Fiat Lux

Kamis, 01 Oktober 2015

Matinya Ganool

00.14 Posted by Arasy Aziz , 4 comments
Obituari untuk Ganool agar tak mati selamanya.
Penyesalan terbesar saya dalam pekan-pekan terakhir adalah tidak mengepul film sebanyak-banyaknya dari ganool.video. Dibanding berbagai alternatif yang tersedia untuk memirsa, apa yang ditawarkan Ganool adalah pilihan termudah. Yang utama tentu saja karena ia tak berbayar. Mengunduh melalui aplikasi Torrent yang berbasis jaringan peer-to-peer sangat rentan ditunggangi malware dan kecepatannya sulit ditebak. Direktori Ganool juga relatif lengkap (meskipun tentu saja tak sekaya jejaring Torrent). Saya beruntung menemukan Metropolis (Fritz Lang, 1927) edisi restorasi rilisan Criterion diantara tumpukan datanya. Koneksi internet yang tak putus, hampir 24 jam sehari di rumah adalah jalan bebas hambatan menuju surga itu.
Namun saya tak mengantisipasi sebuah kenyataan pahit; portal unduh film gratis favorit saya itu terpaksa tutup usia. Ini sesungguhnya bukan kematian yang pertama, namun sepertinya tak ada kehidupan lagi setelahnya. Penutupan Ganool untuk jangka waktu yang tak ditentukan secara resmi diumumkan oleh para pengelolanya melalui akun Facebook pada postingan bertanggal 20 September 2015. Disini saya kutipkan bulat-bulat, yang jika dibaca dengan seksama, lebih mirip manifesto politik;
Pemerintah benar bro memblokir Ganool dan situs sejenis, seharusnya kita memang bisa menghargai hasil karya orang lain, tapi pembuat konten juga harus mengerti rakyat Indonesia kantongnya tidak setebal mereka untuk membeli konten secara legal. Mereka masih tetap saja tamak dengan menginginkan keuntungan sebesar-besarnya dari film-film mereka yang ternyata mungkin hanya 1% yang memang bermutu, dan lainnya hanya sampah.
Kemarin pemerintah memblokir situs-situs judi dan porno, hari ini mereka memblokir Ganool dan situs sejenis, besok mereka akan memblokir situs-situs agama dengan mengatakan mereka ekstrimis, besoknya lagi mereka akan memblokir tulisan rakyat di media online karena tidak sejalan dengan pemerintah, besok-besok-besoknya lagi bahkan mungkin Facebook rakyat akan dipantau oleh pemerintah dan memidanakan bagi siapa saja yang status atau komentarnya dianggap melanggar UU ITE.
But remember people power will always win. Pemerintah memblokir 1 Ganool dan situs sejenisnya, besok beberapa situs sejenis akan bangkit. Akan saja selalu seperti itu. Entah sampai kapan pemerintah dan pemilik konten melakukan pekerjaan sia-sia ini. Mungkin sampai mereka bangun dan sadar bahwa zaman sudah berubah, bukan lagi zaman kaset pita, tapi sudah zaman streaming online. Deal or Die.
Akhir kata kami ucapkan terimakasih telah mendukung Ganool selama ini, tapi dengan sangat berat kami putuskan untuk mematikan layanan Ganool.com dan Ganool.Video dalam kurun waktu yang tidak ditentukan. Tetap dukung Ganool, karena Kami akan kembali dengan sesuatu yg LEGAL, entah bagaimanapun itu caranya.
Seperti kebanyakan situs senasib, Ganool adalah korban dari jurus pemerintah untuk menangkal pembajakan berbagai produk budaya yang beredar melalui internet. Sebuah mekanisme yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif. Jika sebelumnya menyasar berbagai situs penyedia konten pornografi, maka kali ini 21 situs penyedia film gratis yang jadi korban blokir Internet Positive. Ganool sempat kembali berkelit, namun menemui jalan buntu.
Tapi benarkah pemerintah dapat seberwenang itu?
Pada tahun 2010, sekelompok penulis mengajukan pengujian Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan Yang Mengganggu Ketertiban Umum ke Mahkamah Konstitusi sebagai respon aksi pemusnahan buku oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Muatan beberapa buku dinilai oleh lembaga tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Lekra tak Membakar Buku karya Muhidin M Dahlan dan edisi Indonesia Dalih Pembenuhan Massal karya sejarawan John Roosa adalah beberapa contoh yang terimbas, disebabkan tak mencantumkan PKI dibelakang singkatan G30S.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi kemudian mengingatkan kembali makna normatif sebuah konsep negara yang kita klaim di dalam konstitusi: bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dalam negara hukum, pembatasan-pembatasan hak konstitusional warga negara harus didasarkan pada proses peradilan (due process to law). Aksi Kejaksaan yang berlegitimasi pada kedua undang-undang diatas pada dasarnya adalah praktik pelampauan kekuasaan administratif. Akibatnya, kewenangan Kejaksaan untuk menetapkan sebuah buku tak layak edar dicabut. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya kemudian mengamanatkan pembentukan peradilan buku sebagai wadah penyelesaian sengketa perbukuan.
Konstruk teoritik yang sama sesungguhnya berlaku pada kasus Ganool dan kawan-kawan. Sebagai sebuah medium, situs-situs internet berhak untuk menyebarluaskan informasi apapun hingga ada putusan pengadilan berkekuatan hukum mengikat yang menyatakan sebaliknya. Meskipun secara kasat mata apa yang dilakukan oleh para penyedia film gratis melanggar Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta maupun Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, namun pelanggaran tersebut perlu dibuktikan terlebih dahulu dalam proses peradilan yang jujur dan fair.
Konfigurasi penegakan hukum dalam Peraturan Menkominfo Nomor 19 Tahun 2014 menempatkan kekuasaan pembentukan, eksekusi dan penegakan hukum di satu tangan. Fungsi-fungsi ini seharusnya didistribusikan ke berbagai lengan kekuasaan untuk menjamin check and balances, sekalipun Kementerian Kominfo berwenang membawahi segala urusan terkait telekomunikasi. Aturan tersebut bahkan melangkahi prosedur peradilan Transaksi Elektornik yang diatur dalam Undang-undang ITE. Dengan kata lain, praktik Internet Positive a la pemerintah melalui Kementerian Kominfo adalah perwujudan apa yang disebut oleh bapak-bapak pendiri negara sebagai machstaat, negara yang otoritatif.
Kematian Ganool bukanlah akhir dari strategi pemerintah dalam memberantas pembajakan. Badan Ekonomi Kreatif pimpinan Triawan Munaf telah mempersiapkan perangkat hukum yang kali ini akan menyasar para pengunduh materi illegal. Sistem penindakan yang konon diadopsi dari Perancis dan Korea Selatan ini dirancang dengan sanksi bertingkat yang berujung pada pemutusan internet untuk selamanya. Apa yang tampak disini adalah sebuah kebijakan yang mendemonisasi masyarakat pengguna internet Indonesia, alih-alih mempersiapkan solusi struktural. Gagasan ini sedikit banyak menunjukkan kegagalan pemerintah melihat lanskap pasar perfilman negeri kita sebagai basis kontekstual pembentukan hukum.
Membincang lanskap perfilman dan pasarnya akan berujung pada percakapan mengenai kecenderungan negara untuk merapat ke salah satu sisi. Namun masyarakat bukan berarti akan selalu tanpa daya di hadapan persekongkolan. Sebuah fragmen dalam sejarah perfilman Jerman barangkali adalah contoh terbaik bagaimana arus balik dari hal-hal abstrak itu bekerja.
Kekalahan Jerman pada Perang Dunia I menyebabkan negara bangkrut dengan setumpuk utang. Krisis sosial dan ekonomi yang terjadi berujung pada penggulingan monarki Prussia. Sebuah republik baru kemudian mekar. Diam-diam ada api yang hendak berkobar diantara sisa-sisa revolusi, sebuah harapan baru bagi sinema Jerman.
Kemiskinan yang merebak menyebabkan vakansi ke luar kota menjadi sesuatu yang mahal. Masyarakat Jerman kemudian beralih ke gedung-gedung bioskop untuk mencari hiburan yang tak menghabiskan banyak waktu dan uang. Industri perfilman menjadi salah satu yang berhasil bertahan hidup. Sineas Jerman pada periode transisi berlomba-lomba mencipta film-film bermutu untuk menarik minat penonton sebanyak-banyaknya.
Dalam priode yang getir ini kemudian lahir sebuah pakem yang kelak dicatat sebagai awal-mula kecenderungan skena berbasis negara. Ekspresionisme Jerman, sebuah gaya yang diinisiasi sebagai bentuk perlawanan atas tradisi seni borjuis yang cenderung positivis melalui dramatisasi atas berbagai unsur teknis film; tata latar, gestur hingga pencahayaan. Tercatat sejumlah karya produksi dari masanya yang kemudian mencapai level kultivasi dan tetap menjadi buah bibir hingga hari ini. Metropolis yang saya sebut dimuka adalah salah satunya, selain Nosferatu: A Symphony of Horror (F W Murnau, 1922) atau The Cabinet of Dr. Caligari (Robert Wiene, 1920).
Kemampuan perfilman Jerman untuk bertahan hidup di tengah krisis bisa jadi disebabkan tingkat konsumsi yang meningkat pesat. Namun hal tersebut agaknya bukanlah faktor yang tunggal. Dalam struktur kapitalisme, mereka yang tercerabut dari jejaring besar arus modal memiliki potensi untuk melawan balik. Kita tahu bahwa Ekspresionisme Jerman sebagai gerakan dirangkum dari film-film dengan tema yang arbitrer. Metropolis menghadirkan sebuah gambaran distopian mengenai dunia masa depan, mengambil simbol-simbol industrialisasi dan menghadirkannya sebagai ejekan diam-diam. Sebaliknya Nosferatu adalah sebuah horror mula-mula, diadaptasi dari kisah legendaris Dracula. Keanekaragaman tersebut hanya dimungkinkan dalam kondisi hagemoni yang minim dari hubungan mutual negara dan pasar. Dalam tataran ini, sistem kepemilikan pusat-pusat pemutaran film memiliki fungsi yang signifikan. Bioskop-bioskop Jerman pada masanya dimiliki oleh perusahaan-perusahaan pembuat film yang semarak dan beraneka ragam. Selain memangkas alur distribusi, hal ini mengakibatkan sulitnya membentuk deskripsi tunggal terhadap komposisi pasar. Tak ada satu pihak yang dapat mengklaim secara persis film apa yang ingin ditonton orang-orang. Pun, bioskop bukan satu-satunya tempat dimana film mungkin diputar. Nosferatu bahkan ditayangkan perdana di komplek kebun binatang. Intervensi terhadap kreativitas pembuat film menjadi minim, dan karya-karya tak lekang zaman kemudian lahir.
Bulan madu ini berakhir seiring dengan kebangkitan Reich ketiga dibawah regulasi Nationalsozialistische Deutsche Arbetreipartai pada 1933. Demokrasi yang jatuh diiringi pergeseran fungsi sinema sebagai semata-mata alat propaganda program partai. Genosida antisemit menyebabkan pionir-pionir Ekspresionisme Jerman berdarah Yahudi seperti Fritz Lang memilih kabur ke negara lain, menghindari kematian.
Hagemoni adalah kata kunci yang menghubungkan kita dengan alam sosial Ekpresionisme Jerman dari masa lampau. Di era Orde Lama hingga awal Orde Baru, bioskop Indonesia pernah menjadi usaha yang semarak. Satu gedung bioskop, utamanya di daerah-daerah, dirancang untuk menjangkau wilayah yang terbatas. Di sebuah kecamatan kecil di bagian utara Sulawesi tempat kakek saya tinggal bahkan pernah terdapat gedung bioskop yang dikelola sebuah keluarga lokal. Sebagian bioskop-bioskop yang lain secara spesifik menyasar peminat khusus, untuk tidak menyebut film rating dewasa.
Pada era tersebut kontrol bukannya sama sekali tak ada. Pergeseran kekuasaan kemudian mengubah kebijakan terkait distribusi film, menumpuk konsentrasi sumber daya hingga hari ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa industri film Indonesia bekerja dibawah oligopoli segelintir pemilik melalui perusahaan impor dan jaringan bioskop berskala gigantis. Usaha distribusi film menjadi usaha yang padat modal. Perlahan ia membunuh bioskop-bioskop kecil di daerah yang tak memiliki cukup daya tawar atas harga sebuah rol film.
Kondisi yang monopolistik ini menciptakan delusi akan kuasa selera; kita seolah-olah memiliki kebebasan untuk memilih secara sadar apa-apa yang hendak kita tonton. Selalu ada pilihan-pilihan di dalam bioskop-bioskop, di dalam beberapa studio yang terbuka. Yang terjadi sesungguhnya adalah kita digiring untuk menelan mentah apa-apa yang telah dikelompokkan para pemilik jejaring bioskop. Kuasa untuk memilih, menolak dan memutar suatu judul atau tema selalu ada di tangan mereka. Di luar sana ada ribuan film diproduksi setiap tahunnya, sebagian diantaranya memiliki kualitas avant-garde. Namun yang benar-benar sampai ke hadapan publik hanyalah segelintir, bisa jadi didominasi oleh film-film dengan level pelimbahan namun menjamin keuntungan yang besar. Apa yang disebut sebagai pembeli tak lagi benar-benar relevan dan kehilangan kontrol terhadap singgasananya.
Kuasa oleh segelintir orang lebih lanjut menyebabkan film menciptakan label kelas melalui mahalnya harga tiket. Ironi ini menjadikan dunia perfilman menjadi sesuatu yang jauh.
Di tataran ini kemudian apa yang dikerjakan Ganool dan situs-situs sejenis tak lagi dapat dipandang sebagai aksi pembajakan biasa. Aksi sepihak situs-situs tersebut telah menggeser subyektivitas kita dari sekadar konsumen dalam pasar perfilman, menjadi bagian dari sebuah gerilya politik berbasis kerumunan. Para pengunduh, disatukan oleh ketertarikannya, menggoyang kemapanan yang diciptakan oleh perserongan kapital. Selain karena sifatnya yang nirekonomis karena tak mencari keuntungan, Ganool dan kawan-kawan menyediakan alternatif-alternatif memirsa melalui film-film yang tak tersedia di bioskop. Kita barangkali tak akan mengenal film-film bernas Jean Luc-Godard, Alejandro González Iñárritu hingga Lars von Trier, atau mengakrabkan diri dengan generasi ateur yang lebih tua seperti Akira Kurosawa dan Stanley Kubrick. Ada nuansa perlawanan disana, sebuah kontrahagemoni untuk kembali memanusiakan selera.

Kerugian yang ditimbulkan oleh mereka agaknya cukup untuk membuat para pemain besar industri perfilman kelabakan, sehingga perlu menggandeng tangan lain; negara. Monopoli dilanggengkan, bombardir diarahkan ke rumah-rumah lebenswelt. Disini semuanya menjadi terang benderang. Tindakan pemerintah, dimulai dengan memblokir situs penyedia film gratis hingga menghukum pengunduhnya, tak lain merupakan bentuk keberpihakan terhadap kepentingan kapital. Kita barangkali perlu menggalakkan kembali pemutaran-pemutaran di kebun binatang agar tak tenggelam.