Fiat Lux

Minggu, 30 November 2014

Nokturno

06.32 Posted by Arasy Aziz 1 comment
Sepucuk surat cinta tanpa tahun;
Hai,
Kalian manusia selayaknya bersyukur untuk kodrat-kodrat sebagai ciptaan yang saling hidup dan menghidupi kemengadaannya satu sama lain. Kalian manusia selayaknya bersyukur matahari memiliki benda-benda langit yang menjadi pelampiasan hasratnya akan pemujaan hingga tak perlu banyak berlelaku. Di atas sini tak dapat kuhitung mereka yang tidak seberuntung itu, termasuk aku. Kami adalah bintang-bintang tunggal yang seumur hidup hanya mengenal massa maha raksasa yang memastikan kami tetap bergerak di antara waktu mengitarinya. Yang Disana. Sebenarnya salahku karena sejak semula dapat saja ku bagi sedikit besi dan nikel untuk membentuk planet-planet agar lengkaplah aku. Namun aku yang muda demikian tinggi hati, merasa kesunyian adalah hakikat benda-benda langit.
Hingga saat itu aku selalu mempertanyakan kepada yang Disana kenapa aku diciptakan dengan kebodohan ini. Aku menyesal sepenuhnya.
Yang Disana, di pusat galaksi, berdiri Tuhan. Atau setidak-tidaknya lubang antara yang mengantar langsung ke hadapan dia. Disana tempat keluh kesah aku kirimkan melalui lontar massa yang sesegera itu ditelannya lenyap.
Beberapa kali kulihat berkas penerbangan mahluk-mahluk cahaya dari penjuru-penjuru membelah kegelapan. Aku dapat mendengar sayup-sayup doa yang mereka dekap erat-erat. Pengunjung rutin yang lain adalah setan-setan nakal yang tak pernah belajar dari kekeliruan-keliruan di masa lalu yang mencoba mencuri dengar rahasia langit. Tubuh mereka membatu setiap kali bersitatap dengan mata yang melihat segala, lalu melayang kosong sebagai meteor.
Namun di tengah kebosanan menunggu lirikan Tuhan kepadaku si bintang pengeluh, sepasukan burung pelikan dengan topi tinggi berwarna biru yang menghambur dari sana dari waktu ke waktu selalu menarik perhatianku. Di ujung paruh asimetris mereka ditautkan buntalan-buntalan cahaya jiwa yang hangat seperti bias senja di kelopak krisan. Membelah ruang hampa. Mereka berarak mengirim kehidupan baru menuju pusat-pusat peradaban yang bernafas di antariksa.
Saat itulah aku menemukanmu.
Aku mengenalinya sebagai Saphio, pelikan tua yang telah berabad-abad menjalankan tugas mengantar jiwa baru menuju Bumi. Mengingat usianya membuatku maklum ketika hari itu dia menyimpangi arah navigasi dan tiba-tiba terbang melintasiku. Dapat kulihat dari matanya gurat kelelahan sehingga kutawari dia untuk beristirahat sejenak di salah satu jilat bintang yang kuturunkan suhunya agar tak membakar sayapnya yang berminyak. Dia tampak berbahagia.
Lalu aku mendengar tawa itu, tawa yang mengingatkanku pada sunyi semesta di hari pertama penciptaan. Aku menemukanmu, saat itu segenggam cahaya jiwa yang hangat seperti bias senja di kelopak krisan. Ku kira Tuhan pada akhirnya menjawab doa-doa tentang belahan jiwa.
Hai, Saphio. Dapatkah kau tinggalkan buntalanmu di sini agar aku punya teman? Dia tampak menyukaiku. Ujarku.
Dapat kulihat Saphio tersentak. Itu melanggar kodrat kelahiran! Kita akan mengacaukan tata semesta jika aku mengabulkan permintaanmu. Tuhan akan sangat marah kepadaku.
Saphio bergegas bersiap melanjutkan perjalanan ke Bumi, mungkin sedikit ketakutan oleh bintang yang tetiba mengiba-iba hal yang ganjil. Segera ku memohon  ia  menunggu sejenak agar aku dapat memberimu hadiah. Aku menyuapimu dengan sedikit letupan-letupan yang dapat kutemukan di lapis udara terluarku. Dapat kulihat bola cahaya itu turun ke tenggorokanmu hingga berhenti di ujungnya, menyala-nyala jingga, hijau, merah, kelabu. Kau tertawa manis sekali. Kubiarkan cahaya bintang memilikimu [1].
Aku sedikit bersedih karena Saphio akhirnya pergi membawamu, dan memohon ampun atas kelancanganku kepada Tuhan. Namun, tak dapat ku pungkiri pertemuanku denganmu semenjak itu banyak  sedikit mengguncang iman. Duniaku tak lagi menjadikan yang Disana sebagai pusat segala. Berkali-kali kulanggar hukum-hukum langit agar dapat mengintip ke lubang cacing yang ku curi dengan bantuan pelikan-pelikan pengangguran yang tak lagi mengenakan topi biru tinggi. Aku bertaruh sebagian hasil fusi untuk mereka dan amarah-amarah dari malaikat pengadu agar dapat mengamati kehidupanmu.
Aku dapat melihat kau tumbuh sebagai gadis yang dipenuhi gairah akah hidup. Dapat kulihat bola cahaya yang menyala-nyala jingga, hijau, merah, kelabu, menjadikamu pusat semesta manusia disekelilingmu. Kau dan cahaya itu menuntun mereka kepada kesadaran. Ini lucu mengingat betapa kau adalah cahaya lain yang disesatkan pelikan pada suatu waktu. Mereka agaknya sangat menyukai kehangatan yang kau tebar. 

Lalu, aku dapat melihatmu melakukan kesalahan itu, jatuh cinta padanya.
Dapat kulihat dia sama sepertiku, seorang pengembara yang menjelajahi kota ke kota, kecuali dalam sunyinya dia bertemu (dan kadang bercinta) dengan manusia-manusia lain, menyelamatkan orang-orang, mengobarkan amarah. Kukira kau sedikit teringat padaku yang mengajarimu pertama kali tentang kehangatan cinta. Kemudian aku melihatmu menatap langit dengan penuh gairah setiap kau bercakap dengannya. Aku tersenyum kepadamu. Namun segera kusadari bahwa kau melakukannya karena dia memintamu.
Gelisah tiba-tiba menjelma isyarat [2]. Mengapa aku tetap hidup dalam gelimang kesunyian dengan begitu banyak kehangatan yang telah kubagi denganmu? Sementara di bumi kau bahkan tak mampu membedakan aku diantara langit malam yang sepenuhnya datar. Demikian mudahnya kau mencintai sesorang yang bahkan tak pernah kau temui sebeumnya. Kau melupakan aku, bahkan dengan bola cahayaku yang melindungimu.
Telah tiba saatnya untuk mengambil kembali letupan-letupan yang sebelumnya kumiliki dan jiwamu sekaligus. Aku berderu mendahului takdir yang akan mengembalikanmu kepada Dia yang disana, di pusat galaksi. Aku akan memastikan cahaya itu membawamu ke sini, tempat bintang-bintang tunggal hidup. Pun itu berarti kau harus menelan bulat setiap perih penarikan kembali. Toh, itu akan memutus setiap gerak yang menjadikanmu pusatnya. Setelahnya kau dan aku akan berbahagia untuk keruntuhan kita dalam gravitasi menuju Supernova.
Demikianlah aku mengingatkanmu tentang apa-apa yang harusnya kumiliki. Kau. Seumur hidupku, tak akan ada yang lebih menguras ketabahan selain menunggu jiwamu meluruh menuju bintang-bintang. Menuju aku.
Seumur hidupku, tak ada yang lebih menguras ketabahan selain menunggu kematianmu.
Salam hangat.
Administrasi kantor pos besar ibukota Malang mencatat surat ini tak pernah sampai. Wilayah Cangar di pegunungan barat Malang tempat surat ini ditujukan diisolasi pada 2058 akibat ditemukannya radiasi nuklir yang didahului meninggalnya Anna-Maria Galuh Gayatri, seorang aktivis penentang rezim totaliter Federasi Malangkucecwara pada era pos-apokalip, karena kanker tenggorokan dalam usia 19 tahun.
# #
Sapardi Djoko Damono / Dua Ibu - Nokturno
Sulit untuk tidak menetapkan proyek musikalisasi puisi Sapardi Sjoko Damono oleh kolektif yang menamakan dirinya Dua Ibu sebagai mendung yang menenun bibit-bibit badai musik folk-akustik di Indonesia (yang hingga hari ini semakin terasa generik). Generasi kita telah terputus terlalu jauh dengan formula kritik yang mewakili rakyat a la Iwan Fals, selain karena ia tidak merawat konteks itu setelah keran kebebasan dibuka pasca reformasi.
Album Gadis Kecil, 2005, muncul membawa lirik-lirik manis berwana kelabu yang melekat di dalam sajak-sajak Sapardi, seperti dalam [1] [2] Nokturno;

Kubiarkan cahaya bintang
Memilikimu
Kubiarkan angin yang pucat dan tak habis-habisnya
Gelisah, tiba-tiba menjelma isyarat,
Merebutmu
Entah kapan kah bisa ku tangkap


untuk kemudian diramu dengan aransemen sederhana sehingga nyaman didengar berulang. Meskipun tak sampai menjangkau arus utama, bibit-bibit romansa yang bertanggung jawab telah ditebar dimana-mana untuk generasi kita lewat musik yang merakyat.

Minggu, 28 September 2014

Pemilihan Kepala Daerah Langsung!!; Mengapa Kita Harus Berhenti Berharap Pada Presiden dan Mulai Menggerakkan Gugatan

02.05 Posted by Arasy Aziz , No comments
Akar-akar Masalah
Perdebatan mengenai tata pemilihan kepala daerah, memilih langsung maupun tidak, telah menjadi salah satu mosi yang sejak lama tak kunjung hangus di meja-meja debat. Praksis pemilihan langsung yang merupakan salah satu konsekuensi reformasi tidak berjalan sebagaimana apa yang diidealkan, terutama konflik-konflik horizontal yang mekar dimana-mana. Disisi lain, masyarakat kita digoda dengan sistem yang tak sepenuhnya asing; mekanisme yang didasarkan pelimpahan wewenang memilih kepala daerah kepada dewan lokal. Praktik ini berlangsung dan dipelihara selama tahun-tahun represi Orde Baru.

Celah-celah bagi desakan pengembalian kepala daerah ke tangan DPRD sejak semula menemui titik terang akibat ketidakpastian hukum yang ditimbulkan Pasal 18 ayat (3) UUD NRI 1945, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Kita tidak akan dapat menemukan penjelasan mengenai frasa “secara demokratis” dimanapun, mengingat sejak empat kali amandemen konstitusi bagian penjelasan dihilangkan dan dituangkan ke dalam pasal-pasal. Salah satu jalan adalah menengok original intent dari pembentukan pasal ini, dimana pada dasarnya ditujukan untuk mengakomodasi sejumlah sistem ketatadaerahan yang berbeda, seperti Daerah Istimewa Yogyakarta yang berkarakter monarki dengan jabatan Gubernur dipangku oleh Sultan dan Wakil Gubernur oleh Pakualam.

Namun, apalah arti tafsir ini dihadapan hukum positif.

Pasal yang dapat ditafsirkan secara terbuka ini memberikan wewenang yang besar bagi pembentuk undang-undang organik sebagai penerjemah dan pemegang kewenangan reproduksi norma-norma konstitusi, yang semakin berbahaya akibat corak kepentingan yang terlalu kontras. Pada tahun 2004, euforia reformasi membawa kita pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memperkenalkan pemilihan kepala daerah secara langsung. Sistem ini hanya berusia satu dekade.

Selain itu, desain ketatanegaraan kita menempatkan kepala daerah dan DPRD sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. Hal ini berakar dari bentuk negara kesatuan yang kita anut, dimana kekuasaan legislatif secara struktural tersentralisasi di tangan DPR (dan DPD). Tidak terdapat distribusi ke daerah-daerah, sehingga kepala daerah dan DPRD berdiri pada cabang kekuasaan yang sama (eksekutif) dibawah komando Presiden melalui Kementerian Dalam Negeri.

Pertanyaan yang kemudian timbul: “Perlukah kita memilih dua kali untuk mengisi posko pranata yang secara struktural sama?”, dan benang-benang kusut dan lain-lain. Pada 25 September 2014, melalui lelakon yang membikin patah hati, kita dihadapkan pada jawaban-jawaban. Undang-undang pemilihan kepala daerah disahkan oleh opera sabun.

Melawan Hukum dengan Hukum
Selain polarisasi kepentingan pasca pemilihan presiden yang semakin menjijikkan, salah satu yang menarik perhatian adalah aksi tong setan partai Demokrat yang notabene merupakan partai pemerintah. Sejak semula, tidak tampak adanya itikad untuk mempertahankan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung oleh Presiden. Patut diingat bahwa rancangan undang-undang ini lahir atas inisiatif pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri yang telah diajukan sejak tahun 2010. Pasal 70 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pada dasarnya juga memungkinkan Presiden untuk menarik rancangan undang-undang tersebut sebelum dibahas bersama DPR. Langkah ini rupanya tidak dipilih. Menjelang paripurna, partai Demokrat datang dengan menawarkan 10 prasyarat yang seharusnya dapat diakomodasi sejak awal pembentukan rancangan undang-undang.

Bahkan di mata hukum positif, manifest ketidakpercayaan terhadap Presiden dan partai dibelakangnya menjadi relevan dan beralasan.

Oleh karena itu kita dapat menyingkirkan Presiden dan partai Demokrat dari pusaran wacana  perjuangan perlawanan terhadap undang-undang pemilihan kepala daerah, ditengah sanksi sosial (media) yang terus mengalir. Hal ini termasuk menghentikan desakan agar Presiden menolak menandatangani  undang-undang pemilihan kepala daerah yang baru. Selain sia-sia dan tidak menimbulkan dampak apapun, tindakan ini hanya akan menunda pelaksanaan hak konstitusional kita dalam hal pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar, mengingat undang-undang yang tidak ditandatangani Presiden baru berlaku setelah 30 hari setelah disahkan berdasarkan asas fictie hukum dalam Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Pada saat itulah undang-undang pemilihan kepala daerah baru dapat dikategorikan sebagai obyek sengketa di hadapan Mahkamah Konstitusi.

Kita perlu mengalihkan perhatian kita pada upaya membangun argumentasi dalam kerangka memperalat arah penafsiran hukum para hakim Mahkamah Konstitusi. Untuk itu, membaca Pasal 18 ayat (3) tidak dapat dipisahkan dari prinsip-prinsip dasar bernegara yang termuat dalam Pasal 1 UUD NRI 1945; kesatuan sebagai bentuk negara, republik sebagai bentuk pemerintahan, dan demokrasi sebagai sistem politik.

Meskipun telah dibahas di bahas diawal bahwa di dalam negara kesatuan tidak terdapat distribusi kekuasaan legislatif, namun dalam pelaksanaannya dewan perwakilan lokal tetap melaksanakan fungsi legislasi, dengan syarat produk yang dihasilkan harmonis dan tidak bertentangan dengan undang-undang yang secara hirarkis berkedudukan lebih tinggi, sesuatu yang membedakan dengan negara federal. Hal ini menimbulkan pemisahan kekuasaan fungsional kasat mata ditingkat daerah; kepala daerah menjalankan fungsi eksekutif dan DPRD menjalankan fungsi legislatif, meskipun secara struktural berada di cabang yang sama. Adanya pemisahan kekuasaan secara fungsional ini juga mengakibatkan kepala daerah dapat menjalankan wewenang diskresi untuk menyimpangi peraturan daerah berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik, sesuatu yang sulit dijalankan apabila kepala daerah dipilih oleh DPRD.

Selain itu, penolakan terhadap sistem pemilihan kepala daerah oleh DPRD terkait gagasan republik dalam Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945, “(n)egara Indonesia ialah Negara kesatuan yang berbentuk Republik”. Gagasan republik tidak semata-mata mengenai prosedur suksesi kekuasaan yang tidak didasari pada hubungan darah. Gagasan Republik mengandung tanggung jawab untuk mengenyampingkan kepentingan individu dihadapan polis, res publica, kehendak publik. Selain itu prinsip republik pada dasarnya menolak bentuk-bentuk demokrasi perwakilan, yang dalam kasus ini mengenai pembentukan otoritas pemerintahan di tingkat daerah;
Otoritas berdaulat tidak dapat diwakilkan dan dialienasi. Otoritas berdaulat hanya ada di dalam kehendak umum, sedangkan kehendak umum tidak mungkin terwakili: kehendak umum ada atau tidak ada, tidak mungkin setengah-setengah. Anggota majelis perwakilan rakyat bukan dan tidak dapat menjadi wakil rakyat; mereka hanya mandataris rakyat, yang secara defintif tidak berwenang menetapkan apapun.”

Rosseau melanjutkan argumentasinya dalam Du Contract Social: Ou Principles Du Droit Politique dengan mencibir sistem monarki parlementer Inggris, dimana eksekutif disusun oleh pemenang pemilu parlemen, “Rakyat Inggris mengira dirinya bebas, namun mereka keliru sama sekali: mereka hanya bebas selama pemilihan anggota Parlemen. Begitu parlemen terpilih, rakyat menjadi budak, dan bukan apa-apa lagi.”

Selain makna asali demokrasi dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 sebagai “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, tafsir demokratis dalam Pasal 18 ayat (3) juga harus dikaitkan dengan aksioma utamanya yaitu hak berserikat, berkumpul dan berpendapat dalam Pasal 28 UUD NRI 1945, “(k)emerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang”. Patut diingat bahwa pemilihan umum tidak melulu tentang ajang suksesi kepala daerah. Lebih dari itu, pemilihan umum merupakan medium menyampaikan pendapat sekaligus penghakiman terlahadap jalannya pemerintahan selama satu periode, sesuatu yang berpotensi tidak terlaksana akibat wewenang pemilihan kepala daerah yang dialihkan.

Pertanyaan mengenai keabsahan proses pembentukan undang-undang itu sendiri juga perlu dimunculkan; apakah di dalamnya terdapat keterlibatan DPD sebagai wakil-wakil daerah di parlemen. Urusan pemilihan kepala daerah secara sistematis memengaruhi hubungan pusat dan daerah yang merupakan domain DPD. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 meneguhkan posisi DPD dalam proses pembentukan undang-undang, salah satunya dalam membahas rancangan undang-undang secara penuh berdasarkan konteks Pasal 22D ayat (2) UUD NRI 1945. Apabila dalam pembentukan undang-undang pemilihan kepala daerah DPD tidak dilibatkan, maka undang-undang tersebut dapat dibatalkan.


Pada akhirnya, pengajuan uii material maupun formal melalui Mahkamah Konstitusi hanyalah salah satu dimensi dalam perlawanan terhadap sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD yang termuat didalam undang-undang pemilihan kepala daerah. Apa yang menjadi ujung tombak kita adalah pembangunan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pemenuhan hak-hak sipil, seraya membuktikan bahwa daulat rakyat tidak akan kalah dihadapan perut-perut yang haus nanah dan mulai kehilangan akal sehat. 10 tahun sejatinya adalah waktu yang tak cukup untuk memberi bukti apapun bagi mereka yang berpikir.

Sabtu, 21 Juni 2014

She Loves Us!

13.00 Posted by Arasy Aziz No comments
#1
“Kau dengar suara-suara itu, Roo?”
“Demi Tuhan, ini kelima kalinya kau menanyakan itu. Tidak ada suara! Kurasa kesunyian ilalang mulai mebuatmu gila.”
Lima kali ku bertanya, semacam memastikan, dan aku mulai yakin Roo yang sebetulnya mulai tertelan kesunyian sabana yang menghampar hingga nadir. Bagaimana mungkin dia tak mendengar keriuhan ini? Udara disekitar kami dipenuhi oleh bebunyian ritmik dari instrumen-instrumen yang tak pernah ku dengar sebelumnya. Cantik. Terdengar lebih primitif dari lagu-lagu yang dinyanyikan seorang pengamen muda di pasar loak Cartago. Cantik.
“Bagaimana mungkin kau tak mendengarkan Roo, suara-suara ini demikian nyaring menggairahkan. Aku bahkan bisa menari diiringinya.”
“Jangan bodoh. Kita ditengah Afrika. Kau kecanduan opera yang tak membolehkanmu ikut menari bersama Ann si Pengembala.
“Lagipula”, lanjutnya “baik kau dan aku sesungguhnya tak dapat memastikan siapa diantara kita yang telah tertelan kesunyian. Dua orang pengamat bertahan hidup dengan pencerapannya masing-masing.
“Yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana cara tercepat untuk pulang ke Cartago. Lalu kembali ke Virginia. Berburu badak rupanya idemu yang paling buruk, apalagi kulakukan denganmu.”
Sungguh kasihan Roo dan inderanya yang maha tumpul. Aku kembali memerhatikan jalan, sambil tentu saja, menikmati bebunyian asing yang tak habis-habis. Aku menggoyangkan kepala, mengangkat tangan, memutarnya di udara, menggoyang kepala lagi, mengayunkan kaki, memutar kepala.
Kemudian di kejauhan aku melihat asap menyala, lalu membumbung api. Manusia!
“Kau melihatnya Roo?”
“Apa lagi, heh?”
“Kali ini aku melihat api.” Aku menunjuk.
Roo menatapku seolah akan membunuhku kalau-kalau inderanya sekali lagi tak bersepakat dengan inderaku (tentu saja ini salah inderanya). Namun matanya berbinar. Dia berujar (mungkin berteriak, sulit membedakan ditengah bebunyian yang mengencang.) “Manusia!!”
Kami memacu kuda kami mendekati titik api, lagu itu terdengar semakin nyaring. Kami tinggal berjarak belasan kaki darinya hingga tetiba kuda-kuda kami panik seolah menabrak dinding tak kasat dan menjatuhkan kami dari pelana. Musik belum berhenti.
Aku mencoba berdiri, berjalan untuk memastikan aku baik-baik saja. Lalu terpaku.
Ada api, yeay, namun tak ada manusia. Tepatnya aku tak yakin apa-apa yang kulihat mengelilingi api adalah manusia. Struktur tubuh mereka tampaknya sama denganku, namun lihatlah kulit mereka! Manusiakah mereka? Adakah api menghanguskan jalan evolusi mereka?
Mereka yang asing itu bersikap diam penuh, bersila. Namun anehnya, aku meyakini bebunyian ganjil itu berasal dari sini. Sebuah konserto sunyi. Asap mengirim karya mereka ke surga.
Di antara remang, salah satu dari mereka yang tampaknya masih cukup muda menggaruk-garuk apa yang sepertinya merupakan paha pada tubuhku, berdiri dan berlari ke balik batu. Dia berdiri dengan dua kaki, sama sepertiku. Dan pipis, sama sepertiku.
Dia hendak kembali ke dalam lingkaran, hingga menyadari kehadiranku dan Roo. Dia terpaku, sama sepertiku melihat mereka pertama kali. Aku dapat melihat dua matanya yang putih (sama seperti milikku) membola, membola.
Elia!! Elia!!
Dalam jeritnya dia tampak terharu (aku mulai yakin dia adalah spesies mahluk hidup yang sama denganku), membatalkan niatnya kembali melingkari api dan mulai berlari kesetanan ke arahku.
Elia!! Elia!!
Berbeda denganku yang masih dijerat takjub, Roo menghunus belati dari pinggangnya dan mengambil kuda-kuda. Dia Yang Muda menyadari ancaman yang bekilat di hidungnya, menunda gairahnya pada kami yang meletup-letup. Dia mengambil batu seukuran kepalaku dengan tangan kanannya dan, sungguh luar biasa, melemparnya tepat ke kepala Roo. Darah berhamburan dari kepala Roo yang terkapar, lalu mati.
Yets ied!!” ujar Yang Muda sembari memelukku tanpa bisa kutolak. Aku terkagum-kagum menyaksikan kekuatan super anak itu.
Elia!! Elia!!
Lingkaran itu, dan aku, segera menyadari kekacauan ritmik dalam konserto mereka. Selain itu, jeritan Yang Muda agaknya mengalihkan kekhusyukan. Mereka-mereka itu mulai tampak berdiri, berbalik ke arahku, terpaku, dan mulai menyerukan kata-kata yang sama. Seperti temannya, mereka mulai berlari terbirit-birit menujuku, menginjak tubuh Roo, histeris, terdiam sejenak seolah mengamati sesuatu, histeris lagi, mulai memelukku, menarik-narik bajuku, rambutku, histeris, memeluk kakiku, menjilati jemarinya. Aku kegelian.
Kemudian mereka mulai bersujud, satu demi satu di hadapan tubuhku. Mendesiskan kata-kata yang sama, satu demi satu di hadapan tubuhku.
Elia.. Elia.. Elia..
Sesegera itu aku tersadar. Tak dapat aku menahan diri, senyumku mengembang. Lebar, lebar sekali, hampir aku tersedak.

#1.5
“Halleluiah! Halleluiah! Halleluiah!”
“Sst, sst, Jack! Jack!”
Dia yang ku panggil menoleh ke arahku, memastikan bahwa aku memanggilnya. Aku mengangguk. Dia berpindah duduk mendekatiku. Tuan kami tak tampak terganggu dan masih memimpin ibadah.
“Aku memikirkan ini semalaman. Rasa sakit di pundakku rasanya sirna olehnya”
“Apalagi kali ini? Kurasa kau semakin tenggelam dalam ide tentang budak yang berpikir.”
“Aku berpikir tentang cara mereka menundukkan kita setelah abad perpindahan dengan perahu. Mereka menghapus pengetahuan bahasa kita, menggantinya dengan bahasa-bahasa mereka, kata-kata tak dikenal. Kita kehilangan kemampuan kita merepresentasikan ide, semisal mengenai Tuhan. Sekarang kita menyanyikan ode untuk Tuhan mereka yang asing bagiku. Dia jelas bukan Tuhanku, bukan Tuhan kita!”
“Semoga Tuhan mengampunimu anak durhaka! Kau mencoba memercayai mitos tua mengenai dewa-berkulit-kemerahan-yang-membawa-nenek-moyang-kita-dengan-perahu-ke-surga itu? Berdoalah padanya! Ibuku melakukannya untukku hingga akhir hidup dan lihatlah: aku, anak-anakku, masih memetik kapas!”
“Dengar Jack, aku merencanakan sesuatu yang entah harus kusebut apa. Yang pasti keadaan ini harus diakhiri! Aku hanya belum menemukan kata yang tepat untuk rencana ini.”
Aku begitu bersemangat dan tak menyadari mata-mata biru yang mendelik marah. Satu, dua, tiga lecut cemeti mendera sayatan yang belum kering di punggungku. Aku menjerit untuk kepedihan yang kucampur sisa-sisa orgasme, sementara kaumku acuh melanjutkan ibadah. Asap membawa doa mereka ke surga.
“Halleluiah! Halleluiah! Halleluiah!”

#2
Swans - She Loves Us!
Klik, menuju She Loves Us!
Rangkuman naratif keterasingan dari perubahan apa-apa yang kita yakini, dalam sebuah alur kehidupan sub-sahara hingga eksodus ke Amerika. 17 menit terdengar menyenangkan oleh sentuhan gloomy punk a la The Cure awal dkk. Beri saya Sisha diam-diam, pekerjaan sialan memetik kapas segera dimulai!

Post-script: cerita diatas fiksi belaka, merupakan interpretasi saya terhadap lagu Swans - She Loves Us! (dalam album To Be Kind, 2014). Bahasa-bahasa suku entah-apa saya karang sendiri: Elia = dewa, Yeats ied! = iblis telah mati!

Kamis, 05 Juni 2014

Bukan Sungai-Sungai

08.37 Posted by Arasy Aziz No comments
Bukan sungai-sungai yang mengalir: adalah air yang kepadanya kita sematkan imagi siklikal kuna berusia hampir dua milyar tahun. Dalam dahaga, kita menenggak dia yang sama yang berkecipak dibawah sampan Charon, pengantar jenazah-jenazah menuju baka. Air yang sama, yang kepadanya dibasuhkan Achilles demi kekal doa-doa. Air yang sama, yang dengannya dibangun tembok-tembok Mesopotamia dan kebun-kebun roda dan nafkah budak. Air yang sama, yang mengantar Musa kepada mula pengabdian. Adalah air wakil dari kehidupan yang berulang. Adalah air kehidupan itu sendiri.

Sementara sungai-sungai tak lebih dari sekadar perantara-perantara.

Namun Yang Maha Mengukir tidak menciptakan ornamen-ornamen dari ruang hampa nilai. Bahkan perantara-perantara memiliki peran dalam lakonnya masing-masing. Tak terbayangkan hidup Charon, Achilles tanpa Styx. Tak terbayangkan bagaimana peradaban pertama dimulai tanpa Eufrat dan Tigris. Tak terbayangkan bagaimana sang penyampai sepuluh perintah akan menjadi tanpa Nil yang memisahkannya kedalam takdir melawan ayahnya, anti-hero sejarah.

Sungguh tak terbayangkan hidup siklikal dua milyar tahun tanpa sungai-sungai. Air yang tercurah diatap-atap bumi meluruh secepat dia datang, pada saatnya mengusap dalam tenaga apa-apa yang dilaluinya di bumi yang tanpa gurat. Air tak lagi kehidupan itu sendiri. Kita menyebutnya katastrofi.

Adalah air wakil dari kehidupan yang berulang. Dan sungai menghantar ujar sang siklikal yang tak sempat diucapkannya kepada manusia yang menjadikannnya Ada.1) Beruntunglah dia, yang di dalam namanya mengalir sungai-sungai.


Malang, 5 Juni 2014
Untuk Riverningtyas, seorang Sahabat. PS: Sapardi-esque: [1]

Sabtu, 31 Mei 2014

On Genealogy of an Introvert Melancholia

10.32 Posted by Arasy Aziz 2 comments
I want you touch me in my bleed / I want you touch my ancient week // Violence is what you are, is what you’ll be, is what you’ll take in everyday.
Melancholic Bitch - On Genealogy of Melancholia (dalam Re-Anamnesis: 2013)

#1

Dibelahan dunia yang asing, jauh sebelum trilogi saru Tuan Grey lalu mendudukkan wacana seksualitas menyimpang sebagai raja kios-kios buku di bandar udara, di pinggir jalan, di metromini, seorang penulis berkulit kuning menarasikan topik sadomasokisme dengan cara yang terlampau absurd. Penulis ini, sebagian dari kita mengenalinya dari sebuah scene serial animasi Detective Conan, tepat ketika sang detektif remaja yang tetiba mengecil tersudut oleh pertanyaan bertubi akan siapa kamu. Si detektif (sekarang) cilik sesegera melirik, demi nama samaran yang tepat daintara deretan buku-buku yang dia tumpu, dan voila, menemukannya, Edogawa Rampo. Apa yang tengah kita bicarakan adalah salah satu karya penulis misteri tersukses Jepang ini, Blind Beast. Pada 1969, novel ini di angkat ke layar perak.

Shima Aki, model foto diculik oleh seorang tunanetra yang dilanda obsesi untuk menemukan wanita berkulit terhalus di muka bumi sebagai obyek magnum opus-nya. Si model mulai tampak menjadi Sisyphus: awalnya menolak mati-matian, menghalalkan segala cara untuk lolos dari studio kelam si tunanetra. Belakangan, ia menikmati setiap detiknya yang menekan.

Dalam gelap yang seluruh, model kita mulai kehilangan penglihatan dan menjadi penyampai pepesan bangunan dramaturgi: “they never know the tactile ecstasy of our caresses”, kenikmatan seksual yang dibangun oleh sentuhan-sentuhan dalam ketiadaan pelita abadi, “like the lower orders of life, without eyes, only able to feel. Ia jatuh hati pada gulita. Dalam gelap yang seluruh, sepasang tunanetra kemudian tak lagi merasa cukup oleh sekadar sentuhan a la organisme primitif yang mereka rasakan, memulai tragedi orgasmik yang berangkat dari selangkangan, turun ke tangan, turun ke sepasang kaki, lalu nihilitas, tidak ada lagi.

Hasilnya, sebuah karya sinema noir-romantik yang sulit diterima akal sehat.

 #2

Dalam The Neurotic Personality of Our Time, Karen Horney memulai diskusi mengenai kasih sayang sebagai sebuah kebutuhan neurotik dengan membagi modus-modus mendasar manusia dalam mempertahankan diri dari rasa cemas: menagih kasih sayang, bersikap inferior dan tenggelam didalamnya, menunjukkan betapa dirinya dominan, atau terakhir, memilih jalan sunyi. Lebih lanjut, Horney menegaskan bahwa tidak ada satupun kebudayaan yang secara eksklusif hanya menjembatani salah satu bentuk. Dengan kata lain, setiap masyarakat mengekspesikan hibridasinya masing-masing.

Ibarat, jika setiap modus adalah selingkar diagram venn dalam sangkar sejarah, maka individu-individu, masyarakat-masyarakat tertentu agaknya mewarisi irisannya.

Dan diantara yang empat, kasih sayang yang berangkat dari kecemasan, perlahan memulai neurosis.

#3

Di belahan dunia yang asing, seseorang mencurigai sadomasokisme telah mengambil rupa yang lain. Dia, Yang Curiga.

Secara sederhana, sadomasokisme sebagai pseudo-ideologi seksual membimbing alam bawah sadar penganutnya dalam mencapai puncak hedonitas dengan mendera subyek yang liyan (atau dirinya sendiri) dengan penderitaan. Sebagaimana pelakon-pelakon kita membahasakannya dengan keterlaluan dalam Blind Beast: setiap rintih, setiap perih, setiap darah yang mengalir, adalah rantai-rantai esoterik yang tak terkatakan.

Dalam kalimat yang terselip, Horney mendeskripsikan seksualitas sebagai kesepakatan antara perilaku yang berangkat dari kepuasan dan di sisi lain, kecemasan, rasa takut. Namun, kasih sayang dengan rasa takut yang dominan adalah awal mula neurosis. Mereka yang memahami ini agaknya menggolongkan sadomasokisme sebagi salah satu bentuknya.

Namun, kasih sayang bukan satu-satunya modus penuntas kecemasan. Jika setiap modus adalah selingkar diagram venn dalam sangkar sejarah, maka individu-individu, masyarakat-masyarakat tertentu agaknya mewarisi irisannya.

Irisan tersebut dapat bertumpuk dalam pola yang rancak. Dalam lingkar sunyi, kita dapat mewakilkannya pada lelaku pengasingan sejumlah Sufi dalam keterbatasan. Yang Curiga merasa apa yang dilakukan kelompok ini merupakan titik tegang antara ketakutan akan tuhan-tuhan mereka di satu sisi, kepuasan transenden akan tuhan-tuhan mereka di sisi yang lain, dan kesunyian sebagai cara.

Yang Curiga secara a priori menyimpulkan, terdapat kemiripan antara sadomasokisme dan jalan penyembahan ini, kecuali aksioma kesadaran-ketaksadaran, dalam penderitaan yang terpilih.

Namun, dia tak sungguh peduli pada mainan baru. Seseorang yang menaruh curiga belum menemukan jawaban atas keraguannya. Dia mengambil perangkat pemutar musik miliknya, dan mulai memutar lagu-lagu.

I want you touch me in my bleed/ I want you touch my ancient week  //
Violence is what you are, is what you’ll be, is what you’ll take in everyday //

Di dalam lingkaran sunyi, sadomasokisme itu telah berubah rupa dalam dirinya, dalam jalan derita yang dipilihnya untuk perasaan-perasaannya sendiri, dilakukannya dengan kesadaran yang bulat. Berasal dari apa-apa yang tak terkatakan, disemai oleh diamnya, ketunaannya.

Yang Curiga meranggas. Dia menikmatinya.


Post-Scriptum      :      Saya sangat menyukai formula ini sebagai morfin melankolia yang mujarab: dimulai dengan menonton Blind Beast (1969), membacanya ulang dengan esai-ringkasan singkat dari karya Karen Horney, Kebutuhan Neurotik Terhadap Kasih Sayang (dalam Anatomi Cinta, Komunitas Bambu: 2009) sembari mendengar Melancholic Bitch - On Genealogy of Melancholia (dalam album Re-Anamnesis: 2013). Tulisan diatas adalah karangan bebas asal ucap dengan menyari-tautkan ketiganya.

Sabtu, 05 April 2014

Untuk yang (Pernah) Tersayang

07.41 Posted by Arasy Aziz 3 comments
Malang, 28 Februari 2012

Assalamualaikum Wr. Wb.

Saat kamu menerima paket ini, barangkali tanggal itu telah lewat beberapa hari (andai hitungan saya tidak keliru). Tapi esensinya semoga senantiasa tepat waktu. Iya, sebuah ucapan selamat datang dalam kotak baru berangka tujuh belas, yang di pelbagai belahan bumi kerap dirayakan dalam pesta pora. Kamu, barangkali merayakannya dalam sunyi. Atau beberapa kawanmu yang jahil menyisihkan setumpuk piring untuk kau angkat dengan riang meski bukan jadwalmu khidmat. Bagaimanapun caranya, esensinya sama saja.
Pada kesempatan ini saya memilih berjudi dengan memberimu sekeping CD (Compact Disc. red) ini. Berjudi? Saya didera paranoia akan kemungkinan bahwa barangkali kamu telah mengunduh lengkap materi album ini. Tapi pemikiran ini coba saya tepis jauh-jauh, menggantinya dengan kemungkinan-kemungkinan yang terdengar lebih menyenangkan. Semisal, dengan sebuah album fisik agaknya si penggemar dapat merasa lebih dekat dengan musisi idolanya.
Mengapa Owl City? Sekali lagi saya dituntun rasa sok tahu. Unit tunggal electronic/synth-pop Amerika Serikat ini memang sedang mewabah, dan tampaknya kamu satu yang terjangkiti juga. Track-track sakarin multi tema a la Adam Young saya rasa cocok untuk gadis sepertimu sebagai soundtrack usia tujuh belas yang kerap jadi momentum penuh gula-gula. Semoga materi All Things Bright and Beautiful terdengar semanis Ocean Eyes dengan Fireflies-nya.
Pada akhirnya saya hanya dapat berdoa dari jauh agar segala pilihan-pilihan dan jalan terbaik yang disediakan Tuhan senantiasa terlimpah untukmu (Tuhan yang Maha Segala, terlalu panjang kemungkinan-kemungkinan rupa kebaikannya untuk dituliskan disini). Semoga kamu tak mendapat masalah karena  hadiah kecil ini (kita cukup tau bagaimana madrasah kita tersayang sangat mengurusi hal-hal kecil seperti ini). Semoga kamu nggak merasa risih (?) karena beroleh banyak 'cieee' yang menggelikan.
Dan diawal saya sempat menyinggung perihal 'kotak baru berangka tujuh belas'. Andai kamu sadar (dan merasa ganjil), ini adalah satu dari sekian banyak doa saya. Kotak yang baru, selalu berarti ruang baru untuk ekspresi-ekspresi baru, gairah-gairah baru, semangat baru. Kamu yang baru. Namun, saya akan ikut berbahagia, andai energi tujuh belas tahunmu rupanya masih tersisa untuk sekadar melampaui sisi-sisi kotak itu. Saya berbahagia untukmu.
Semoga kita dapat segera bertemu kembali.

Wassalamualaikum Wr. Wb.



Post-Script : Teks ini merupakan cakaran surat pengantar untuk sebuah kado ulang tahun yang saya kirimkan untuk -sebagaimana tertulis pada judul- pada tahun pertama kuliah. Saya telah jauh lupa pernah menulis surat ini, hingga menemukannya terselip diantara halaman-halaman binder yang mendadak ingin saya fungsikan kembali. Tetiba muncul gedoran halus yang mengingatkan: “konyol ya", "wah, kamu pernah melakukannya dengan sangat sederhana, rupanya.” Saya tersenyum, lalu terbahak. Ini, sebuah manifest sederhana perjuangan dan  anasir rasa takut.