Fiat Lux

Sabtu, 12 Agustus 2017

Tentang Rumahku (2)

02.29 Posted by Arasy Aziz , , , , , No comments
Belakangan, kepulauan Banda kembali menjadi perbincangan di dunia maya, seiring dengan perayaan 350 pengesahan traktat Breda; sebuah perjanjian yang menandai tukar guling antara New Amsterdam (sekarang Manhattan, New York) dan pulau Run di kepulauan Banda. Di Jakarta, sebuah pameran digelar, sementara dalam waktu yang hampir bersamaan, film dokumenter Banda: The Dark Forgotten Trail diputar di bioskop. Potongan-potongan gambar dan footage dari Banda yang berseliweran membangkitkan kerinduan saya kepada kepulauan teduh ini. 

Saya memutuskan untuk melanjutkan tulisan, atau tepatnya memoar, tentang Banda yang telah lama terbengkalai karena kehidupan pascasarjana.

Bahkan setelah berbulan-bulan meninggalkan Banda, saya masih dapat mengingat seluruh detil inderawi atas kepulauan ini. Laut birunya, bau rempahnya, kesunyiannya. Saya dapat mengingat dengan jelas, bagaimana pada tengah hari yang terik itu, saya menekur di pangkal salah satu dermaga di Banda Besar, menunggu kapal yang akan membawa saya kembali ke pusat kepulauan Banda. Ke Banda Naira.


Di depan saya, duduk sepasang anak beranak yang sibuk sendiri. Peluh mulai menghapus pupur tebal yang membalur seluruh wajah sang ibu. Sebentar lagi, usaha puluhan menitnya untuk berdandan rapi akan segera sia-sia, demi menghadapi ulah sang anak yang hampir tak bisa diam. Gadis muda yang ia pangku sesekali berdiri, mencoba menjauh dari jangkauan ibunya. Ia merengek agar diturunkan ke lantai, untuk kemudian meraih-raih dudukan dermaga kembali. Mengulang gerakan itu beberapa kali. Dari dua bilah bibir bergincu murahan sang ibu, beberapa saat kemudian, keluar bentakan kecil. Lebih dari cukup untuk memaksa sang anak mengambil sikap sempurna.

Namun peluh sang ibu masih belum berhenti mengucur. Alasan di balik peluh itu, sebagaimana lelaku hiperaktif anaknya, agaknya adalah kegelisahan. Anak beranak itu membagi perasaan itu dengan saya. Lebih dari 30 menit kami menunggu di pangkal dermaga itu, namun tiada tanda-tanda satu dua kapal yang hendak menyeberang. Beberapa kapal tertambat memang di ujung dermaga, namun kosong dan padam mesin-mesinnya. Atap-atap seng pada petak yang dirancang sebagai ruang tunggu itu barangkali mampu melindungi kami dari terik matahari, namun tidak dari rasa kesal yang tumbuh perlahan.

Saya mencoba menghapus kebosanan dengan menggoyang-goyangkan kaki sesekali. Pada menit-menit yang lain, saya melepaskan pandangan ke lanskap indah kepulauan Banda; laut hijau, dengan pulau Banda Api yang berdiri mencolok di tengah-tengahnya. Angkuh. Rumah-rumah kecil di Banda Naira terselip di horizon. Saya kemudian menengok jam, berharap agar tidak kesorean ketika tiba kembali di Banda Naira nanti. Durasi perjalanan yang amat terbatas membuat setiap detik di Banda menjadi amat berharga.


Dari kejauhan, suara motor memecah kesunyian tengah hari khas kepulauan Banda. Orang-orang di sana umumnya menghabiskan siang antara pukul 12 hingga 4 sore dengan tidur, menyisakan desa yang hampir senyap. Pada rentang waktu  itu, deru kendaraan bermotor menjadi bunyi yang sangat signifikan. Harapan saya segera terbit; barangkali inilah nahkoda kapal yang kami tunggu-tunggu. Ketika motor itu akhirnya semakin dekat ke dermaga, saya segera tahu bahwa sosok-sosok di atasnya adalah calon penumpang yang lain. Dari bagian belakang sadel motor, seorang ibu meloncat dengan kresek merah yang membumbung. Ketika ia berlalu, saya dapat mengamati isinya. Sekeranjang penuh fuli kering; urat Pala.

Kesabaran sang ibu mulai habis. Kali ini, amuknya tak lagi di arahkan kepada sang anak, melainkan pada pemuda pemudi yang turut mengaso di dermaga, namun tidak tampak berniat menyeberang.

“Mana ini orang bawa kapal he? Su lama sekali ba tunggu!” Pemuda pemudi itu terpaksa mengakhiri sejenak obrolan putus-putus mereka. Menengok ke kanan dan ke kiri, mengidentifikasi siapapun pemilik kapal yang bersembunyi. Mereka kemudian berseru kepada seorang pria tua yang sesungguhnya turut duduk di sana sejak tadi.

“Ini orang mau naik kapal.”

Pria itu menjawab dengan enteng, bahwa saat ini sedang bukan gilirannya melaut. Di dalam hatinya, ia mungkin hendak melarikan diri dari sengatan matahari yang mencabik-cabik siang itu. Si ibu mulai berkeluh kesah lagi, tanpa ampun, hingga pria tua itu tak punya pilihan lain kecuali mengakhiri waktu bersantainya.

“Tunggu, satu cangkir kopi dulu,” ujarnya sebelum melengos dan melipir ke warung. Pria itu tak pernah benar-benar menikmati cangkir kopinya. Empat lima menit selanjutnya, kami telah mengekor di balik punggungnya, hingga ke ujung dermaga. Orang-orang yang berkerumun menunggu bersama saya akhirnya berpindah ke lambung kapal. Naik perlahan-lahan, satu demi satu. Kapal stabil. Nir gelombang, air laut teramat tenang.


Penyeberangan dari Banda Besar ke Banda Naira tak menghabiskan waktu lebih dari 10 menit. Sekejap kemudian, saya kembali menjejak daratan pulau Naira yang lebih pikuk. Banda Naira adalah kota yang benar-benar kecil. Lebar jalannya bahkan tak akan mampu memuat dua mobil yang berpapasan. Bukan tanpa alasan jika saya akhirnya tak sekalipun menemukan jenis kendaraan itu di sini. Satu-satunya pilihan transportasi adalah motor. Dan karena luas Naira yang tidak seberapa, saya memutuskan untuk berkeliling dengan berjalan kaki sepenuhnya. Pilihan terbaik untuk menikmati sore yang hangat,

Saya kemudian memutuskan untuk memulai “baronda” Naira dari Benteng Belgica.

Bagi saya, Belgica adalah landmark kepulauan Banda yang paling mencolok dan khas. Siapapun yang mengunjungi Banda dari arah laut (dan mungkin udara) akan segera dengan mudah menangkap keberadaannya. Benteng ini dibangun pada salah satu pucuk bukit tertinggi di pulau Naira. Ia dirancang untuk dapat dilihat dari seluruh penjuru kepulauan, pun demikian sebaliknya; untuk menjangkau seluruh kepulauan. Dari kejauhan, kekukuhannya akan segera tampak oleh mata.

Karena kedudukannya yang sedikit berada di atas ketinggian, untuk mencapainya dibutuhkan sedikit tenaga ekstra. Ada beberapa bilah anak tangga yang perlu dipijaki, sebelum benar-benar tiba di gerbangnya. Sore itu, komplek benteng benar-benar sepi. Hanya ada satu dua turis yang tampak sibuk mengambil gambar. Sisanya anak-anak setempat yang sibuk bergaul di atas hamparan rumput setengah miring.


Dari pintunya, kesan akan keseriusan dan rasa insekyur Belanda akan geliat perlawan an pribumi Banda akan segera terasa. Sekalipun memiliki lingkar yang tak terlalu besar, namun ketebalan dinding-dindingnya cukup mengerikan. Perancangnya tampak berusaha semaksimal mungkin memberikan rasa aman bagi apapun yang coba dilindungi di tengah-tengah benteng tersebut. Belgica sekaligus menjadi penanda superioritas bangsa Belanda, karena didirikan tepat di atas sisa-sisa benteng milik Portugis, pada tahun 1611.

Paranoia dan rasa takut tentu saja bukan hanya menjadi motif endemik pembangunan sebuah benteng milik Belgica sepenuhnya. Namun di sini, perasaan itu terasa lebih kuat. Barangkali, karena bentuknya yang segi lima, dengan bastion-bastion di setiap ujungnya menghadap ke seluruh hamparan raya kepulauan Banda. Memastikan tak ada satupun musuh yang luput teramati, dari darat maupun udara. Belgica menjelma sebuah menara pantau panoptikon, dengan kesunyian lautan Banda sebagai blok-blok penjara dengan batas yang tak kasat. Pilihan arsitekur pentagon ini sendiri sesungguhnya baru diterapkan pada 1673, dirancang oleh Adriaan de Leeuw atas perintah Gubernur Jenderal VOC Cornelis Speelman.                


Namun, betapapun ia tampak paripurna, Belgica pada kenyataannya berhasil diokupasi Inggris lewat sebuah serangan tidak berdarah pada tahun 1796. Belanda berhasil melaksanakan pengambil-alihan ulang pada tahun 1803, sebelum dirampas Inggris kembali, hingga benar-benar kembali ke tangan Belanda pada akhir abad 19.

Pada 1904, Belanda mencoba membangun kembali benteng ini, namun tak pernah benar-benar selesai. Agaknya administrator kolonial mulai mempertimbangkan ulang relevansi Belgica, di saat Banda sendiri telah kehilangan status sebagai menara suar rempah-rempah dunia. Perhatian kebijakan agraria Belanda telah lama bergeser kepada gula dan kopi yang lebih semok, dan politik etis pun telah berbuah perintah dari negara induk untuk mengubah pendekatan terhadap pribumi. Meriam harus diganti pena dan gincu. Membangun ulang Belgica pada tahun-tahun itu, sama saja menunjukkan sifat agresif dan menantang dengan dagu terangkat, kesan  yang coba mereka tinggalkan. Banda pada masa itu lebih dikenal sebagai daerah pembuangan, dan orang-orang buangan itu tak perlu diawasi dengan benteng. Cukuplah bagi mereka kedalaman laut Banda sebagai jeruji. Pada 1914, benteng Belgica tuntas dibangun hanya sebagiannya.

Barulah pada 1991, jauh setelah Hindia Belanda berganti identitas menjadi Indonesia, Belgica kembali mendapatkan sentuhan restorasi. Belgica menjadi Belgica yang saya pijaki hari itu. Dari salah satu puncak menaranya, saya bisa memandang leluasa lanskap syahdu kepulauan Banda. Sunyi dan biru.


Pukul 5 kurang 30 menit, saya memutuskan bergeser ke situs sejarah Naira yang lain. Kali ini, saya hendak berziarah ke rumah pengasingan tokoh idola saya. Perumus demokrasi Indonesia, bapak koperasi, Mohammad Hatta. Saya dengan percaya diri kembali menelusuri dengan serampangan jalanan sempit Banda Naira, berkeyakinan bahwa kemanapun saya melangkah pasti akan mengarah ke tempat tujuan saya.

Di jalan, saya berpapasan dengan sumur yang terantai dan kanan kirinya dicat baru. Sumur itu yang menjadi saksi bisu pembantaian 40 orang kaya asli Banda oleh Jan Pieterszoon Coen. Kepala keempat puluh orang malang itu dipenggal hingga terpisah dari tubuh, lalu dipancangkan ke ujung-ujung bambu runcing. Peristiwa ini merupakan salah satu momen penting yang memudahkan infiltrasi kekuasaan kolonial atas rempah-rempah Banda, sekaligus menjadi awal mula eksodus orang-orang asli Banda dari tanah airnya. Ketika orang-orang asli Banda di kepulauan Banda hampir habis, keturunan mereka kini bermukim di kepulauan Kei yang lebih selatan. Memusat di ohoi Banda Eli dan Banda Elat, Kei Besar, Maluku Tenggara. Bahkan menurut catatan Ethnologue, hanya di kedua desa ini bahasa Banda masih dilestarikan, sementara di tempat asalnya, tidak lagi diketemukan penutur aslinya. Sebuah indikasi mengenai ketercerabutan penyebaran suku asli Banda hari ini.

Saya melanjutkan langkah, hingga belakangan menyadari bahwa saya berputar-putar di tempat yang sama. Saya jelas tersesat, sementara rumah pengasingan Hatta tak kunjung ditemukan. Saya menyerah dengan kegagapan saya, dan memutuskan bertanya kepada salah satu pemuda yang masih mengenakan celana SMP, mengaso di atas motor, di sebuah perempatan.

“Halo. Maaf, rumah Bung Hatta di mana ya?” Pemuda ini tersenyum balik kepada saya, sembari mencoba memberikan petunjuk arah sejelas mungkin. Sebelum selesai, dia tampak memiliki ide yang lebih brilian untuk memastikan saya sampai ke rumah Hatta dengan tepat.

“Ayo naik kak, nanti saya antar,” ujarnya tanpa ragu. Ia segera menyalakan motor matic-nya, dan menyilakan saya naik. Saya mulai terbiasa dengan keramahan dan kemurahan hati oran-orang Banda, sehingga tawarannya segera saya sergap. Kurang dari dua menit, saya tiba di depan rumah legendaris itu. Saya berbalik kepada sang pemuda, mencoba menawari sejumlah uang, namun ditolaknya secara halus sembari berbalik dengan motornya. Pintu rumah pengasingan Hatta terbuka lebar. Namun dari luar, segera tampak bahwa di dalam tak ada aktivitas. Rumah Hatta sedang sepenuhnya lengang sore itu. Tak ada manusia lain. Pun demikian, saya memutuskan untuk tetap melangkah masuk.

Sekalipun melompong, rumah pengasingan Hatta tampak rapi jali. Seseorang sangat berusaha merawat peninggalannya dengan apik, tanpa membiarkan sebutir debu pun menghinggapi koleksi museum tersebut. Dengan arsitektur indis yang khas, pelancongan ke dalamnya terkesan seperti tamasya ke rumah nenek. Hangat dan karib. Jendela berkusen besar di beberapa bagian rumah dibiarkan pengelolanya terbuka, sehingga cahaya hangat sore dapat merembes masuk ke seluruh sudut rumah.


Rahasia dibalik ketaraturan itu belakangan tergopoh masuk menyusul saya. Seorang wanita berumur yang tiba dengan mengenakan daster oranye berpotongan sederhana. Sepintas kecantikan muda khas keturunan Hadramaut masih tersisa di dalam parasnya. Hidungnya mancung, dengan kulit putih bersih yang berkerut. Rambut yang telah perak sepenuhnya dikuncir rapi kebelakang. Badannya telah jauh membungkuk, memangkas tinggi aktualnya hingga lima per enam. Namun dari piringan matanya yang menua, masih tampak semangat dan kekuatan. “Dua minggu lalu saya baru tiba dari Jakarta. Perjalanan dua minggu, naik kapal Tidar.”

Ia memperkenalkan dirinya sebagai Emi. Saya memanggilnya Oma Emi.

Seperti orang-orang Banda yang lain, Oma menanyakan asal usul saya dan bagaimana saya bisa terdampar di tengah lautan Banda. Ia pun, sebagaimana lazimnya pengelola museum, mulai menjelaskan detil-detil rumah pengasingan. Hatta yang menghabiskan beberapa waktu di Banda, terkenal suka mengisi waktunya dengan mengajari anak-anak Banda calistung. Pada bagian belakang rumah, saya menemukan sebuah selasar yang disusun layaknya kelas sederhana, lengkap dengan meja dan kursi belajar. Salah satu diantara bocah-bocah itu diangkat Hatta sebagai anak. Di masa depan, sangat sulit memisahkan nama si anak dengan kisah-kisah restorasi Banda. Ia tak lain adalah Des Alwi. Salah satu kontribusi terbesarnya adalah revitalisasi rumah pengasingan yang kini dirawat sepupunya. Oma Emi, tiada lain.


Bagi saya, perbincangan dengan Oma membawa perasaan lain yang ganjil. Saya memiliki ingatan yang relatif tak lengkap soal sosok nenek. Di satu sisi, nenek saya dari sebelah ibu telah meninggal sebelum kedua orang tua saya menikah. Sementara nenek saya yang satu lagi tinggal ribuan kilometer jauhnya dari tempat saya menghabiskan masa kecil. Hampir tak ada kenanga spesifik tentang kehangatan sosok mereka, sebagaimana digambarkan di dalam cerita anak-anak yang kerap saya baca. Maka perbincangan sore singkat dengan Oma mengenai tokoh idola saya memberikan kehangatan yang sesaat, minus teh hangat dan biskuit. Ketika saya menyebut Banda sebagai rumah kedua, kampung halaman yang lain, saya benar-benar menemukan alasannya. Sebelum mengakhiri ziarah, Oma sempat meminta saya mengganti bohlam lampu teras belakang rumah. Kami lalu keluar rumah beriringan.

Pukul 6 kurang beberapa menit, ketika cahaya matahari yang jingga jatuh dalam sudut kurang dari 45 derajat. Masih ada waktu sebelum matahari benar-benar tenggelam. Saya mengarahkan diri ke pantai Tita Baru, turut bersama belasan warga setempat menghabiskan sore. Salah satu bagiannya telah direklamasi membentuk selasar beton panjang hingga ke tengah laut, berusaha menjangkau Banda Api di seberangnya.

Di salah satu sudut yang kurang riuh, saya merebahkan diri menghadap cakrawala langit yang masih bersisa biru. Saya merogoh smartphone yang sejak tadi lebih banyak berfungsi sebagai jam, dan mulai memilih-milih lagu di dalam daftar putar yang telah saya susun. Ruang dengar saya segera terisi oleh vokal lamat-lamat pembuka lagu “Our Roots”, The Trees and the Wild.

Saya bangkit dan terduduk menghadap matahari tenggelam, berusaha merefleksikan perjalanan yang jauh ini. Terasing di tengah kedalaman laut Banda, pada gugus pulau yang liliput, saya dihadiahkan pengalaman demi pengalaman yang karib dan ajaib. Siapa mengira saya akan menemukan rumah di jalanan sempit Naira dan Lonthoir, lalu Tuhan di puncak benteng Hollandia, lalu keterasingan dan paranoia di Belgica, lalu sosok nenek di rumah pengasingan Bung Hatta. Potongan-potongan ini hampir tak memiliki kelindan dan tampak paradoksal, namun kadung bergumul di dalam kesatuan di kepulauan Banda.

Banda pada suatu masa adalah “akar” dari sejarah dan identitas bangsa ini, dan kini serabut eksistensinya telah menembus jauh ke dalam bilik-bilik memori saya. Dari sebuah memori kolektif kepada pengalaman yang sangat personal. Ketika ingatan itu dibangkitkan sekali lagi hari ini, ia tak pernah ragu untuk membagi dirinya lebih jauh lagi, menunjukkan segi-segi yang dulu luput terendapkan. (*)

Sekelumit tentang Banda Naira:
Banda Naira adalah pusat administrasi dan ekonomi dari kepulauan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Dapat dijangkau dengan kapal feri dari pelabuhan Tulehu, Ambon yang berangkat dua kali seminggu dengan tarif Rp. 410.000 (per Oktober 2016). Di Naira terdapat beberapa penginapan bernuansa rumahan dengan room rate yang bervariasi. Saya memilih menginap di Delfika Guesthouse 1 yang cukup dekat dengan pelabuhan. Penginap dikenakan tarif Rp. 200.000 (per Oktober 2016) per malam untuk kamar non AC. 

Orang-orang Banda pada dasarnya sangat ramah dan senang mengobrol. Menjadi pelancong tunggal di sini tidak akan membuatmu kesepian.