Fiat Lux

Rabu, 28 November 2012

Malang: Pulau Sempu - Boy's Time, Controversy

03.09 Posted by Arasy Aziz 4 comments
Bagi penggemar wisata pantai dan trekking, Pulau Sempu memadukan keduanya secara paripurna. Keelokan yang tersaji ditengah kontroversi.

"Yang cewek nggak usah diajaklah", ujar seorang teman yang segera kami amini. Kami tengah terjebak dalam diskusi panjang tentang rencana menghabiskan akhir pekan panjang. Kami memutuskan untuk berkemah semalam di Pulau Sempu. Mengajak teman wanita tampaknya akan jadi ide konyol lagi merepotkan.




Bayangan ini terbukti benar kemudian. Pulau Sempu mejadi legendaris oleh pantai kladestin yang mengelilingi sebuah danau air asin di tengah pulau bernama Segoro Anakan. Danau Segoro Anakan sendiri bersumber dari resapan air laut Samudra Hindia yang mengepung pulau. Dan untuk mencapainya, kami diharuskan menempuh setapak jalan tanah membelah formasi hutan dataran rendah yang menguras energi. Siksa kami berlipat oleh tenda yang harus digotong bergantian. Lepas satu jam, kami tiba di pinggiran danau. Pemandangan yang tersaji sukses mengisi kembali tenaga kami yang hampir habis.



Sayangnya, kami tidak sendiri. Di sekitar Segoro Anakan telah berdiri puluhan tenda lain yang saling membatasi ruang. Alhasil, kami mendirikan tenda prematur dengan kemiringan hampir 45 derajat di kaki bukit. Selanjutnya mudah saja ditebak. Kami mengerjakan hal-hal klise yang menyenangkan layaknya para pejalan pantai lain. Dari tandas matahari hingga pagi menjelang di hari berikutnya, kami bersuka cita.

-::-


Tulisan saya belum usai. Terlepas dari keriaan akhir pekan panjang, terselip sedikit rasa mengganjal yang minta disemburkan. Kritik terbesar terhadap model pengelolaan Pulau Sempu adalah 'kemudahan luar biasa' untuk memperoleh akses masuk. Sejak 1928, Pulau Sempu telah memperoleh status Natuurmonumen alias Cagar Alam. Status ini menimbulkan kewajiban prosedural untuk dapat menikmati isi perut Pulau Sempu yang oleh hukum positif  dibatasi untuk tujuan edukasi dan penelitian lestari. Setidaknya terdapat tiga pertimbangan para peneliti Belanda kala itu: menjadikan Pulau Sempu sebagai gudang cadangan plasma nuftah, perlindungan terhadap spesies langka seperti Macan Tutul dan Bajing Tanah yang menghuni kawasan tersebut dan agar Pulau Sempu  tidak dijadikan lokasi pelarian para penggerak pemberontakan.


Anehnya, kami hanya perlu merogoh sedikit isi dompet untuk memperoleh 'surat sakti' sebagai izin masuk ke kawasan Pulau Sempu. Tawaran akan hal ini bahkan secara terang-terangan diungkapkan seorang petugas. "Daripada harus ke Surabaya dulu", ujarnya. Hal ini saya simpulkan sebagai upaya memanfaatkan minimnya pengetahuan banyak orang tentang status cagar alam Pulau Sempu dan prosedur normal perizinan, birokrasi yang berliku, lemahnya pengawasan dan keindahan panorama yang dijanjikan. Semua faktor ini diakumulasi dan berbuah pungutan liar.



Pada Juni 2012 yang lalu dalam sebuah dialog bertajuk "Pulau Sempu antara cagar alam dan wisata" yang diselenggarakan Komunitas Peduli Sempu di pendapa Kabupaten Malang timbul wacana tentang model pengelolaan ideal bagi Pulau Sempu. Pemerintah Kabupaten Malang yang wilayah kekuasaannya melingkupi area Pulau Sempu disarankan untuk mengajukan permohonan pergantian status Pulau Sempu dari cagar alam menjadi taman wisata alam. Perubahan status ini kemudian akan memberikan kemudahan bagi siapapun untuk mengakses Pulau Sempu. Sayangnya, model ideal ini tetap akan jadi sembilu bermata ganda. Dalam bayangan saya, perubahan status akan menimbulkan profit yang luar biasa bagi seluruh elemen yang terlibat dalam praktek pengelolaan Pulau Sempu. Namun, sudahkan kita menyimak gerutu segerombolan lutung jawa yang bergelayut diantara dahan?


Kamis, 22 November 2012

#YNWA

01.03 Posted by Arasy Aziz No comments
"Liverpool fans were great to me, I still live near the city and they always come up and shake my hand."  
Paul Ince.

#YNWA!! (Source: Guardian)

Waktu itu tahun 2005, ketika saya mulai berkenalan lebih dekat dengan Liverpool. Adalah momen final Liga Champions di Istambul yang membuat saya terkagum bukan kepalang. Bayangkan tim anda ketinggalan tiga gol tanpa balas di babak pertama dalam sebuah partai puncak. Sakit, malu, patah arang, hal serupa yang mungkin hampir dirasakan para pemain Liverpool ketika berhadapan AC Milan waktu itu. Namun sebuah keajaiban terjadi. Liverpool mengejar ketinggalan, dan drama adu penalti berhasil dimenangkan. The Big Ear berhasil diboyong ke tepian sungai Mersey.

Saya membaca ulasan pertandingan dari setiap majalah anak yang saya punya, dan hampir semuanya tak luput menyinggung sihir serangkaian kata yang sama: You'll Never Walk Alone (selanjutnya saya singkat YNWA). Yang terjadi kemudian adalah, YNWA benar-benar merasuk, menjadi semacam bahan bakar pribadi bagi saya selain Tuhan, keluarga dan teman. Kalimat ini kemudian selalu saya pegang dalam setiap ujian yang saya lewati. Dalam ujian akhir sekolah hingga Madrasah Aliyah, kala terjebak dalam sebuah ujian tertulis Olimpiade Sains Nasional penuh angka tanpa kalkulator. Dan hasilnya selalu baik. Saya lulus ujian nasional Bahasa Indonesia meskipun lembar jawabannya yang menjengkelkan itu terkena tetes minyak rambut. Saya beroleh prestasi yang cukup baik dalam ajang adu-otak SMA tingkat nasional. Semesta bersama saya, walau mungkin saya berlebihan dalam mengaitkan sementara kuasa ilahiyat lebih besar dalam hal ini.

Tagline YNWA pada dasarnya berasal dari sebuah lagu berjudul sama yang didendangkan Gerry and the Pacemakers tahun 1945. Bill Shankly (manajer tersukses Liverpool dan karib frontman band tersebut), langsung jatuh hati pada lagu ini dan dari The Kop, lagu ini pertama kali membahana di Anfield.

Kepemilikan YNWA sebagai anthem kebangsaan memang bukan hak absolut Liverpudlian. Di seluruh penjuru bumi tecatat setidaknya fans Glasgow Celtic, Borussia Dortmund, FC Kaiserslautern, CSKA Sofia, Rapid Vienna, Dinamo Zagreb, Ajax Amsterdam, Twente, FC St Pauli, FC Tokyo hingga Persipura Jayapura kerap menyanyikan lagu ini. Bahkan Manchaster United lampau sempat menjadi salah satu  unit paduan suara YNWA untuk mengenang tragedi Munich.


Tapi Liverpool dan YNWA-nya rasanya sulit benar dipisahkan. YNWA telah menyatu dalam lambang klub sejak perayaan 100 tahun Merseyside merah. YNWA eksis di gerbang Shankly dan Pasley yang didirikan sebagai penghargaan atas jasa besar keduanya. YNWA menjadi ritus dalam setiap pertandingan kandang Liverpool, dinyanyikan pada 5 menit sebelum dan jelang akhir pertandingan. YNWA dikidungkan dalam setiap peringatan tragedi Hillsborough yang memilukan. Bagi saya pribadi, YNWA adalah landasan filsafat, konstitusi mini, azaz, staat fundamental norm, sejarah, masa kini dan masa depan Liverpool, dan sekali lagi, bahan bakar.


Atas dasar itulah saya getir hingga marah ketika beberapa waktu lalu kalimat ini kerap diplesetkan serampangan. Saya mungkin masih mampu berbagi tawa ketika pemain Liverpool bermain buruk dan menyebalkan. Atau pelatih yang kurang cakap dan lihai membaca alur permainan sehingga layak-olok. Namun menghina YNWA adalah menghina sistem. Aneh betul. Ketika muncul istilah You'll Never Win Again atau tagar #YAWN, saya mencak-mencak di linimasa. Padahal jika ditimbang-timbang semangat YNWA tak secara egois dinikmati Liverpudlian sendirian.

Semisal di Anfield, 3 Maret lalu, awal babak kedua pertandingan Liverpool vs Arsenal berubah menjadi thriller ketika Mikel Arteta yang bertabrakan dengan Jordan Handerson tak kunjung bangkit. Seluruh isi stadion terdiam,  komentator di layar kaca terus bergumam, kami yang menyimak teak habis bercakap hingga paramedis siap mengangkut Arteta yang pingsan ke luar lapangan. Dan momen luar biasa terjadi. Ribuan penonton, dominan Liverpudlian, dari seluruh penjuru tribun serempak mengalunkan standing ovation panjang hingga rombongan bertandu itu hilang dari pandangan. Semuanya seolah menggumamkan pesan: You'll Never Walk Alone, Arteta!
    
Puji Tuhan, sang gelandang Spanyol tak harus menanggung cedera serius. Usai siuman, Arteta menulis surat terbuka yang mengesankan 'It is touching to receive that response from the fans of a great club when I am leaving the pitch injured. Thank you'. Suatu hal yang mendamaikan hati, meskipun saya harus nelangsa karena Liverpool kalah 2-1 pada pertandingan tersebut dan kenyataan mereka tidak mencetak gol sama sekali (satu gol Liverpool merupakan 'sumbangan' dari Laurent Koscielny, pemain belakang Arsenal).

Terakhir, saya tutup tulisan emosional ini dengan satu quote dari Thierry Henry "Supporter Liverpool sangat mengesankan, satu-satunya perasaan dan moment yang aku ingin rasakan ketika bertandang ke Anfield adalah Ketika tersentak melihat para supporter berdiri dan mulai menyanyikan You'll Never Walk Alone. I love it ". Hingga kini saya masih merawat asa agar suatu saat nanti dapat berdiri di The Kop, mengangkat syal merah saya tinggi-tinggi dan bersama meruntuhkan langit dengan nyanyian You'll Never Walk Alone.