Fiat Lux

Minggu, 28 September 2014

Pemilihan Kepala Daerah Langsung!!; Mengapa Kita Harus Berhenti Berharap Pada Presiden dan Mulai Menggerakkan Gugatan

02.05 Posted by Arasy Aziz , No comments
Akar-akar Masalah
Perdebatan mengenai tata pemilihan kepala daerah, memilih langsung maupun tidak, telah menjadi salah satu mosi yang sejak lama tak kunjung hangus di meja-meja debat. Praksis pemilihan langsung yang merupakan salah satu konsekuensi reformasi tidak berjalan sebagaimana apa yang diidealkan, terutama konflik-konflik horizontal yang mekar dimana-mana. Disisi lain, masyarakat kita digoda dengan sistem yang tak sepenuhnya asing; mekanisme yang didasarkan pelimpahan wewenang memilih kepala daerah kepada dewan lokal. Praktik ini berlangsung dan dipelihara selama tahun-tahun represi Orde Baru.

Celah-celah bagi desakan pengembalian kepala daerah ke tangan DPRD sejak semula menemui titik terang akibat ketidakpastian hukum yang ditimbulkan Pasal 18 ayat (3) UUD NRI 1945, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Kita tidak akan dapat menemukan penjelasan mengenai frasa “secara demokratis” dimanapun, mengingat sejak empat kali amandemen konstitusi bagian penjelasan dihilangkan dan dituangkan ke dalam pasal-pasal. Salah satu jalan adalah menengok original intent dari pembentukan pasal ini, dimana pada dasarnya ditujukan untuk mengakomodasi sejumlah sistem ketatadaerahan yang berbeda, seperti Daerah Istimewa Yogyakarta yang berkarakter monarki dengan jabatan Gubernur dipangku oleh Sultan dan Wakil Gubernur oleh Pakualam.

Namun, apalah arti tafsir ini dihadapan hukum positif.

Pasal yang dapat ditafsirkan secara terbuka ini memberikan wewenang yang besar bagi pembentuk undang-undang organik sebagai penerjemah dan pemegang kewenangan reproduksi norma-norma konstitusi, yang semakin berbahaya akibat corak kepentingan yang terlalu kontras. Pada tahun 2004, euforia reformasi membawa kita pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memperkenalkan pemilihan kepala daerah secara langsung. Sistem ini hanya berusia satu dekade.

Selain itu, desain ketatanegaraan kita menempatkan kepala daerah dan DPRD sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. Hal ini berakar dari bentuk negara kesatuan yang kita anut, dimana kekuasaan legislatif secara struktural tersentralisasi di tangan DPR (dan DPD). Tidak terdapat distribusi ke daerah-daerah, sehingga kepala daerah dan DPRD berdiri pada cabang kekuasaan yang sama (eksekutif) dibawah komando Presiden melalui Kementerian Dalam Negeri.

Pertanyaan yang kemudian timbul: “Perlukah kita memilih dua kali untuk mengisi posko pranata yang secara struktural sama?”, dan benang-benang kusut dan lain-lain. Pada 25 September 2014, melalui lelakon yang membikin patah hati, kita dihadapkan pada jawaban-jawaban. Undang-undang pemilihan kepala daerah disahkan oleh opera sabun.

Melawan Hukum dengan Hukum
Selain polarisasi kepentingan pasca pemilihan presiden yang semakin menjijikkan, salah satu yang menarik perhatian adalah aksi tong setan partai Demokrat yang notabene merupakan partai pemerintah. Sejak semula, tidak tampak adanya itikad untuk mempertahankan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung oleh Presiden. Patut diingat bahwa rancangan undang-undang ini lahir atas inisiatif pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri yang telah diajukan sejak tahun 2010. Pasal 70 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pada dasarnya juga memungkinkan Presiden untuk menarik rancangan undang-undang tersebut sebelum dibahas bersama DPR. Langkah ini rupanya tidak dipilih. Menjelang paripurna, partai Demokrat datang dengan menawarkan 10 prasyarat yang seharusnya dapat diakomodasi sejak awal pembentukan rancangan undang-undang.

Bahkan di mata hukum positif, manifest ketidakpercayaan terhadap Presiden dan partai dibelakangnya menjadi relevan dan beralasan.

Oleh karena itu kita dapat menyingkirkan Presiden dan partai Demokrat dari pusaran wacana  perjuangan perlawanan terhadap undang-undang pemilihan kepala daerah, ditengah sanksi sosial (media) yang terus mengalir. Hal ini termasuk menghentikan desakan agar Presiden menolak menandatangani  undang-undang pemilihan kepala daerah yang baru. Selain sia-sia dan tidak menimbulkan dampak apapun, tindakan ini hanya akan menunda pelaksanaan hak konstitusional kita dalam hal pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar, mengingat undang-undang yang tidak ditandatangani Presiden baru berlaku setelah 30 hari setelah disahkan berdasarkan asas fictie hukum dalam Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Pada saat itulah undang-undang pemilihan kepala daerah baru dapat dikategorikan sebagai obyek sengketa di hadapan Mahkamah Konstitusi.

Kita perlu mengalihkan perhatian kita pada upaya membangun argumentasi dalam kerangka memperalat arah penafsiran hukum para hakim Mahkamah Konstitusi. Untuk itu, membaca Pasal 18 ayat (3) tidak dapat dipisahkan dari prinsip-prinsip dasar bernegara yang termuat dalam Pasal 1 UUD NRI 1945; kesatuan sebagai bentuk negara, republik sebagai bentuk pemerintahan, dan demokrasi sebagai sistem politik.

Meskipun telah dibahas di bahas diawal bahwa di dalam negara kesatuan tidak terdapat distribusi kekuasaan legislatif, namun dalam pelaksanaannya dewan perwakilan lokal tetap melaksanakan fungsi legislasi, dengan syarat produk yang dihasilkan harmonis dan tidak bertentangan dengan undang-undang yang secara hirarkis berkedudukan lebih tinggi, sesuatu yang membedakan dengan negara federal. Hal ini menimbulkan pemisahan kekuasaan fungsional kasat mata ditingkat daerah; kepala daerah menjalankan fungsi eksekutif dan DPRD menjalankan fungsi legislatif, meskipun secara struktural berada di cabang yang sama. Adanya pemisahan kekuasaan secara fungsional ini juga mengakibatkan kepala daerah dapat menjalankan wewenang diskresi untuk menyimpangi peraturan daerah berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik, sesuatu yang sulit dijalankan apabila kepala daerah dipilih oleh DPRD.

Selain itu, penolakan terhadap sistem pemilihan kepala daerah oleh DPRD terkait gagasan republik dalam Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945, “(n)egara Indonesia ialah Negara kesatuan yang berbentuk Republik”. Gagasan republik tidak semata-mata mengenai prosedur suksesi kekuasaan yang tidak didasari pada hubungan darah. Gagasan Republik mengandung tanggung jawab untuk mengenyampingkan kepentingan individu dihadapan polis, res publica, kehendak publik. Selain itu prinsip republik pada dasarnya menolak bentuk-bentuk demokrasi perwakilan, yang dalam kasus ini mengenai pembentukan otoritas pemerintahan di tingkat daerah;
Otoritas berdaulat tidak dapat diwakilkan dan dialienasi. Otoritas berdaulat hanya ada di dalam kehendak umum, sedangkan kehendak umum tidak mungkin terwakili: kehendak umum ada atau tidak ada, tidak mungkin setengah-setengah. Anggota majelis perwakilan rakyat bukan dan tidak dapat menjadi wakil rakyat; mereka hanya mandataris rakyat, yang secara defintif tidak berwenang menetapkan apapun.”

Rosseau melanjutkan argumentasinya dalam Du Contract Social: Ou Principles Du Droit Politique dengan mencibir sistem monarki parlementer Inggris, dimana eksekutif disusun oleh pemenang pemilu parlemen, “Rakyat Inggris mengira dirinya bebas, namun mereka keliru sama sekali: mereka hanya bebas selama pemilihan anggota Parlemen. Begitu parlemen terpilih, rakyat menjadi budak, dan bukan apa-apa lagi.”

Selain makna asali demokrasi dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 sebagai “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, tafsir demokratis dalam Pasal 18 ayat (3) juga harus dikaitkan dengan aksioma utamanya yaitu hak berserikat, berkumpul dan berpendapat dalam Pasal 28 UUD NRI 1945, “(k)emerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang”. Patut diingat bahwa pemilihan umum tidak melulu tentang ajang suksesi kepala daerah. Lebih dari itu, pemilihan umum merupakan medium menyampaikan pendapat sekaligus penghakiman terlahadap jalannya pemerintahan selama satu periode, sesuatu yang berpotensi tidak terlaksana akibat wewenang pemilihan kepala daerah yang dialihkan.

Pertanyaan mengenai keabsahan proses pembentukan undang-undang itu sendiri juga perlu dimunculkan; apakah di dalamnya terdapat keterlibatan DPD sebagai wakil-wakil daerah di parlemen. Urusan pemilihan kepala daerah secara sistematis memengaruhi hubungan pusat dan daerah yang merupakan domain DPD. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 meneguhkan posisi DPD dalam proses pembentukan undang-undang, salah satunya dalam membahas rancangan undang-undang secara penuh berdasarkan konteks Pasal 22D ayat (2) UUD NRI 1945. Apabila dalam pembentukan undang-undang pemilihan kepala daerah DPD tidak dilibatkan, maka undang-undang tersebut dapat dibatalkan.


Pada akhirnya, pengajuan uii material maupun formal melalui Mahkamah Konstitusi hanyalah salah satu dimensi dalam perlawanan terhadap sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD yang termuat didalam undang-undang pemilihan kepala daerah. Apa yang menjadi ujung tombak kita adalah pembangunan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pemenuhan hak-hak sipil, seraya membuktikan bahwa daulat rakyat tidak akan kalah dihadapan perut-perut yang haus nanah dan mulai kehilangan akal sehat. 10 tahun sejatinya adalah waktu yang tak cukup untuk memberi bukti apapun bagi mereka yang berpikir.

0 komentar:

Posting Komentar