Fiat Lux

Sabtu, 21 Juni 2014

She Loves Us!

13.00 Posted by Arasy Aziz No comments
#1
“Kau dengar suara-suara itu, Roo?”
“Demi Tuhan, ini kelima kalinya kau menanyakan itu. Tidak ada suara! Kurasa kesunyian ilalang mulai mebuatmu gila.”
Lima kali ku bertanya, semacam memastikan, dan aku mulai yakin Roo yang sebetulnya mulai tertelan kesunyian sabana yang menghampar hingga nadir. Bagaimana mungkin dia tak mendengar keriuhan ini? Udara disekitar kami dipenuhi oleh bebunyian ritmik dari instrumen-instrumen yang tak pernah ku dengar sebelumnya. Cantik. Terdengar lebih primitif dari lagu-lagu yang dinyanyikan seorang pengamen muda di pasar loak Cartago. Cantik.
“Bagaimana mungkin kau tak mendengarkan Roo, suara-suara ini demikian nyaring menggairahkan. Aku bahkan bisa menari diiringinya.”
“Jangan bodoh. Kita ditengah Afrika. Kau kecanduan opera yang tak membolehkanmu ikut menari bersama Ann si Pengembala.
“Lagipula”, lanjutnya “baik kau dan aku sesungguhnya tak dapat memastikan siapa diantara kita yang telah tertelan kesunyian. Dua orang pengamat bertahan hidup dengan pencerapannya masing-masing.
“Yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana cara tercepat untuk pulang ke Cartago. Lalu kembali ke Virginia. Berburu badak rupanya idemu yang paling buruk, apalagi kulakukan denganmu.”
Sungguh kasihan Roo dan inderanya yang maha tumpul. Aku kembali memerhatikan jalan, sambil tentu saja, menikmati bebunyian asing yang tak habis-habis. Aku menggoyangkan kepala, mengangkat tangan, memutarnya di udara, menggoyang kepala lagi, mengayunkan kaki, memutar kepala.
Kemudian di kejauhan aku melihat asap menyala, lalu membumbung api. Manusia!
“Kau melihatnya Roo?”
“Apa lagi, heh?”
“Kali ini aku melihat api.” Aku menunjuk.
Roo menatapku seolah akan membunuhku kalau-kalau inderanya sekali lagi tak bersepakat dengan inderaku (tentu saja ini salah inderanya). Namun matanya berbinar. Dia berujar (mungkin berteriak, sulit membedakan ditengah bebunyian yang mengencang.) “Manusia!!”
Kami memacu kuda kami mendekati titik api, lagu itu terdengar semakin nyaring. Kami tinggal berjarak belasan kaki darinya hingga tetiba kuda-kuda kami panik seolah menabrak dinding tak kasat dan menjatuhkan kami dari pelana. Musik belum berhenti.
Aku mencoba berdiri, berjalan untuk memastikan aku baik-baik saja. Lalu terpaku.
Ada api, yeay, namun tak ada manusia. Tepatnya aku tak yakin apa-apa yang kulihat mengelilingi api adalah manusia. Struktur tubuh mereka tampaknya sama denganku, namun lihatlah kulit mereka! Manusiakah mereka? Adakah api menghanguskan jalan evolusi mereka?
Mereka yang asing itu bersikap diam penuh, bersila. Namun anehnya, aku meyakini bebunyian ganjil itu berasal dari sini. Sebuah konserto sunyi. Asap mengirim karya mereka ke surga.
Di antara remang, salah satu dari mereka yang tampaknya masih cukup muda menggaruk-garuk apa yang sepertinya merupakan paha pada tubuhku, berdiri dan berlari ke balik batu. Dia berdiri dengan dua kaki, sama sepertiku. Dan pipis, sama sepertiku.
Dia hendak kembali ke dalam lingkaran, hingga menyadari kehadiranku dan Roo. Dia terpaku, sama sepertiku melihat mereka pertama kali. Aku dapat melihat dua matanya yang putih (sama seperti milikku) membola, membola.
Elia!! Elia!!
Dalam jeritnya dia tampak terharu (aku mulai yakin dia adalah spesies mahluk hidup yang sama denganku), membatalkan niatnya kembali melingkari api dan mulai berlari kesetanan ke arahku.
Elia!! Elia!!
Berbeda denganku yang masih dijerat takjub, Roo menghunus belati dari pinggangnya dan mengambil kuda-kuda. Dia Yang Muda menyadari ancaman yang bekilat di hidungnya, menunda gairahnya pada kami yang meletup-letup. Dia mengambil batu seukuran kepalaku dengan tangan kanannya dan, sungguh luar biasa, melemparnya tepat ke kepala Roo. Darah berhamburan dari kepala Roo yang terkapar, lalu mati.
Yets ied!!” ujar Yang Muda sembari memelukku tanpa bisa kutolak. Aku terkagum-kagum menyaksikan kekuatan super anak itu.
Elia!! Elia!!
Lingkaran itu, dan aku, segera menyadari kekacauan ritmik dalam konserto mereka. Selain itu, jeritan Yang Muda agaknya mengalihkan kekhusyukan. Mereka-mereka itu mulai tampak berdiri, berbalik ke arahku, terpaku, dan mulai menyerukan kata-kata yang sama. Seperti temannya, mereka mulai berlari terbirit-birit menujuku, menginjak tubuh Roo, histeris, terdiam sejenak seolah mengamati sesuatu, histeris lagi, mulai memelukku, menarik-narik bajuku, rambutku, histeris, memeluk kakiku, menjilati jemarinya. Aku kegelian.
Kemudian mereka mulai bersujud, satu demi satu di hadapan tubuhku. Mendesiskan kata-kata yang sama, satu demi satu di hadapan tubuhku.
Elia.. Elia.. Elia..
Sesegera itu aku tersadar. Tak dapat aku menahan diri, senyumku mengembang. Lebar, lebar sekali, hampir aku tersedak.

#1.5
“Halleluiah! Halleluiah! Halleluiah!”
“Sst, sst, Jack! Jack!”
Dia yang ku panggil menoleh ke arahku, memastikan bahwa aku memanggilnya. Aku mengangguk. Dia berpindah duduk mendekatiku. Tuan kami tak tampak terganggu dan masih memimpin ibadah.
“Aku memikirkan ini semalaman. Rasa sakit di pundakku rasanya sirna olehnya”
“Apalagi kali ini? Kurasa kau semakin tenggelam dalam ide tentang budak yang berpikir.”
“Aku berpikir tentang cara mereka menundukkan kita setelah abad perpindahan dengan perahu. Mereka menghapus pengetahuan bahasa kita, menggantinya dengan bahasa-bahasa mereka, kata-kata tak dikenal. Kita kehilangan kemampuan kita merepresentasikan ide, semisal mengenai Tuhan. Sekarang kita menyanyikan ode untuk Tuhan mereka yang asing bagiku. Dia jelas bukan Tuhanku, bukan Tuhan kita!”
“Semoga Tuhan mengampunimu anak durhaka! Kau mencoba memercayai mitos tua mengenai dewa-berkulit-kemerahan-yang-membawa-nenek-moyang-kita-dengan-perahu-ke-surga itu? Berdoalah padanya! Ibuku melakukannya untukku hingga akhir hidup dan lihatlah: aku, anak-anakku, masih memetik kapas!”
“Dengar Jack, aku merencanakan sesuatu yang entah harus kusebut apa. Yang pasti keadaan ini harus diakhiri! Aku hanya belum menemukan kata yang tepat untuk rencana ini.”
Aku begitu bersemangat dan tak menyadari mata-mata biru yang mendelik marah. Satu, dua, tiga lecut cemeti mendera sayatan yang belum kering di punggungku. Aku menjerit untuk kepedihan yang kucampur sisa-sisa orgasme, sementara kaumku acuh melanjutkan ibadah. Asap membawa doa mereka ke surga.
“Halleluiah! Halleluiah! Halleluiah!”

#2
Swans - She Loves Us!
Klik, menuju She Loves Us!
Rangkuman naratif keterasingan dari perubahan apa-apa yang kita yakini, dalam sebuah alur kehidupan sub-sahara hingga eksodus ke Amerika. 17 menit terdengar menyenangkan oleh sentuhan gloomy punk a la The Cure awal dkk. Beri saya Sisha diam-diam, pekerjaan sialan memetik kapas segera dimulai!

Post-script: cerita diatas fiksi belaka, merupakan interpretasi saya terhadap lagu Swans - She Loves Us! (dalam album To Be Kind, 2014). Bahasa-bahasa suku entah-apa saya karang sendiri: Elia = dewa, Yeats ied! = iblis telah mati!

0 komentar:

Posting Komentar