Fiat Lux

Kamis, 04 April 2013

Chavez

21.41 Posted by Arasy Aziz No comments
source: nationalgeographic.co.id

Sudah sebulan, kalau saya tidak salah menghitung, sejak Hugo Chavez mangkat. Pada 5 Maret lalu maut menggiringnya ke haribaan Illah, meninggalkan jutaan rakyat yang memenuhi jalanan, tersedu sedan.

Pada akhir perang dingin, ketika Gorbachev akhirnya memutuskan membubarkan Sovyet dan segala sistemnya (kemenangan terselubung Amerika Serikat) Francis Fukuyama menuturkan sebuah nubuat, begini kekira bunyinya: bahwa kapitalisme pada akhirnya menjadi sistem paripurna, tujuan dari segala daya upaya, revolusi sosial manusia. Beberapa tahun kemudian kata-katanya seolah beroleh justifikasi dari tanah yang tidak diduga. Kuba yang pernah menjadi personifikasi perlawanan atas hagemoni barat mengeluarkan kebijakan seorang hamba atas modal. Dibawah rezim Raul Castro, Kuba memberlakukan dua macam mata uang, CUC dan CUP, yang menggambarkan jurang kelas yang menganga. Memiliki CUP berarti akses atas segala kebutuhan hidup ketiga: restoran mewah, perbelanjaan mewah, lukisan mewah, mewah, mewah dan mewah. Rakyat berlomba-lomba untuk menjadi bagian dari gerombolan yang haus. Tapi masih ada beberapa negeri yang menimba dari masa lalu Kuba, bertahan sebagai slilit, antitesis.

Venezuela sebelum Hugo Chavez adalah gambaran semiskin-miskinnya negara, kandidat failure state. Inflasi merajarela, kemiskinan merebak ibarat panu di punggung mereka yang jarang mandi. Iya, kemiskinan dalam arti seluas-luasanya. Masyarakat tidak hanya sulit menghidupi jasmani pribadi dan kerabat anak pinaknya, namun ruang-ruang kebatinan mereka kosong dan dingin. Negara tidak mencintai mereka. Negara sibuk memperkaya kerabatnya. Chavez, seorang perwira yang telah banyak berguru mazhab kiri di Kuba, jengah. Sebuah upaya kudeta dilakukannya, dan gagal. Jadilah dia pesakitan.

Lalu Chavez memenangkan pemilihan umum beberapa tahun sesudahnya, merekonstruksi gagasan kenegaraan Venezuela, menginjeksi semangat revolusi sosialisme kedalamnya, sebagaimana Bolivar, Guevara dan gurunya Castro.

Venezuela dewasa ini menjadi satu dari sedikit negara yang tidak menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama. 80% kas negara diperoleh dari pengolahan emas hitam dan disalurkan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat. Kutukan sumber daya alam diterabas. Chavez bahu membahu bersama Castro, Ahmadinejad, Gaddafi, menjadi sisa makanan bandel di sela taring kapitalisme Amerika Serikat. Chavez menjelma pula menjadi karib rakyat, berpidato selama berjam-jam di televisi, menyediakan layanan telepon khusus untuk bertegur sapa dengan siapa saja. Rakyat bersuka cita dan jatuh hati. Siapa peduli, bahwa di akhir hayatnya pemerintahan Chavez mewariskan utang 95,6 miliar dollar AS, inflasi 20 persen, kriminalitas, serta kekurangan pangan. Angka-angka ini tidak mampu menghalangi ribuan manusia mengarak jenazahnya dari rumah sakit ke akademi militer, hingga jarak 8 kilometer harus ditempuh dalam 7 jam. Jalanan dipenuhi hati yang terlihat kaya.

Jose Mujica berujar bahwa orang miskin adalah mereka yang bekerja hanya untuk menjaga gaya hidup mewahnya dan selalu menginginkan lebih.

Dan lawan Chavez sesungguhnya adalah “orang-orang miskin” ini. Mereka katai Chavez otoriter, tiran, tidak berperi kemanusiaan. Lebih kongkrit lagi, pada April 2002 Caracas dibuat mencekam oleh upaya kup gabungan militer dan borjuis. Garis bawahi borjuis. Sebuah dokumenter, Inside the Revolution: A Journey Into the Heart of Venezuela sempat menyentil sejumlah nuansa yang tidak terjamah mata selama kudeta terjadi. Ada sekelompok orang yang tengah berpesta karena yakin bahwa rezim Chavez telah tumbang, bahkan lebih jauh mereka telah mengangkat seorang presiden baru sebagai pengisi jabatan (mereka ini, yang kehilangan banyak oleh kebijakan-kebijakan pemerintah pro akar rumput).  Puji syukur, Chavez kelewat dicintai rakyatnya. Upaya pemakzulan hanya berusia dua fajar, segera berakhir ketika rakyat turun ke jalan guna mengembalikan sang commandante ke tempatnya. Pada pemilu keduanya Chavez menang sekali lagi, dominan dengan 56% suara. Pada pemilu ketiganya juga.

Dan kini Tuhan mengakhiri kepemimpinannya dengan caraNya, melalui sebuah fitrah, keniscayaan. Chavez dan rezimnya tumbang oleh sisa zarah-zarah pemberontak yang menggerogoti jasad. Lepas wafat Chavez, “orang-orang miskin” itu barangkali tengah bersiap berpesta lagi.

Tapi revolusi belum usai, duhai “orang-orang miskin”. Kehidupan sejati Chavez justru baru dimulai, dalam tataran batiniah, dipupuk oleh gagasan-gagasannya. Wakilnya Nicolas Maduro berujar “Saya bukan Chavez, tapi saya adalah anaknya, dan kita semua adalah Chavez”.

Maka Tuhanku, di pemilu Venezuela nanti, menangkanlah Maduro (saya agak ragu dengan doa yang terakhir ini, entah mengapa).