Fiat Lux

Jumat, 22 Februari 2013

Ambarawa: Sebuah Sisa Arena Palagan

17.20 Posted by Arasy Aziz 1 comment

Kemenangan di palagan Ambarawa menuntut kita memenangkan dipalagan pembangunan.
Soeharto, pada sebuah dinding di museum Isdiman.

“Kamu harus percaya, insting saya selalu benar”, ujar Novada. Saya mengangguk. Beberapa menit sebelumnya, kami terduduk didepan sebuah jaringan mini market, sedikit kelelahan, hampir penat menunggu, hingga tiba-tiba si mesum mengajak berdiri. Sebuah bus merah yang kami cari kemudian melintas pada detik yang sama. Bus yang kemudian membawa kami menuju Ambarawa. Barangkali kebetulan, namun insting Novada memang seolah terbukti.

Salah satu bagian relief monumen Palagan Ambarawa
Sedikit yang terlintas tentang Ambarawa, awalnya, adalah museum kereta apinya yang legendaris oleh lokomotif-lokomotif dan rel bergerigi. Atau Rawa Pening yang dewasa ini dipenuhi gulma, atau senyap komplek candi Gedong Songo. Belakangan, semua gambaran awal saya tentang Ambarawa tidak mewujud. Trip ke Gedong Songo dan Rawa Pening yang kehilangan padu antara jarak dan alokasi waktu kami batalkan. Dan yang lebih menyebalkan: museum kereta api yang tutup. Lepas berjalan kaki diantara panas yang membakar, kami hanya bisa meringis di hadapan gerbang yang ditutupi bambu melintang. Museum sedang direnovasi. Setidaknya, kami bisa menyimak sembilan lokomotif tua dari balik pagar. Lumayan.

Lokomotif Uap sepuh yang masih aktif beroperasi. 
Hal lain yang layak ditertawakan adalah, semua gambaran yang saya punya tadi mendistorsi sebuah fakta penting mengenai sejarah kota ini. Hari sebelumnya, Novada mengajak saya dan Marvey menyambangi sebuah pusat perbelanjaan di Semarang untuk bersua dengan seorang kenalannya. Kami memutuskan menunggu di sebuah toko buku. Diantara deret-deret kalam terjilid, saya menemukan sebuah tulisan menarik terbitan Kompas Gramedia mengenai sisi lain seorang Jenderal Besar Soedirman. Pada 12 November 1945 beliau dipilih melalui voting, amat berbeda dengan model promosi jabatan dewasa ini. Sebulan kemudian, sang panglima baru langsung dihadapkan pada salah satu pertempuran paling heroik dalam sejarah: Palagan Ambarawa.

30 menit lepas bus meninggalkan Semarang, kami mulai memasuki kota Ambarawa. Satu per satu penumpang turun, menyisakan kami yang menengok ke kanan ke kiri, sedikit khawatir kehilangan destinasi. Di sebuah pertigaan kami meminta berhenti. Mata kami menangkap monumen Palagan Ambarawa di salah satu pojokknya. Siang terik membuat monumen terlihat lengang. Hanya ada seorang petugas tiket yang terduduk malas di balik loket, dan beberapa anak-anak berseragam di depan gerbang. Kami bergegas membeli tiket.

Kolonel Isdiman dan peringatan dari Soeharto.
Di sudut kiri, sebuah bangunan berdimensi mini berdiri. Museum Isdiman namanya, mengenang seorang tokoh kunci yang tewas pada awal Palagan Ambarawa. Museum ini menyimpan memoar-memoar seputar peristiwa saling serang di bulan desember itu. Seragam-seragam militer, senjata, alat perbekalan dipamerkan. Sayangnya tidak banyak keterangan yang diserak. Informasi Palagan Ambarawa justru banyak saya temukan di internet, melengkapi sisa ingatan masa sekolah. 12 Desember 1945, para perwira TKR menyerbu Ambarawa yang dikuasai sekutu. Empat hari tembak menembak, pada 15 Desember mereka berhasil merebut kembali kota ini. Beberapa versi menyebutkan, adalah tentara sekutu yang kehabisan perbekalan menyebabkan mereka menyerah dan memilih mundur ke Semarang.

Vandal. Apalagi coretan tentang hubungan-hubungan, terkampunglah kalian.
Pesawat yang berhasil di tembak jatuh TKR
Matahari yang menyengat diimbangi dengan baik oleh taman seputaran monumen yang asri. Beberapa kendaraan sisa perang ditata apik, semisal bangkai pesawat yang konon sukses ditembak jatuh oleh para TKR pada hari-hari perang. Ambarawa barangkali perlu juga menasbihkan diri sebagai kota lokomotif uap. Sejarah menutur, Ambarawa di masa kolonial Belanda adalah sebuah kota militer. Stasiun kereta api kemudian didirikan (tertua ke tiga di pulau Jawa) untuk memudahkan mobilitas tentara. Pada 1976 stasiun dialih fungsikan menjadi museum oleh PT KAI untuk melestarikan lokomotif-lokomotif uap. Dan salah satu mesin kepala kereta ini terparkir pula di halaman monumen. Buatan Jerman. Dan ini yang mengecewakan, sebuah gerbong kayu dibelakangnya yang pernah mengangkut para kusuma generasi awal dipenuhi noda marker, pulpen, tipe-x yang tercecer di mana-mana. Beruntung relief palagan tidak bernasib sama. Belajarlah tata krama, manusia-manusia wau.

Sekelumit tentang Ambarawa (Bea):
Ambarawa dapat dicapai dari Semarang dengan waktu tempuh 30-45 menit menggunakan bus. Biaya dalam kisaran Rp 6.000 (saya agak khawatir kami ditipu, sila mencoba). Tiket masuk monumen Palagan Ambarawa Rp 4.000. Beberapa destinasi di Ambarawa butuh biaya ekstra (seperti wisata kereta berloko uap, Rp 50.000), kapan-kapan saya harus membawa lebih banyak uang, barangkali.


1 komentar: