Fiat Lux

Minggu, 24 Mei 2015

Here She Comes

02.28 Posted by Arasy Aziz , 4 comments
Pada suatu masa halte dan stasiun adalah tempat dimana harapan-harapan bertumbuh ulang berulang. Dan masih akan tetap begitu, selama ada yang datang dan pergi, ada yang menunggu, ada yang tertinggal. Akan tetap begitu selama ada hal-hal yang tak selesai.
“Suatu hari nanti ketika aku kembali, aku tak akan segan untuk menghambur kepadamu untuk peluk yang panjang”, kata seseorang.
Kata yang lain, naïf, “Jangan pernah kembali. Disanalah hidupmu yang sebenar-benarnya”.
Namun mereka bukan satu-satunya yang berhak. Kita tahu disana tempat bertemu manusia dengan beragam urusan yang tak melulu berkutat dengan haru. Ada modernitas yang berderap sejak semula ketika lokomotif uap ditemukan oleh Trevithick. Setelahnya, manusia tak akan pernah lagi sama; menjadi sekrup, mur, baut kecil dari tatanan pasca pencerahan. Disana bertemu manusia-manusia yang tak pernah lagi sama. Kerumunan komponen.
Diantara mereka mungkin ada seorang prajurit yang esok harus berlayar ke ujung kepulauan. Di sana menunggu tugas di perbatasan negara, kadang-kadang menyapa pelintas batas yang hendak berbelanja ke pasar. Lihatlah mereka tak menggunakan rupiah, Dik, dan betapa fasihnya mereka bergaul dengan kami. Kadang-kadang aku tak bisa membedakan pelintas batas negara sebelah dengan yang disini. Lagipula disini nyamuknya besar-besar, Dik, tapi ku sudah biasa karena ku rajin meminum pil kina tanpa perlu kau ingatkan. Cerita ini akan tertahan berbulan-bulan menunggu di peron.
Entah bagaimana imajinasi ku selalu menautkan stasiun dengan prajurit. Mungkin dari cerita di majalah anak-anak tentang paman yang suka berteka-teki tentang meja oval. Lagipula militer adalah dunia asing dengan lokomotif yang lain.
Prajurit kita tadi memeluk istrinya yang, agar dramatis, tengah hamil delapan bulan;
“Ketika aku kembali, ku harap dia mengenaliku. Pun ketika aku luput meniupkan adzan di daun telinga kanannya.”, katanya. Agaknya ini masih keharuan yang lain.
Atau seorang dokter yang menggerutu karena mobilnya mogok dan di rumah sakit ada pasien mengantre yang harus dioperasi. Terpaksa ia naik kereta listrik yang datangnya kadang-kadang tak dapat ditebak. Ia berdedikasi, dan gerutunya adalah gerutu dedikasi.
Atau seorang insinyur, pilot, pedagang cendol, ibu-ibu pengajian, mahasiswi.
Di halte stasiun aku menunggu untuk sebuah pertemuan dengan masa lalu, yang sayangnya tak datang dengan bus maupun kereta.
Pukul satu masih beberapa menit lagi. Kemudian ingatan-ingatanku berderap mundur tanpa bisa ku cegah. Ketika lima tahun silam, atau hampir enam tahun, menunggu akhir pekan menjadi saat-saat yang kalut demi mengirim pesan singkat: “Aku nelpon ya?”.
Kami bertemu dalam momen yang tak jamak; di Bandung, ketika menebak-nebak dari ufuk bumi mana mineral ini dimasak, menjilat batuan untuk merasai, menyimak dengan takzim lapis-lapis bumi di bawah kaki kita dalam diagram tiga kali satu. Mendedah patahan, lipatan setumpuk sedimen. Dalam ketika yang lain, berpindah ke Balikpapan aku melihatnya dari jauh tanpa sekalipun ingin menyapa, seseorang yang asing. Ketika akhirnya berhadapan dengan tes sebenarnya, yang ku takutkan hanya tentang mesin hitung yang tetiba menghilang dari tas. Ketika berlari ke panggung menyambut gempita perjuangan, tentangnya sama sekali tak terbesit. Ketika pesawat membawaku pulang, dia tak ada.
Akankah ia membunuhku pada kesempatan pertama?
Sebagaimana beberapa pekan silam, ketika ku baca di koran-koran tentang seseorang yang ditemukan mati mengambang di danau Universitas Indonesia. Syahdan ia mengisi tasnya dengan batu-batu sebelum terjun ke pelimbahan. Kita mengira ini semata-mata agar ia tak perlu menghadap lagi ke dunia kita yang fana setelah bunuh diri. Bahkan memutuskan mati dengan sepihak membutuhkan laku dan prinsip yang tak putus.
Namun terselip surat perpisahan yang tak ikut basah. Justru sebuah titik terang; ini tak lain merupakan pembunuhan yang amat jali. Di Indonesia, yang membuat kerja polisi menjadi berlipat seperti ini sungguh tak banyak. Yang biasanya ku baca dari novel-novel detektif, tiba-tiba meloncat ke laman-laman warta.
Pembunuhan-pembunuhan yang rapi, dan berbagai kasus lain, yang menghubungkan aku dan dia kembali pada lima, hampir enam tahun silam. Hanya Sherlock Holmes yang agung dan deduksinya. Kami berbincang tentangnya pada permulaan, dan mengular pada apapun yang remeh-remeh.
Aku memutuskan untuk mengikatnya.
Lewat sambungan telepon selundupan, hal-hal yang tertahan dapat kulihat mengawang ke langit-langit kamar mandi, terbang ke menara air. Terbawa angin hingga ke laut Jawa, diam-diam menumpang kapal feri ke Bakauheuni, hingga tiba ke suatu tempat yang asing dan belum pernah ku jejak. Setelahnya, menunggu akhir pekan menjadi saat-saat yang kalut demi mengirim pesan singkat: “Aku nelpon ya?”. Akhir pekan adalah waktu untuk Adler-ku.
Aku memanggilnya Adler, kau tahu. Betapa noraknya.
Di halte stasiun, penjaja tahu sumedang agaknya sedikit khawatir ketika aku mulai tersenyum sendiri. Ia bergeser perlahan ke ruang yang sebelumnya diduduki seorang ibu yang sedari tadi sibuk menampik tawaran ojek. Jemputannya telah tiba.
Yang membuatnya bertahan dari hubungan tanpa kehadiran ini agaknya adalah janji-janji. Bahwa suatu ketika kita akan dipertemukan kembali, barangkali mengenyam kuliah di universitas yang sama. Sampai saat itu kita akan menjadi sepasang individu yang bersabar.
Namun suatu hari ia bertanya hal-hal yang terlalu jauh, aku menjadi ragu. Sejak semula harusnya mudah ditebak ujungnya; aku akan berdiri di pihak yang ingkar. Bukankah kau bukan seorang pemufakat yang baik?
Liburan yang sedikit panjang yang seharusnya kami rayakan berubah menjadi saat-saat perpisahan. Ba’da Isya, aku meringkuk di luar pintu agar sebisanya tiada siapapun yang mendengar percakapan kami. Sejak perlombaan itu aku ketinggalan pelajaran, kataku. Dia diam. Setelah ini seluruh perhatianku akan terpusat pada hasil ujian nasional yang baik, kataku. Dia diam. Aku ingin masuk universitas negeri di Jawa, kataku. Dia diam. Dan kau, mengganggu, kataku diam-diam. “Semoga kita bisa bersahabat baik”. Tak ada lagi pesan singkat di akhir pekan setelahnya.
Ini agaknya adalah cara yang buruk untuk putus cinta; menyisakan pertanyaan yang belum dijawab, kenapa? Kepada kosmos ada hutang yang harus dibayar pada suatu hari nanti. Pada lima, hampir enam tahun silam hal-hal seperti itu agaknya tak terpikirkan.
 “Akankah aku kembali ke kota kecilku dengan sebagian tubuh yang tak genap?
Maju pada titimangsa yang lebih dekat, tiga tahun silam. Akhirnya aku punya ingatan sendiri tentang stasiun. Sesungguhnya tak ada kejadian apapun. Hanya di dunia antar-dunia, kubayangkan ada yang diam-diam mendorong tubuhku jatuh ke gerigi rel yang curam.
Pada akhirnya kesempatan pertama untuk bertemu kembali hadir ketika aku memutuskan ke Jakarta untuk sebuah urusan. Kali ini kita bisa bertemu, ujarku melalui pesan singkat setelah diam yang lama. Kita bisa bertemu di stasiun sesampainya aku di ibukota, segera setelah urusanku selesai, pada Ahad kepulanganku. Namun di hari keberangkatanku Matarmaja tak pernah benar-benar sampai ke Senen. Di pantai utara dekat Cirebon, gerbong-gerbong berbelok, berpindah rel menuju ke kegelapan yang tak putus. Seluruh penumpang berteriak. Aku berteriak! Hei, hei, masinis!! Di Senen menunggu Adler-ku!!
Ketika berkas-berkas matahari membuatku terbangun, mataku mengenali langit-langit pondokan di kota kecilku. Aku berlari ke perempatan jalan untuk koran pagi, meneliti baris demi baris, satu demi satu kolom-kolom. Tak ada berita tentang Matarmaja yang lenyap ke dalam kegelapan, rupanya. Kesinilah keheningan pantura berujung, kepada mereka-mereka yang tak percaya magisnya. Pukul tiga sore nanti aku harus kembali ke stasiun mengejar Matarmaja yang berangkat sekali setiap hari. Matarmaja hampir tak mengenal kesempatan kedua. Tak hanya bagi penumpang-penumpangnya, namun juga pengasong yang pada suatu ketika adalah nyawa gerbong. Ada yang ganjil ketika pada akhirnya kuhempaskan tubuhku ke salah satu kursinya yang hampir tegak lurus itu. Riuh tak ada lagi.
Matarmaja tak mengenal kesempatan kedua. Tak ada tempat untuk kesempatan kedua.
Diantara Solo dan Semarang aku mulai menimbang-nimbang kembali; apakah ini waktu yang tepat? Tidak, kataku. Momentum yang dipilih secara salah bisa berakibat buruk. Ketika di Jakarta, maka; Kita jadi ketemu kan? Tidak. Aku udah di Matraman, beberapa kilometer dari Senen, sangat dekat. Tidak. Keretamu pukul dua kan? Sepertinya masih sempat kok. Tidak, Ay. Ini belum saatnya. Selamat tinggal.
Sekali lagi, pada waktunya, aku berkhianat. Aku mulai menebak-nebak, apa yang akan dilakukannya ketika kami berhadap-hadapan. Menenggelamkan aku ke danau? Mendorong ke haribaan kereta komuter yang menderu dari Bogor? Satu peluru dilepaskan dari senapan burung? Tikaman yang lamat-lamat? Menampar dalam slowmotion?
Pukul satu lebih sepuluh, ketika aku menyadari bahwa seseorang hadir. Disanalah dia berdiri.
Dan ada kebahagiaan di dalam senyumnya, penanda bagi jiwa yang telah bergerak jauh. Hari ini, menjelma teror itu sendiri. Menjatuhkan vonis di dalam diam; Mampus kau, aku hari ini adalah perempuan dengan hati merdeka! Dan kau! Kau pada akhirnya dikutuk untuk membayar setiap serpih remuk kerakal yang kau tebar! Mampus kau, untuk usahamu melarikan diri dari masa lalu! Penolakan untuk mengakui bahwa pada suatu ketika kau jatuh cinta oleh cara-cara Tuhan yang jenaka! Kau yang rumit hari ini dan penimbang omong-omong kosong tak lain adalah cara semesta menghadirkan karma!
Namun senyumnya, aku segera tahu, adalah sekaligus senyum pembebasan. Di halte stasiun, yang terakhir ku dengar adalah riuh yang dulu hilang dari Matarmaja.
“Hai, Dan.
“Apa kabar?”

**

Slowdive - Here She Comes


Saya mulai mendengar Slowdive baru sekali, dan segera merasa terganggu oleh album Souvlaki (1993). Diantara isi-isinya, Here She Comes saya tempatkan dalam posisi yang agak spesial. Ada keheningan yang ganjil setiap kali track ini terputar. Semacam representasi yang ditunda dari obyek imajiner sang penggubah di dalam durasi lagunya yang singkat, dan terselip.

Ketika mereka menobatkan unit asal Manchester ini sebagai pionir dream pop, saya kira-kira jadi tahu mengapa.

Rabu, 06 Mei 2015

Symmetry

05.05 Posted by Arasy Aziz , , No comments
Setiap kali alarm pukul enam pagi mengantarkanku kepada hidup membosankan yang diam-diam kunikmati, aku segera teringat pada Plato.
Kita tahu Plato malu-malu untuk mengakui bahwa apa yang ada di balik dialog-dialog yang ia tulis tak lain merupakan pergumulan dengan dirinya sendiri. Barangkali semacam usaha untuk menghindari pengulangan nasib buruk gurunya yang mati dalam racun dengan sukarela. Masyarakat Yunani betapapun majunya agaknya cukup kaget dengan semaian bid’ah-bid’ah atas kuil. Dengan dialog, ia seolah pura-pura ulang, melaporkan apa yang seolah pada suatu waktu didengarnya, melempar tanggung jawab kepada yang lain.
Namun bukan itu yang membuatku mengingatnya pada kesempatan pertama. Dalam Symposium, melalui wakil-wakilnya Plato berujar: pada mulanya di awal penciptaan, Tuhan membagi manusia dalam tiga kelompok kelamin: lelaki, perempuan, dan satu lagi, sejenis hibrida antar keduanya. Dalam artian, ia sepenuhnya adalah maskulinitas dan sifat-sifat feminim dalam satu tubuh. Mungkin dilengkapi sel sperma dan ovum sekaligus dalam satu kelenjar, kemampuan membuahi diri sendiri, hermaphrodite.
Sampai saat itu dunia berlangsung baik-baik saja, hingga Tuhan Plato agaknya sadar telah keliru menetapkan rancang bangun. Kemenduaan ialah relasi yang saling menyempurnakan. Sementara tiga merusak tatanan, sebuah bilangan yang bersisa. Dalam dunia yang serba sulit, tak ada tempat bagi yang hidup setengah-setengah.
Selain itu, sebagian pria-pria dan wanita-wanita yang sejak lahirnya sendirian mulai menggugat kebijaksanaan sang maha pencipta. Ketika yang Hibrida dapat berpuas hasrat dengan dirinya sendiri, cinta bagi laki-laki dan perempuan asali adalah perjuangan yang mensyaratkan tawaran-tawaran dan saling pengertian. Kehidupan bersama antar kedua kelamin dimulai oleh pilihan acak berjalan tidak sebagaimana mestinya. Ia tak seperti hubungan Hawa yang diramu dari rusuk Adam yang hilang di taman Eden. Yang menjadikan mereka manusia yang lahir dari unsur-unsur bumi justru kealpaan dan toleransi.
Yang Hibrida kemudian dipisahkan. Dan turunlah nubuat-nubuat; “telah kuciptakan bagimu pasangan-pasangan”, baik-buruk, gelap-terang, lupa sekaligus ingat, menghapus memori kita dengan putusan kodrati bahwa dunia disusun atas negasi-negasi. Dalam dunia yang serba sulit, tak ada tempat bagi yang diantara.
Namun ada yang tersisa dalam ingatan yang Hibrida, bahwa pada suatu masa mereka pernah berbagi tubuh dan pikiran yang sama, berbagi hasrat, keinginan, motif, laku hidup yang sama. Bagi anak cucu keturunannya, ini menjadi semacam kutukan yang diwariskan. Dunia setelah itu adalah perjuangan menemukan belahan jiwa.
Aku, adalah salah satu diantaranya.
Setidaknya demikianlah bagaimana ibuku selalu menceritakannya padaku sebelum tidur, bersama Symposium. Kami adalah bangsa hermaphrodite yang dipaksa Tuhan melebur ke dalam kelamin laki-laki dan perempuan. Ketika ku tanya, apakah Ayah adalah salah satunya juga, ia akan mulai terisak diam-diam. Dalam hal ini aku gagal, anakku. Namun kau beruntung karena aku ibumu. Akulah yang bertugas menjaga agar warisan kesadaran bangsa kelamin kita tetap berlanjut.
Hari itu aku memutuskan akan meringkuk seharian di kamar, menatap manusia-manusia yang berlalu lalang saling mengabaikan satu dengan yang lain, dari sini, dari kursi kayu di tepi jendela. Hidupku yang memuat pengulangan-pengulangan perlu sekali-kali diberi spasi, utamanya ketika aku mengingat-ingat alasan primer kemengadaanku; mencari pelengkap. Pada hari-hari biasanya pada pukul tujuh, aku akan menjadi sebagian dari mereka, berjalan kaki menuju kantor yang terletak beberapa blok dari bangunan apartemen. Hidupku yang memuat pengulangan-pengulangan agaknya perlu sekali-kali menempatkan dirinya sebagai pengamat bebas. Lagipula, misi bangsaku belum tuntas kuselesaikan.
Dibawah sana barisan manusia seperti air limpahan yang tak henti mengalir menuju tuba. Individu-individu kantoran berganti segerombol anak taman kanak-kanak yang berarak dengan balon-balon, berganti penjaja makanan ringan dan kuaci, berganti motor sesekali. Aku mengira-ngira, adakah yang ideal, sebagian diriku, tengah berlalu dibawah sana dan selalu luput dari perhatianku? Mungkinkah ada yang tersenyum ketika berpapasan namun tak kusadari?
Hingga pukul 8 tak ada yang benar-benar menarik. Hingga pukul 8 sesuatu terjadi.

#

“Coba tebak, terbagi dalam berapa ruang isi kepalaku. Maksudku, otakku?”
Hmm.
“Kukira.. empat, lima. Mungkin enam. Biar kuingat. Setauku orang normal mempunyai otak kecil, batang otak..”
“Hei, kita tak sedang membicarakan itu. Aku menanyaimu tentang jumlah ruang, kau tahu.” tegasnya.
“Jadi, maksudmu ruang sebagai “ruang”, harfiah?”
“Tentu.”
Aku mengerling padanya untuk sebuah jeda. Pada dasarnya tak benar-benar mengerling, pun tak mencoba menebak-nebak apapun. Aku tepatnya ingin menatapnya sedalam-dalamnya. Wajah jenaka dengan garis-garis lelucon alami yang tak dapat ditutupi potongan pixie maskulin merah matahari. Aku pada dasarnya tak menyukai warna-warna yang demikian hidup seperti selubung di rambut gadis di hadapanku. Tapi merah itu berkali-kali meluruh di mataku seolah disaput begitu saja dari tube cat pastel. Georgia punya sihir, semacam tipuan mata.
Tak sekalipun aku terkejut dengan pertanyaannya. Sejak semula, ku tahu ia punya sesuatu yang sedang kucari.
Tiga hari lalu ketika aku bertemu dengannya pertama kali ku kira ia melakukan tindakan yang jauh lebih sensasional. Dari jendela kamarku di lantai dua, lalu lintas di tengah kota kami tampak sedang padat-padatnya ketika mendadak sebuah motor yang melaju kencang dari selatan menabrak mobil dari ujung jalan yang lain.
Motor itu menolak berhenti meski jelas tak lagi berbentuk dan pengemudinya telah lebih dahulu terlempar jauh ke atap sebuah kafe sebelum tanpa ampun menghujam tanah. Dalam birama enam per delapan, motor itu mulai mendaki bagian depan lawan mainnya, menembus kaca dengan kaki-kakinya yang patah. Aku bisa memainkan satu partitur Chopin.
Tengah kota kami yang sebelumnya tak punya waktu untuk sekadar berimajinasi akan dunia alternatif, sebuah anti-kota, tiba-tiba menahan napas. Tiga hari lalu, aku mengamati bagaimana air limpahan yang menuju tuba tiba-tiba berubah mencerat seperti dulang yang ditepuk. Sebuah tatanan kosmik telah runtuh.
Namun ku kira drama belum berakhir. Orang-orang yang sebelumnya terpana, tetiba berlari ke arah manapun yang pertama kali terlintas dalam pikiran mereka, arah manapun yang dapat mereka capai. Aku mahfum. Dapat kulihat sesuatu mengalir diantara dua rongsok yang kali ini telah menyatu sepenuhnya. Bensin.
Tentu saja harus ada ledakan. Seseorang membutuhkan setting untuk melengkapi kemenjadiannya.
Ku teringat pepatah ini; ada asap ada api, namun tak mungkin rasanya gasolin menghasilkan api tanpa api yang lain. Rambut merah dihadapanku kemudian mengambil perannya di dalam pentas. Kejadian yang berlangsung demikian cepat, saksi-saksi terlanjur panik luput menyadari adegan penting ini.
Tentu saja ada ledakan, pada akhirnya. Tak butuh waktu lama. Si gadis diam-diam tertawa senang. Aku melihatnya.
“Kau menghayal.” Georgia menyentuh jariku dengan ujung garpu.
“Baiklah. Bantu aku melengkapi sejumlah premis yang hilang sehingga gambaran mengenai jumlah ruang otakmu lengkap.”
Ia tampak tertarik. “Baiklah.”
“Tiga hari lalu, Georgia, mengapa kau melempar korek api ke genangan bensin pada kecelakaan itu? Kau tahu di dalam mobil masih ada pengendara, kan?”
“Ya.”
“Ya, saja?”
Ia kembali ke mode default wajahnya yang tampak sedingin embun pukul enam pagi, tenang sekaligus menggemaskan. Sepasang pundaknya yang semula maju hingga ujung-ujung hidung kami berhadapan dalam lima inci, rilis.
“Itu pertolongan terbaik yang dapat kuberikan pada mereka, kau tahu. Pria yang berada di balik kemudi telah tewas, sementara si wanita sekarat.”
“Itu belum menjelaskan apapun. Kau bisa saja menunggu ambulan.”
“Ku rasa dengan meledakkan mobil semuanya berlangsung lebih cepat. Pengiriman tuntas ke surga. Aku yakin sudah terlambat untuk menyelamatkan apapun. Aku dapat merasakannya.
“Kita harus membayangkan si wanita berbahagia.”
“Kau mengutip kalimat terakhir...” Aku menimpali, sebelum kalimatku disergah. Ia membaca pikiranku.
“Dengan perubahan. Lagi pula, kau sama gilanya karena menghampiri seseorang yang rupanya kau tahu, kau satu-satunya orang yang tahu, baru memantik api ke genangan bensin lalu mengajaknya berkenalan, seolah-olah tak terjadi apapun. Api bahkan masih menyala. Alih-alih menelepon polisi, kau malah meminta nomor teleponku. Disinilah kita.”
Aku sedikit terbahak, ia tak tampak kaget.
“Kau bercanda. Seseorang telah melakukannya dan kau lihat bagaimana mereka menanganinya? Kepanikan orang-orang sesegera itu mereka simpulkan sebagai penanda bahwa api tersebut lahir dari relasi sebab-akibat kecelakaan. Jika jeli batang korekmu harusnya masih ada di tempat kejadian. Mereka malas saja.
“Tak ada yang perlu kulakukan dengan model aparat seperti itu.”
Kami terdiam.
“Jika kau ada di posisiku, apa yang akan kau lakukan?” Ujar Georgia memecah kesunyian.
Aku berpikir sejenak.
“Karena kau bertanya; aku tak akan melakukan apa-apa. Kamarku ada di lantai dua, kau ingat?” Namun segera ku ralat. “Mungkin menelepon ambulan. Tepatnya, aku memang menelepon ambulan. Dibanding polisi, mereka kadang lebih bisa diandalkan.”
Kami terdiam untuk lima menit.
“Jadi …
“Ada berapa ruangan di otakku, Jonas?”
Ia telah kembali dengan pertanyaan itu. Kali ini aku perlu menjawabnya dengan sedikit serius, untuk meyakinkannya akan sesuatu. Telah ku putuskan, ia memilikinya.
“Kukira hanya setengah yang akan kaubagi denganku. Bukan. Maksudku, sebenarnya, sejak semula aku tau bahwa kau memiliki setengah otakku. Aku dikutuk mencarimu. Aku menemukanmu.”
“Apa maksudmu?”
“Mendekatlah. Biar kubawakan sesuatu ke telingamu.
Ia tampak ragu. “Maksudku, mengapa tak kita lihat saja?

#

Pukul enam pagi suara lonceng yang mendentang tak karuan di ujung lorong mengantarkanku kepada hidup membosankan yang diam-diam kunikmati. Itu peringatan bahwa setiap orang harus bergegas bangun untuk pemeriksaan rutin. Tak ada tempat untuk berleha-leha disini. Penjara pada akhirnya hanyalah perihal memindahkan absurditas, tak ada yang benar-benar berbeda dengan ruang kehidupan manusia-manusia mesin di luar sana. Di sini, hidupku adalah repetisi atas perbuatan-perbuatan, yang bedanya, satu-satunya pembeda, ditetapkan oleh orang lain.
Pada malam kencan pertamaku dengan Georgia, aku berhasil mengajaknya pulang ke kamarku yang kecil. Di dalam matanya menyala-nyala gairah, semakin meyakinkanku bahwa dialah sang belahan jiwa yang hilang. Pada akhirnya kami dipertemukan oleh sebuah insiden setelah abad-abad keterpisahan. Lihatlah bagaimana semesta bekerja dengan unik. Malam ini kami akan menjadi waktu untuk kembali memintal satu kesadaran yang tercerai berai.
Di kamarku telah menunggu seperangkat bius.
Ketika kami tiba di pintu, aku tak sabar untuk segera memilikinya. Georgia berbaring, berupaya meraih-raih kemejaku. Aku mendekap mulutnya dengan sapu tangan. Georgia meronta sia-sia sebelum terdiam dalam koma. Kami selangkah lebih dekat, satu tahap lagi.
Aku menyeret tubuhnya yang lunglai ke kamar mandi untuk memeriksa jumlah ruang di otaknya dengan palu dan gergaji.
Yang ternyata, tak seperti bayanganku, utuh dengan dua sisi yang bersebelahan simetris, tak sama sekali bersebagian.
Mengecewakan.
Kau tahu, dari sekian banyak sisa-sisa penciptaan yang mula-mula, tak banyak yang benar-benar sadar bahwa ia adalah keturunan dari laki-laki dan perempuan asali. Kepadanya terdapat pilihan bebas untuk mencari belahan jiwa secara acak, tak terikat pada pembagian Tuhan yang ganjil atas entitas ketiga. Kesempatan yang tak pernah benar-benar diambilnya, terlalu terlambat untuk diambil. Mereka terjebak pada upaya menemukan bagian lain yang ideal, melengkapi hidup yang penuh teka-teki. Di ujung jalan, ketika tak ada lagi yang tersisa untuk diperjuangkan, dengan Kesepian ia bergandengan tangan.

#

Mew - Symmetry



Harus saya katakan bahwa Symmetry adalah salah satu lagu Mew favorit saya; bagaimana Mew tetap menjadi Mew tanpa vokal angelic Jonas Bjerre.