Fiat Lux

Sabtu, 29 Desember 2012

Malang: Tetirah Dharma Karthanegara

04.14 Posted by Arasy Aziz No comments
“Ini cowok atau cewek? Dari mana?” Pertanyaan bertubi dari seorang bapak mengusik awal lawatan saya ke candi Singosari (secara normatif bernama Singhasari). Harus diakui, helai rambut yang kian memanjang, dan diikat kebelakang, barangkali menggelitik banyak orang untuk bertanya hal yang sama, dengan bercanda tentu saja. Sekenanya saya layani basa-basi ini “Saya cowok kok pak, dari Gorontalo”. Ingin sekali saya tambahkan: dan bapak tahu, saya amat kangen dengan candi.


Kenapa kangen? Momen terakhir kali saya mengunjungi candi berlalu hampir 15 tahun silam. Sebenarnya timbul kesempatan untuk mengakhiri dahaga panjang ini ketika mengikuti pelatnas kebumian di Jogjakarta pada medio 2010. Sayangnya, waktu rehat tak kunjung tiba (tepatnya, saya malas memanfaatkan jeda). Pandangan terdekat lewat begitu saja ketika saya hanya bisa menatap candi Prambanan dari jendela bus yang melaju membelah jalanan penghubung Jogja-Klaten. Lucu juga rasanya kalau telah melanglang ke berbagai penjuru tanah Jawa tapi lupa mengakrabi candi.



Pekan sunyi jelang ujian akhir semester kemudian saya manfaatkan untuk berbuka puasa candi, meski hari yang kami pilih diwarnai rintik hujan. Candi Singosari kemudian menjadi pilihan utama mengingat letaknya yang dapat dijangkau oleh kendaraan umum dari kota Malang. Dalam trip kali ini saya ditemani Novada, seorang teman kuliah. Sepanjang rute Malang-Singosari, angkot kami ubah menjadi warung kopi, membahas politik dan wanita tiada henti. Obrolan kami memang tak pernah jauh dari tema tersebut apabila bersua.

Kenyaataan bahwa candi Singosari terselip diantara pemukiman penduduk dalam area yang sempit cukup mengagetkan. Dalam bayangan saya, candi ini berdiri diatas tanah yang lapang layaknya candi Borobudur dan candi Prambanan yang ikonik. Candi Singosari sendiri berukuran 14 x 14 meter dengan tinggi 15 meter, terbuat dari batuan andesit yang dibangun dengan cara menyusun bongkahan kemudian diukir. Local genius. Andai memiliki kemampuan pisikometri, saya dapat menggunakan 'mata lain' untuk melihat apa yang dilihat batuan ini di masa lampau.


Candi Singosari merupakan peninggalan kerajaan bernama sama. Apabila tidak duduk di laci meja selama belajar sejarah, kita tentu ingat nama-nama seperti Ken Arok, Ken Dedes dan Karthanegara yang menitahkan pendirian candi Singosari. Berdasarkan kitab Negarakartagama, bangunan ini berfungsi sebagai tempat 'pendharmaan' Karthanegara. Eksistensi candi ini juga konon tak lepas dari keberadaan gunung Arjuna dan para pertapa yang bersemayam diatasnya. Komplek candi Singosari pada masa lampau terdiri atas bangunan candi itu sendiri dan arca Dwarapala ganda yang terletak sekitar 100 meter di barat laut. Arca Dwarapala berfungsi sebagai pintu gerbang, selain tiga arca lain yang telah hilang.


Pandangan saya langsung terusik oleh sebuah obyek di halaman candi. Terdapat sebuah arca yang wujudnya amat akrab dengan keseharian saya sebagai mahasiswa. Penjelasan yang saya peroleh dari para juru kunci menyebutkan nama Dewi Parwati, ibunda Ganesha sang dewa ilmu pengetahuan dalam mitologi Hindu, sebagai sosok yang terukir dalam arca tersebut. Sosok ini juga digunakan dalam lambang Universitas Brawijaya (selama ini saya mengira bahwa sosok dalam lambang almamater saya tak lain merupakan lambang para Brawijaya). Sejenak saya menaruh hormat.

Memasuki bagian dalam candi melalui pintu utama di timur, harum dupa langsung menyengat dengan dahsyat. Rupanya candi Singosari masih aktif digunakan untuk sembahyang. Terdapat arca lingga dan yoni yang menghiasi ruang utama, ditemani payung kuning bertingkat yang kerap saya lihat sebagai perlengkapan dalam ritus agama Hindu.


Di tiga penjuru mata angin yang lain terdapat kolong-kolong kosong. Menurut wikipedia, kolong-kolong ini harusnya diisi oleh arca Durga di kolong utara, arca Ganesha di kolong timur dan arca Resi Agastya alias Siwa Maha Guru di kolong selatan. Sayangnya, satu-satunya yang tersisa adalah arca yang disebutkan terakhir. Selebihnya raib tanpa bekas.



Sebelum mengakhir kunjungan, saya teringat titipan salam Fitri, arek Malang kenalan saya yang menghabiskan waktu kuliah di Depok, untuk Ken Dedes. Saya cukup kebingungan dibuatnya karena kondisi arca yang telah kehilangan kepala, otomatis tidak meninggalkan telinga. Akhirnya saya percaya saja, arca yang telah melewati berbagai periode zaman ini barangkali mendengar melalui relung andesit dan mineral kuarsanya yang saling mengunci. Salam saya bisikkan.

Sekelumit Tentang Candi Singosari:
Candi Singosari merupakan candi hindu yang terletak di kecamatan Singosari, kabupaten Malang, Jawa Timur. Didirikan pada abad 13 dibawah perintah Kathanegara, sebelum kerajaan Singosari runtuh dalam sebuah serangan oleh Jayakatwang | Perjalanan dapat ditempuh selama lebih kurang 45 menit dengan menggunakan angkot rute Arjosari – Lawang berbiaya Rp. 2.500,00.- | Masuk candi tidak dikenakan biaya.

0 komentar:

Posting Komentar