Fiat Lux

Sabtu, 25 Juni 2011

Jakarta: Dua Hari untuk Kota Tua Jakarta

08.26 Posted by Arasy Aziz No comments
Usai puas berkeliling museum prasasti, langkah kaki saya dan seorang teman berlanjut ke kawasan kota tua Jakarta. Butuh dua kali waktu kunjungan untuk menyelesikan petualangan guna mengenang jejak – jejak kolonialisme di bumi pertiwi, dan melangkah dari museum ke museum.

Sabtu, 18 Juni 2011

Dengan menumpang angkot, sampailah kami di kawasan kota tua Jakarta. Saat itu hari sudah semakin sore, namun semagat kami untuk berkeliling tetap menggebu. Langkah kami dimulai dari museum Bank Mandiri kemudian museum Bank Indonesia, dimana keduanya terletak agak terpisah dibanding area utama kota tua. Sayang sekali jam berkunjung kedua museum tersebut telah usai, sehingga saya hanya mengambil foto dari luar. Saya sendiri sempat berdebat dengan penjaga keamanan di museum Bank Indonesia demi mengambil foto dari depan. Akhirnya, saya mengambil foto dari samping area museum.

Denah Kota Tua. Bolehlah menengok sejenak peta Kota Tua sebelum mulai menjelajah

Bank Mandiri. Dahulunya gedung bank milik Belanda

Museum Bank Indonesia. Sedang mengalami pemugaran dibagian halaman

Kami pun memasuki area utama kota tua. Kami beruntung karena saat itu tengah berlangsung acara Preserving Jakarta's Heritage sehingga terdapat sejumlah even menarik. Terlihat sejumlah jawara Betawi mondar – mandir diantara pengunjung. Selain itu karena bertepatan dengan malam minggu, maka pengunjung pun terlihat ramai.

Remang. Salah satu jalan masuk kawasan dalam keremangan sore

Kami bergerak kearah Stadhuis Plain atau taman Fatahillah. Taman ini dahulu digunakan penduduk Batavia untuk berkumpul dan menyaksikan berbagai kegiatan seperti hukuman mati. Saat kami berkunjung, disana sedang digelar pertunjukan wayang Potehi, wayang khas China. Kami pun menonton sejenak sebelum melanjutkan berkeliling. Kami memilih melanjutkan dengan sepeda sewaan yang dapat ditemukan di sekitar taman. Dengan tarif sepuluh ribu per setengah jam, kami mulai berkeliling.

Ramai.  Stadhuis Plain, tempat berkumpul rakyat Batavia, tetap ramai hingga kini 

Atensi untuk Potehi. Bukti ke-bhinekaan Indonesia


Sepeda Onthel. Deretan sepeda siap sewa, lengkap dengan topi ala noni Belanda

Dengan sepeda, kami mengunjungi museum Wayang yang terletak di barat taman Fatahillah. Karena sedang ada kunjungan, maka kami tak diperbolehkan masuk. Kami melanjutkan perjalanan ke museum Seni Rupa dan Keramik yang terletak di timur taman. Setelah itu, giliran stasiun Jakarta Kota yang kami sambangi dan mengambil gambar dari jauh karena lalu lintas relatif padat. Kamipun mengakhiri berkeliling dengan sepeda karena waktu sewa hampir habis.

Museum Wayang. Menyajikan khasanah budaya bangsa

Museum Seni Rupa dan Keramik. Saat saya berkunjung, dihalamannya sedang diadakan pameran

Stasiun BEOS. Stasiun rakyat Batavia

Usai memarkir sepeda, kami berkunjung ke museum Fatahillah atau museum Sejarah Jakarta dengan tiket masuk seharga 2000 rupiah. Sayang sekali waktu berkunjung kami sangat sebentar karena museum segera ditutup. Saya memutuskan melanjutkan perjalanan besok, dan kembali ke penginapan (rumah teman.red).

Museum Fatahillah. Dahulu menjadi kantor walikota, kini menjelma museum sejarah Jakarta

Minggu, 19 Juni 2011

Kali ini saya berangkat sendiri karena teman saya telah kembali ke Sukabumi. Saya memilih berangkat lebih pagi. Usai menempuh satu setengah jam perjalanan dari penginapan dan berganti kendaraan, saya pun tiba di depan museum Bank Mandiri. Kali ini saya memutuskan memasuki satu persatu setiap museum, mulai museum Bank Mandiri, museum Bank Indonesia, museum Fatahilla, dan museum Wayang. Usai keluar masuk museum, saya berjalan kaki ke utara, mengunjungi jembatan Kota Intan yang terkenal itu. Zaman dahulu, jembatan ini sering dinaik – turunkan ketika kapal – kapal milik VOC keluar masuk. Sayang sekali, keindahan arsitektur jembatan ini dirusak oleh bau tak sedap dari kanal yang mengalir dibawahnya.

Jembatan Kota Intan. 'Harum' aliran air 'memperindah' suasana

Saya terus berjalan ke utara, dengan tujuan selanjutnya menara Syahbandar dan museum Bahari. Setelah berjalan 5 – 10 menit saya pun menemukan menara Syahbandar yang dahulu digunakan untuk memantau kapal yang keluar masuk pelabuhan Sunda Kelapa. Menara ini terlihat unik karena miring beberapa derajat ke tanah. Sayang sekali, menara ini tak dapat dinaiki hingga ke puncak karena sedang dalam proses perbaikan. Lebih sial lagi baterai kamera saya habis sementara masih ada satu tempat lagi yang harus dikunjungi. Saya pun mengunjungi museum Bahari tanpa dokumentasi. Disini, saya dapat mengagumi semboyan jales veva jaya mahe, dilaut kita jaya. Terlihat betapa mengagumkan pelaut – pelaut Indonesia di zaman dahulu dalam mengarungi ganasnya lautan dunia. Saya sendiri, yang notabene memiliki darah Bugis, dibuat merinding melihat konstruksi dan miniatur kapal nusantara legendaris andalan masyarakat Bugis-Makassar, Phinisi.

Menara Syahbandar. Menara pengawas kejayaan VOC yang kini termiringkan

Usai puas berkunjung ke musum Bahari, saya menyebrang jalan untuk melihat gedung yang zaman dahulu digunakan sebagai galangan kapal milik VOC. Saat ini gedung tersebut telah beralih fungsi menjadi restoran. Saya pun kembali ke area utama kota tua Jakarta, dan lupa berkunjung ke satu tempat penting lain, pelabuhan Sunda Kelapa. Dengan rasa capek dan puas bercampur menjadi satu, saya pun kembali ke penginapan setelah seharian keluar masuk museum di area kota tua. Sebuah pengalaman mengesankan dalam naungan sejarah Batavia.

Akomodasi:
Dari stasiun Senen naik angkot jurusan Senen - Kota nomor 12, turun depan museum Bank Mandiri


0 komentar:

Posting Komentar