Fiat Lux

Sabtu, 14 Januari 2017

Tentang Rumahku (1)

08.07 Posted by Arasy Aziz , No comments

Pernahkah kamu merasa karib pada detil-detil yang, ganjilnya, baru pertama kali kamu sambangi; terasa seperti rumah sendiri, seakan-akan perjalananmu adalah sebuah kepulangan kedua?

Sensasi itu saya rasakan beberapa bulan silam, di kepulauan Banda.

Suatu waktu, sekadar membiarkan namanya terbersit di benak saja sudah mendirikan bulu-bulu roma. Membayangkan sebuah ziarah kepada muasal sejarah bangsa Indonesia, latar lintas zaman bagi banyak cerita kita.

Awalnya saya pikir, merinding tak lain merupakan efek samping dari kegirang yang meluap-luap. Serupa girang seorang anak pada awal dekade 2000-an yang pada suatu malam diperbolehkan membeli Tamiya, setelah berhari-hari hanya bisa memandang iri temannya beradu balap dari pinggir lintasan. “Besok, ikut Ayah ke pasar.” Girang bukan main, hingga jarak antara satu menit dengan menit yang lain tampak jauh berlipat-lipat. Rasa girang yang meluap-luap itu cairannya tumpah hingga membanjiri tengkuk tempat seluruh bulu roma berkerumun. Bulu roma, bagaimanapun, adalah bulu-bulu yang amat muda. Ketika air tumpah dari atas, tanpa sadar satu persatu akan mulai menari mengira hujan tengah turun.


Dapat dikatakan, saya memang menanti-nanti perjalanan Banda Naira, dan kepulauan Banda secara umum, setelah bertahun membayangkan kebersahajaan kawasan ini justru dari unit folk nelangsa dengan nama serupa. Atau diungkit secuil dalam edaran biografi singkat Bung Hatta di internet (sayang sekali saya belum membaca autobiografinya yang tiga jilid itu).  Ide perjalanan ke Banda Naira barangkali merupakan salah satu yang paling membangkitkan gairah vakansi saya. Sejak dimulai perencanaannya, hingga tubuh saya perlahan meniti tangga kapal penumpang yang sesekali bergoyang di lamun ombak Tual. 

Belakangan, kegirangan berganti dengan perasaan yang lain. Rasa girang tetaplah pemicu perjalanan yang penting. Titik pijak bagi alunan kaki saya, namun campur tangannya berhenti disana. Sementara itu, katalisator koor bulu roma sesungguhnya tengah bersembunyi, menunggu saya di Banda. Mewujud dalam pribadi manusia-manusianya, serta detil-detil yang memanjakan seluruh indera.

***

KM Tidar yang membawa saya perlahan-lahan memasuki perairan pesisir kepulauan Banda. Ratusan ton beratnya, berkelok di selat antara gunung api Banda dan pulau Banda Besar. Air asin berwarna biru kelam, tanda kedalaman, berganti dengan warna-warna toska yang menyegarkan. Jika saja bisa berenang, saya barangkali sudah meloncat dari ketinggian selasar kapal ke laut di bawah sana. Menoleh ke kanan, dermaga pelabuhan Banda Naira tampak semakin dekat.

Dari atas kapal, saya dapat melihat gerombolan orang asing yang tengah mengaso di halaman belakang sebuah bangunan yang tampaknya adalah penginapan. Letaknya persis bersebelahan dengan pelabuhan. Beberapa penumpang yang berkerumun di tepian anjungan melambai-lambai kepada mereka dengan antusias. Mencoba menarik atensi, berbagi fokus dengan tumpukan barang bawaan masing-masing. “Mister! Mister!” Sebagian dari mereka akan turun di pelabuhan Banda Naira sebagaimana saya. Dari kejauhan, sang lawan interaksi tampak tersenyum-senyum tipis saja.

Butuh beberapa menit hingga kapal akhirnya benar-benar sandar di beton dermaga yang menjorok ke laut. Butuh tambahan bebeberapa menit setelahnya hingga kaki saya akhirnya benar-benar menjejak tanah Banda. Saya berjalan sendirian, perlahan-lahan, di tengah kerumunan penumpang kapal yang berlalu menuju gedung pelabuhan. Gelombang ini bertemu dengan gelombang lain, campuran dari kulit angkut dan keluarga penjemput yang berebut masuk ke kapal. Di pundak sebagian mereka, tersemat karung-karung penuh yang menguar aroma yang teramat memanjakan penciuman. Bau legendaris yang menggoda bangsa Eropa untuk menjelajah Samudra Atlantik Selatan dan Hindia berabad silam. Karung-karung pala dan cengkih dinaikkan ke kapal.


Terselip sebiji distraksi di sela gelombang manusia yang setengah bergegas itu,  Tak jauh dari saya, seseorang tengah menjebak diri dalam sujud yang panjang. Tak peduli dengan panas beton yang terbakar matahari dan orang-orang yang beranjak, tak kunjung bangun hingga setidaknya beberapa menit. Saya menebak-nebak, dia adalah perantau yang bertahun-tahun lamanya meninggalkan Banda Naira, tertatih mengumpul seperak dua agar dapat pulang. Barangkali baru saja berkata cukup pada perjudian dengan hidup, di salah satu kota besar tempat singgah KM Tidar. Ketika saya mengembalikan pandangan ke arah depan, beberapa wanita tampak berlari menerobos penjagaan pelabuhan. Dua orang hampir menabrak saya, sebelum menggeser langkah sedikit ke kanan dan kiri. Bersisa angin kibasan tubuh. Di tengah dermaga, belahan-belahan keluarga ini bertemu, melepas haru. Sang priayang masih setengah berlutut menyambut pelukan penjemputnya.

Pemandangan  ultra sinematik. Melihat masing-masing tenggelam dalam syukur, adalah  ramah tamah  pembuka dari Banda Naira yang amat berkesan.

Saya tidak disambut siapa-siapa ketika keluar dari pintu pelabuhan. Mengingat matahari telah tepat di atas kepala, saya memutuskan untuk memulai penelusuran dari desa Lonthoir, pulau Banda Besar. Waktu menjelajah Banda Naira saya sisakan di sore hari, sembari mencari penginapan nantinya. Untuk saat ini, saya perlu menyeberang terlebih dahulu.


Menurut informasi yang saya peroleh dari internet, di Lonthoir-lah kebun-kebun pala tertua di kepulauan Banda masih dibudidayakan dan berproduksi. Kepada penjaga pelabuhan, saya bertanya mengenai cara menyeberang ke sana. Dengan baik ia mengarahkan saya ke dermaga pelabuhan nelayan, beberapa ratus meter di sisi lain Banda Naira. Berjalan kaki melalui pasar kecamatan. Di dermaga telah menunggu beberapa kapal yang akan membawa penumpang ke beragam tujuan di memasing pulau di Banda. Saya memilih kapal menuju Lonthoir, bersama penumpang lain.

Saya menduduki satu bagian bangku di pojokan, mengawasi lambung kapal yang hampir terisi penuh dengan orang-orang yang naik satu persatu.  Di sebelah saya berdiam seorang pria paruh baya dengan mata cokelat buram dan paras serupa Eropa. Tampak mencolok dibanding penumpang lain yang berkulit cokelat gelap. Kepada saya, mereka, termasuk pria Indo tadi, melempar senyum. Salah satu diantaranya membuka percakapan, menanyakan asal saya.

“Saya dari Malang, pak. Barusan turun dari Tidar, naik dari Tual.”

Penumpang yang lain, seorang pria tua berwajah ramah dengan perawakan kecil, menimpali bahwa menantunya rupanya berbagi kapal yang sama dengan saya. Ia menunjuk seorang wanita yang sibuk dengan bayi di ujung lambung kapal, dan memperkenalkan pria di sebelahnya sebagai anaknya. Sang mantu adalah seorang keturunan penduduk asli Banda yang kini bermukim di Banda Eli, ssalah atu ohoi di Maluku Tenggara. Ia mulai menanyakan tujuan saya melanglang ke Banda. Baronda-ronda, dalam bahasa setempat.

“Ingin melihat kebun Pala,” saya katakan.

“Wah, kalo di Lonthoir memang banyak kebun pala,” sang penanya pertama kembali menimpali. “Kalau mau, nanti saya antarkan ke salah satunya.”

Ditengah siang yang seterik ini, tawaran orang ini sungguh menggiurkan. Akan sangat memudahkan bagi saya untuk segera sampai ke tujuan. Di sisi lain, saya tak menyangka ia akan begitu saja menawarkan diri kepada saya yang sesungguhnya asing. Sayangnya, saya teringat bahwa waktu shalat Jumat akan segera tiba.

Tawaran tersebut kemudian terpaksa saya tolak. Pria baik tersebut tampak sedikit kecewa. Sebagai gantinya, ia memberi tahu beberapa lokasi yang layak dikunjungi. “Pokoknya nanti tanya saja ke orang-orang. Nanti mereka kasih tunjuk.” Di dermaga desa Lonthoir, kami semua berpisah jalan. Saya bergegas menuju masjid. Adzan sudah berkumandang di langit.


Keputusan untuk tetap mendirikan sholat Jumat rupanya tak buruk-buruk amat. Pertama-tama, bebauan harum semakin tajam semakin saya mendekati masjid. Kejutan. Tepat disampingnya, terhampar kebun pala meskipun tak benar-benar luas. Di dalamnya berdiri belasan pohon.  Dapat saya rasakan kedua mata saya berbinar-binar. Saya mengamati bebuahan pala yang mekar dari bawah. Dagingnya yang terbelah menampilkan biji berbungkus urat-urat merah. Komoditas mahal, penyedap rasa sekaligus ramuan hangat bernama fuli. Kegiatan ini saya lanjutkan hingga bermenit-menit seusai shalat Jumat ditunaikan.

Cukup puas, saya melanjutkan penjelajahan saya di Lonthoir. Kali ini saya menjajal situs tangga-tangga yang anak pertamanya dimulai beberapa meter dari masjid. Baru setengah jalan, ketinggian tangga dengan kemiringan hampir 70 derajat mulai menguras tenaga saya. Saya berpapasan dengan seorang gadis setempat yang berlalu enteng saja. Melihat saya mengambil nafas, ia tersenyum-senyum sendiri. Saya membalasnya dengan kecut, menahan diri untuk tidak mengatai diri sendiri. Sebagaimana diceritakan Maria di KM Tidar, ada pantangan yang melarang kita mengeluh saat menaiki tangga-tangga. “Teman saya,” ujarnya, “langsung nda bisa bangun dari tempat tidur berhari-hari gara-gara mengeluh. Betulan itu pantangan.”

Saya cukup lega karena akhirnya dapat mencapai puncak tangga-tangga. Kepada dua orang remaja beririsan jalan, saya meminta arah menuju pemakaman Belanda di Banda yang juga kesohor. Mereka melempar telunjuk ke satu arah. “Nanti di sana belok kanan, baru dapat sumur keramat.”

Saya mengikuti arah yang mereka tunjukkan. Berpapasan dengan sumur keramat, kemudian menanjak kembali ke puncak bukit. Sesampainya di sana, saya sedikit terkejut. Alih-alih komplek perkuburan tua, yang saya temui justru barisan nisan pemakaman desa dengan pohon-pohon kamboja segar. Di rumah terdekat, saya kembali bertanya arah kepada seorang lelaki dewasa yang duduk terkantuk-kantuk di teras. Ia bangkit dari kursi plastiknya, menjelaskan sedikit, lalu memanggil anaknya di dalam. “Coba antar dulu ini mas ke Kubur Satu Jengkal”. Kubur Satu Jengkal adalah situs sejarah lain yang rupanya berlokasi di pemakaman tersebut. Namanya menggambarkan secara harfiah ukuran makam yang memang amat kecil. Mitos mengatakan, ukuran kuburan pada mulanya normal dewasa dan menyusut seiring waktu.

Saya mencoba menolak bantuannya, sedikit merasa sungkan karena mengganggu waktu istirahat siang. Namun si anak membalasnya dengan ajakan ramah. Bersamanya saya menelusuri celah-celah petak kuburan hingga ke tengah, lokasi situs berada. Untuk kedua kalinya dalam sehari, saya bertemu keramahan yang tak dibuat-buat.


Setelahnya, destinasi saya bergeser menuju benteng Hollandia, satu-satunya tangsi pertahanan kolonial di Lonthoir. Karena kelelahan, saya memutuskan mampir ke salah satu warung sembari meminta izin menumpang beristirahat. Tenggorokan terlanjur kering setelah beberapa jam berjalan kaki. Dalam sekali dua teguk, sebotol air mineral yang saya beli tandas. Si pemilik warung sibuk mencari kutu di sela lebat rambut anaknya. Kepadanya saya bertanya arah menuju Hollandia. Percakapan berkembang ke arah yang penuh kejutan.

“Saya dari Malang, tapi aslinya dari Gorontalo,” ucap saya kepada sang ibu. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Rita Martinus. Jawabannya membuat saya tertarik lebih jauh.

“Saya punya keluarga di Gorontalo,” sembari tetap menekuni kepala anaknya.

“Tinggal dimana?”

“Di kota. Tapi sekarang sudah di Jakarta. Namanya Norman Kamaru.”

Saya terperanjat. Siapa orang di bawah langit Gorontalo yang tidak mengenal nama ini; ex-anggota Brimob yang terkenal karena ber-lipsync lagu India, belakangan memilih fokus pada dunia tarik suara. Dalam karirnya yang pendek, ia dipuja-puja sebagai wajah Gorontalo. Definisi paripurna dalam versi nestapa atas pameo legendaris Andy Warhol.; dimasa depan, orang-orang akan terkenal dalam 15 menit.

Sudah jadi rahasia umum bahwa ibunda Norman Kamaru berasal dari kepulauan Maluku. Tiba-tiba saja saya terduduk di rumah masa kecilnya. Tiba-tiba saja orang-orang ini terasa terhubung dengan saya.

Badai de javu belum tuntas. Seseorang kemudian menyambangi warung Rita di tengah percakapan kami. Segera saya kenali ia sebagai anak dari pria tua yang bercakap dengan saya di kapal penyeberangan. Ia tersenyum sepintas, lalu masuk ke warung menuntaskan tujuannya. Sebelum berlalu kembali ke rumahnya, ia menawari saya agar mampir. “Saya masih beristirahat, Bang.”  Ia menjawab dengan senyum yang lain, kemudian undur diri.

Beberapa menit kemudian, ayahnya datang tergopoh-gopoh dari belokan jalan. Mukanya tampak berseri-seri, senyum mengembang terekam dari jauh. Ia menyapa saya hangat, kebapakan, menjabat tangan saya erat. Kembali memperkenlkan saya kepada Rita sebagai orang yang berbagi cakap di atas kapal.

“Sudah baronda ke mana saja? Mampir makan dulu di rumah!”

Pada titik ini, saya merasakan sebuah sensasi yang ganjil. Orang-orang Banda memang terkenal akan keramahannya, namun baru kali ini saya dapat menyaksikannya secara langsung. Mereka menghampiri saya seolah-olah  menjenguk tetangga yang baru pulang dari kota. Menyiapkan telinga untuk kisah-kisah yang barangkali dilebih-lebihkan. Tak sungkan untuk mengundang mampir ke rumah, menawarkan kue-kue hangat dan jika perlu tempat menginap. Yang terasa adalah rasa hangat di tengah orang-orang yang seolah telah bersilangan jalan dalam hidup saya bertahun-tahun. Tetiba saja, saya merasa telah lama menghuni desa dan gugus pulau-pulau ini. Lonthoir dan Kepulauan Banda. Tiba-tiba saja, saya merasa tengah berada di bawah atap rumah kedua.

Saya bercakap-cakap cukup lama dengan dua orang tersebut; Rita Martinus dan si bapak bernama Hud Robo. Rupanya, saya akan berbagi kapal dengan orang yang saya sebut belakangan, pun dengan tujuan berbeda. Hud  akan turun di pelabuhan Amahai, Maluku Tengah. Di pulau Seram ia akan berdagang, mengisi hari-hari pengganti rutinitasnya sebagai petani pala serabutan.

Belakangan, adik Rita bergabung dari dalam rumah. Pria ini memperkenalkan dirinya sebagai Fadlun Martinus. Jika tersenyum lebar, geligi Fadlun yang rontok di beberapa bagian turut mengembang. Saya tersadar telah duduk terlalu lama di beranda rumah Rita. Menengok sebentar ke jam digital di smartphone saya, waktu telah menunjukkan pukul 2 siang. Saya beranjak, bergegas pamit kepada tiga orang baik hati yang telah menerima saya.  Satu persatu saya menjabati tangan-tangan mereka yang liat. Kepada Hud Robo, saya berjanji untuk bertemu kembali dengannya besok di atas kapal. Ia sempat menawari saya untuk menginap saja di rumah saudaranya sembari menunggu kapal. Saya memilih untuk tinggal di penginapan saja agar tak merepotkan lebih jauh. Lagipula, ia merencanakan menyeberang kembali ketika hari sudah sore. Pada saat itu, saya harusnya sudah berkeliling Banda Naira.

Badan saya sesungguhnya mulai terasa letih, apalagi matahari semakin menyala menggila. Terasa sejengkal saja di atas kepala. Namun memilih kembali ke Naira sekarang jelas pilihan yang tak bijak. Tinggal satu situs desa Lonthoir yang belum disambangi di daftar saya, benteng Hollandia. Tanggung sekali. Akhirnya saya mulai menyusuri jalan masuk menuju benteng yang terselip di antara rumah warga. Berupa sepetak titian tanah dengan pepohonan di kanan-kirinya. Hollandia sendiri dibangun pada abad ke-17 di atas ketinggian sebuah bukit. Bangunannya menghadap ke selat antara Banda Besar dan gunung api Banda. Dari puncaknya, pengamanan kolonial mengawasi lalu lintas kapal di pelabuhan Banda Naira.


Langkah saya sedikit tertatih-tatih. Semakin lama, salah satu sisi dinding semakin tampak dekat dengan latar puncak gunung api Banda. Mata saya mulai dapat menangkap detil-detil tekstur bangunan. Warna batu andesit yang menyusunnya mulai berubah kecokelatan, dengan lumut menjalar di sana-sini. Sejenak, saya membiarkan tangan saya menjelajah. Agar lebih puas mengamati, saya bergeser semakin ke depan mencari pintu masuk benteng.


Sebelum menemukannya, penorama yang sedari tadi tertutupi dan hanya tampak sepintas-pintas mulai membentuk dalam cakrawala yang lebih luas. Saya terkesiap, darah terasa mendesir berlomba menuju ke atas kepala. Tengkuk saya meremang diserang gelombang gaduh kebangkitan bebuluan roma. Tanpa ampun, saya mengerahkan tenaga untuk berlari memasuki benteng. Di salah satu sisi bagian dalam benteng tersandar seunit tangga kayu guna menjangkau puncak sisa-sisa bastion. Bergegas menaikinya, melempar tas saya sekenanya pada ruang lapang dipuncaknya, lalu menatap bentang alam yang kini terlihat semakin jelas dari ketinggian. Saya tenggelam mematung bermenit-menit, menyisakan bibir semata yang terus bergerak melantun puja-puji kebesaran pencipta semesta. Kombinasi hormonal berganti-ganti dengan cepat, lalu menyisakan haru yang panjang yang terasa di ujung mata.


Inilah klimaks perjalanan saya di Lonthoir. Di hadapan saya terbentang lanskap gunung api Banda yang diitari lautan dangkal kehijauan. Teduh, teramat tenang, serupa giok yang jatuh dari langit.

(Bersambung ke Tentang Rumahku - Part 2)

Sekelumit tentang Desa Lonthoir, Pulau Banda Besar:
Desa Lonthoir merupakan desa tertua di kepulauan Banda, terletak di pulau Banda Besar. Dapat dicapai dengan kapal kecil dari dermaga perikanan Banda Naira. Untuk menyeberang dikenakan tarif Rp 5.000 sekali jalan. Mengelilingi seluruh desa dapat dilakukan dengan berjalan kaki atau menyewa ojek dengan tarif sekitar Rp. 100.000 (dengan rute menjangkau seluruh pulau Banda Besar).


P.S  : Judul “Tentang Rumahku” diambil dari judul album unit folk asal Bali, Dialog Dini Hari. Kawan yang pas menemani waktu sore hari di Banda. 

0 komentar:

Posting Komentar