Fiat Lux

Kamis, 23 Juni 2011

Jakarta: Nisan – Nisan Yang Bercerita

20.24 Posted by Arasy Aziz No comments

Terletak ditempat yang relatif terpojok di tengah ibukota, museum ini mampu memberi warna berbeda diantara hutan beton Jakarta. Meskipun terdiri atas deretan makam kuno, musum prasasti sama sekali tidak memberi kesan mistis. Yang ada hanyalah keinginan menelusuri jejak – jejak sejarah dan keindahan makam dari mereka yang terbaring abadi.

Setelah menempuh perjalanan menyebalkan dan tergesa - gesa, saya dan seorang kawan akhirnya sampai di museum prasasti. Maklum, waktu kunjungan museum hanya sampai pukul tiga sore, sementara kami tiba disana pukul setengah tiga, artinya hanya ada sedikit waktu untuk menjelajah. Tanpa buang waktu, kami segera masuk setelah mebayar tiket masuk sebesar 2.000 rupiah. Saat itu (dan mungkin setiap hari) museum itu terlihat sepi. Hanya ada beberapa orang yang terlihat berekreasi (bahkan berpacaran) dibawah pepohonan rindang. Meskipun kompleks museum ini berkonsep outdoor, namun tak perlu khawatir terpapar sinar matahari karena kompleks ini ditutupi pepohonan yang rimbun.

Sendu. Salah satu nisan yang tertunduk sendu, seolah turut berduka

Sepi Pengunjung. Ruang - ruang antar nisan yang kosong oleh peminat

Saya mencoba menjelajah museum secara serampangan, dan memulainya dari bagian belakang museum. Dibagian belakang, saya menemukan makam unik yang berbentuk mirip candi. Berdasarkan informasi dari internet, saya mengetahui bahwa itu merupakan nisan milik seorang arkeolog Belanda. Ditengah – tengah kompleks saya menemukan nisan atau tugu yang memiliki bentuk menyerupai gereja Westminster Abbey, London. Nisan ini terbuat dari perunggu dan di cat kehijauan. Sangat indah terlihat ditambah paparan matahari sore. Dugaan saya, sang pemilik nisan adalah seorang kesatria, terlihat dari ukiran – ukiran di tubuh nisan.

Kultur Jawa. Salah satu makam yang memiliki kultur Jawa kuno
 
Dalam Baluran Cahaya Senja. Makam yang mirip menara gereja Westminster Abbey dengan rona jingga di tubuhnya

Saya berpindah ke bagian yang lebih depan. Disini saya menemukan sebuah tugu yang baru saya tahu maknanya di museum sejarah Jakarta pada perjalanan saya selanjutnya. Tugu tersebut merupakan tugu peringatan bagi Pieter Erberveld, seorang keturunan Jerman yang menjadi korban konspirasi penguasa Batavia kala itu. Selain itu terdapat pula nisan bagi sejumlah tentara Jepang yang menjadi satu – satunya makam beraksen Jepang (sebenarnya saya menemukan makam lain yang beraksen campuran Belanda dan Jepang, namun menurut penjaga museum itu merupakan makam Belanda biasa). Sedikit tersembunyi letaknya, terdapat pula kereta jenazah yang masih digunakan digunakan hingga awal abad 20.

Prasasti Pieter Erberveld. Mengenang Pieter Erberveld, korban konspirasi kolonial

Kembang Jepun. Satu nisan untuk para tentara Jepang yang berpulang

Kereta Jenazah. Barangkali, inilah kendaraan akhir paling elit di zaman dulu

Hingga mendekati akhir penjelajahan saya belum menemukan dua nisan yang menjadi incaran utama saya, yaitu makam istri Raffles, Olivia Marianne dan Soe Hok Gie seorang aktivis mahasiswa angkatan '66 yang meninggal dunia di puncak gunung Semeru. Rupanya saya tak sendiri. Terdapat pula dua orang wartawan dari Jawa Timur yang masih mencari – cari makam Gie. Beruntung, setelah bolak – balik menanyakan pada petugas museum, saya pun menemukan kedua makam tersebut. Sayang sekali, kondisi nisan Gie tidak terawat baik. Nisan tersebut terlihat miring dari posisinya. Nisan milik Gie tidak sendiri. Terdapat pula nisan – nisan lain yang buruk kondisinya, selain karena faktor usia, banyak pula nisan yang menjadi korban coretan jahil ataupun lepas dari posisinya. Hal ini sangat saya sayangkan, mengingat museum ini  memiliki potensi untuk menjadi obyek fotografi utama di Jakarta dan seringkali dijadikan tempat pembuatan video klip.

Istri Raffles Tercinta. Makam Olivia Marianne berbalut pagar besi

Gie yang Termiringkan. Dibawahnya, terkubur semangat pembaharuan

Tak Mau Kalah. Coretan - coretan yang seolah ingin mebuat prasasti untuk diribya sendiri

Bel tanda museum akan segera ditutup pun dibunyikan, yang secara sopan mengusir kami dari area museum. Sebelum menutup tur, saya memotret sebuah patung gadis yang seolah meratapi kematian dengan amat dalam (semestinya saya memotret patung ini diawal, kerena letaknya dekat gerbang museum). Akhirnya, kami pun mengakhiri penjelajahan kami diantara deretan nisan yang artistik ini, kemudian bersiap menuju destinasi selanjutnya, Kota Tua Jakarta.

Akomodasi:
Dari terminal bus Blok M naik patas nomor 125 kemudian turun di depan museum nasional. Sedikit berjalan kaki melalui jalan disamping kiri museum kemudian berbelok ke kanan ke arah jalan Tanah Abang Timur kemudian berbelok ke kiri ke arah jalan Tanah Abang I.

0 komentar:

Posting Komentar