Fiat Lux

Minggu, 25 September 2016

Tidak Ada Qurban di Abean

22.18 Posted by Arasy Aziz , , No comments

12 September silam adalah tahun kedelapan saya absen merayakan Idul Adha di rumah. Tidak ada daging melimpah ruah, tidak ada hidangan coto makassar. Hanya berleha-leha di kosan dan sempat diganggu masalah pencernaan. Namun merayakan eid dalam sunyi bukanlah "kemewahan" saya seorang. Jauh di belahan nusantara yang lain, saya ditemani orang-orang Abean, kampung kawan karib saya di Maluku Tenggara. Bedanya, kesunyian mereka barangkali hanyalah puncak gunung es dari masalah bangsa Indonesia yang jauh lebih besar lagi.

Pada hari ini ada lebih dari 254 juta penduduk Indonesia, dimana kekira 85 persen diantaranya menjadi pemeluk agama Islam. Kita boleh jadi memandangnya sekadar sebagai angka-angka statistik yang menyederhanakan keadaan sebenarnya; betapa tidak semua naranya menjalankan syariat dengan ketat. Namun penyederhanaan di dalam angka mayoritas itu pada kenyataannya cukup untuk membuat perayaan dan ritus agama Islam mengintervensi denyut negara. Sebagai sebuah tatanan yang dirancang rasional, menjangkau keseluruhan dan memiliki tanda pengenalnya sendiri, negara justru memberi ruang kepada warganya untuk merayakan afiliasi sosial dan bentuk identitas lain.  Di dalam kalender, akan kita temukan setidaknya lima tanggal merah untuk memperingati hari besar umat Islam; Tahun Baru Hijriyah, Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, Idul Fitri dan Idul Adha. Aktivitas administrasi diliburkan agar tanggal-tanggal dapat dirayakan riuh, dengan wajah-wajah dan penanda festivalnya memasing. Tidak peduli apakah anda pemeluk yang teguh, atau semata-mata menjadikan Islam sebagai pengisi kolom kosong di KTP. Tidak ada demarkasi. Hari-hari besar dirancang sebagai milik semua.

Namun bagi sebagian orang, idealitas kegembiraan di dalam jeda yang disediakan negara itu masihlah menjadi sesuatu yang jauh. Ketika hari raya tiba, orang-orang ini tetap merasai hari liburnya. Mereka masihlah berbondong-bondong pergi ke masjid untuk menjalankan ibadah yang disunnahkan. Namun, ritus-ritus aksesoris justru absen dalam perayaan. Sesuatu yang kadang diposisikan lebih utama sehingga sebuah hari layak disebut “Hari Raya”.

Sebagaian orang dengan pengalaman yang tak lengkap ini bermukim di Abean, salah satu kampung di pulau Kei Kecil, kabupaten Maluku Tenggara. Disana bermukim keluarga Larson, tukang ojek karib saya. Pada 12 September pagi, Larson terbangun dari peraduannya kemudian bergegas mandi. Tanggal tersebut bertepatan dengan 10 Dzulhijjah 1437 H, dirayakan seluruh dunia sebagai hari raya Idul Adha. Sebuah peringatan bagi kerelaan Ismail untuk disembelih demi menyempurnakan aqidah ayahnya, Ibrahim. Larson kawan kita hendak bersiap melaksanakan shalat eid. Matahari sedikit terik, namun tak menyurutkan langkah orang-orang Abean menuju ke masjid. Jelang pukul 7, Larson bergabung dengan penduduk yang mulai memenuhi jalan kecil kampung. Sebagai besar tampak mengenakan baju yang lebih rapih. Pinggang berlilitkan sarung, dengan kemeja atau baju koko yang disetrika licin. Wajah-wajah liat dari mereka yang sehari-hari bekerja kasar tak tampak, berganti dengan kecerahan khas paras pagi berbasuh air wudhu.

Pukul 7, muadzin mulai mengumandangkan panggilan shalat eid, megajak jamaah yang sudah menekur di masjid untuk berdiri. Lepas dua rakaat, dengan memasing tujuh dan lima kali takbir, shalat sunnah eid tuntas didirikan. Tak lama setelah salam, khatib yang bertugas beregegas naik mimbar menyampaikan khutbah eid guna mengajak orang-orang Abean kepada hal-hal baik. Khutbah usai, para jamaah kembali berdiri, saling bersalam-salaman, lalu pulang ke rumah masing-masing. Melanjutkan aktivitas hariannya.

“Begitu saja?” Saya terburu menyergah cerita Larson.

“Begitu saja.”

“Tidak ada penyembelihan hewan qurban?”

“Tidak ada.”

Saya tercenung sejenak. Cerita satu orang yang luput kebagian jatah daging qurban merupakan seuatu yang jamak terdengar. Barangkali sang juru bayar dan pengantar daging alpa dengan daftar nama-nama penerima yang ia pegang. Dalam beberapa kasus, di media bahkan ramai diberitakan bahwa si miskin yang harusnya menjadi salah satu yang layak menerima, justru berhasil menyumbang satu sapi hasil kerja kerasnya sendiri. Namun kisah satu kampung yang tidak merayakan penyembelihan sama sekali merupakan kenyataan yang sepenuhnya baru bagi saya. Sesuatu yang menurut Larson sudah biasa terjadi di kampungnya dari tahun ke tahun.

Qurban bagi orang-orang Abean tak dapat disebut sebagai ibadah rutin. Datangnya tidak sepasti hari raya Idul Adha itu sendiri. Mereka bisa melaksanakannya pada suatu tahun, lalu absen pada tahun-tahun selanjutnya. Mendengar embik maupun lenguhan di pojok kampoug jelang Idul Adha menjadi sebuah kemewahan tersendiri. Hanya dua sumber yang memungkinkan sapi-sapi dan kambing-kambing sumber suara itu berkeliaran. “Kalo bukan sumbangan dari pemerintah, ya partai politik. Tidak ada orang mampu di Abean,” ujar Larson meneruskan ceritanya.

Bagi saya, ini merupakan sebuah sisi penuh ironi dari hari raya Qurban di Indonesia, sekaligus puncak gunung es dari sebuah masalah yang jauh lebih besar. Betapa akses terhadap ekonomi masih bertumpu pada segelintir tangan.

Ibadah qurban bermula sebagai monumen, lalu menjadi ritus untuk membahagiakan orang yang tidak berpunya. Idul Adha pada aras permukaannya bertujuan untuk menjadi jembatan bagi si miskin untuk merasakan kemewahan daging setidaknya setahun satu kali. Ia membawa pepesan tentang kerelaan orang-orang mampu untuk berbagi.

Masalahnya, “kerelaan” dan “berbagi” ini masih ditafisr terbatas antar rumput tetangga. Sementara di Indonesia, persebaran kategori “orang mampu” timpang angka-angkanya antara satu daerah dengan daerah yang lain. Beberapa masih menjadi kantong-kantong penumpukan kekayaan, meninggalkan daerah lain dengan kemelaratannya. Sebagian daerah ditinggali oleh orang-orang kaya sepenuhnya, sementara sebagian yang lain disesaki oleh orang-orang papa. Kemiskinan tersebar secara merata. Dalam satu hari Idul Adha, sebuah sekolah muslim berlabel internasional bisa jadi menjagal hingga belasan sapi. Sebagian memang disebar ke rumah-rumah papa di sekeliling pagarnya. Sementara sisanya disantap bersama di kantin. Di saat yang sama, orang-orang Abean kembali ke ladang dan laut di belakang rumahnya untuk memetik timun dan ikan sebagai lauk. Barangkali di Indonesia, orang-orang Abean tidak sendiri.

Syahdan Indonesia masihlah tanah yang sama yang  ketika “tongkat kayu dan batu” dilempar sekenanya akan berubah menjadi “tanaman”. Namun Indonesia mana yang sedang dimaksud penggalan lirik ini? Beberapa daerah otonom tidak cukup beruntung diberkahi sumber daya yang kaya. Maluku Tenggara, semisal, semata-mata mengandalkan usaha perikanan dan pertanian yang dikelola secara tradisional sebagai ujung tombak. Sumbangan kedua sektor terhadap pendapatan daerah menurut  statistik tahun 2014 mencapai 32,33 persen. Sementara jika ditotal, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Maluku Tenggara per Desember 2014 hanya mencapai 2,1 milyar rupiah.

Dalam perumusan hukum dan kebijakan, negara agaknya alpa menimbang kenyataan ini. Melalui kebijakan otonomi yang tidak sistematis, daerah-daerah dilepas untuk berpacu meningkatkan perekonomian secara “swadaya”. Masing-masing ditugaskan menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD) bermodalkan kekayaan alam setempat. Notabene sebuah bentuk liberalisasi terselubung di dalam negara kesatuan. Dalam situasi ini, tentu saja daerah-daerah dengan kapital yang baik akan melaju kencang; mereka yang tak hanya berlimpah sumber dayanya, melainkan juga yang didukung infrastruktur warisan kolonial hingga era Soeharto yang cenderung pilih kasih. Tidak ada skema serius dalam pengaturan di level konstitusi yang memungkinkan distribusi kekayaan dari daerah dengan tingkat pendapatan tinggi kepada yang rendah Satu-satunya akses hanyalah berbentuk Dana Alokasi Khusus (DAK) yang sepenuhnya bersumber dari APBN.

Saya membayangkan, dstribusi kekayaan secara pantas antara satu daerah kepada daerah lain dapat memungkinkan orang-orang seperti Larson menikmati daging qurban secara rutin setidaknya setahun satu kali. Yang dibutuhkan tak hanya sebuah sistem peraturan yang baik, melainkan juga “kerelaan” dari pelaksananya untuk berbagi, sebagaimana semangat qurban itu sendiri. Dalam hal ini, kita dapat belajar pada orang-orang Abean. Mereka boleh jadi merupakan salah sedikit diantara 23.970 jiwa penduduk miskin di Maluku Tenggara, namun secara sadar maupun tidak mampu memaknai Idul Adha dalam lelaku hariannya. Ada sebuah tradisi yang menurut Larson menjadi muasal ketidakmampuan penduduk kampungnya untuk membeli hewan kurban. Kadang-kadang membuatnya berat hati. Sebuah tradisi yang tidak memungkinkan penduduk kepulauan Kei untuk menumpuk kekayaan secara berlebih-lebihan.

Mereka menyebutnya sebagai “yelim”. Secara sederhana, merupakan bentuk gotong royong orang-orang Kei untuk memenuhi hajat tertentu. Acara gelaran sebuah keluarga menjadi milik seluruh kampung dan marganya. Tradisi yelim berlaku dalam seluruh rentang suasana, baik duka hingga huru-hara. Ketika ada seorang warga yang meninggal, semisal, menjadi kewajiban moral bagi orang-orang untuk turut hadir lalu memberikan bantuan dalam bentuk apapun. Baik sekadar tenaga untuk mengurus dapur hingga sejumlah uang. Yelim mengikat orang-orang Kei secara turun-temurun, demi menghindari cap buruk dan daftar hitam dari satu keluarga. Masing-masing berkewajiban untuk melakukannya sepanjang periode hajat tersebut. Yang terpanjang adalah 40 hari dalam ritus kematian orang-orang Kei.

Dengan demikian, “kalo ada orang kaya di kampung, pasti orangnya itu pelit,” lanjut Larson. Masyarakat Abean yang umumnya menggantungkan hidup sepenuhnya dari bertanam sayur-mayur menjadi pantang untuk sendirian berpunya. Ada dua model kepribadian yang tengah dicontohkan disana. Masing-masing daerah di Indonesia dapat memilih menjadi salah satunya. (*)

Selasa, 20 September 2016

Orang-orang Kei dan Embalnya

13.40 Posted by Arasy Aziz , , No comments

Berkenalan dengan embal dan posisi pentingnya di hati orang-orang Kei. Perlu dua kali uji coba bagi saya untuk memahami kejutan dalam rasa sepat olahan umbi beracun ini.
 
Dalam tahap yang paling primitif, makan-memakan boleh jadi sekadar perihal bertahan hidup, urusan mengisi perut hampa. Namun kelahiran suatu resep tak pernah berasal dari sekadar uji coba, melainkan melalui dialektika antara manusia dengan alam material di luar dirinya.  Penganan yang endemik menyimpan ingatan kolektif sebuah masyarakat tentang bagaimana mereka mengakali alam. Ia, sebagaimana bahasa dan produk-produk kebudayaan lain, layak diposisikan sebagai pembeda bagi satu kesatuan dengan kesatuan yang lain. Dengan kata lain, sebuah identitas.  

Tarikan konteks yang sama berderap dalam sebuah habitat kepulauan yang  memojok di ufuk tenggara Maluku. Tak jauh dari kaki-kaki Papua, diapit vista biru laut Banda dan laut Arafura.

Hingga awal tahun 2000-an, memasing pulau didalamnya masih berhimpun dalam kabupaten tunggal bernama Maluku Tenggara, baik Dullah, Kei Kecil, Kei Besar, Tayamdo, hingga Kur yang lebih utara. Namun satu demi satu wilayahnya merasa cukup mandiri dan mulai memisahkan diri. Beberapa disebabkan oleh pertimbangan politik dan keterbelahan sosial yang cukup pekat; sisa-sisa konflik yang memecah Maluku secara keseluruhan pada awal dekade. Sebagian yang lain dibentuk untuk mendekatkan pemerintahan kepada masyarakat, mengingat betapa jauhnya jarak antar pulau utama dengan pulau-pulau lain yang terpisah lautan. Masalah generik negara kepulauan.  Pada hari ini, tersisa dua pulau ukuran sedang sebagai ruang administratif daerah  induk.  

Namun  demarkasi Maluku Tenggara dan Tual pada akhirnya hanyalah perihal hukum dan administrasi. Dalam aras identitas yang lain, orang-orang yang telah terpisah dalam berbagai wilayah ini tetaplah berasal dari satu  identitas sosial yang sama. Mereka menyebut diri sebagai orang-orang Kei, sebagaimana nama kepulauan tempat mereka bermukim.

Syahdan, kata Kei diserap dari bahasa portugis “Kaios”; secara harfiah berarti batuan. Sebuah nama yang diberikan kolonial permulaan untuk menggambarkan secara singkat rupa muka bumi nusa ini. Sebagian besar tanah di kepulauan Kei, utamanya di pulau Dullah dan pulau Kei Kecil yang menjadi pusat konsentrasi penduduk, terbentuk dari jenis batuan kars, endapan karang dengan usia pembentukan tujuh puluh hingga satu  juta tahun.Amat sulit ditemui humus berwarna hitam kecokelatan. Kala tanah berusaha digenggam, yang terperangkap adalah  butiran putih bertekstur kasar.

Agaknya hanya tanaman-tanaman berakar keras, merambat atau cukup tahan uji yang dapat bertumbuh di atasnya. Tak akan kita temukan petak-petak sawah menguning siap panen di kepulauan Kei.  Dengan kata lain, padi yang menjadi makanan pokok jutaan masyarakat Indonesia menjadi mustahil dikembangbiakkan. Beras memang dapat ditemui, namun  ia datang  ke pulau dengan kapal-kapal dari tanah nun jauh. Maka orang-orang Kei beradaptasi guna pemenuhan kebutuhan karbohidrat yang layak. Masyarakat timur Indonesia dari rumpun Melanosoid pada umumnya mengenal papeda, olahan bubur sagu kental. Namun bagi orang-orang Kei, embal adalah primadona tak tergantikan di hati dan perut.

Satu porsi sajian Ikan Kuah Kuning bersama embal dan sayur campur di Warung Fadly, Kota Tual

Tanaman embal memiliki fisiologi yang serupa dengan singkong. Pembedanya barangkali hanyalah tebal tipis daun yang sulit dikenali kecuali dengan saksama. Sebagaimana singkong, embal menghasilkan umbi-umbian di penguhujung ruas batang tanamannya, yang kemudian diolah warga setempat sebagai penganan. Namun untuk dapat dikonsumsi, umbi embal  tak dapat digoreng atau direbus begitu saja. Ia perlu diolah terlebih dahulu untuk menghilangkan kandungan racun di dalamnya.

Benar, racun. Konsentrasi sianida yang konon cukup untuk membunuh seorang dewasa. Dengan demikian, sejak ribuan tahun orang-orang Kei telah bergelut dengan peregang nyawa agar dapat bertahan hidup. Pilihan amat terbatas di atas muka bumi yang kurang simpatik.

Ketika memilih mengolah embal, diperlukan keruntutan dan disiplin agar proses makan-memakan justru tak berujung maut. Butiran umbi diparut, kemudian diperas patinya beberapa kali hinga kering sepenuhnya. Dalam aliran sari itulah racun-racun dibiarkan mengelana sendirian dan meluruh. Sementara ampas yang tersisa kembali dianginkan hingga zat berbahaya tak lagi ada yang tinggal. Dari “tepung” inilah lahir olahan-olahan yang manasuka, baik bentuk dan campurannya.

Perkenalan pertama saya dengan embal sesungguhnya tak berlangsung dengan baik. Jelang akhir kunjungan pertama saya ke Maluku Tenggara pada Juni silam, saya memutuskan mengisi sore dengan mengeluyur ke pelabuhan kota Tual. Menurut informasi yang saya terima dari meja depan hotel tempat saya menginap, di sekitar pelabuhan berjejer warung-warung penjaja oleh-oleh bagi para pelancong. Di sana, kami bertemu dengan apa yang kami cari. Jelang gerbang pelabuhan, aneka ragam kudapan tampak semarak sebagaimana dituturkan orang-orang. Yang tampak cukup mencolok adalah kacang botol. Di daerah Sulawesi tempat asal saya, jenis cemilan ini lebih dikenal dengan nama kacang goyang. Diambil dari proses pembuatannya dimana kacang tanah dibaluri dengan gula halus berkesumba warna-warni, lalu digoyang hinggamembalur rata. Di Maluku, butir-butir kacang bersalut ini dimasukkan ke dalam botol kaca dari wadah bekas minuman keras atau sambal olahan.

Saya dan kawan saya memutuskan membeli beberapa ikat kacang botol untuk dibawa pulang. Tanpa kami minta, sang pedagang cukup berbaik hati memberi kami bonus. Satu plastik berisi jajanan berbentuk lembaran pipih. “Ini embal,” ujar sang bapak.

Sudah sejak lama saya mendengar tentang embal, namanya berseliweran di berbagai situs rekomendasi pariwisata kepulauan Kei. Namun ini adalah perjumpaan yang benar-benar pertama. Sesampainya di kamar, kami mencoba jajanan yang kami peroleh cuma-cuma ini. Sayangnya dalam beberapa gigitan, lidah saya menyerah. Rasa sepat yang ganjil segera memenuhi rongga mulut saya. Pun diperhatikan sepintas, embal di tangan saya dilengkapi taburan kacang tanah. Namun toping ini sama sekali tak banyak membantu memperkaya rasa embal tadi.  Setelah lembaran pertama saya habiskan dengan susah payah, saya memutuskan tak akan memakan embal kembali.

Namun serapah yang keluar dari mulut saya agaknya terlalu dini. Pada kesempatan kedua saya mencicipinya, pada waktu yang lain, saya justru dipaksa bertekuk lidah.

Semuanya bermula dari percakapan saya yang intens dengan Larson, seorang pengemudi ojek lokal, yang selama berminggu-minggu pekerjaan saya di Maluku Tenggara turut menjadi pemandu yang liat. Dalam perjalanan menelusuri jalanan Tual-Langgur (ibukota Maluku Tenggara) dari kantor ke kantor, kami kerap membicarakan apapun. Termasuk embal dan pengalaman kurang baik saya kala menyantapnya.  Demi mendengar cerita tersebut, Larson mulai mendebat dengan sengit. Saya dinilainya makan embal dengan cara yang salah pada momen tersebut. Embal kacang idelanya adalah kudapan serasi dari teh atau kopi di sore hari. Sehingga dimakan secara terpisah hampir-hampir membuatnya kehilangan konteks, dan tentu saja rasa.

Larson melanjutkan tuturannya tentang embal dengan sebuah ibarat, sekaligus lelucon, yang membuat saya tertarik.“Ibarat jika lagi makan embal, biar kata ibu mertua kecebur di sumur dan minta-minta tolong, kita akan berseru ‘tunggu dulu Mama, lagi enak makan ini!’” tuturnya dengan tawa tertahan diujung. Apa yang  tengah berusaha Ia gambarkan ialah, betapa nikmatnya sebuah makanan dapat membuat seseorang Kei melupakan hal-hal yang genting sekalipun. Barangkali sebuah lelaku paling asali untuk menunjukkan rupa rasa bersyukur. Hubungan keduanya, makanan dan lelaku, seolah berada pada lingkup siklikal yang saling memengaruhi. Kemengadaan embal dan olahannya mengondisikan sebuah kebiasaan, atau stereotip, sebagaimana sebuah habitus membentuk sebagai reaksi atas gejala alam. Embal, menurut Larson, memang merupakan makanan pokok ideal bagi orang-orang Kei yang disebutnya “suka sekali makan”.

Dalam memenuhi pengalaman ini, embal dianugerahi kandungan karbohidrat yang tinggi, sehingga Larson berani membandingkan bahwa “makan satu piring embal itu sama kenyangnya dengan tiga piring nasi.” Makan beberapa potong embal dapat membuatnya kenyang seharian. Sesuatu yang turut saya buktikan kemudian. Pun beras datang dari tanah-tanah yang jauh, romantisme orang-orang Kei terhadap embalnya tak kunjung lekang. Keduanya tetap bersanding, kemudian bersaing, di pasar-pasar.

Ingatan tentang embal ini pada kenyataannya bukanlah milik Larson seorang.  Celetukan-celetukan yang bersahutan di kios foto kopi membuat saya semakin menyadari pentingnya posisi embal dalam alam sosial orang-orang Kei. Pada tengah hari Jumat yang terik, saya bergegas menuju ke tempat tersebut untuk mengambil sejumlah besar berkas yang tengah diperbanyak. Bersama saya tengah menunggu beberapa orang dari berbagai usia, agaknya dengan kepentingan yang beragam. Foto kopi saya tuntas, saya membayar sejumlah besar bea. Ketika hendak mengembalikan sisa, sang pemilik bertanya dengan bahasa setempat yang tidak saya pahami. Ia mengulang beberapa kali, hingga orang-orang yang menunggu layanan akhirnya berlomba menjelaskan. Menggurau dengan kegagapan saya.

Seorang bapak berpakaian dinas pemerintah kabupaten berbahan khaki rupanya belum tuntas berkomentar.  Diantara kata-katanya yang berhasil saya tangkap, ia mengeluhkan tergerusnya penggunaan bahasa Kei dalam pergaulan pemuda setempat. Fenomena yang kemudian menyambung dengan, apa yang ia nilai, merupakan lelaku memadang sebelah mata penganan embal. Sebagaimana reka ulang sang bapak atas seruan kepada anak-anaknya. “Jangan kau hina itu embal, kalo nda makan itu bapak nda bisa jadi seperti sekarang.” Dua hal ini, bahasa Kei dan embal, tampak disandingkan sebagai ekspresi kebudayaan yang setara. Meluruh bersama darah dan daging orang-orang Kei dalam usaha membentuk dan mengejar identitas dan kelas sosial tertentu. Ada embal dalam setiap tangga yang didaki menuju standar kemapanan  dan idealitas. Barangkali menjadi Pegawai Negeri Sipil adalah salah satunya. Ironisnya, dalam pernyataan yang sama juga tergambar betapa dewasa ini, embal bagi sebagian orang juga merupakan wajah dari suatu kelas dalam maknanya yang peyoratif. Titimangsa yang terasing dan tertinggal di belakang sebagai ampas modernitas yang berderap menjauh.

Larson kemudian mengajak saya menuju ke salah satu pojokan pasar Tual. Ke pintu “Warung Rafly”, sebuah warung sederhana berdinding kayu kelapa namun tampak ramai dari luar. Sekurang-kurangnya, jejran kursi dan meja terisi penuh oleh pegawai pemerintah yang beristirahat siang pun warga yang pulang berbelanja. Di etalase tampak sejumlah lauk pauk yang familiar. Namun menu utamanya yang menjadi alasan saya tergoda untuk menuruti ajakan Larson. Sepiring ikan kuah kuning hangat dengan pilihan nasi atau embal sebagai “pelengkap”. Dengan mempertimbangkan kisah-kisah yang saya simak diseputar nama yang kedua, saya memutuskan memberikan embal kesempatan sekali lagi. Satu porsi ikan kuah kuning yang hendak saya santap disajikan dengan empat potong embal bubuhuk, jenis embal bercampur kelapa yang dimasak melalui proses pembakaran, ditambah piring kecil sayur campur.

Secara intuitif, saya mengambil satu potong embal terlebih dahulu kemudian mencelupkannya ke dalam kuah ikan yang kuning menyala. Membiarkan larutan kaya bumbu meresap melalui permukaan embal yang berpori. Sebelum terlampau pejal, saya terburu menyuapkannya ke mulut saya yang membuka tanda lapar. Pada gigitan pertama, alasan-alasan di balik ocehan Larson tetiba terasai dengan jernih. Di rongga mulut saya, embal yang sepat dan sedikit asam sibuk bergumul dengan ketajaman rasa jahe dan kunyit kuah kuning. Campuran parutan kelapa membuat adonan lebih gurih di lidah. Menyerang langsung ke pusat kontrol selera makan saya, meningkatkan produksi saliva secara dramatis. Peraduan diramaikan dengan cabikan daging lembut ikan kakap yang saya kunyah perlahan. Proses ini berujung pada godaan untuk segera merendam kembali potongan embal tersisa ke kuah ikan, ulang berulang, hingga seluruh porsi di meja saya tandas.

Di dalam pikiran saya, sebuah penerimaan tengah menelusup; tentang cerita-cerita Larson, tentang celetuk seorang pegawai di warung foto kopi, tentang embal mereka. Ikatan orang-orang Kei dengan embalnya tak lain merupakan pelabuhan ingatan akan rasa sebuah makanan yang penuh kejutan dan meliuk. Embal itu sendiri, dan ragam wajah cara peyajiannya. Sebuah rasa yang turut mengantar orang-orang Kei melampaui satu demi satu sejarahnya. Sebagai individu, maupun sebagai sebuah  kolektif yang menghidupi diri di atas bebatuan karang laut tenggara. (*)

Sekelumit tentang Kepulauan Kei dan Embal
Kepulauan Kei merupakan salah satu gugus kepulauan yang terletak di tenggara provinsi Maluku, dan terbagi atas dua daerah otonom; Kota Tual dan Kabupaten Maluku Tenggara. Dapat dicapai dengan pesawat udara tipe ATR maupun kapal laut dari Ambon. Ragam olahan embal pada umumnya sangat mudah ditemui di pasar maupun diolah secara terbatas di dalam rumah tangga-rumah tangga. Satu porsi embal bubuhuk maupun soami (embal kukus) dihargai Rp. 5.000 berisi empat potong. Di Warung Rafly, pasar Tual, embal disajikan dengan menu Ikan Kuah Kuning seharga Rp. 20.000 per porsi.