Akhir
seri setengah Pantura Jawa Tengah yang..(sedikit) mengecewakan. Super
subyektif, super udik, saya ingatkan.
Jatuh
cinta adalah masalah menyeragamkan ketukan, setidaknya dalam persepsi
saya. Saya sempat coba memulainya sejak akhir tahun lalu, dan
berakhir tidak cukup baik #salahfokus. Serupa di Semarang, sejak awal
saya gagal melakukannya. Saya belum pernah berkunjung ke ibukota Jawa
Tengah ini sebelumnya dan tiba-tiba tur di Semarang menjadi bagian
paling tidak menarik dalam serangkai trip ini. Entahlah. Selain
lagi-lagi kurang riset dan berinteraksi dengan manusia yang paham,
sepertinya dengan suasana kota besar, saya sudah tidak akur. Sejak
awal menginjakkan kaki, saya cukup kaget dengan kondisi terminal yang
kalah menarik dibanding bandar bus serupa di Kudus. Sebagai kota
terbesar di bagian tengah Jawa dan salah satu titik terpenting
pembangunan kawasan Pantura, agaknya pemerintah kota lupa membenahi
salah satu beranda rumahnya. Dan denyut-denyut ketidak-sepahaman
semakin terasa ketika bus umum yang saya tumpangi mulai membelah
urat-urat kota.
Ikon. Lawang Sewu, Tugu Muda, dan mobil |
Dalam
momen ini saya tersadar akan sifat udik yang barangkali dibangun oleh
waktu. Terakhir kali mengecap kehidupan kota besar, saya masih duduk
di bangku kelas 5 sekolah dasar. Selebihnya hingga detik ini, saya
terbiasa dengan atmosfer pusat-pusat peradaban berukuran menengah.
Saya bahkan sempat menghabiskan masa aliyah di tengah pedesaan
yang hanya ramai oleh panggilan sujud. Dan urban-urban bising
sepertinya mulai tidak seirama dengan kuping.
Pun dengan jalan-jalan Semarang yang besar dan penuh, serta gedung-gedung tinggi. Hukum ini
rasanya tak cuma berlaku di Semarang. Contoh lain, Bandung,
kota masa kecil (dan cinta pertama) saya terkadang mulai terasa
menyebalkan oleh jalanan yang gagal menampung volume besar kendaraan
berplat nomor B, juga sampah.
Ada
hal-hal yang dapat dikritik dari tata kelola pariwisata kota ini.
Satu obyek yang layak dijadikan fokus adalah kawasan kota tua.
Sadarkah kita yang pernah berkunjung kesana bahwa tidak tersedia
jalur pedestrian di hampir seluruh area? Kota tua, diluar dugaan
saya, tidak menyediakan trotoar dan
zebra cross,
sementara sela
bangunan-bangunannya masih dapat dilalui oleh kendaraan
bermotor. Teror. Keinginan saya akan suasana era kolonial diperkosa
oleh deru mesin. Hal ini patut disayangkan, mengingat dibanding
kawasan Jakarta Kota, bangunan-bangunan kota tua Semarang masih
terawat cukup apik. Di kawasan ini berdiri pula beberapa gedung
penting dan bersejarah, semisal stasiun Tawang sebagai salah satu
stasiun kereta api tertua di Indonesia. Informasi yang saya peroleh
belakangan, umumnya pengunjung menghabiskan waktu di kawasan kota tua
sebatas untuk mengaso di taman Gereja Bleduk. Kami dibuat cukup kesal
pula oleh pengelola museum Mandala Bhakti di seputaran Tugu Muda.
Sempat diminta menunggu lama, kami dipaksa gigit jari oleh petugas
yang tidak kunjung kembali dan membukakan pintu. Museum tutup di hari
kerja, menarik. Jangan tanya pula soal Lawang Sewu. Setelah
dihitung-hitung berwisata ke landmark kota ini tergolong cukup
menguras kantong (Hampir mirip dengan kondisi harga makanan (bahkan
disekitar kampus) yang sulit dipahami oleh sekelompok anak kos dari
Malang ini. Bayangkan Rp 9.000 untuk Tahu Gimbal a.k.a Tahu Telor).
Rasionalisasinya, bea relatif besar dihabiskan guna pelestarian
bangunan berusia seabad lebih ini. Dugaan usil lain, pengelola
menikmati citra yang dibangun oleh kisah-kisah para-fisik. Akhirnya
kami menikmati kemegahan bekas kantor Nederlands-Indische Spoorweg
Maatschappij dari balik terali pagar. Pelit? Bisa jadi. Saya masih
harus mengirit tabungan untuk sebuah event yang juga penting di lain
bulan. Mohon maaf.
Diluar
itu Semarang patut dipuji oleh konsep transportasi massanya yang
berjalan baik. Jelang akhir trip kami menyempatkan diri berkeliling
kota menggunakan layanan Trans Semarang. Kami juga cukup terbantu
dengan kehadiran dua haltenya di depan balai kota. Pada sekitaran jam
2 hingga 3 siang ruang sempit ini disesaki oleh remaja-remaja dari
dua buah SMA berisisan yang tuntas belajar harian. Cita-cita Novada
terkabul, saya dan Marvey terimbas baik. Asemi!!
Raksasa
Jamu
Terdapat dua perusahaan jamu besar dan berumur yang menjadikan
Semarang sebagai lokasi markas utama, PT Industri Jamu Cap Jago alias
Jamu Jago dan PT Jamu Cap Potret Nyonya Meneer. Selain secara
bersama-sama memegang temali penting dalam industri herba nusantara,
keduanya memiliki kesamaan lain yang menggembirakan: membuka museum.
Museum Jamu Jago terletak di daerah Srondol, Semarang. Selain
menampilkan memoar aktivitas perusahaan, museum ini dikenal pula
sebagai pusat pengabadian rekor-rekor yang dibuat masyarakat
Indonesia. Kita patut berbangga, karena beberapa diantaranya turut
pula memecahkan raihan dunia. Selain potret raksasa Ciputra yang
dibangun dengan paku, atau gincu raksasa untuk Buto Ijo-wati,
sebagian besar dokumentasi rekor berwujud foto. Kisah yang lebih
detil tentang sejarah usaha jamu kami peroleh di museum Nyonya Meneer
yang lokasinya kami temukan secara insidental. Nyonya Meneer cukup
terkenal dengan anekdot sebagai wanita terkuat di Indonesia, karena
“berdiri sejak 1919”. Fakta yang lebih penting, wanita bernama
asli Lau Ping Nio ini mulai meracik jamu sebagai wujud cinta kepada
sang suami. Pada masa penjajahan sang suami mengalami radang lambug
yang tak kunjung sembuh hingga Nyonya Meneer menemukan formula yang
tepat. Pada 1919, Nyonya Meneer mulai mengkomersilkan racikannya
kepada masyarakat. Konon, masyarakat hanya mau mengonsumsi jamu dari
tangan dingin sang nyonya. Hal ini diakali dengan menggunakan potret
dirinya sebagai logo perusahaan. Di akhir tur museum kami ditawari
sejumlah produk. Kami berkelit, kemudian pulang ke rumah untuk rehat
dan berkemas. Esoknya kami kembali ke Malang, kota dengan seribu
alasan untukmu bersemu merah.
Sekelumit tentang Semarang (Bea):
Semarang
dapat dijangkau dari Surabaya
menggunakan bus ekonomi AC dengan bea Rp. 45.000. Masuk museum Nyonya
Meneer dan Jamu Jago
(MURI) gratis. Waktu satu
setengah hari menjelajahi kota ini pada dasarnya tidak cukup.
0 komentar:
Posting Komentar