Fiat Lux

Kamis, 16 Februari 2012

Gorontalo : Jejak Sejarah Gorontalo

03.34 Posted by Arasy Aziz No comments
Menelusur jejak sejarah Gorontalo dengan tunggangan sehat kekinian.

Bagi saya bersepeda selalu menjadi kegiatan menyenangkan guna memulai hari dan telah menjadi ritual harian dalam masa liburan ketika SMA dulu. Namun ritus saya pagi ini terasa sedikit berbeda. Kali ini saya bersepeda dalam tujuan merekam jejak sejarah Gorontalo dari berbagai masa diantar 400 tahun lebih usia Kota Gorontalo. Dari beberapa pilihan sepeda saya memilih jenis fixed gear atau fixie. Meskipun telah dikenal sejak awal abad 20, sepeda jenis ini sedang nge-hype dikalangan muda perkotaan sehingga menjadikannya bagian dari budaya kekinian. Akhirnya, perjalanan dimulai. Daerah selatan kota jadi tujuan saya mengingat banyaknya gedung tua wilayah ini.

Saya memilih Mesjid Hunto Sultan Amay sebagai perhentian perdana. Mesjid yang didirikan pada 1495 Masehi ini merupakan tonggak awal peradaban Islam di Gorontalo. Alkisah dimasa lalu Gorontalo dipimpin oleh seorang raja bernama Sultan Amay yang memerintah pada rentang 1472 – 1550 Masehi. Hingga suatu ketika sang raja hendak mempersunting Putri Boki Antungo dari kerajaan Moutong. Sang ayah, Raja Palasay, mengajukan sebuah syarat yakni sang raja Gorontalo haruslah memeluk Islam  dan dibuktikan dengan membangun sebuah mesjid. Sang raja kemudian menyanggupi dan mesjid Hunto Sultan Amay didirikan sebagai mas kawin.

Menara Mesjid menjulang.

Sejumlah bagian mesjid ini tercatat masih dipertahankan keasliannya. Di salah satu sudut saya menemukan sebuah sumur yang konon berumur sama tuanya dengan mesjid itu sendiri. Dengan sedikit pengamatan, saya tersadar bahwa tekstur dinding sumur tersebut mirip dengan tekstur bangunan Benteng Otanaha buatan Portugis di wilayah Kecamatan Kota Barat, Kota Gorontalo. Bahan baku keduanya sama, yakni batu kapur dan putih telur Burung Maleo (Macrohepalon maleo) yang zaman dahulu masih banyak ditemukan diseluruh wilayah Gorontalo. Hal ini seolah makin menegaskan nilai historis mesjid ini. Selain sumur, masih ada sejumlah peninggalan sejarah lain seperti bedug, Al Quran bertulis tangan dan mimbar yang konon dibawahnya terdapat makam dari Sultan Amay.

Interior Dalam mesjid dan mimbar yang telah berumur

Puas menengok kedalam mesjid saya melanjutkan perjalanan menuju destinasi berikutnya. Dalam perjalanan saya singgah sejenak di depan Kelenteng yang bersisian dengan Vihara umat Buddha Gorontalo. Desain keduanya relatif modern, agak berbeda dengan sejumlah tempat ibadah sejenis yang pernah saya lihat. Saya tertarik dengan lantunan musik oriental yang menggema dari pengeras suara. Rupanya sejumlah orang tua tengah bersenam di pagi yang relatif mendung ini. Sempat terbesit niat untuk mengambil gamabar namun ada rasa sungkan untuk mengganggu keriaan mereka. Saya melanjutkan menggowes.

Vihara dan Kelenteng terlihat dari belakang.

Tak berapa lama Monumen Nani Wartabone terlihat didepan mata. Tahun 1987 monumen ini didirikan atas prakarsa Drs A Nadjamudin, walikota Gorontalo saat itu, guna mengenang jasa seorang pahlawan nasional  dari Gorontalo, Nani Wartabone. Catatan yang ditorehkan sosok ini tidak main-main. Beliau merupakan proklamator kemerdekaan Gorontalo dari penjajahan Belanda yang memilih menempatkan daerah ini dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini merupakan buntut dari upaya perlawanan rakyat atas rencana Belanda yang hendak membumi-hanguskan tanah Gorontalo pada 28 Desember 1941. Puncaknya pada 23 Januari 1942 dini hari, pihak Belanda berhasil diusir dari Gorontalo. Hingga saat ini tanggal tersebut lebih melekat dalam benak masyarakat Gorontalo dibanding hari ulang tahun Provinsi Gorontalo yang jatuh pada 16 Februari. Kini monumen tersebut berdiri gagah di pelataran Lapangan Taruna Remaja Gorontalo, berhadapan dengan kediaman dinas Gubernur Gorontalo.

Monumen Nani Wartabone menyambut matahari pagi.

Monumen Nani Wartabone merupakan patung sosok Nani Wartabone yang sedang menunjuk ke arah Kantor Pos Kota Gorontalo. Bukan tanpa alasan, mengingat ditempat inilah proklamasi kemerdekaan tersebut dikumandangkan. Letaknya relatif berdekatan dengan lokasi monumen sehingga saya kembali mengayuh sepeda ke lokasi ini. Di halaman kantor pos berdiri sebuah monumen dan prasasti yang mencatat pidato Nani Wartabone dan nama-nama Komite Dua Belas yang terlibat dalam upaya perumusan proklamasi.

Monumen Peringatan proklamasi Gorontalo 23 Januari 1942.

Lama dan Baru. Fixie berpose di depan gedung Kantor Pos Gorontalo.

Hasil Perjuangan. Sebuah Bentor lewat di depan Gedung Nasional yang
merangkap markas LVRI. Tanpa mereka Bentor mungkin tiada. Kaitannya?

Dalam persiapan pulang saya kemudian teringat akan sebuah gedung tua yang terletak di Kelurahan Ipilo, Kecamatan Kota Timur . Dengan energi tersisa saya mengayuhkan pedal ke Gedung Nasional. Deretan angka 1948 yang tertulis dibagian depan agaknya menunjukkan tahun pembangunan gedung ini. Saat ini Gedung Nasional digunakan sebagai markas Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Gorontalo. Sayang sekali saya tak menemukan salah satu diantara mereka. Karena rasa lelah yang mulai melanda, saya memutuskan mengakhiri petualangan. Dalam sela gowesan menuju rumah sempat terpikir ungkapan popular milik Bung Karno 'Jas Mera', jangan sampai melupakan sejarah. Ya, nilai-nilai yang terkandung dalam rangkaian kata-kata singkat ini selalu dalam dan menjadi satu dari selaksa kunci guna meraih esensi sebagai sebuah bangsa yang besar. Bangsa yang besar tak pernah melupakan sejarah, bukan?

Jumat, 10 Februari 2012

Gorontalo : Menjaring Matahari di Torosiaje

00.49 Posted by Arasy Aziz 2 comments
Dalam upaya merajut persahabatan dengan seorang sahabat yang dipisahkan jarak, kami memilih bersua dengan satu dari sekian banyak komunitas Suku Bajo di dunia. Terpisah dari daratan oleh perairan dangkal, mereka berbeda budaya.

Pada 1901 beberapa individu dari Suku Bajo memulai kehidupan baru di perairan dangkal pesisir Popayato, Gorontalo. Komunitas kecil yang berawal dari sekolompok orang yang tinggal di atas perahu ini kemudian berkembang menjadi sebuah perkampungan yang dikenal sebagai Desa Torosiaje. Berawal dari percakapan via sms, saya dan seorang sahabat yang telah terlebih dahulu pulang kampung memutuskan melawat ke desa ini.

Desa Torosiaje terletak di Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato. Untuk mencapainya dibutuhkan kesabaran ekstra mengingat waktu tempuh dari Kota Gorontalo yang cukup lama (lebih dari enam jam) menggunakan angkutan mikrolet. Sebuah kondisi yang dapat saja menumbuhkan penat. Tapi kami memilih percaya bahwa semua itu akan dibayar mahal oleh panorama Torosiaje yang memikat.

Di Ujung Kapal, sahabat saya menjemput Bajo.
Dermaga menuju Torosiaje dengan pemandangan hutan bakau di kanan-kiri. 
Pak Saggaf, sang peng-ojek perahu.
Tiba di dermaga, kami disambut oleh salah seorang tukang ojek perahu yang sedari tadi menunggu penumpang. Kami tak sendiri, bersama kami turut sejumlah penduduk yang membawa boks balok es. Ya, ketiadaan alian listrik ke desa ini  membuat sebagian warga yang hendak mengawetkan ikan harus mengambil es dari daratan. Si bapak tadi memberi bonus kecil dengan mengambil rute yang relatif memutar sehingga kami dapat terlebih dahulu mengakrabi perkampungan dari pelbagai sudut. Kesenangan kami kian membuncah saja. Pada akhinya kami diantar ke rumah Pak Tama, salah satu dari dua kepala dusun di Desa Torosiaje guna mengutarakan keinginan kami untuk tinggal semalam di desa ini. Beliau menawarkan kami untuk bermalam di rumahnya, sebuah tawaran menarik yang tak kuasa untuk ditolak. Dari Pak Tama pula kami meperoleh sejumlah cerita menarik tentang kehidupan Suku Bajo di Torosiaje, sembari menikmati jamuan Ikan Baronang Bakar yang kami pesan dari rumah makan miliknya.

Salah satu sudut Torosiaje
Keramba Ikan yang menampung pelihararaan warga.
Bisa dibilang, Suku Bajo merupakan pewaris sejati nilai-nilai dan esensi bahari. Menjalani kehidupan dengan mengarungi samudra, kegiatan sehari-hari mereka sangat bergantung pada laut. Berbeda dengan saudara-saudara mereka di Tilamuta yang telah memilih hidup 'menumpang' di daratan, masyarakat Bajo Torosiaje tetap memilih mepertahankan tradisi nenek moyang mereka dengan tinggal di atas air.  Upaya Suku Bajo dalam menghargai kearifan alam pun masih terasa hingga kini. Sejumlah orang dari Suku Bajo Torosiaje bahu membahu bersama pemerintah menjadi agen penyelamat ekosistem mangrove, dimana Pak Tama merupakan koordinatornya.

Siluet rumah-rumah masyarakat berlatar matahari seujung tombak.

Di dunia, Suku Bajo Torosiaje bukanlah satu-satunya komunitas. Tercatat Suku Bajo membentuk koloni di sejumlah   titik. Menurut Pak Tama, pada 2012 ini akan diadakan Festival Suku Bajo berpusat di Torosiaje yang akan menjadi ajang reuni kultur Bajo dari berbagai belahan bumi. Setiap komunitas suku pelaut ini pada dasarnya memiliki akar budaya yang sama. Ditilik sejarahnya, mereka berasal dari para pelaut ulung Bugis yang memilih meninggalkan daratan. Hal ini dibuktikan pula dengan adanya Pelabuhan Bajoe di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Selain itu dalam tradisi perayaan Maulid Nabi sejumlah kelengkapan Bugis masih digunakan., dimana dalam lawatan kami kali ini rupanya bertepatan dengan agenda tersebut. Saya sendiri sempat menceritakan perihal darah Bugis yang mengalir di tubuh saya, yang kemudian disambut cemoohan jenaka Pak Tama mengingat saya tak bisa berenang dan berbahasa Bugis layaknya orang Bugis pada umumnya. Saya tersipu malu.




Gambaran Sore di perkampungan Bajo.

Dalam percakapan kami dengan Pak Tama tersirat sedikit nada kecewa akan inisiasi pemerintah dalam membangun jembatan penghubung antar rumah yang digalakkan beberapa tahun silam. Hal ini menyebabkan kebiasaan mengunjungi tetangga yang harus dilakukan dengan menggunakan perahu mulai pudar. Lalu lintas perairan Torosiaje kini tak seramai dulu. Pembangunan memang kerap kali berubah layaknya pedang bermata dua, dimana sejumlah aspek harus rela dikorbankan.

Senja dari celah rumah warga Torosiaje.
Jelang senja kami meminta izin untuk meninggalkan rumah guna menjaring matahari. Pengalaman langka menyimak detik-detik matahari terbenam di ufuk Teluk Tomini melalui celah rumah-rumah Suku Bajo memang merupakan salah satu tujuan utama kami menyambangi perkampungan ini. Ketika surya semakin menyusup ke horizon langit, ketika itu pula saya semakin terkagum akan kelihaian sang Maha Indah. Saat-saat syahdu sempat saya rasakan pula ketika irama semenanjung favorit milik Victor Hutabarat, Di Ambang Sore, terngiang di telinga. Paripurna.

Sekelumit Tentang Desa Torosiaje


Baronang Bakar siap disantap.

Transportasi Gunakan angkutan mikrolet jurusan Kota Gorontalo – Popayato dengan tarif Rp 50.000 – Rp 65.000. Untuk mengincar perjalanan yang lebih pagi gunakan angkutan mikrolet “spekulan” jurusan Kota Gorontalo – Marisa bertarif Rp 35.000 kemudian berpindah jurusan Marisa – Popayato bertarif Rp 30.000. Penyeberangan dari dermaga menuju ke perkampungan menggunakan perahu katinting dengan biaya sewa Rp 5.000 dan dapat bertambah apabila anda memutuskan berkeliling dahulu.  Akomodasi Tersedia penginapan yang dikelola warga setempat bertarif Rp 100.000/malam. Konsumsi Sejumlah rumah makan, seperti Rumah Makan Gowa Pratama milik Pak Tama menawarkan paket hidangan Ikan Bakar bertarif mulai dari Rp 25.000. Kontak Bapak Akbar Dg Mile 


some parts of this post inspired from @ImaMuharram's tweet, thanks dude :)