Fiat Lux

Senin, 27 Juni 2011

Bandung: Surga Anak Kebumian

21.22 Posted by Arasy Aziz 1 comment
Memasuki museum geologi Bandung, kita diajak memasuki lorong waktu, mendalami sejarah bumi kita dan Indonesia dari sudut pandang berbeda. Tak lupa menyambangi etalase – etalase untuk mengagumi kristal – kristal mineral berkilauan dan bebatuan unik dari perut bumi. Inilah surga bagi anak olimpiade kebumian.

Saya memilih museum ini sebagai destinasi wisata pertama saya di Bandung. Bukan tanpa alasan, mengingat saya sudah cukup rindu untuk melihat kembali spesimen – spesimen batuan, mineral hingga fosil yang saya dapati selama mengikuti olimpiade sains kebumian. Dan memasuki ruang – ruang museum, rindu itu terpuaskan.

Ditemani seorang teman saya pun berkunjung ke museum yang dirintis Arie Fredrik Lasut ini. Diluar prediksi, saya mendapati suasana ramai, meskipun bukan akhir pekan. Massa dominan adalah para pelajar yang sedang berdarmawisata. Saya pun masuk, ditengah suasana hiruk – pikuk. Usai mengisi buku tamu, saya pun mulai menjelajah, dan memulai dari bagian kanan, ruang pamer sejarah bumi, terkhusus Indonesia.

Dari prekambrian hingga kuarter, saya mencoba mengingat – ingat, kemudian mencoba mengenali sejumlah fosil. Dibagian sini tersimpan primadona museum, sebuah replika fosil Tyranosaurus Rex (T - Rex), karnivora yang terkenal itu. Saya tak bisa membayangkan bagaimana jadinya umat manusia jika dinosaurus ini masih hidup di masa kini. Selain replika T-Rex tadi, terdapat sejumlah fosil raksasa lain, seperti kerbau dan mammoth, lengkap dengan permodelannya dalam skala kecil. Masih di bagian yang sama, saya juga menemukan koleksi tulang – belulang manusia purba hingga sapiens.


Primadona. Berdiri tegak siap menerkam, Tyranosaurus Rex

Tertarik. Seorang anak mengamati fosil mammoth

Nenek Moyang Kita. Tulang kepala Homo sapiens beserta keluarga Homo lainnya

Saya berpindah ke sisi kiri museum. Disini lebih ditonjolkan potensi geologi Indonesia, dikupas satu – persatu dari pulau ke pulau. Serangkaian koleksi yang membuktikan kekayaan bumi pertiwi. Sayang sekali saat ini lebih banyak dikelola tangan asing. Selain itu, koleksi batuan beku, sedimen, metamorf, batuan ekstraterestrial dan koleksi mineral cantik serta berbagai proses geologi juga turut dipamerkan. Irisan membujur sejumlah gunung berapi terkenal pun dapat ditemukan. Tak lupa, beberapa koleksi juga dilengkapi sarana multimedia.


Mineral Berkilau. Beberapa spesimen mineral yang dipajang. Ini adalah Amethist

Permodelan. Model sebuah gunung berapi dari kejauhan

Ditengah keramaian, saya berpindah ke bagian atas. Disini terdapat penggambaran akan kegunaan geologi bagi kehidupan manusia. Kita dapat dibuat terkagum oleh konstruksi miniatur kilang minyak hingga kecerdasan manusia purba dalam memanfaatkan alam. Semuanya terangkum dalam bilik ini. Selain itu terdapat pula program pemutaran film kebumian, namun saya memilih tidak ikut karena banyaknya orang.


Rumit. Meski replika, model anjungan minyak lepas pantai mini ini tetap disusun sesuai aslinya

Untuk Manusia. Sebagian benda hasil olahan mineral bagi kehidupan sehari - hari

Ramai. Keramaian di halaman museum geologi direkam dari lantai atas

Cukup puas melepaskan kerinduan, saya memutuskan pulang. Dalam hati terbesit harapan, moga – moga di Indonesia lebih banyak lagi dibuka museum seperti ini, untuk menyadarakan anak bangsa akan kekayaan bumi yang dia pijak.

Minggu, 26 Juni 2011

Jakarta: Yang Terpinggirkan

20.44 Posted by Arasy Aziz No comments
Jakarta adalah metropolitan, panggung kehidupan raksasa, dengan jumlah penduduk bertambah tahun demi tahun. Beribu orang dari penjuru Indonesia menjadikan kota ini tujuan berjudi, berebut peruntungan. Mereka yang memenangi perjudian, maka dijanjikan hidup makmur dan sejahtera, diatas ketergusuran mereka yang kalah. Hukum yang sama berlaku bagi benda mati. Mereka, mau tak mau, harus menyingkir ke pinggir seiring pergerakan zaman. Sebuah esai foto yang berhasil saya tangkap untuk anda, dari mereka yang terpinggirkan.

Becak. Menemukannya di jalan protokol? Jangan harap

Pulas. Tanpa rumah, beratap langit

Kontras. Pedagang kerak telor dengan segala ketradisionalannya di depan sebuah pusat perbelanjaan. Agaknya cukup sulit menemukan kerak telor di Jakarta kecuali di even dan tempat tertentu

Kalah Pamor. Dibanding Silver Queen, coklat Ayam Jago produksi lokal ini sulit bersaing. Barangkali ini makanan favorit kita waktu kecil


Matahari.  Di Jakarta, matahari kehilangan ronanya, terhalang polusi dan gedung tinggi

Perahu Getek. Bisakah anda menemukaannya di Kids Stasion?

Tergeser Sinepleks. Seiring menjamurnya sineplex di Indonesia, bioskop tradisional seperti ini makin tergeser. Kini  mencoba bertahan dengan memutar film - film 'panas'

Sabtu, 25 Juni 2011

Jakarta: Dari Museum ke Museum

22.56 Posted by Arasy Aziz No comments
Mencoba menjelajah dari satu museum ke museum di kawasan kota tua, saya dibuat tercengang dan bangga akan kebesaran bangsa ini. Museum – museum di kawasan kota tua cukup mampu membuka wawasan kita akan nilai – nilai sejarah dan budaya yang mewarnai perjalanan bangsa ini. Destinasi yang sayang untuk dilewatkan dalam lawatan ke Jakarta.


Membudayakan Museum. Sebuah even yang digelar untuk membudayakan kunjungan ke museum

Museum Bank Mandiri

Saya memutuskan menjelajah dari museum Bank Mandiri mengingat apabila turun dari angkutan kota, maka musum inilah yang pertama kali akan kita jumpai. Berhubung hari minggu, maka saya bisa melenggang masuk dengan gratis. Ruang demi ruang saya lalui. Mulai dari Kasdefeling, kas Cina, ruang produk bank, auditorium, ruang direksi dan lainnya. Di tangga menuju lantai dua saya menemukan mosaik kaca yang menarik. Diakhir penjelajahan saya sempat tersesat, namun justru menemukan bagian brangkas bank. Selain itu, terdapat pula bagian yang menggambarkan transportasi zaman kolonial, utamanya trem. Usai sholat dzuhur d musholanya, saya berpindah ke museum Bank Indonesia.

Replika. Museum Bank Mandiri dalam replika

Kasdefeling. Balkon utama museum Bank Mandiri

Mosaik. Kecintaan masyarakat Eropa terhadap seni tertuang disini

Hai Semua. Booth foto untuk mereka yang ingin bernarsis ria

Buku Besar. Buku besar yang benar - benar besar

Hilang dari Peradaban. Trem, kendaraan rakyat Batavia, yang kini hilang dari peradaban


Museum Bank Indonesia

Memasuki museum ini, pemeriksaannya hampir ketat. Kita diharuskan melewati metal detector (walaupun tidak ada penjaganya). Akhirnya, sama seperti di museum bank mandiri, saya p un melenggang gratis. Tak lupa saya diberi semacam kuisioner yang harus dijawab berdasarkan sejumlah panel yang akan dilewati.

Dibanding museum Bank Mandiri, museum Bank Indonesia terkesan lebih modern.Sejumlah panel dilengkapi kemampuan audio yang menunjang penjelasan. Runtut sejarah perkonomian Indonesia pun diceritakan secara lengkap, mulai dari zaman kolonial hingga masa kini. Akhirnya, setelah menjawab pertanyaan yang diajukan, saya menyelesaikan tur museum Bank Indonesia

Dengan Resmi Dibuka. Sebuah prasasti untuk meresmikan museum



Sudut - Sudut. Sejumlah sudut museum Bank Mandiri


Museum Fatahillah

Sebenarnya, saya telah mengunjungi museum ini pada Sabtu sore. Sayangnya, karena keterbatasan waktu, maka saya memutuskan mengunjungi museum ini lagi. Museum Fatahillah atau Museum Sejarah Jakarta bisa dibilang merupakan museum yan palin dikenal di kawasan ini. Museum ini sendiri memiliki sejumlah koleksi menarik seperti meriam Jagur dengan segala mitosnya, pedang keadilan yang digunakan untuk memenggal kepala, lukisan – lukisan bersejarah, hingga penjara bawah tanah. Selain itu, terdapat pula berbagai prasasti peninggalan kerajaan Tarumanegara, alat – alat purbakal yang ditemukan di sekitaran kali Ciliwung, hasil – hasil kebudayaan Betawi dan peninggalan kolonial, yang semuanya terangkum untuk menceritakan kedigdayaan Jakarta dulu hingga kini. Saya sempat menikmati sajian musik keroncong sambil beristirahat di bagian belakang museum, untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke museum Wayang.

Dari Masa ke Masa. Perubahan logo Jakarta seiring waktu

Ada Apa Disana? Menikmati sajian halaman belakang dari jendela

Siap Tembak. Meriam Jagur yang legendaris ditempatkan mengarah ke museum, seolah ingin menembak

Gelap, Kelam. Penjara bawah tanah dan bola - bola jeruji

Keroncong. Meikmati sajian musik keroncong di belakang museum 


Museum Wayang

Sebagai salah satu pusaka dunia, wayang memang layak di museumkan (dan dilestarikan, tentu saja). Di museum ini saya menemukan sejarah wayang, aneka bentuk wayang, serta wayang dari berbagai daerah dan negara. Saya juga menemukan replika tokoh kesayangan saya, si Unyil dan kawan – kawan lengkap, dari Cuplis hingga Melani, dari pak Ogah hngga pak Raden. Selain wayang, museum ini juga menyimpan sejumlah koleksi topeng nusantara. Saat saya berkunjung sebenarnya sedang diadakan pementasan wayang. Sayangnya, pementasan ini tertutup untuk umum.

Wayang Revolusi. Salah satu bagian dari perkembangan pewayangan nusantara

Wayang Raksasa. Kenal tokoh ini? ya, Hanoman.

Unyil All-Star. Si Unyil dibalik kaca

Topeng. Sebagian koleksi topeng museum Wayang
Lintas Bangsa. Berbagai produk wayang negara lain

Backstage. Menangkap gambar pagelaran wayang dari belakang panggung


Museum Bahari dan Menara Syahbandar

Inilah destinasi terakhir saya. Meskipun terletak agak terpisah, keduanya merupakan satu kesatuan. Dengan tiket 2000 rupiah, saya dapat memasuki kedua bangunan ini, ditambah bonus peta museum Jakarta. Dimulai dengan menaiki menara Syahbandar yang miring, saya diharuskan menaiki tangga – tangga tua yang masih kuat. Sayang sekali, upaya saya mencapai puncak terhenti oleh sebuah larangan dikrenakan bagian puncak masih dalam tahap renovasi. Lebih disayangkan lagi, baterai kamera saya habis. Sayapun berpindah ke musum Bahari dengan berjalan beberapa meter. Disini saya terpukau dengan sejarah kemaritiman Indonesia. Hal yang wajar, mengingat Indonesia adalah negara yang terbentuk dari untaian pulau – pulau diatas samudra luas.

Menara Miring. Meski miring, menara ini bukan menara Pisa
For Sale. Sebagia koleksi cenderamata menara syahbandar

Sisi Lain.  Salah satu bagian menara syahbandar, dimana sejmlah keterangan tampak diturunkan

Tangga Ke Atas.  Bagaimana rasanya melihat dari puncak?Saya cukup penasaran dibuatnya

Jelajah museum pun saya akhiri. Rasa bangga terbersit di hati saya menyaksikan kebesaran bangsa ini di masa lalu. Sudah tugas kita untuk mengembalikan kejayaan tersebut ke bumi pertiwi.

Jakarta: Dua Hari untuk Kota Tua Jakarta

08.26 Posted by Arasy Aziz No comments
Usai puas berkeliling museum prasasti, langkah kaki saya dan seorang teman berlanjut ke kawasan kota tua Jakarta. Butuh dua kali waktu kunjungan untuk menyelesikan petualangan guna mengenang jejak – jejak kolonialisme di bumi pertiwi, dan melangkah dari museum ke museum.

Sabtu, 18 Juni 2011

Dengan menumpang angkot, sampailah kami di kawasan kota tua Jakarta. Saat itu hari sudah semakin sore, namun semagat kami untuk berkeliling tetap menggebu. Langkah kami dimulai dari museum Bank Mandiri kemudian museum Bank Indonesia, dimana keduanya terletak agak terpisah dibanding area utama kota tua. Sayang sekali jam berkunjung kedua museum tersebut telah usai, sehingga saya hanya mengambil foto dari luar. Saya sendiri sempat berdebat dengan penjaga keamanan di museum Bank Indonesia demi mengambil foto dari depan. Akhirnya, saya mengambil foto dari samping area museum.

Denah Kota Tua. Bolehlah menengok sejenak peta Kota Tua sebelum mulai menjelajah

Bank Mandiri. Dahulunya gedung bank milik Belanda

Museum Bank Indonesia. Sedang mengalami pemugaran dibagian halaman

Kami pun memasuki area utama kota tua. Kami beruntung karena saat itu tengah berlangsung acara Preserving Jakarta's Heritage sehingga terdapat sejumlah even menarik. Terlihat sejumlah jawara Betawi mondar – mandir diantara pengunjung. Selain itu karena bertepatan dengan malam minggu, maka pengunjung pun terlihat ramai.

Remang. Salah satu jalan masuk kawasan dalam keremangan sore

Kami bergerak kearah Stadhuis Plain atau taman Fatahillah. Taman ini dahulu digunakan penduduk Batavia untuk berkumpul dan menyaksikan berbagai kegiatan seperti hukuman mati. Saat kami berkunjung, disana sedang digelar pertunjukan wayang Potehi, wayang khas China. Kami pun menonton sejenak sebelum melanjutkan berkeliling. Kami memilih melanjutkan dengan sepeda sewaan yang dapat ditemukan di sekitar taman. Dengan tarif sepuluh ribu per setengah jam, kami mulai berkeliling.

Ramai.  Stadhuis Plain, tempat berkumpul rakyat Batavia, tetap ramai hingga kini 

Atensi untuk Potehi. Bukti ke-bhinekaan Indonesia


Sepeda Onthel. Deretan sepeda siap sewa, lengkap dengan topi ala noni Belanda

Dengan sepeda, kami mengunjungi museum Wayang yang terletak di barat taman Fatahillah. Karena sedang ada kunjungan, maka kami tak diperbolehkan masuk. Kami melanjutkan perjalanan ke museum Seni Rupa dan Keramik yang terletak di timur taman. Setelah itu, giliran stasiun Jakarta Kota yang kami sambangi dan mengambil gambar dari jauh karena lalu lintas relatif padat. Kamipun mengakhiri berkeliling dengan sepeda karena waktu sewa hampir habis.

Museum Wayang. Menyajikan khasanah budaya bangsa

Museum Seni Rupa dan Keramik. Saat saya berkunjung, dihalamannya sedang diadakan pameran

Stasiun BEOS. Stasiun rakyat Batavia

Usai memarkir sepeda, kami berkunjung ke museum Fatahillah atau museum Sejarah Jakarta dengan tiket masuk seharga 2000 rupiah. Sayang sekali waktu berkunjung kami sangat sebentar karena museum segera ditutup. Saya memutuskan melanjutkan perjalanan besok, dan kembali ke penginapan (rumah teman.red).

Museum Fatahillah. Dahulu menjadi kantor walikota, kini menjelma museum sejarah Jakarta

Minggu, 19 Juni 2011

Kali ini saya berangkat sendiri karena teman saya telah kembali ke Sukabumi. Saya memilih berangkat lebih pagi. Usai menempuh satu setengah jam perjalanan dari penginapan dan berganti kendaraan, saya pun tiba di depan museum Bank Mandiri. Kali ini saya memutuskan memasuki satu persatu setiap museum, mulai museum Bank Mandiri, museum Bank Indonesia, museum Fatahilla, dan museum Wayang. Usai keluar masuk museum, saya berjalan kaki ke utara, mengunjungi jembatan Kota Intan yang terkenal itu. Zaman dahulu, jembatan ini sering dinaik – turunkan ketika kapal – kapal milik VOC keluar masuk. Sayang sekali, keindahan arsitektur jembatan ini dirusak oleh bau tak sedap dari kanal yang mengalir dibawahnya.

Jembatan Kota Intan. 'Harum' aliran air 'memperindah' suasana

Saya terus berjalan ke utara, dengan tujuan selanjutnya menara Syahbandar dan museum Bahari. Setelah berjalan 5 – 10 menit saya pun menemukan menara Syahbandar yang dahulu digunakan untuk memantau kapal yang keluar masuk pelabuhan Sunda Kelapa. Menara ini terlihat unik karena miring beberapa derajat ke tanah. Sayang sekali, menara ini tak dapat dinaiki hingga ke puncak karena sedang dalam proses perbaikan. Lebih sial lagi baterai kamera saya habis sementara masih ada satu tempat lagi yang harus dikunjungi. Saya pun mengunjungi museum Bahari tanpa dokumentasi. Disini, saya dapat mengagumi semboyan jales veva jaya mahe, dilaut kita jaya. Terlihat betapa mengagumkan pelaut – pelaut Indonesia di zaman dahulu dalam mengarungi ganasnya lautan dunia. Saya sendiri, yang notabene memiliki darah Bugis, dibuat merinding melihat konstruksi dan miniatur kapal nusantara legendaris andalan masyarakat Bugis-Makassar, Phinisi.

Menara Syahbandar. Menara pengawas kejayaan VOC yang kini termiringkan

Usai puas berkunjung ke musum Bahari, saya menyebrang jalan untuk melihat gedung yang zaman dahulu digunakan sebagai galangan kapal milik VOC. Saat ini gedung tersebut telah beralih fungsi menjadi restoran. Saya pun kembali ke area utama kota tua Jakarta, dan lupa berkunjung ke satu tempat penting lain, pelabuhan Sunda Kelapa. Dengan rasa capek dan puas bercampur menjadi satu, saya pun kembali ke penginapan setelah seharian keluar masuk museum di area kota tua. Sebuah pengalaman mengesankan dalam naungan sejarah Batavia.

Akomodasi:
Dari stasiun Senen naik angkot jurusan Senen - Kota nomor 12, turun depan museum Bank Mandiri