rumah yang juga tampak difungsikan sebagai kedai kopi. Di salah satu temboknya tertulis besar-besar nama kafe itu. Dialektika. Hanya ada beberapa orang yang tengah ngopi ketika saya tiba. Saya memilih memesan minuman es susu dingin.


Suasana Dialektika sore itu segera mengingatkan saya pada kedai Tjangkir 13, markas harian saya semasa kuliah di Malang. Pada asap sigaret yang beterbangan di tengah guyonan kami, yang berusaha saya cegah untuk masuk ke pernapasan. Pada coklat hangatnya yang unik.

Secara umum, kedai Dialektika terbagi atas dua seksi, yaitu dalam dan luar ruang. Di salah satu pojok bagian dalam terdapat lemari buku 1,5 x 1,5 meter. Buku-buku yang tersusun di sana memiliki latar tema dan genre yang relatif beragam. Karya sastra menjadi koleksi dominan, mulai dari Tere Liye hingga Pramoedya Ananta Toer. Lebih kurang menunjukkan preferensi bacaan pemiliknya yang majemuk.

Sebelum kemudian duduk menunggu pesanan saya diantar, saya memutuskan masuk ke salah satu ruangan yang difungsikan sebagai toko buku mini. Sebagian besar isinya datang dari penerbit-penerbit independen. Judul-judul yang belakangan popular di kancah sastra Indonesia segera tampak. Traktat-traktat filsafat dan modus gerakan anarkisme duduk bersisian dengan terbitan kiri. Namun saya temui pula beberapa buku terbitan penerbit raksasa seperti Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Di dalam toko buku kecil itu, kesemuanya hidup berdampingan menunggu dibeli. Di hamparan meja, atau menggelantung seperti jemuran.

Saya memilih duduk di salah satu sofa di dekat pintu, berhadap-hadapan dengan lemari kecil di pojok kedai itu. Pesanan saya belum juga diantarkan. Saya memilih salah satu buku, “Manusia Bugis”.

Buku yang saya pilih pada akhirnya tak benar-benar saya baca. Segera setelah pesanan saya tiba, saya memutuskan mengajak ngobrol sang pramusaji, yang rupanya sekaligus merupakan pemilik kafe itu. Pria itu menyebut dirinya Bula’, seorang lulusan Fakultas Pertanian Unhas angkatan 2009. Percakapan kami dimulai dengan sedikit canggung, namun mengalir semakin lama. Beberapa halaman di bab pengantar “Manusia Bugis” masih terbuka sekenanya.

Embrio bagi Dialektika, menurut Bula’, dimulai jauh sejak masa kuliahnya. Sejak masa itu, ia telah berjualan buku untuk menambah biaya hidup di Makassar. Toko buku berkonsep kafe baru dirintisnya sejak tahun 2014. Ketika memilih lokasi kafenya di BTN Wesabbe, tidak terpikirkan bahwa suatu saat kompleks itu akan menjelma menjadi sebuah kampung literasi. Ia mulanya bahkan tidak saling kenal dengan para pegiat dua pilar Kampung Literasi Wesabbe lain, yaitu Katakerja dan Kedai Buku Jenny. Kehidupan ketiganya yang saling berdampingan menjadi serba kebetulan.

Namun Dielaktika, bersama Katakerja dan KBJ tidak sedang bergerak sendirian. Gerakan literasi memang tengah pesat bertumbuh di Makassar, tak terbatas di dalam kawasan BTN Wesabbe. Kenyataannya, gerakan itu terjadi secara simultan, bertumbuh bersamaan, di banyak tempat di penjuru kota itu. Pusat-pusatnya bersesuaian dengan sebaran kampus-kampus dan univesitas-universitas. Mereka yang menghidupkan kafe Dialektika, semisal, kebanyakan datang dari Unhas yang memang hanya berjarak sepelemparan batu. Mereka menjadi penghuni tetap, atau pengunjung yang datang sekali dua, untuk mengikuti program-program rutin Dialektika, yang sebagian besar berkutat pada diskusi filsafat. Sementara di belahan kota yang lain, di luar Wesabbe, ruang publik sejenis semakin mudah ditemukan, bahkan dengan tawaran tema yang semakin spesifik. Di daerah Pettarani, misalnya, sebuah kafe didirikan secara khusus untuk mengenang Pramoedya Ananta Toer.

Saya menduga-duga, semarak penggunaan internet justru berandil besar terhadap pertumbuhan massif gerakan literasi.  Di dalam internet, dinamika pewacanaan terjadi sangat cair dan hampir tanpa sekat. Medium-medium alternatif terus bermunculan, memungkinkan setiap orang bertutur tanpa ikatan waktu.

Dampak positif internet juga tak hanya berlangsung di dalam dirinya sendiri. Ia justru memungkinkan buku kembali digemari sebagai jendela dunia. Internet membuka ruang bagi munculnya kemungkinan-kemungkinan baru di dunia perbukuan, dengan mengarusutamakan penerbit dan toko buku kecil. Distribusi buku hari ini tak lagi dikuasai oleh jaringan toko buku-toko buku besar. Toko buku kecil dengan stok 1-5 semakin semarak, dan penerbit kini memiliki akses langsung kepada calon pembacanya. Yang disebut belakangan semakin berani menerbitkan tulisan penulis muda, atau menerjemahkan karya penulis-penulis asing. Akibatnya, mutu bacaan semakin terjaga dan pembentukan selera menjadi lebih manasuka.

Internet telah menggeser lelaku membaca dari sekadar hobi menjadi gaya hidup, lalu kebutuhan. Sebagai kebutuhan, konsumen perlu memastikan agar kesetimbangan gizi bacaannya tercukupi.

Penerbit besar akhirnya dipaksa bersiasat dengan perubahan situasi ini. Mereka kemudian membuka pintu kepada toko buku-toko buku kecil itu, menitip jual terbitan-terbitan mereka. Mereka perlu memastikan agar pembacanya tetap tersedia di tengah pola konsumsi yang berubah. Inilah alasan dibalik eksistensi terjemahan “Sapiens” karya Yuval Noah Harari, atau trilogi Jared Diamond terbitan KPG, di rak toko Dialektika. Bula’ mengaku memiliki kontak langsung dengan agen buku terbitan penerbit itu. Membentuk pola simbiosis yang diam-diam menguntungkan masyarakat pembaca Indonesia.

Pertumbuhan kafe-kafe seperti Dialektika, dengan demikian, menjadi fenomena yang menggairahkan. Bula’ mengaku terkagum dengan Post Santa di Jakarta, Kineruku di Bandung, atau Shakespeare & Co. di Paris, sementara saya mengagumi kedai kecilnya. Sadar tak sadar, kafe-kafe ini telah menjelma filter untuk menangkal residu kapitalisme perbukuan Indonesia hari ini; selera bacaan yang buruk. Kafe-kafe ini terlibat aktif dalam tiga matra gerakan literasi sekaligus, sejak level distribusi, konsumsi, dan pasca-konsumsi. Mereka tak sekadar berdagang, namun juga menyediakan ruang baca dan diskusi untuk mengapresiasi pengetahuan.

Di dalamnya buku-buku tak sekadar menjadi setumpuk halaman dingin, namun juga diperbincangkan dengan cinta. Di dalamnya, buku-buku menjadi hidup di antar waktu. Dan saya masih menyimpan cita-cita untuk membuka ruang sejenis di kampung halaman saya, suatu saat nanti. (*)

Sekelumit tentang Kafe Dialektika:

Kafe Dialektika terletak di BTN Wesabbe Blok C No. 53, Tamalanrea, Makassar, yang juga dikenal sebagai Kampung Literasi Wesabbe. Adanya transportasi online membuat kafe ini sangat mudah dijangkau dari manapun. Menunya relatif murah dan sederhana. Kafe Dialektika menyelenggarakan program-program rutin yang jadwalnya dapat diakses di laman Facebook mereka.  Selain itu, program Kampung Literasi Wesabbe juga masih berlangsung untuk kurun waktu 1 tahun, sejak 17 Maret 2017 hingga 17 Maret 2018.