Fiat Lux

Senin, 18 September 2017

Kitab Ajaran Keluarga Para Jalang Melankolis


Ada sebuah shelter bus Trans Jogja di ujung selatan kawasan Malioboro, berdiri berhadap-hadapan dengan Taman Pintar. Pada hari-hari yang riuh, akhir pekan yang panjang, shelter itu akan penuh sesak dengan calon penumpang yang hendak beranjak ke ragam penjuru angin Jogjakarta. Antrean bisa mengular hingga ke tangga landai yang ujungnya menyatu ke permukaan trotoar. Beberapa menit sekali, bus Trans Jogja akan singgah mengangkut penumpang.

Jika bus-bus yang datang dari timur telah sama penuhnya dengan isi shelter, maka antrean panjang itu harus bersabar sekali lagi. Hanya satu dua akan terangkut. Sisanya terpaksa melengos beberapa kali. Menunggu bus yang datang belakangan.

Lalu bus yang lebih lengang tiba. Penumpang naik satu per satu, dan udara di shelter sempit kembali melegakan.

Dalam sejumlah lawatan ke Jogja, saya beberapa kali menumpang Trans Jogja dari shelter di depan Taman Pintar itu. Biasanya setelah seharian mengeluyur sendirian di Malioboro dari ujung ke ujung. Perjalanan mengelayap umumnya akan saya akhiri di pasar buku di belakang Taman Pintar, mencomot beberapa buku untuk di bawa pulang. Berjalan kaki dari pasar menuju shelter memakan waktu kurang dari 3 menit.

Namun pada kunjungan ke Jogja di bulan Januari 2014, situasinya berubah sedikit berbeda. Menunggu bus datang di shelter yang sama terasa nelangsa detik demi detik. Kala itu saya memilih bersandar di salah satu sisi pintu penaikan-penurunan penumpang yang hampir tak pernah tertutup. Beruntungnya, halte pada hari-hari itu cukup lengang. Cuaca Jogja tak begitu panas, bahkan cenderung abu-abu. Mendung.

Mata saya tak lepas dari kendaraan yang mencoba membelah jalanan sekencang mungkin, sebelum hujan benar-benar turun. Tak ada yang mau terjebak hujan di jalanan. Mata saya tak lepas, namun pikiran saya sedang tidak ada di sana. Tidak di jalanan itu, tidak di dalam shelter. Tidak sekalipun mengekor sepeda motor yang berlalu. Saya memang terserang sakit jiwa tingkat pertama waktu itu. Suasana di sekitar shelter yang sesungguhnya baik-baik saja berubah menjadi serba sentimentil.

Lalu hujan akhirnya benar-benar turun.

Pada saat itu, sayup-sayup intro “Departemental Ditties and Other Verses” mulai terdengar. Lalu sealbum penuh “Re-Anamnesis”, milik Melancholic Bitch (Melbi). “We are very slightly change…”



Sejak saat itu, segala tentang Melbi menjadi serba melekat pada suasana shalter busway di selatan Malioboro itu. Pada sendunya yang remang-remang, sebelum dindahkan ke dalam ragam situasi yang lain. Eksistensi fisikal shelter yang tiga dimensi barangkali telah samar-samar, namun saya menyimpannya sebagai sebuah kategori perasaan tersendiri.

Lagu-lagu Melbi diramu untuk mengiyakan kegelisahan a la shelter itu. Memperbincangkan cinta dengan cara dan sudut pandang tak jamak. Makna literer shelter sebagai tudung perlindungan dimaknai ulang sebagai cukup ruang personal untuk memahami kegelisahan. Menciptakan rasa aman yang hadir dari penerimaan dan usaha untuk mengerti.

Lalu pada putaran lagu-lagu Melbi yang kedua, saya mulai menyimak liriknya dengan saksama. Setiap katanya seolah dijahit berdasarkan riset puluhan tahun atas kebudayaan manusia. Setiap katanya dipilih secara hati-hati sebagai sajak, sebelum ditimpali dengan bebunyian dari instrumen yang kaya. Di dalam musiknya saya temukan instalasi cermin untuk sebuah refleksi.

Pada putaran ketiga dan selanjutnya, yang terjadi adalah adiksi menahun.

Sebagaimana terhadap banyak band favorit, saya diam-diam mulai menyimpan asa untuk menyaksikan band ini secara langsung, hadap ber hadapan. Masalahnya, Melbi sendiri bukanlah band yang mudah ditemui. Sebagaimana lagu-lagunya mengubah sebuah shelter Trans Jogja menjadi imaji tak terjelaskan yang melulu kontekstual, eksistensi band ini pun hampir sama abstraknya.



Konon sejak merilis “Balada Joni dan Susi” -album penuh kedua mereka- pada tahun 2009, penampilan live Melbi dapat dihitung dengan jari sebelah tangan. Personelnya lebih banyak berkutat dengan urusan masing-masing. Salah satunya melanjutkan studi ke luar negeri, yang lain berkeliling Indonesia sebagai sound engineer. Mite tentang Melbi diperbincangkan kasak-kusuk, sementara bandnya, sebagaimana istilah yang dipergunakan banyak media, memasuki fase hidup segan mati tak mau.

Namun pada suatu hari, tanpa gerhana atau meteorit, laman media sosial mereka mendadak genit kembali dan sibuk bercuit-cuit. Melbi menggoda penggemarnya dengan isyarat kelahiran sebuah proyek baru. Lalu tanggal konser pada permulaan September segera ditetapkan. Yang membahagiakan dua kali lipat, konser tersebut sekaligus menjadi ajang peluncuran album mutakhir mereka setelah 8 tahun, NKKBS Bagian Pertama.

::

Saya tiba di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM 15 menit kurang pukul 7 malam. 12 jam sebelumnya, saya masih menunggu kereta api di stasiun Senen.

Pintu arena pertunjukan masih tertutup sekenanya. Selain para penjaga pintu, aktivitas panitia hanya tampak di booth penukaran dan pembelian tiket. Sementara orang-orang yang menunggu menyemut hingga ke halaman parkir. Saya memilih merebahkan diri di salah satu pojok yang lengang dekat pintu masuk. Ketika pukul 7 terlampaui, belum ada tanda-tanda pintu akan dibuka. Saya melanjutkan apa yang telah saya lakukan sejak pertama kali tiba; mengamati detil-detil album baru Melbi di tangan saya.

Nomor-nomor di dalam NKKBS Bagian Pertama dijuduli dengan cara yang ganjil. Umumnya terdiri atas dua kata atau frasa, dengan dipisahkan koma di tengahnya. “Normal, Moral”, “Dapur, NKK-BKK”, “Aspal, Dukun”, “Selat, Malaka”, semisal. Satu-satunya lagu dengan judul yang memenuhi unsur sebuah kalimat normal tersisa di akhir album, “Lagu untuk Resepsi Pernikahan”. Saya menebak-nebak alasannya. Jika mengingat-ingat kebiasaan artistik Melbi, cara penulisan ini barangkali adalah sebuah detil metaforis yang tak lepas dari tema umum album itu sendiri.

Lamunan saya buyar ketika para penjaga pintu mulai sahut menyahut menyilakan orang-orang untuk masuk ke gedung. Saya bergabung ke dalam antrean masuk.


Malam itu, Interior PKKH dibalut dengan kain hitam sepenuhnya. Kami harus melalui koridor, sebelum kain hitam panjang itu menemui ujungnya.  Di sisi dalam telah berdiri sebuah panggung besar dengan instalasi patung yang terbungkus terpal, dililit berutas tambang. Sayup-sayup diperdengarkan lagu mars Keluarga Berencana (KB) lewat pengeras suara. Sementara di latar panggung diproyeksikan potongan gambar dari proyek seni rupa “Indonesian Family Potrait Series” karya Akiq AW. Syahdan, NKKBS Bagian Pertama terinspirasi dari serangkaian intalasi ini.

Tepat pukul 8, Nadya Hatta yang mengisi seluruh bagian keyboard dalam album ini naik ke panggung. Ia mulai memainkan sejumlah nada, sebelum vokalis Melbi yang kesohor itu menyusul naik. Dari kerongkongannya yang penuh asap sigaret, mulai berdengung lirik yang segera saya kenali.

We are very slightly change / From a semi apes who range / India’s prehistoric clay / India prehistoric clay //”

Departemental Ditties didapuk sebagai intro konser. Saya menyeru sendiri dengan haru tertahan mengiringi Ugo bernyanyi. Pada nada terakhir, konser berlanjut dengan resital seluruh isi album NKKBS Bagian Pertama, dari awal hingga lagu terakhirnya.

::

Mendengarkan NKKBS Bagian Pertama ibarat membaca sebuah laporan penelitian sosial komprehensif mengenai struktur sosial masyarakat Indonesia sejak merdeka. Di dalamnya, Orde Baru ditempatkan berdiri di tengah-tengah, membagi titi mangsa sejarah kebangsaan diantara pendahulu dan setelahnya.

Konteks NKKBS Bagian Pertama rasanya telah dimulai jauh semenjak bulan-bulan jelang kemerdekaan. Pada sebuah perdebatan di BPUPKI, Prof. Soepomo mengajukan sebuah konsep kontroversial mengenai bentuk negara yang hendaknya dianut Indonesia kelak. Ia menyebut dengan malu-malu Jepang dan Jerman, dua negara yang notabene mengawali kekacauan Perang Dunia II, sebagai sumber inspirasinya. Malu-malu, karena sebelum terlalu jauh dituding mencomot gagasan fasis, Soepomo buru-buru berkilah bahwa konsep yang ia bawa tak sepenuhnya sebangun dengan idelogi itu. Yang hendak ditekankannya adalah betapa negara haruslah mencakup segala tanpa terkecuali di dalam sistem yang meniru dinamika keluarga. Pemerintah menjalankan lakon sebagai seorang ayah.

Salah satu konsekuensinya, konstitusi Indonesia kelak tak perlu memuat klausul-klausul mengenai Hak Asasi Manusia (HAM). Selain dituding kelewat liberal dan kebarat-baratan, perlindungan HAM sudah menjadi wewenang intrinsik pemerintah, tanggung jawab moral struktural, sehingga tak perlu diucapkan secara formal di dalam perundang-undangan. Beruntung di dalam forum yang sama bermukim sosok Hatta dan Yamin. Ide ini, pada akhirnya, tak benar-benar diterapkan secara utuh.

Namun kerangka pengaman yang didirikan para pendiri bangsa dari bahaya laten integralisme itu rupanya tak benar-benar kuat. Mudah ditebak, karena hanya berwujud satu pasal di dalam UUD 1945. Kekuasaan tokoh-tokoh revolusi 1945 berakhir pada tahun 1966, beberapa bulan setelah peristiwa kontroversial G30S. MPR sebagai lembaga tertinggi negara pada waktu itu mengalihkan mandat pemerintahan dari tangan Soekarno kepada Soeharto, sang pahlawan G30S. Orde Baru berdiri di atas remah-remah rezim sebelumnya.

Di tangan Soeharto, konsep integralistik akhirnya menemukan dimensi praktikal. Di dalam monograf bertajuk “Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik”, Saya Sasaki Shiraishi menggambarkan bagaimana sang Jendral berusaha memapankan posisinya sebagai bapak bangsa. Warga negara diperlakukan sebagai anak yang harus senantiasa manut terhadap standar moralitas rezim. Slogan Tut Wuri Handayani diwacanakan ulang sedemikian rupa dalam relasi kuasa a la militer, sehingga kepatuhan setiap orang menjadi tak bersyarat. Segala bentuk penyimpangan sudah sepantasnya dihukum sebagai bentuk kasih sayang. Pemahaman ini belakangan melegitimasi tindakan represif Orde Baru atas ekspresi yang bertentangan dengan haluan politik rezim, atau apa-apa yang dinilai dapat mengganggu stabilitas.


Dan negara yang dijalankan dengan prinsip kekeluargaan membawa konsekuensi lain. Di dalam sebuah keluarga, batas-batas antara privasi anggotanya hampir-hampir samar. Keluarga adalah oikos itu sendiri, muasal pranata rumah tangga yang paling asali. Dengan demikian di dalam negara kekeluargaan, pemisahan antara yang privat dan yang publik berusaha dihilangkan. Negara perlu menyerobot dan mengontrol ruang-ruang paling pribadi warga negaranya dalam kedudukannya sebagai pemimpin pranata keluarga.  Mereka perlu tahu siapa gadis yang dibawa anak laki-lakinya ke dalam kamar, dan pada pukul berapa mereka bersenggama. Negara harus tau masakan apa yang di masak ibu hari ini. Negara perlu mengetahui berapa anakmu, dan kalau perlu, mengatur jumlahnya.

Konsep keluarga ideal pada akhirnya menjadi wacana dominan dalam sentrum politik Indonesia, dan semakin mapan di era Orde Baru. Melalui beragam kanal, ia menelusup sebagai doktrin yang menjamah sub-sub kesadaran manusia Indonesia. Sekalipun tatanan Orde Baru telah berakhir hampir 20 tahun silam, gaungnya tetap terasa hingga hari ini. Bagi mereka yang lahir dan bertumbuh sebelum ’98, kesadaran itu barangkali masih utuh. Namun bagi generasi yang lebih muda, pengetahuan sadar mengenai daya rusak Orde Baru hanya dapat dikenali melalui informasi pihak kedua, ketiga.

Narasi besar album NKKBS Bagian Pertama kemudian menjadi peretas bagi gap ingatan antar generasi itu. Fokus utamanya memang tentang pembacaan kritis atas konsep keluarga a la Orde Baru. Namun apabila ditimbang-timbang, NKKBS justru telah beranjak kepada sebuah epos yang hampir lengkap mengenai percobaan rekayasa sosial yang berusaha ditutupi rezim dengan gincu pembangunan. Kadang-kadang tekstual, namun lebih banyak disampaiakn dengan majas dan lelucon gelap, dingin.

Sejak track pertama, saya dibawa kepada banyak tinanda tandingan atas diksi-diksi yang kerap digunakan Orde Baru di dalam demagoginya. Kita tahu, kata “hantu” selama Orde Baru terpersonifikasi di dalam propaganda anti Komunisme, agar ideologi yang disebut belakangan terus-terusan hadir sebagai musuh bersama. Melbi mengajukan “Bioskop, Pisau Lipat” sebagai single pertama album NKKBS. Sebuah balada tentang memakai “bendera sebagai seragam,” ketika “digelandang ke bioskop jam 9”. “Bioskop, Pisau Lipat” dirancang untuk lebih mudah dicerna dan dinyanyika ulang, dan dengan demikian, membangkitkan sebuah trauma kolektif masa sekolah dasar.

Pendekatan hantu Orwellian a la Orde Baru tidak hanya berkutat pada wacana anti komunisme. Ia meraba jauh ke sela selangkangan, ke atas tubuh perempuan. Di dalam “Normal, Moral”, pelekatan gaib sang “hantu” dialihkan pada subyek guru Pendidikan Moral Pancasila yang hadir di “ranjang tempat kau bercumbu,” dan “tidak senang mendapati istrimu tak lagi perawan.” Sang guru adalah wakil dari big brother yang mengonstruksikan alam bawah sadar manusia Indonesia dengan gagasan tentang keperawanan sebagai prasyarat ideal seorang wanita lajang.

Ajaibnya, beberapa hari setelah album ini dirilis, seorang hakim mengusulkan tes keperawanan sebagai prasayarat pernikahan. Apabila seorang perempuan gagal melaluinya, negara dapat mengambil tindakan preventif dan represif. Novum maha tolol ini diklaimnya dapat menekan tingkat perceraian, sehingga laki-laki tak perlu rugi menikahi wanita yang tak lagi perawan. Si hakim adalah dokumentasi aktual dari generasi yang merawat nilai-nilai yang tengah dicemooh Melbi. Saya terpukau dan hampir-hampir mengira bahwa Ugoran Prasad dan kolektifnya memang merupakan sekumpulan nabi.

Keberlanjutan wacana politis Orde Baru dalam situasi kekinian dapat dibaca di lagu lain. Nomor “666,6” dinyanyikan sebagai kritik gamblang terhadap rendahnya literasi dan kemahiran saintifik masyarakat Indonesia, dibanding penguasaan mereka terhadap kitab suci. Kecenderungan yang muncul belakangan di kalangan orang beriman justru skeptisisme atas perkembangan ilmu. Perdebatan tidak perlu mengenai bentuk bumi kembali mengemuka ke ruang publik setelah ratusan tahun. Lagu tersebut dijuduli dengan epigram jumlah ayat Al Quran, seolah-olah menunjukkan adanya pemahaman yang terbalik tentang relasi agama dan akal sehat.

Yang berbahaya, kemalasan membaca itu berbanding lurus dengan syahwat untuk memaksakan moralitas agama sebagai standar retribusi hukum. Lelaku masyarakat dinilai berdasarkan “apa yang surga, apa yang neraka.” Artinya, peran agama semakin di dorong untuk masuk ke urusan polis secara utuh.


Apa yang terjadi hari ini barangkali adalah buah dari pergeseran konstituensi Orde Baru pada dekade terakhir rezim. Sejak 1965, Angkatan Darat (AD) menjadi lengan politis utama Soeharto. AD membantunya membangun fundamen-fundamen dasar pemerintahan, dimulai dari elemen-elemen  prinsipil hingga ke dalam praktik birokrasi. Namun di akhir ’80-an, sang jendral memutuskan memperbaiki hubungan dengan kaum islamis yang selama ini dipecundanginya.

Robert Hefner di dalam “Civil Islam” menyebut, rekonsiliasi ini bermula oleh keputusan Soeharto untuk menunaikan ibadah haji. Haji notabene adalah rukun agama yang memiliki kuasa labeling penting dalam pergaulan sosial masyarakat Indonesia. Dapat diartikan, sang jendral berusaha meminimalisasi citra sekular dan kejawen yang selama ini dia tunjukkan, dengan meraih status sosial tertentu. Soeharto kemudian menyokong pendirian pranata-pranata sosial berbau keislaman, sekalipun tidak mengiyakan seluruh tuntutannya, termasuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).

Di akhir kekuasaan Orde Baru, ketika huru-hara krisis ekonomi mulai terjadi, militer diam-diam membentuk unit-unit kombatan sipil di bawah naungan program Pamswakarsa. Komposisinya terdiri atas beragam latar belakang ideologi dan sosial, termasuk kaum islamis. Pada hari ini, ketika mereka yang menklaim bernafas Pancasila tampak kekurangan ekspos kamera, kolektif yang disebut belakangan justru semakin berkembang dalam kecepatan yang mengkhawatirkan, serta aspirasi politik yang vulgar; membentuk tatanan sipil berdasarkan “apa yang surga, apa yang neraka.”

Selain kekayaan wacananya, NKKBS Bagian Pertama juga melangkah lebih jauh dalam ekplorasi musikalitas. Dua album pendahulunya dihidangkan dengan rona yang lebih gelap, meminjam unsur-unsur psychedelic dan post-punk ’80-an. Di dalam NKKBS, Melbi melakukan pengayaan dengan musik rock yang lebih segar dan bergerigi. “Aspal, Dukun” mengocok gitar dan melengking dengan sentuhan rockabilia, sehingga terdengar menyenangkan untuk didengarkan sembari berkendara di jalan raya. Kebetulan, lagunya bertutur tentang franchise toko serba ada yang berkembang biak mengikuti pertumbuhan aspal. Masuk ke pelosok-pelosok, hingga dituding sebagai “jimat orang kota.”

Dengarkan pula nomor penutup “Lagu untuk Resepsi Pernikahan” yang menggelikan. Struktur nadanya memang memenuhi kriteria ideal lagu pengiring pengantin, namun liriknya membawa pesan yang jomplang. Ia mencerca praktik resepsi pernikahan hari ini yang gemerlap, namun menyisakan utang. “Cinta…” ujarnya “diseret paksa” sehingga pelaminan dapat terisi oleh pasangan yang berbahagia. “Lagu untuk Resepsi Pernikahan” menjadi bab akhir bagi NKKBS Bagian Pertama dengan simpulan yang cenderung melankolis atas institusi keluarga.

::

11 lagu di dalam NKKBS Bagian Pertama purna dibawakan Melbi dalam 46 menit. Enam orang di atas panggung memohon undur diri. Namun pertunjukan belum selesai. 10 menit berselang, para personel Melbi kembali ke atas panggung dengan kaki-kaki yang lebih segar.

Jika pada sesi pertama penonton lebih banyak tergagu, sesi kedua konser NKKBS ibarat pelukan panjang pelepas rindu para penggemar Melbi. Sungguh hangat dan karib.


Sebuah intro panjang digaungkan, menemani salam-salam Ugo kepada mereka yang menunggunya. Berturut lelagu penting mulai dinyanyikan dari kerongkongannya yang masih penuh asap. “Akhirnya Masup Tipi”, “Tentang Cinta”, “7 Hari Menuju Semesta”, “Mars Penyembah Berhala”, “Sepasang Kekasih yang Bercinta di Ruang Angkasa”, “The Street”, “Menara” hingga “Nasihat yang Baik”. Sepanjang set kedua, gedung PKKH riuh dan penuh oleh paduan suara dadakan para penonton.

Saya sendiri terus bernyanyi kesetanan seperti orang-orang yang lupa jalan pulang. Diam-diam, NKKBS mengganti imaji tentang shelter Trans Jogja di selatan Malioboro. Yang tersisa dari sana adalah refleksi yang menerus, sementara kegusarannya menguap ke udara. Meluruh sepenuhnya dengan lampu sorot warna-warni dan keringat beterbangan. Saya melompat dengan beringas ke kanan dan ke kiri, ke depan ke belakang, setengah lupa bahwa di sekitar saya masih ada orang lain. Mengacungkan lengan di “Mars Penyembah Berhala”, berteriak-teriak semaunya. 

Saya bersikap seolah konser malam ini adalah konser terakhir Melbi dalam beberapa tahun. Atau seolah akan menunggu lama kembali untuk NKKBS Bagian Kedua.

Namun pada akhirnya, Melbi buru-buru menepis ketakutan ini. Konon, tidak akan ada lagi penantian hingga 7 tahun atau lebih. “Kita akan segera bertemu kembali,” tegas Ugo sebelum mengajak Melbi berpamitan yang sebenar-benarnya. (*)


Sekelumit tentang Konser “NKKBS Bagian Pertama”:
NKKBS Bagian Pertama diselenggarakan di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM pada 9 September 2017. Saya masih berharap mereka menggelar gig lain di Jakarta. Formasi Melbi dalam album NKKBS Bagian Pertama terdiri atas Richardus Ardita, Yennu Ariendra, Ugoran Prasad, Yossy Herman Susilo, Nadya Hatta, dan Danish Wisnu Nugraha.

Tiket dibanderol Rp. 35.000 (presale), Rp. 70.000 (bundling CD album), Rp. 170.000 (bundling tees dan CD album), dan Rp. 50.000 (OTS). Saya menuju ke Jogjakarta dengan kereta api ekonomi bolak-balik jurusan Pasar Senen-Yogyakarta.

Sabtu, 12 Agustus 2017

Tentang Rumahku (2)

02.29 Posted by Arasy Aziz , , , , , No comments
Belakangan, kepulauan Banda kembali menjadi perbincangan di dunia maya, seiring dengan perayaan 350 pengesahan traktat Breda; sebuah perjanjian yang menandai tukar guling antara New Amsterdam (sekarang Manhattan, New York) dan pulau Run di kepulauan Banda. Di Jakarta, sebuah pameran digelar, sementara dalam waktu yang hampir bersamaan, film dokumenter Banda: The Dark Forgotten Trail diputar di bioskop. Potongan-potongan gambar dan footage dari Banda yang berseliweran membangkitkan kerinduan saya kepada kepulauan teduh ini. 

Saya memutuskan untuk melanjutkan tulisan, atau tepatnya memoar, tentang Banda yang telah lama terbengkalai karena kehidupan pascasarjana.

Bahkan setelah berbulan-bulan meninggalkan Banda, saya masih dapat mengingat seluruh detil inderawi atas kepulauan ini. Laut birunya, bau rempahnya, kesunyiannya. Saya dapat mengingat dengan jelas, bagaimana pada tengah hari yang terik itu, saya menekur di pangkal salah satu dermaga di Banda Besar, menunggu kapal yang akan membawa saya kembali ke pusat kepulauan Banda. Ke Banda Naira.


Di depan saya, duduk sepasang anak beranak yang sibuk sendiri. Peluh mulai menghapus pupur tebal yang membalur seluruh wajah sang ibu. Sebentar lagi, usaha puluhan menitnya untuk berdandan rapi akan segera sia-sia, demi menghadapi ulah sang anak yang hampir tak bisa diam. Gadis muda yang ia pangku sesekali berdiri, mencoba menjauh dari jangkauan ibunya. Ia merengek agar diturunkan ke lantai, untuk kemudian meraih-raih dudukan dermaga kembali. Mengulang gerakan itu beberapa kali. Dari dua bilah bibir bergincu murahan sang ibu, beberapa saat kemudian, keluar bentakan kecil. Lebih dari cukup untuk memaksa sang anak mengambil sikap sempurna.

Namun peluh sang ibu masih belum berhenti mengucur. Alasan di balik peluh itu, sebagaimana lelaku hiperaktif anaknya, agaknya adalah kegelisahan. Anak beranak itu membagi perasaan itu dengan saya. Lebih dari 30 menit kami menunggu di pangkal dermaga itu, namun tiada tanda-tanda satu dua kapal yang hendak menyeberang. Beberapa kapal tertambat memang di ujung dermaga, namun kosong dan padam mesin-mesinnya. Atap-atap seng pada petak yang dirancang sebagai ruang tunggu itu barangkali mampu melindungi kami dari terik matahari, namun tidak dari rasa kesal yang tumbuh perlahan.

Saya mencoba menghapus kebosanan dengan menggoyang-goyangkan kaki sesekali. Pada menit-menit yang lain, saya melepaskan pandangan ke lanskap indah kepulauan Banda; laut hijau, dengan pulau Banda Api yang berdiri mencolok di tengah-tengahnya. Angkuh. Rumah-rumah kecil di Banda Naira terselip di horizon. Saya kemudian menengok jam, berharap agar tidak kesorean ketika tiba kembali di Banda Naira nanti. Durasi perjalanan yang amat terbatas membuat setiap detik di Banda menjadi amat berharga.


Dari kejauhan, suara motor memecah kesunyian tengah hari khas kepulauan Banda. Orang-orang di sana umumnya menghabiskan siang antara pukul 12 hingga 4 sore dengan tidur, menyisakan desa yang hampir senyap. Pada rentang waktu  itu, deru kendaraan bermotor menjadi bunyi yang sangat signifikan. Harapan saya segera terbit; barangkali inilah nahkoda kapal yang kami tunggu-tunggu. Ketika motor itu akhirnya semakin dekat ke dermaga, saya segera tahu bahwa sosok-sosok di atasnya adalah calon penumpang yang lain. Dari bagian belakang sadel motor, seorang ibu meloncat dengan kresek merah yang membumbung. Ketika ia berlalu, saya dapat mengamati isinya. Sekeranjang penuh fuli kering; urat Pala.

Kesabaran sang ibu mulai habis. Kali ini, amuknya tak lagi di arahkan kepada sang anak, melainkan pada pemuda pemudi yang turut mengaso di dermaga, namun tidak tampak berniat menyeberang.

“Mana ini orang bawa kapal he? Su lama sekali ba tunggu!” Pemuda pemudi itu terpaksa mengakhiri sejenak obrolan putus-putus mereka. Menengok ke kanan dan ke kiri, mengidentifikasi siapapun pemilik kapal yang bersembunyi. Mereka kemudian berseru kepada seorang pria tua yang sesungguhnya turut duduk di sana sejak tadi.

“Ini orang mau naik kapal.”

Pria itu menjawab dengan enteng, bahwa saat ini sedang bukan gilirannya melaut. Di dalam hatinya, ia mungkin hendak melarikan diri dari sengatan matahari yang mencabik-cabik siang itu. Si ibu mulai berkeluh kesah lagi, tanpa ampun, hingga pria tua itu tak punya pilihan lain kecuali mengakhiri waktu bersantainya.

“Tunggu, satu cangkir kopi dulu,” ujarnya sebelum melengos dan melipir ke warung. Pria itu tak pernah benar-benar menikmati cangkir kopinya. Empat lima menit selanjutnya, kami telah mengekor di balik punggungnya, hingga ke ujung dermaga. Orang-orang yang berkerumun menunggu bersama saya akhirnya berpindah ke lambung kapal. Naik perlahan-lahan, satu demi satu. Kapal stabil. Nir gelombang, air laut teramat tenang.


Penyeberangan dari Banda Besar ke Banda Naira tak menghabiskan waktu lebih dari 10 menit. Sekejap kemudian, saya kembali menjejak daratan pulau Naira yang lebih pikuk. Banda Naira adalah kota yang benar-benar kecil. Lebar jalannya bahkan tak akan mampu memuat dua mobil yang berpapasan. Bukan tanpa alasan jika saya akhirnya tak sekalipun menemukan jenis kendaraan itu di sini. Satu-satunya pilihan transportasi adalah motor. Dan karena luas Naira yang tidak seberapa, saya memutuskan untuk berkeliling dengan berjalan kaki sepenuhnya. Pilihan terbaik untuk menikmati sore yang hangat,

Saya kemudian memutuskan untuk memulai “baronda” Naira dari Benteng Belgica.

Bagi saya, Belgica adalah landmark kepulauan Banda yang paling mencolok dan khas. Siapapun yang mengunjungi Banda dari arah laut (dan mungkin udara) akan segera dengan mudah menangkap keberadaannya. Benteng ini dibangun pada salah satu pucuk bukit tertinggi di pulau Naira. Ia dirancang untuk dapat dilihat dari seluruh penjuru kepulauan, pun demikian sebaliknya; untuk menjangkau seluruh kepulauan. Dari kejauhan, kekukuhannya akan segera tampak oleh mata.

Karena kedudukannya yang sedikit berada di atas ketinggian, untuk mencapainya dibutuhkan sedikit tenaga ekstra. Ada beberapa bilah anak tangga yang perlu dipijaki, sebelum benar-benar tiba di gerbangnya. Sore itu, komplek benteng benar-benar sepi. Hanya ada satu dua turis yang tampak sibuk mengambil gambar. Sisanya anak-anak setempat yang sibuk bergaul di atas hamparan rumput setengah miring.


Dari pintunya, kesan akan keseriusan dan rasa insekyur Belanda akan geliat perlawan an pribumi Banda akan segera terasa. Sekalipun memiliki lingkar yang tak terlalu besar, namun ketebalan dinding-dindingnya cukup mengerikan. Perancangnya tampak berusaha semaksimal mungkin memberikan rasa aman bagi apapun yang coba dilindungi di tengah-tengah benteng tersebut. Belgica sekaligus menjadi penanda superioritas bangsa Belanda, karena didirikan tepat di atas sisa-sisa benteng milik Portugis, pada tahun 1611.

Paranoia dan rasa takut tentu saja bukan hanya menjadi motif endemik pembangunan sebuah benteng milik Belgica sepenuhnya. Namun di sini, perasaan itu terasa lebih kuat. Barangkali, karena bentuknya yang segi lima, dengan bastion-bastion di setiap ujungnya menghadap ke seluruh hamparan raya kepulauan Banda. Memastikan tak ada satupun musuh yang luput teramati, dari darat maupun udara. Belgica menjelma sebuah menara pantau panoptikon, dengan kesunyian lautan Banda sebagai blok-blok penjara dengan batas yang tak kasat. Pilihan arsitekur pentagon ini sendiri sesungguhnya baru diterapkan pada 1673, dirancang oleh Adriaan de Leeuw atas perintah Gubernur Jenderal VOC Cornelis Speelman.                


Namun, betapapun ia tampak paripurna, Belgica pada kenyataannya berhasil diokupasi Inggris lewat sebuah serangan tidak berdarah pada tahun 1796. Belanda berhasil melaksanakan pengambil-alihan ulang pada tahun 1803, sebelum dirampas Inggris kembali, hingga benar-benar kembali ke tangan Belanda pada akhir abad 19.

Pada 1904, Belanda mencoba membangun kembali benteng ini, namun tak pernah benar-benar selesai. Agaknya administrator kolonial mulai mempertimbangkan ulang relevansi Belgica, di saat Banda sendiri telah kehilangan status sebagai menara suar rempah-rempah dunia. Perhatian kebijakan agraria Belanda telah lama bergeser kepada gula dan kopi yang lebih semok, dan politik etis pun telah berbuah perintah dari negara induk untuk mengubah pendekatan terhadap pribumi. Meriam harus diganti pena dan gincu. Membangun ulang Belgica pada tahun-tahun itu, sama saja menunjukkan sifat agresif dan menantang dengan dagu terangkat, kesan  yang coba mereka tinggalkan. Banda pada masa itu lebih dikenal sebagai daerah pembuangan, dan orang-orang buangan itu tak perlu diawasi dengan benteng. Cukuplah bagi mereka kedalaman laut Banda sebagai jeruji. Pada 1914, benteng Belgica tuntas dibangun hanya sebagiannya.

Barulah pada 1991, jauh setelah Hindia Belanda berganti identitas menjadi Indonesia, Belgica kembali mendapatkan sentuhan restorasi. Belgica menjadi Belgica yang saya pijaki hari itu. Dari salah satu puncak menaranya, saya bisa memandang leluasa lanskap syahdu kepulauan Banda. Sunyi dan biru.


Pukul 5 kurang 30 menit, saya memutuskan bergeser ke situs sejarah Naira yang lain. Kali ini, saya hendak berziarah ke rumah pengasingan tokoh idola saya. Perumus demokrasi Indonesia, bapak koperasi, Mohammad Hatta. Saya dengan percaya diri kembali menelusuri dengan serampangan jalanan sempit Banda Naira, berkeyakinan bahwa kemanapun saya melangkah pasti akan mengarah ke tempat tujuan saya.

Di jalan, saya berpapasan dengan sumur yang terantai dan kanan kirinya dicat baru. Sumur itu yang menjadi saksi bisu pembantaian 40 orang kaya asli Banda oleh Jan Pieterszoon Coen. Kepala keempat puluh orang malang itu dipenggal hingga terpisah dari tubuh, lalu dipancangkan ke ujung-ujung bambu runcing. Peristiwa ini merupakan salah satu momen penting yang memudahkan infiltrasi kekuasaan kolonial atas rempah-rempah Banda, sekaligus menjadi awal mula eksodus orang-orang asli Banda dari tanah airnya. Ketika orang-orang asli Banda di kepulauan Banda hampir habis, keturunan mereka kini bermukim di kepulauan Kei yang lebih selatan. Memusat di ohoi Banda Eli dan Banda Elat, Kei Besar, Maluku Tenggara. Bahkan menurut catatan Ethnologue, hanya di kedua desa ini bahasa Banda masih dilestarikan, sementara di tempat asalnya, tidak lagi diketemukan penutur aslinya. Sebuah indikasi mengenai ketercerabutan penyebaran suku asli Banda hari ini.

Saya melanjutkan langkah, hingga belakangan menyadari bahwa saya berputar-putar di tempat yang sama. Saya jelas tersesat, sementara rumah pengasingan Hatta tak kunjung ditemukan. Saya menyerah dengan kegagapan saya, dan memutuskan bertanya kepada salah satu pemuda yang masih mengenakan celana SMP, mengaso di atas motor, di sebuah perempatan.

“Halo. Maaf, rumah Bung Hatta di mana ya?” Pemuda ini tersenyum balik kepada saya, sembari mencoba memberikan petunjuk arah sejelas mungkin. Sebelum selesai, dia tampak memiliki ide yang lebih brilian untuk memastikan saya sampai ke rumah Hatta dengan tepat.

“Ayo naik kak, nanti saya antar,” ujarnya tanpa ragu. Ia segera menyalakan motor matic-nya, dan menyilakan saya naik. Saya mulai terbiasa dengan keramahan dan kemurahan hati oran-orang Banda, sehingga tawarannya segera saya sergap. Kurang dari dua menit, saya tiba di depan rumah legendaris itu. Saya berbalik kepada sang pemuda, mencoba menawari sejumlah uang, namun ditolaknya secara halus sembari berbalik dengan motornya. Pintu rumah pengasingan Hatta terbuka lebar. Namun dari luar, segera tampak bahwa di dalam tak ada aktivitas. Rumah Hatta sedang sepenuhnya lengang sore itu. Tak ada manusia lain. Pun demikian, saya memutuskan untuk tetap melangkah masuk.

Sekalipun melompong, rumah pengasingan Hatta tampak rapi jali. Seseorang sangat berusaha merawat peninggalannya dengan apik, tanpa membiarkan sebutir debu pun menghinggapi koleksi museum tersebut. Dengan arsitektur indis yang khas, pelancongan ke dalamnya terkesan seperti tamasya ke rumah nenek. Hangat dan karib. Jendela berkusen besar di beberapa bagian rumah dibiarkan pengelolanya terbuka, sehingga cahaya hangat sore dapat merembes masuk ke seluruh sudut rumah.


Rahasia dibalik ketaraturan itu belakangan tergopoh masuk menyusul saya. Seorang wanita berumur yang tiba dengan mengenakan daster oranye berpotongan sederhana. Sepintas kecantikan muda khas keturunan Hadramaut masih tersisa di dalam parasnya. Hidungnya mancung, dengan kulit putih bersih yang berkerut. Rambut yang telah perak sepenuhnya dikuncir rapi kebelakang. Badannya telah jauh membungkuk, memangkas tinggi aktualnya hingga lima per enam. Namun dari piringan matanya yang menua, masih tampak semangat dan kekuatan. “Dua minggu lalu saya baru tiba dari Jakarta. Perjalanan dua minggu, naik kapal Tidar.”

Ia memperkenalkan dirinya sebagai Emi. Saya memanggilnya Oma Emi.

Seperti orang-orang Banda yang lain, Oma menanyakan asal usul saya dan bagaimana saya bisa terdampar di tengah lautan Banda. Ia pun, sebagaimana lazimnya pengelola museum, mulai menjelaskan detil-detil rumah pengasingan. Hatta yang menghabiskan beberapa waktu di Banda, terkenal suka mengisi waktunya dengan mengajari anak-anak Banda calistung. Pada bagian belakang rumah, saya menemukan sebuah selasar yang disusun layaknya kelas sederhana, lengkap dengan meja dan kursi belajar. Salah satu diantara bocah-bocah itu diangkat Hatta sebagai anak. Di masa depan, sangat sulit memisahkan nama si anak dengan kisah-kisah restorasi Banda. Ia tak lain adalah Des Alwi. Salah satu kontribusi terbesarnya adalah revitalisasi rumah pengasingan yang kini dirawat sepupunya. Oma Emi, tiada lain.


Bagi saya, perbincangan dengan Oma membawa perasaan lain yang ganjil. Saya memiliki ingatan yang relatif tak lengkap soal sosok nenek. Di satu sisi, nenek saya dari sebelah ibu telah meninggal sebelum kedua orang tua saya menikah. Sementara nenek saya yang satu lagi tinggal ribuan kilometer jauhnya dari tempat saya menghabiskan masa kecil. Hampir tak ada kenanga spesifik tentang kehangatan sosok mereka, sebagaimana digambarkan di dalam cerita anak-anak yang kerap saya baca. Maka perbincangan sore singkat dengan Oma mengenai tokoh idola saya memberikan kehangatan yang sesaat, minus teh hangat dan biskuit. Ketika saya menyebut Banda sebagai rumah kedua, kampung halaman yang lain, saya benar-benar menemukan alasannya. Sebelum mengakhiri ziarah, Oma sempat meminta saya mengganti bohlam lampu teras belakang rumah. Kami lalu keluar rumah beriringan.

Pukul 6 kurang beberapa menit, ketika cahaya matahari yang jingga jatuh dalam sudut kurang dari 45 derajat. Masih ada waktu sebelum matahari benar-benar tenggelam. Saya mengarahkan diri ke pantai Tita Baru, turut bersama belasan warga setempat menghabiskan sore. Salah satu bagiannya telah direklamasi membentuk selasar beton panjang hingga ke tengah laut, berusaha menjangkau Banda Api di seberangnya.

Di salah satu sudut yang kurang riuh, saya merebahkan diri menghadap cakrawala langit yang masih bersisa biru. Saya merogoh smartphone yang sejak tadi lebih banyak berfungsi sebagai jam, dan mulai memilih-milih lagu di dalam daftar putar yang telah saya susun. Ruang dengar saya segera terisi oleh vokal lamat-lamat pembuka lagu “Our Roots”, The Trees and the Wild.

Saya bangkit dan terduduk menghadap matahari tenggelam, berusaha merefleksikan perjalanan yang jauh ini. Terasing di tengah kedalaman laut Banda, pada gugus pulau yang liliput, saya dihadiahkan pengalaman demi pengalaman yang karib dan ajaib. Siapa mengira saya akan menemukan rumah di jalanan sempit Naira dan Lonthoir, lalu Tuhan di puncak benteng Hollandia, lalu keterasingan dan paranoia di Belgica, lalu sosok nenek di rumah pengasingan Bung Hatta. Potongan-potongan ini hampir tak memiliki kelindan dan tampak paradoksal, namun kadung bergumul di dalam kesatuan di kepulauan Banda.

Banda pada suatu masa adalah “akar” dari sejarah dan identitas bangsa ini, dan kini serabut eksistensinya telah menembus jauh ke dalam bilik-bilik memori saya. Dari sebuah memori kolektif kepada pengalaman yang sangat personal. Ketika ingatan itu dibangkitkan sekali lagi hari ini, ia tak pernah ragu untuk membagi dirinya lebih jauh lagi, menunjukkan segi-segi yang dulu luput terendapkan. (*)

Sekelumit tentang Banda Naira:
Banda Naira adalah pusat administrasi dan ekonomi dari kepulauan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Dapat dijangkau dengan kapal feri dari pelabuhan Tulehu, Ambon yang berangkat dua kali seminggu dengan tarif Rp. 410.000 (per Oktober 2016). Di Naira terdapat beberapa penginapan bernuansa rumahan dengan room rate yang bervariasi. Saya memilih menginap di Delfika Guesthouse 1 yang cukup dekat dengan pelabuhan. Penginap dikenakan tarif Rp. 200.000 (per Oktober 2016) per malam untuk kamar non AC. 

Orang-orang Banda pada dasarnya sangat ramah dan senang mengobrol. Menjadi pelancong tunggal di sini tidak akan membuatmu kesepian.

Minggu, 23 Juli 2017

Dunkirk: Tubuh Abu-abu Sang Ruang-Waktu-Bunyi

00.02 Posted by Arasy Aziz , , , No comments

Sumber: Joblo

Kita semua tahu, ada cela dalam 20 tahun karir penyutradaraan Christopher Nolan yang mengilap dan benderang itu. Di dalam 20 tahun karir penyutradaraan yang mengilap dan benderang itu, Christopher Nolan belum pernah sekalipun mencicipi anugerah piala Oscar.

Padahal sang sutradara Inggris sesungguhnya telah membuktikan diri sebagai salah satu kreator film terhebat di abad 21. Ia adalah representasi terkini dari kecerdasan dan sentuhan endemik seorang ateur yang berhasil berdamai dengan tuntutan kapital Hollywood. Di dalam setiap film Nolan kita akan menemukan penciri yang khas; penokohan yang berpusat pada karakter yang kuat namun tak kunjung tuntas dengan dirinya sendiri. Narasi yang tidak linear, penuh lapisan, dengan tone gelap dan set yang kolosal kemudian disusun dengan berpusat di dalam pakem penokohan tadi.

Suatu hari nanti, ketika kita diuji dengan film-film Nolan yang disajikan tanpa kredit sekalipun, kita barangkali akan dengan mudah berujar, “ini film Nolan.”

Saya sendiri telah memutuskan ‘mengimani’ Christopher Nolan sejak The Dark Knight (2008). Siapapun pasti bersepakat, bahwa karakterisasi Batman yang dihadirkan Nolan di dalam film itu, beserta prekuel dan sekuelnya, telah menghadirkan standar yang sangat tinggi bagi film-film pop superhero. Pertarungan Batman dan Joker tidak dihadirkan secara kontras sebagai wakil-wakil sisi gelap dan terang kota Gotham. Batman ditelanjangi sebagai manusia biasa dengan sisi-sisinya yang paling rikuh, yang justru membantunya mengarungi krisis.

Bagi saya, The Dark Knight adalah sentuhan dengan level intelektualitas sebuah nubuat. Hingga hari ini, DC Cinematic Universe sebagai ibu kandung semesta Batman sendiri tampak kepayahan untuk menyamai pencapaian artistik film ini. Dua film DCU yang dirilis tahun 2016 bahkan flop di pasaran dan di ujung pena kritikus.

Di dalam karyanya yang lain, Nolan kerap meminjam trivia-trivia dari ragam semesta sebagai bahan mentah untuk dikembangkan menjadi landasan bertutur. Di dalam Inception (2010), Nolan mengeksploitasi lapisan-lapisan di dalam alam bawah sadar manusia yang berproyeksi di dalam mimpi. Struktur mimpi kemudian dimanfaatkan sebagai instrumen untuk melakukan tindakan spionase dan sabotase tingkat tinggi. Para infiltrator menyusup ke mimpi korban untuk menanamkan atau mencuri ide tertentu. Empat tahun kemudian, Nolan menggubah masterpiece-nya yang berikutnya; Interstellar (2014). Tak lain sebuah upaya ambisius menyederhanakan algoritma dan hukum rumit di balik ruang dan waktu ke dalam kisah perjalanan antar galaksi.

Namun demikian, kedua film yang saya sebutkan belakangan rupanya belum mampu menghadirkan pengisi cela dalam 20 tahun karir penyutradaraan Christopher Nolan yang mengilap dan benderang itu. Inception berhasil masuk nominasi film terbaik Oscar pada tahun 2010, namun harus takluk di tangan King’s Speech. Sementara Interstellar justru tidak masuk sama sekali di dalam daftar nominee film terbaik tahun 2014. Banyak orang menuding kerumitan cerita dan temanya-lah yang menjadi biang kegagalan. Padahal setahun sebelumnya, Gravity (Alfonso Cuaron, 2013) yang notabene bergenre serupa berhasil menjadi penantang serius dalam gelaran Oscar.

Nolan dipaksa untuk mencoba sekali dua lagi. Betapapun buruknya integritas Oscar hari ini, saya yakin, diam-diam Nolan memimpikan kehadiran salah satu piala itu di dalam lemari koleksinya. Dan pada tahun ke-20 karir penyutradaraannya, pemecahan rekor itu terasa tinggal menunggu waktu. Kali ini, Nolan mencoba “berdamai” dengan Oscar dengan menggarap film yang ramah juri.

Jalan itu diretas melalui resital operasi penyelamatan terbesar selama Perang Dunia II, di pantai Dunkirk, Prancis, tahun 1940.

Sumber: Indiwire

Evakuasi Dunkirk, Evakuasi Oscar?  
Dalam kurun 1939-1945, fokus seluruh dunia terpusat di Eropa, demi menyaksikan salah satu peperangan terburuk dan terbesar sepanjang masa.

Upaya ekspansi besar-besaran Jerman di bawah NAZI dan Adolf Hitler ke seluruh Eropa telah memicu kemarahan bangsa-bangsa lain, memantik Perang Dunia II. Kita tahu pada akhirnya perang ini melahirkan sekutu, yang terdiri atas Amerika Serikat, Inggris, Prancis dan Uni Sovyet, sebagai pemenang. Perlawanan Jerman berakhir seiring dikepungnya Berlin yang berujung bunuh diri Hitler, pada 1945. Namun selama 6 tahun peperangan, dewi fortuna lebih sering berpindah-pindah pihak. Keberuntungan di dalam Perng Dunia II tidak melulu menetap dan bernaung di bahu salah satu yang terlibat. Perpindahan itu dapat saja terjadi dalam sekali pembalikan koin.

Pada pertengahan 1940, pasukan sekutu yang pada saat itu masih belum diperkuat Amerika, mengalami kekalahan demi kekalahan di sejumlah garis depan Perang Dunia. Misi menggagalkan upaya Jerman mengokupasi Belanda justru menjadi awal malapetaka. Pasukan sekutu belum tiba tiga perempat jalan, ketika bala tentara Jerman telah jauh melewati perbatasan negara Belanda, bahkan terus meringsek hingga ke selatan Belgia. Di perbatasan , terjadi pertempuran antar kedua kubu yang dengan mudah dimenangkan Jerman.

Upaya serangan balik yang disusun kemudian pun tidak membuahkan hasil. Jerman justru semakin meringsek ke Selatan, mengepung pasukan sekutu yang tersisa di Dunkirk, sebuah kota pantai di Prancis utara. Para tentara yang telah kalah secara moril itu terjebak antara laut lepas di balik punggung mereka, dan moncong senjata pasukan Jerman. Sesekali, pesawat tempur Jerman pun membombardir pantai dengan hujan bom. Pilihannya adalah menyerah atau menunggu bala bantuan dari tanah air mereka, Inggris, yang notabene berada di seberang pantai Dunkirk. Konon pada hari-hari yang cerah, pucuk-pucuk daratan Inggris Raya bahkan sesekali terpantau di kaki langit.

Rumah yang terasa dekat itu, ibarat jutaan liter air asin bagi mereka yang terjebak dahaga di tengah samudra. Dekat, namun membunuh harapan perlahan.

Menariknya, tentara sekutu justru memilih mengambil risiko dari harapan yang terbunuh perlahan itu. Alih-alih menyerah kepada pasukan Jerman, sekutu memilih untuk mengevakuasi seluruh armada yang tersisa di pesisir Dunkirk ke seberang lautan, kembali ke Inggris. Padahal di pantai, menyemut hampir 400.000 perwira yang hampir kehilangan daya hidup. Pertanyaannya, bagaimana manusia sebanyak itu dapat diangkut menyeberangi lautan?

400.000 adalah jumlah yang signifikan untuk dirayakan di dalam sebuah pesta besar di Berlin, sementara di seberang lautan, bangsa Inggris akan menanggung malu seumur hidup.

Pada titik ini, keajaiban pun terjadi. Dari kaki langit, dari tempat di mana daratan Inggris diukir Tuhan, perlahan muncul kapal-kapal nelayan. Pada mulanya satu, dua, kemudian menjadi ribuan jumlahnya, memenuhi perairan dangkal pantai Dunkirk. Hujan bom dan senapan masih terdengar sesekali, sementara para prajurit yang tersisa itu melangkahkan kakinya tergesa, menyeret seragamnya yang basah, menggapai kapal-kapal nelayan. Satu demi satu mereka naik, sebelum kapal memutar kemudi kembali ke tanah Inggris. Pantai Dunkirk akhirnya kosong sama sekali.

Sumber: Indiwire

Christopher Nolan, 77 tahun kemudian,  kemudian berusaha menerjemahkan narasi kolosal lagi maha dramatis di pantai Dunkirk itu ke layar perak.

Pekerjaan rumah pertamanya adalah bagaimana menangkap emosi peristiwa evakuasi di Dunkirk dengan baik dan menyeluruh. Dunkirk, bagaimanapun, adalah contoh peristiwa yang dalam sekejap mengubah paras Perang Dunia II. Perang itu tak lagi menjadi adu kekuatan antara militer dengan militer. Perang itu tetiba menjadi miliki seluruh manusia manapun yang berakal, tanpa membedakan mereka yang mengenakan seragam dan mereka yang tidak. Di dalam peristiwa Dunkirk terjadi dialog antara latar sosiologis yang berbeda di dalam satu waktu. Antara yang perwira dan yang sipil. Antara yang korsa dan yang dinamis. Ada arketip, sebuah pola kejiwaan umum, yang dapat menjelaskan setiap lelaku dan drama yang terjadi di pantai itu.

Pola kejiwaan yang berdialog di antara subyek-subyek itulah yang kemudian dieksploitasi di dalam film Dunkirk. Pada permulaan film, Nolan telah lebih dahulu membagi dan mengidentifikasi masing-masing fragmen dalam tiga perspektif, berdasarkan tiga kategori ruang, waktu, serta sedikit banyak latar sosiologis sang tokoh. Sudut pandang itu kemudian dijahit satu persatu mengisi layar di dalam sebuah narasi sepanjang 106 menit. Nolan kembali menggunakan pakem yang telah dianutnya dengan setia; menciptakan plot berlapis yang disusun tidak linear. Persepsi mengenai waktu sengaja ditumpuk dan dimain-mainkan, terkadang dipepatkan dan terkadang direntang lebih lebar, menciptakan kesan disorientatif. Pada pertengahan film, pembagian waktu tak lagi relevan, mulai beririsan, hingga melebur sepenuhnya.

Nolan kemudian bermain-main dengan multisiplitas ruang untuk menyempurnakan interpretasi yang tidak bersetia terhadap waktu itu. Melalui pendekatan ini, Nolan beritikad untuk tidak berlebihan menggunakan pakem film-film perang blockbuster yang dipenuhi ledakan, reruntuhan palsu dan desingan peluru. Efek-efek generik itu justru digantikan dengan shot-shot lanskap pada lingkungan yang berbeda-beda; di pantai, di lautan, dan di udara. Nolan memaksimalkan kapasitas kamera IMAX 15/70 mm dan Panavision 65 mm untuk menangkap detil-detil, dan lebih jauh lagi, memungkinkan keterlibatan belarasa pemirsanya atas situasi petempuran yang sejati.

Ledakan dan desingan peluru kemudian dimunculkan secara terukur sebagai jembatan antara ruang-ruang, yang lapang ke dalam semesta yang serba sempit dan gaduh. Bukan sekali adegan-adegan para tokoh yang terjebak di dalam ruang sempit dan mengancam nyawa dihadirkan. Ledakan terjadi sekadar untuk menenggelamkan kapal-kapal atau pesawat yang sepenuhnya asli. Ruang-ruang sempit yang perlahan terisi air, atau tampak pengap itulah, yang menghadirkan teror perang sesungguhnya di dalam Dunkirk. Sebuh klaustrofobia yang multi dimensi.

Sumber: Indiwire

Dalam kekacauan memukau ini, hadirlah elemen ketiga yang menjadikan Dunkirk paripurna; bunyi. Pada salah satu wajahnya, Dunkirk adalah film yang lebih banyak berkutat dengan kesenyapan. Dengan script setebal 76 halaman, tidak banyak dialog yang berlalu-lalang sepanjang durasi film. Adegan demi adegan lebih banyak diisi dengan kekosongan, suara-suara alami, sebelum ditimpali scoring gubahan Hans Zimmer. Nama yang disebut belakangan, adalah kolaborator setia Christopher Nolan yang sekali lagi menunjukkan kelasnya, melalui Dunkirk. Salah satu favorit saya adalah ketika filler dari string section menggantikan bunyi derap langkah seorang tokoh dan kawannya yang berlarian membawa tandu, semata-mata agar dapat terangkut kapal yang hendak bertolak ke Inggris.  Bunyi menggantikan emosi yang kadang tak tertangkap ketika tokoh-tokoh itu berlari membelakangi layar.

Bagi saya, sang ruang, waktu dan bunyilah yang justru menjadi tokoh utama di dalam Dunkirk. Tanpa bermaksud mengenyampingkan acting brilian Tom Hardy, Mark Rylence, Fionn Whitehead, bahkan Harry Styles, namun keseluruhan cerita Dunkirk seseungguhnya berpusat pada ketiga elemen tadi. Ruang, waktu dan bunyi-lah yang memungkinkan film ini tetap bercerita dengan baik, tanpa satupun tokoh dengan karakter yang kuat sebagai episentrum cerita, sebagaimana film-film Nolan sebelumnya. Ketiga elemen itu telah menjelma menjadi satu karakter tersendiri, satu tubuh imajiner, sebagai pengontrol sekaligus penutur dari balik layar.

Ketiadaan protagonis utama menjadikan Dunkirk sekaligus berhasil menghindarkan diri dari jebakan lain film-film perang, yakni heroisme penuh pretensi dan motif terselubung, Kita tahu bahwa peristiwa Dunkirk sendiri adalah sebuah peristiwa yang dikatalisasi oleh orang-orang yang hampir kalah dan menyerah. Upaya evakuasi itu tak lain untuk mencegah Inggris dipermalukan lebih jauh. Filmya kemudian bersetia kepada realitas ini, dengan menggambarkan wajah asali dari mereka terdesak di dalam peperangan. Sebagai serigala bagi manusia yang lain. Di pantai Dunkirk, setiap individu sibuk berusaha menyelamatkan dirinya sendiri, menggunakan segala cara.

Keacuhan akan nasib kolektif itu tidak hanya tampak di dalam wajah tokoh-tokoh pentingnya, namun di dalam ribuan pemeran tambahan asli yang disiapkan Nolan untuk menyemuti Dunkirk. Tentu saja butuh kemampuan pengarahan yang luar biasa untuk memastikan seluruhnya dapat menghadirkan keresahan yang sama. Mereka harus menampilkan ekspresi yang seragam, semisal, ketika ratusan diantaranya berjalan berpepatan di dermaga, lalu mendengar suara pesawat tempur, mendongak ke langit, menunduk, lalu berjalan kembali seolah tidak terjadi apa-apa. Ribuan orang menampilkan paras yang sama, yaitu kepasrahan akan kehadiran ajal yang datang sewaktu-waktu.

Penolakan konsisten Nolan pada narasi yang kelewat heroik akhirnya ditunjukkan dengan melekatkan sifat itu kepada sosok perwira Prancis tanpa nama yang terus-menerus berhasil menyelamatkan tentara Inggris dari kematian. Si Prancis akhirnya mengenakan identitas curian dari perwira Inggris yang telah wafat, dengan nama Gibson. Berkali-kali, “Gibson” mengabaikan keselamatan dirinya untuk menyelamatkan orang-orang, yang belakangan justru berusaha membunuhnya. Selepas kematiannya yang benar-benar, Gibson akhirnya segera terlupakan. Lelucon mengenai heroisme hadir pula pada scene yang lain, ketika seorang bocah yang notabene tidak banyak melakukan apa-apa sepanjang film, justru menerima sekolom kecil penghargaan di surat kabar.

Pun demikian dengan pihak Jerman, yang sepanjang film dihadirkan tanpa wajah. Kehadirannya semata-mata diwakili oleh pesawat tempur dan peluru. Ketiadaan sosok antagonis aktual menghindarkan Dunkirk dari narasi biner antara yang jahat dan yang baik. Di dalam narasi resmi mengenai Dunkirk, Jerman sesungguhnya memiliki peran besar dalam upaya evakuasi 400.000 orang yang terjebak itu. Dari Berlin, pasukan Jerman diperintahkan untuk berhenti 8 mil dari garis pantai, demi memberikan kesempatan bagi tentara sekutu untuk menyelamatkan diri. Serangan dilancarkan semata-mata berbentuk gertakan sesekali. Keputusan ini konon diambil Hitler untuk menunjukkan itikad baik kepada Inggris, agar mau bernegosiasi. Catatan kaki seperti ini hampir tak dapat dinilai dalam perspektif baik-buruk, kecuali diarsipkan secara abu-abu.

Demikianlah, “identitas hanya untuk orang mati,” ujar Sartre suatu ketika. Dalam konteks Dunkirk, heroisme itu akhirnya tidak dapat diklaim oleh siapapun, bangsa manapun, karena hampir-hampir tidak dapat dikenali. Ia tidak memiliki identitas.

Bagi saya, pilihan politik Nolan ini menjadi signifikan apabila kita mempertimbangkan situasi politik dalam negeri negara asalnya selama periode produksi film ini. Pada tahun 2016, rakyat Inggris melalui sebuah referendum memutuskan untuk keluar dari keanggotaan Uni Eropa. Sekalipun lebih banyak dilatari oleh motif ekonomi, para konstituennya pun tergerak oleh sentimen irasional yang menyerempet ujaran supremasi kebangsaan Inggris. Ada ketakutan diam-diam dari gelombang pengungsi dan orang-orang Eropa daratan. Satu tambahan film heroik agaknya hanya akan menjadi bahan bakar segar bagi pertumbuhan populisme itu. Pergeseran selangkah akan menjadikannya iklan layanan masyarakat bagi negara tempat film itu diproduksi.  Dunkirk kemudian menunjukkan, bahwa di dalam peristiwa yang gemilang itu, selalu ada ruang bagi rasa gentar dan inferioritas. Ada sisi-sisi manusiawi, sikap pengecut demi bertahan hidup, yang akan menahan dagu siapapun agar tidak mendongak kelewat tinggi.

Segala segi itu telah membawa Nolan pada satu tingkat yang lebih tinggi. Ia telah membuktikan diri sebagai sutradara yang tidak hanya dapat bermain-main dengan kejiwaan manusia dan eksploitasi kegilaan. Lebih dari itu, Dunkirk justru berhasil melakukan personifikasi terselubung terhadap pengetahuan yang selama ini a priori, hal-hal yang eksistensinya hanya dapat dipersepsikan sebelum panca indera digunakan. Ruang, waktu, dan bunyi telah menjelma menjadi satu tubuh politis yang menyuarakan sebuah tuntutan akan kewaragaan dunia yang tidak terjebak pada nasionalisme sempit. Bahkan pada tahap ini, perdebatan mengenai pantas tidaknya Dunkirk dan Christopher Nolan diganjar Oscar tak lagi benar-benar penting. Ketika sebuah entitas telah berada pada ujung lelaku penciptaan, kita tahu sebutan apa yang selayaknya disematkan kepadanya. Kita tahu sebutan apa yang selayaknya disematkan pada Christopher Nolan kali ini. (*)

Dunkirk
Sutradara     : Christopher Nolan;
Pemain        : Fionn Whitehead, Harry Styles, Tom Hardy, Mark Rylence;
Rating          : 10/10