Fiat Lux

Selasa, 09 Januari 2018

Dialektika, Literasi dalam Tiga Matra

05.35 Posted by Arasy Aziz , , , No comments
Akhir 2017 hingga awal tahun 2018, saya berlibur selama kurang lebih dua pekan ke beberapa kota. Dimulai di Makassar bersama Papa, Mama dan adik-adik saya, transit semalam di Jakarta, lalu melanjutkan perjalanan ke sisi barat Andalas. Di Makassar, waktu saya lebih banyak dihabiskan bersama keluarga. Namun saya sempat mengunjungi Kampung Literasi Wesabbe dan hampir menyeberang ke Pulau Samalona jika tidak digagalkan oleh badai yang datang tiba-tiba. Saya kemudian menghabiskan pergantian tahun di kampung halaman kekasih saya, Bengkulu, sebelum mengeluyur sendirian di ranah Minang.

Cerita saya akan dimulai dari Dialektika, sebuah kedai kopi sederhana di Kampung Literasi Wesabbe.

Revolusi-revolusi terbesar di dunia dimulai dari warung-warung kopi.

Di salah satu segmen sungai Seine, Paris, atau di persimpangan-persimpangan jalan pada bulan-bulan jelang revolusi 1789, warung-warung kopi riuh oleh sekelompok pemikir yang beradu cakap, bersitegang, bersilat gagasan. Situasi Prancis sedang tak nyaman, rakyat hidup miskin, sementara kaula monarki bermewah-mewahan di kastil-kastil. Lampu sorot mengarah langsung kepada jantung kekuasaan yang kelewat boros dan nir empati: Raja Louis XVI dan ratunya Marie Antoinette. Kawanan di warung kopi ini terus gelisah, menunggu waktu untuk berbuat sesuatu.

Mereka, kawanan itu, adalah segelintir kelas menengah yang merasakan langsung kemewahan Aufklarung, abad pencerahan. Mereka adalah generasi dengan akses pada monograf-monograf penting pemikir pendahulu mereka, seperti Rosseau, Montesqiueu, dan Voltaire. Dari setidaknya ketiga nama itu, gagasan mengenai tatanan Prancis yang baru digali, mulai diidealkan sebagai cita-cita, sebelum mewujud di dalam gerakan bersama. Rosseau, semisal, memberikan manual hampir lengkap mengenai bagaimana menjalankan sebuah pemerintahan dari rakyat dan untuk rakyat berdasarkan kontrak khalayak. Sebuah Republik. Sedangkan Montesqiueu mengajari mereka mengenai sistem pemerintahan yang dibagi untuk memastikan pelampauan kekuasaan tiada.

Rosseau, Montesquieu maupun Voltaire, menariknya, tak sekadar berbagi gagasan. Ketiganya berbagi cangkir-cangkir kopi yang sama dengan kelas menengah penerusnya, meja-meja yang sama, di kafe-kafe tepian Seine dan persimpangan jalan Paris yang sama. Ketiganya juga merupakan pengunjung kafe-kafe Paris yang rutin. Gelas-gelas kopi yang pernah mereka pakai dicuci berulang kali, kembali ke rak-raknya, digunakan tahun demi tahun melewati halaman-halaman kalender.

Revolusi Prancis akhirnya benar-benar pecah. Ketika negara Republik didirikan di atas remah-remah feodalisme Prancis, kepala Antoniette terlanjur terpisah dari tubuh pualamnya, lalu berguling di bawah sembilu gilotin.

Warung-warung kopi kemudian dikenang sebagai saksi mata yang tetap membisu dalam revolusi-revolusi. Ia adalah rumah bersama bagi kelas menengah yang bohemian dan pemimpi. Dinding-dindingnya mencuri dengar gagasan-gagasan rumit dari pemimpin-pemimpin pergerakan. Sampai di titik ini, ia tanpa sadar menunjukkan wajah dengan kesan yang elitis dan tak terjangkau.

Bagaimanapun pada saat itu, kopi adalah komoditas langka yang harus diambil dari negeri-negeri basah yang jauh. Namun seiring waktu, konsep kafe a la Prancis terus menyebar ke pelosok dunia. Ngopi terlanjur menjadi aktivitas publik, alih-alih sekadar urusan rumah tangga. Penemuan mesin-mesin industri memungkinkan kopi-kopi diproduksi dalam volume gigantis, dipak ke dalam kemasan saset siap seduh. Mesin-mesin industri memangkas rantai produksi secangkir kopi, menekan harga, membut kopi semakin memasyarakat. Pun dengan aktivitas mengonsumsinya. Ngopi segera menjadi kata kerja.

Profanasi itu tak lantas membuat ngopi kehilangan fungsinya sebagai pranata bagi dialektika dan pewacanaan kerja-kerja kebudayaan. Dari seluruh tingkatan kelasnya, ngopi selalu menjadi ruang bagi adu gagasan dan tumbuh kembang ide. Dari Starbucks hingga lesehan sederhana di terminal bus antar kota yang bersebelahan dengan kakus. Dilakukan oleh generasi yang wangi hingga mereka yang berjam-jam dipanggang matahari. Membincang urusan publik dengan reme-remeh, seolah kekuasaan dekat saja.

Di tempat asal saya, Gorontalo, dikenal istilah parlemen jalanan sebagai penanda bagi eksistensi suatu pusat wacana alternatif di luar kekuasaan, yang lahir dari gelas-gelas kopi yang dibagi. Warung kopi kerap menjadi indikator popularitas suatu isyu, dan menjadi wadah bagi para pemimpin untuk mengukur dirinya sendiri. Saya yakin, hal serupa terjadi di berbagai daerah lain dengan kultur warung kopi yang kuat.

Namun demikian, ada satu prasyarat penting yang memungkinkan aktivitas ngopi dapat berlangsung dengan baik; sebuah prinsip sederhana dalam demokrasi diskursus. Seluruh pihak yang terlibat, sekurang-kurangnya haruslah juga menjadi pembaca. Mereka umumnya telah membekali diri dengan cadangan pengetahuan yang diperoleh dari kata-kata di koran, di buku-buku. Ngopi adalah pengulangan dari apa-apa yang dibacanya, proses pencarian makna yang terus menerus.

Belakangan, semakin banyak kedai kopi yang berusaha menjembatani aktivitas membaca dan diskusi itu sendiri, berusaha mengondisikan agar keduanya dapat berlangsung dalam satu waktu. Mereka tak hanya menyediakan meja-meja diskusi, namun melangkah lebih jauh dengan menghadirkan ruang baca di tengah-tengah. Salah satu yang tanpa sengaja saya kunjungi adalah Kafe Dialektika di Makassar. Kafe ini, bahkan juga merangkap pusat distribusi buku-buku. Dengan pemiliknya, saya bercakap banyak hal. Tentang Kampung Literasi Wasabbe, tentang buku-buku favoritnya, toko-toko buku favoritnya, tentang Makassar yang terus bergeliat.

###

Pada sore 27 Desember, saya hendak menemani kawan-kawan tempat saya menginap di Makassar bermain futsal. Namun menunggu 2 jam jelas akan menjemukan jika hanya diisi dengan menonton dua tim berebut bola. Saya kemudian iseng mengakses internet, dan menemukan bahwa Kampung Literasi Wasabbe terletak amat dekat dengan lapangan futsal. Kepada seorang teman, saya memutuskan meminjam motor. Tujuan mula saya hendak ke Katakerja. Perpustakaan ini telah lama dikenal sebagai rumah bagi beberapa penulis muda asal Makassar, seperti Aan Mansyur dan Faisal Oddang. Beberapa pekan sebelumnya, seorang kawan telah menuliskan risalah kunjungannya ke sana, yang semakin membuat saya tertarik.

Namun perjalanan ke sana tidak berlangsung lancar-lancar saja. Motor yang saya gunakan sedikit bermasalah dengan gas dan injakan koplingnya. Beberapa kali ia mati di tengah jalan dan sulit dinetralkan. Bagi saya yang mudah berkeringat, ini sangat-sangat mengganggu. Perjalanan ke Wesabbe sejatinya tidak memakan waktu lama, namun terpotong signifikan oleh kemalangan itu.

Saya mulai bersyukur ketika pintu gerbang kompleks Wesabbe mulai terlihat. Wesabbe sesungguhnya tak dapat benar-benar disebut sebuah kampung. Ia adalah sebuah unit perumahan pinggiran kota, terletak persis di seberang pintu gerbang Universitas Hasanuddin. Beberapa ratus meter dari tepian jalan raya Perintis Kemerdekaan, poros Makassar-Maros.

Namun kemalangan belum selesai. Sebelum saya menemukan Katakerja, motor saya kembali mati dan kali ini tak kunjung bisa dinyalakan. Ia kehabisan bahan bakar.

Beruntung di salah satu pojokan jalan, seorang bapak duduk sendirian mengaso. Ia mulanya mendelik curiga kepada saya, menginterogasi singkat, dan belakangan menawari saya tumpangan untuk mencari bensin. Ia menunjuk ke salah satu pojok dan meminta saya meninggalkan motor di sana. “Di sini aman.” Kami harus ke perumahan sebelah untuk mendapatkan bensin eceran. Setelah tangki motor kembali terisi dan botol saya kembalikan, saya mengitari Wesabbe sekali lagi, mencari Katakerja.

Namun perpustakaan itu tak kunjung saya temukan. Melewati lorong-lorong yang sama berkali-kali, hingga para penghuni perumahan mulai menaruh pandangan ganjil setiap kali saya berlalu. Hari semakin sore, dan saya memilih menyerah mencari Katakerja. Saya yang kehausan memutuskan singgah ke salah satu rumah yang juga tampak difungsikan sebagai kedai kopi. Di salah satu temboknya tertulis besar-besar nama kafe itu. Dialektika. Hanya ada beberapa orang yang tengah ngopi ketika saya tiba. Saya memilih memesan minuman es susu dingin.


Suasana Dialektika sore itu segera mengingatkan saya pada kedai Tjangkir 13, markas harian saya semasa kuliah di Malang. Pada asap sigaret yang beterbangan di tengah guyonan kami, yang berusaha saya cegah untuk masuk ke pernapasan. Pada coklat hangatnya yang unik.

Secara umum, kedai Dialektika terbagi atas dua seksi, yaitu dalam dan luar ruang. Di salah satu pojok bagian dalam terdapat lemari buku 1,5 x 1,5 meter. Buku-buku yang tersusun di sana memiliki latar tema dan genre yang relatif beragam. Karya sastra menjadi koleksi dominan, mulai dari Tere Liye hingga Pramoedya Ananta Toer. Lebih kurang menunjukkan preferensi bacaan pemiliknya yang majemuk.

Sebelum kemudian duduk menunggu pesanan saya diantar, saya memutuskan masuk ke salah satu ruangan yang difungsikan sebagai toko buku mini. Sebagian besar isinya datang dari penerbit-penerbit independen. Judul-judul yang belakangan popular di kancah sastra Indonesia segera tampak. Traktat-traktat filsafat dan modus gerakan anarkisme duduk bersisian dengan terbitan kiri. Namun saya temui pula beberapa buku terbitan penerbit raksasa seperti Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Di dalam toko buku kecil itu, kesemuanya hidup berdampingan menunggu dibeli. Di hamparan meja, atau menggelantung seperti jemuran.

Saya memilih duduk di salah satu sofa di dekat pintu, berhadap-hadapan dengan lemari kecil di pojok kedai itu. Pesanan saya belum juga diantarkan. Saya memilih salah satu buku, “Manusia Bugis”.

Buku yang saya pilih pada akhirnya tak benar-benar saya baca. Segera setelah pesanan saya tiba, saya memutuskan mengajak ngobrol sang pramusaji, yang rupanya sekaligus merupakan pemilik kafe itu. Pria itu menyebut dirinya Bula’, seorang lulusan Fakultas Pertanian Unhas angkatan 2009. Percakapan kami dimulai dengan sedikit canggung, namun mengalir semakin lama. Beberapa halaman di bab pengantar “Manusia Bugis” masih terbuka sekenanya.

Embrio bagi Dialektika, menurut Bula’, dimulai jauh sejak masa kuliahnya. Sejak masa itu, ia telah berjualan buku untuk menambah biaya hidup di Makassar. Toko buku berkonsep kafe baru dirintisnya sejak tahun 2014. Ketika memilih lokasi kafenya di BTN Wesabbe, tidak terpikirkan bahwa suatu saat kompleks itu akan menjelma menjadi sebuah kampung literasi. Ia mulanya bahkan tidak saling kenal dengan para pegiat dua pilar Kampung Literasi Wesabbe lain, yaitu Katakerja dan Kedai Buku Jenny. Kehidupan ketiganya yang saling berdampingan menjadi serba kebetulan.

Namun Dielaktika, bersama Katakerja dan KBJ tidak sedang bergerak sendirian. Gerakan literasi memang tengah pesat bertumbuh di Makassar, tak terbatas di dalam kawasan BTN Wesabbe. Kenyataannya, gerakan itu terjadi secara simultan, bertumbuh bersamaan, di banyak tempat di penjuru kota itu. Pusat-pusatnya bersesuaian dengan sebaran kampus-kampus dan univesitas-universitas. Mereka yang menghidupkan kafe Dialektika, semisal, kebanyakan datang dari Unhas yang memang hanya berjarak sepelemparan batu. Mereka menjadi penghuni tetap, atau pengunjung yang datang sekali dua, untuk mengikuti program-program rutin Dialektika, yang sebagian besar berkutat pada diskusi filsafat. Sementara di belahan kota yang lain, di luar Wesabbe, ruang publik sejenis semakin mudah ditemukan, bahkan dengan tawaran tema yang semakin spesifik. Di daerah Pettarani, misalnya, sebuah kafe didirikan secara khusus untuk mengenang Pramoedya Ananta Toer.

Saya menduga-duga, semarak penggunaan internet justru berandil besar terhadap pertumbuhan massif gerakan literasi.  Di dalam internet, dinamika pewacanaan terjadi sangat cair dan hampir tanpa sekat. Medium-medium alternatif terus bermunculan, memungkinkan setiap orang bertutur tanpa ikatan waktu.

Dampak positif internet juga tak hanya berlangsung di dalam dirinya sendiri. Ia justru memungkinkan buku kembali digemari sebagai jendela dunia. Internet membuka ruang bagi munculnya kemungkinan-kemungkinan baru di dunia perbukuan, dengan mengarusutamakan penerbit dan toko buku kecil. Distribusi buku hari ini tak lagi dikuasai oleh jaringan toko buku-toko buku besar. Toko buku kecil dengan stok 1-5 semakin semarak, dan penerbit kini memiliki akses langsung kepada calon pembacanya. Yang disebut belakangan semakin berani menerbitkan tulisan penulis muda, atau menerjemahkan karya penulis-penulis asing. Akibatnya, mutu bacaan semakin terjaga dan pembentukan selera menjadi lebih manasuka.

Internet telah menggeser lelaku membaca dari sekadar hobi menjadi gaya hidup, lalu kebutuhan. Sebagai kebutuhan, konsumen perlu memastikan agar kesetimbangan gizi bacaannya tercukupi.

Penerbit besar akhirnya dipaksa bersiasat dengan perubahan situasi ini. Mereka kemudian membuka pintu kepada toko buku-toko buku kecil itu, menitip jual terbitan-terbitan mereka. Mereka perlu memastikan agar pembacanya tetap tersedia di tengah pola konsumsi yang berubah. Inilah alasan dibalik eksistensi terjemahan “Sapiens” karya Yuval Noah Harari, atau trilogi Jared Diamond terbitan KPG, di rak toko Dialektika. Bula’ mengaku memiliki kontak langsung dengan agen buku terbitan penerbit itu. Membentuk pola simbiosis yang diam-diam menguntungkan masyarakat pembaca Indonesia.

Pertumbuhan kafe-kafe seperti Dialektika, dengan demikian, menjadi fenomena yang menggairahkan. Bula’ mengaku terkagum dengan Post Santa di Jakarta, Kineruku di Bandung, atau Shakespeare & Co. di Paris, sementara saya mengagumi kedai kecilnya. Sadar tak sadar, kafe-kafe ini telah menjelma filter untuk menangkal residu kapitalisme perbukuan Indonesia hari ini; selera bacaan yang buruk. Kafe-kafe ini terlibat aktif dalam tiga matra gerakan literasi sekaligus, sejak level distribusi, konsumsi, dan pasca-konsumsi. Mereka tak sekadar berdagang, namun juga menyediakan ruang baca dan diskusi untuk mengapresiasi pengetahuan.

Di dalamnya buku-buku tak sekadar menjadi setumpuk halaman dingin, namun juga diperbincangkan dengan cinta. Di dalamnya, buku-buku menjadi hidup di antar waktu. Dan saya masih menyimpan cita-cita untuk membuka ruang sejenis di kampung halaman saya, suatu saat nanti. (*)

Sekelumit tentang Kafe Dialektika:

Kafe Dialektika terletak di BTN Wesabbe Blok C No. 53, Tamalanrea, Makassar, yang juga dikenal sebagai Kampung Literasi Wesabbe. Adanya transportasi online membuat kafe ini sangat mudah dijangkau dari manapun. Menunya relatif murah dan sederhana. Kafe Dialektika menyelenggarakan program-program rutin yang jadwalnya dapat diakses di laman Facebook mereka.  Selain itu, program Kampung Literasi Wesabbe juga masih berlangsung untuk kurun waktu 1 tahun, sejak 17 Maret 2017 hingga 17 Maret 2018.

0 komentar:

Posting Komentar