Fiat Lux

Minggu, 08 Maret 2015

Solo: Roman Singkat Mengenai Rambut dan Pesta Perpisahannya

00.14 Posted by Arasy Aziz , No comments
Jalan lintas Surabaya-Yogyakarta berdasarkan statistik pribadi sepanjang tahun 2014 menjadi jalur trip favorit saya. Tiga kali tempuh bolak-balik, entah untuk tujuan Jogja atau Solo. Saya bahkan mulai hapal pukul berapa waktu yang tepat untuk berangkat dan berapa menit yang harus dihabiskan di kamar kecil agar tak ketinggalan bis yang tengah transit di terminal Madiun.

Dibanding sesamanya di utara, jalan-jalan yang melintangi  Jombang hingga Jogja tak banyak menyuguhkan keragaman yang menarik perhatian. Masyarakat Nganjuk-Madiun-Ngawi-Sragen-Solo-Yogya pada umumnya berbagi sebuah ide kultural yang sama, apa yang disebut budaya Mataraman. Bandingkan, misalnya, dengan masyarakat Pantura yang lebih kosmopolit dan berupa-rupa akibat pertemuan dengan berbagai ekspresi kebudayaan, ditambah megaproyek jalan raya pos yang menyintas sekat-sekat. Hal ini berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk pola pemukiman dan arsitektur yang kasat dari jendela bis.

Ketidaknyamanan ini ditambahi oleh pemandangan menyedihkan akibat kemarau yang berlarut-larut, terutama bagi pohon-pohon jati yang mencolok kebotakannya. Saya dapat merasakan betapa sulit dan menyebalkan musim angin yang membawa dahaga dari timur bagi mereka. Kekeringan memaksa menggugurkan daun sebagai mekanisme bertahan hidup, pemandangan yang tidak sedap dipandang. Mengingatkan pada masalah-masalah rambut panjang saya yang seringkali gugur karena patah, ditambah kulit kepala yang beregenerasi hebat gegara kegerahan akut.

Setelah 3,5 tahun, saya akhirnya memutuskan kembali memangkas rambut.

#

Wacana mengenai potong rambut pada dasarnya tak benar-benar baru, terutama jika menengok salah satu akun media sosial saya yang dipenuhi pertanyaan “kapan potong?” oleh sejumlah anonim. Sebagian lagi menanyakan alasan mengapa saya menjadi gondrong. Hal ini sangat sulit untuk saya jawab; sejak semula tak pernah terpikirkan akan memelihara rambut dan alasan-alasan, apalagi hingga sepanjang “ini”.

Sejarah membentuk makna spesial rambut panjang yang kepadanya dia ditautkan bagi laki-laki. Semua dimulai pada era 70’an dimana gerakan hippie menjadi wabah baru dunia, ditandai kampanye gaya hidup cinta damai, spritualitas timur, bohemian nan urakan. Di Indonesia, ini menjadi masalah pelik; gondrong sebagai salah satu elemen fashionnya berseberangan dengan retorika pemurnian Pancasila dan nilai ketimuran Indonesia yang ditabuh Orde Baru. Pemuda-pemuda gondrong dianggap sebagai penyakit yang kontra pembangunan bangsa. Gondrong belakangan menjadi kontras bagi potongan rambut cepak satu senti ala militer yang menggenggam rezim dengan disiplin dan kecurigaan. Kegondrongan tak sekadar gaya, melainkan ekspresi ketidaksepakatan terhadap status quo. Gondrong adalah politik perlawanan itu sendiri.

Pasca reformasi dimana ekspresi diri menjadi sesuatu yang banal, relasi tersebut semakin tenggelam oleh keragaman konteks. Gondrong hari ini memiliki signifikansi yang tak satu dan terlepas-lepas, sebagai fashion, sebagai perlawanan, sebagai kemalasan yang lain.

Pun demikian, perkawinan gondrong dan perlawanan bohemian tersebut bagaimanapun masih cukup kuat untuk membentuk kesadaran pribadi saya. Setelah sadar bahwa rambut semakin panjang, saya memutuskan mengganti potongan post-hardcore kid menjadi tampak lebih trash. Seiring dengan hilangnya poni yang menghalangi akses terhadap gerbang cakra di dahi, saya merasa semakin bebas dalam berpikir dari hari ke hari (perihal eksistensi satu dari delapan gerbang cakra di dahi, saya memercayai konsep ini, termasuk ketika menolak untuk turut dalam gerakan membotaki diri seangkatan zaman kelas 3 madrasah aliyah). Ini mengamini diktum eksistensialis a la Jean-Paul Sartre; bahwa Ada mendahului esensi, bahwa kesadaran di pengaruhi anasir-anasir historis di balik realitas kita. Ditambah mengenal Marx dan pengembangnya dari Frankfurt, dua puluh empat jam saya dipenuhi permen sunkist.

Namun, memanjangkan rambut tanpa perencanaan yang matang belakangan menjadi ide buruk. Jika situasi bagi pohon-pohon jati akan kembali baik-baik saja seiring kembalinya wewangi petrichor di udara (atau nasib baik, berujung menjadi perabot rumah tangga), rambut saya justru semakin tak tertangani.

Saya akhirnya tiba pada keputusan yang cukup berat dan sentimental. Ke-Gondrong-an bagaimanapun telah membentuk ke-Itu-an Arasy (Itu dengan I besar, menunjukkan saya sebagai obyek putusan bagi sang liyan) selama tahun-tahun di perguruan tinggi. Gondrong telah menjadi penanda bagi peralihan identifikasi Arasy-yang-unyu menjadi Arasy-yang-sangar (meskipun ini tak sepenuhnya benar mengingat betapa orang-orang kerap memanggil saya “mbak” di tempat umum). Dia telah menjadi mosi debat utama di rumah antara saya dan mama yang lebih banyak saya menangkan. Dia menjadi teman yang selalu siap dipelintir-pelintir di hadapan masalah yang tampak rumit. Bersamanya saya menemui orang-orang luar biasa yang turut mengubah hidup saya, menemui melankolia-melankolia dan keseruan-keseruan, kemudian patah hati. Di dalam rambut itu terdapat dokumen yang mencatat saya.

Dengan semua yang telah saya lalui bersamanya, sekadar berpisah dengan datang ke barbershop untuk lima belas menit kemudian keluar dengan gaya rambut baru merupakan tindakan yang luar biasa kurang ajar. Memotong rambut merupakan sebuah pilihan sunyi yang radikal, dan harus dirayakan besar-besaran.

#

Saya kembali ke bus Surabaya-Jogja demi memenuhi panggilan umrah Rock in Solo 2014. “Umrah” menjadi ibarat dengan makna yang hampir harfiah bagi saya; mengingatkan pada ibadah perjalanan singkat ke tanah suci Mekkah dengan tahallul sebagai salah satu rukunnya. Mereka yang tuntas melaksanakannya umumnya mudah didentifikasi berdasarkan potongan rambut gersang. Apa yang sebentar lagi akan saya tuntaskan.

Meskipun sempat ragu karena Watain yang diisyukan menjadi salah satu headliner terbukti tak masuk rundnown, saya pada akhirnya nekat menempuh perjalanan singkat demi memberikan penghormatan terakhir yang layak untuk rambut saya. Seorang kawan meyakinkan bahwa Carcass mempunyai sesuatu yang lebih dari cukup sebagai alasan. Album terakhir unit old-school death metal asal Inggris yang dirilis pada 2013, Surgical Steel memanen pujian, dipenuhi ritme putaran gergaji bedah di antara daging dan belulang.

Saya tiba di benteng Vastenburg tempat festival berlangsung jelang maghrib, dan selebihnya, kau tahu sendiri, adalah bagaimana sebaik-baiknya merayakan rambut panjang: headbang hingga encok dan lepas sendi leher (meskipun ketika Carcass naik panggung, crowd justru terasa dingin). Rock in Solo 2014 adalah konser metal pertama (dan terakhir) yang saya datangi dengan rambut kemana-mana, diurai sepenuhnya tanpa sekalipun terikat kunciran.

Hari minggu pukul empat sore saya tiba kembali di Malang. Ba’da maghrib saya menuntaskan janji kepada diri sendiri, setelah berjam-jam mematut-matut diri di depan cermin. Tak saya duga memangkas rambut merupakan tindakan yang amat berat, meskipun sebagai pemuja momentum, sangat penting untuk melakukannya diwaktu yang tepat dan penuh perhitungan sehingga jauh hari saya berusaha menyiapkan mental.

Di depan cermin, disaksikan abang-abang pangkas rambut, saya menyempatkan diri ber-selfie untuk terakhir kalinya. Diantara jari-jari abang-abang pangkas rambut terselip ingatan-ingatan yang gugur satu persatu.

Farewell, mein lof.

… dan dunia rupanya masih baik-baik saja setelah saya memangkas rambut.

Sekelumit tentang Rock in Solo 2014
Solo, sebuah kota di Jawa Tengah, dapat dicapai melalui jalur darat selama 6-8 jam dari kota Malang. Terdapat sejumlah penginapan super murah di belakang Terminal Tirtonadi seharga Rp 50.000 - Rp 60.000 yang lumayan untuk perjalanan singkat berdurasi semalam; Benteng Vastenburg berlokasi dekat dengan Keraton Surakarta Hadiningrat, terletak di tengah kota, merupakan benteng peninggalan era kolonial Belanda yang dibangun pada tahun 1741. Dapat dicapai dengan becak atau taksi dari Terminal Tirtonadi atau Stasiun Solo Balapan dengan bea Rp 15.000 - Rp 20.000; Rock in Solo 2014, harga tiket masuk Rp 150.000 (pre-sale) dan Rp 300.000 (normal).

0 komentar:

Posting Komentar