Fiat Lux

Selasa, 25 Desember 2012

Selamat (Merayakan) Natal

08.08 Posted by Arasy Aziz 7 comments


Perdebatan atas boleh tidaknya mengucapkan selamat Natal memiliki tepian yang hampir kabur. Terdengar sepele, namun potensi luka hati dan sentimen agama sangat besar tersimpan, menjadi bom waktu, menunggu ledakan. Sebelum lebih dalam terjebak, baiknya kita memahami terlebih dahulu makna kata 'selamat' itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud sebagai selamat adalah:

1 a terbebas dari bahaya, malapetaka, bencana; terhindar dari bahaya, malapetaka; bencana; tidak kurang suatu apa; tidak mendapat gangguan; kerusakan, dsb; 2 a sehat; 3 a tercapai maksud; tidak gagal; 4 n doa (ucapan, pernyataan, dsb) yg mengandung harapan supaya sejahtera (beruntung, tidak kurang suatu apa, dsb); 5 n pemberian salam mudah-mudahan dl keadaan baik (sejahtera, sehat dan afiat, dsb): -- datang; -- jalan; -- malam (pagi, siang); -- tahun baru; -- tinggal;”

Pemahaman tentang kata selamat ini nantinya amat berguna (utamanya untuk saya) dalam menyusun formula ucapan selamat Natal yang abu-abu, toleran dan semoga tidak menjurus kufur.

Sependek pengetahuan saya, tidak ada larangan resmi dalam Al-Quran maupun Hadits akan ucapan selamat Natal. Larangan ucapan selamat Natal berasal dari ijtihad para ulama, yang diakui sebagai sumber hukum Islam ke tiga. Terdapat sebuah hadits ber-sanad jayid/baik yang berbunyi “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”(HR Ahmad dan Abu Daud) sebagai landasan. Mengirimkan ucapan 'selamat natal' konon termasuk dalam kategori ini, dengan memerhatikan pemaknaan mengenai kalimat 'selamat natal' secara keseluruhan. 

Di lain sisi, alasan yang dikemukan para pakar yang pro-ucapan natal dapat dinilai mengandung sesat pikir (logical fallacy). Terdapat sejumlah ayat yang kerap dikutip, semisal Q.S 19: 33 yang intinya menjelaskan bagaimana Nabi Isa AS bershalawat untuk dirinya. Para alim kemudian menisbatkan ucapan selamat natal sebagai bentuk shalawat terhadap Nabi Isa AS. Menggunakan ayat ini sebagai preposisi adalah kurang tepat, mengingat terdapat perbedaan mendasar dan substansial tentang cara pandang umat Nasrani dan umat Islam terhadap posisi Nabi Isa AS. Yang patut digaris bawahi, perbedaan ini justru melahirkan keharusan bagi setiap individu untuk menghargai nilai-nilai ajaran agama lain. “Lakum diinu kum wal yadiin”, bagimu agamamu, bagiku agamaku (Q.S 109: 6).

Saya pikir, alasan yang paling logis adalah tuntutan toleransi beragama dalam model masyarakat modern yang bhinneka. Hal ini tak lepas dari pengalaman pribadi saya mengenai kentalnya nilai-nilai pengertian dalam kehidupan sehari-hari. Saya, yang dilahirkan dan tumbuh besar di Manado, sejak dini terbiasa turut serta dalam perayaan Natal dengan berkeliling ke rumah-rumah tetangga, hal serupa yang dilakukan teman-teman Nasrani jelang Idul Fitri (ingat, saya masih kecil waktu itu dan belum paham). Detik-detik menjadi seorang kakak pada malam tanggal 24 Desember 1998 di tengah khidmat kidung Natal juga memberi kesan tak terlupakan. Argumen yang lebih Islami? Dalam Sirah Nabwiyah dituturkan bahwa Rasulullah SAW pernah mempersilahkan sekelompok umat Nasrani untuk beribadah di dalam mesjid.

Sebagian besar umat muslim terkadang melupakan motif dan tidak melakukan kajian linguistik mendalam atas sebuah ucapan Natal. Dalam kasus ini saya cenderung menganut paham yang menolak memisahkan antara apa yang dirumuskan dalam dunia ide dan apa yang kemudian diucapkan sebagai bukti empiris sebagai jawaban awal. Saya percaya tidak pernah ada maksud menyekutukan Allah dalam setiap ucapan Natal yang dikirimkan seorang muslim. Namun tanpa sadar, 'Selamat Natal' berpotensi memberi cela tak terlihat apabila muatan kedua kata tersebut dipahami secara komprehensif. Dalam keadaan simalakama ini kemudian penelusuran lingua ditambahkan.

Jalan tengah masalah ini terdapat pada logika permainan dan pemilihan kata sebagai dasar yang digunakan guna merumuskan kalimat yang mendekati tepat. Rumusan ini, menurut hemat saya, berwujud kalimat 'selamat merayakan natal'. 'Merayakan Natal' menjadi sebuah frase yang menggandeng kata 'selamat', dan akan menyebabkan perubahan makna signifikan dalam sebuah ucapan Natal. Penekanan selamat dalam rangkaian kata tersebut terdapat pada aktivitas kawan kita sebagai manusia dan tidak terlalu memerhatikan nilai kebenaran relatif Natal itu sendiri. Dapat dimaknai disini bahwa kata 'Selamat Merayakan Natal', dengan tidak melupakan definisi kata 'selamat' yang saya jabarkan di awal, memuat makna semoga kamu tidak mengalami hal yang tidak diinginkan selama merayakan natal. Apabila Natal bernilai universal bagi umat Nasrani, maka aktivas 'merayakan' amat bergantung pada interpretasi individual, hal yang ditekankan dalam kalimat ini. Seseorang bisa saja merayakan dengan tidur, makan, beribadah atau melakukan perjalanan wisata. Meski gagasan ini masih layak diperdebatkan dan barangkali dangkal, luaran yang diharapkan adalah sebuah ucapan yang netral dapat dihaturkan tanpa mengesampingkan nilai-nilai aqidah dan toleransi beragama. Wallahu'alam.

Selamat merayakan Natal!

7 komentar:

  1. Saya tahu dan mengerti maksud kamu menaruh 'merayakan' di tengah tengah ucapan itu. Bahkan sebelum kamu buat postingan ini.
    Tapi bukannya ijtihad juga salah satu sumber hukum? Untuk apa tetap berusaha mencari celah bagi apa yang telah ditetapkan dasarnya? Untuk apa menyusun huruf di depan Yang Maha Membalik kata? Toh toleransi tidak muncul hanya dengan sebatas kata-kata. Saya pikir kamu lebih mengerti. Wallahualam, saya masih perlu banyak belajar :))

    BalasHapus
  2. Sebenarnya yang kayak gini masih sulit untuk amatiran kayak kita... Terlalu tinggi ilmunya,,, kajian linguistik yang digunakan disini menurut gw juga merpkan ilmu yang tidak pasti krna berupa bahasa yang sangat relatif.. So... mungkin kalo berijtihad dengan ilmu secetek kita2 ini takutnya malah menjurus ke arah yang salah... Yah.. kalo saya sih jalan tengahnya : gg usah ngucapin, dan gg usah sok-sok ngelarang, kalo emang gg ngerti apa2,,, (Hanya pendapat pribadi dari seseorang yang tidak mengerti agama secara mendalam)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Linguistik juga memang kajian humaniora kan Mam, jadi memang nggak akan pernah seobyektif ilmu alam. Toh kita pe tulisan bukan ijtihad juga sehingga bukan hukum, nggak mengikat, ini lebih semacam opini sih hehe. Ini mungkin semacam alternatif, Ta hargai juga nga pe pilihan.

      Hapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. kalo ga tau apa2 dan ga berani keluarin fatwa, mending ikut ke salah satu fatwa yg kita anggap bener dan mengandung banyak mashlahat. memisahkan diri dgn ga ikut fatwa para ulama yg kalian anggap baik dan benar itu bukan cara terbaik dalam mengambil keputusan yg berkaitan dgn tatanan ibadah dan kemajemukan umat beragama di negeri ini. salam!

    BalasHapus
    Balasan
    1. ini bukan fatwa kok mas, kalo kedua fatwa menurut saya kurang kuat karena ada argumen atau preposisi yang hilang, saya harus ikut yang mana?

      Hapus