Fiat Lux

Senin, 19 Agustus 2013

Gorontalo: Nyala Terakhir Tohetutu

04.50 Posted by Arasy Aziz 2 comments
Inna anzalnahu fi lailatil-qadr(i) / Wa maa adraka maa lailatil-qadri(i) / Lailatul-qadri khairum min alfi syahr(i) / Tanazzalul malaa'ikatu war-ruuhu fihaa bi'izni rabbihim min kulli amr(in) / Salaamun hiya hattaa matla'il fajr(i). Pelita pertama telah dinyalakan, diantara sebait surat Al-Qadr yang saya baca dalam hati sembari menahan nafas. Tata cara menyalakan tohetutu (pelita minyak tanah dalam bahasa Gorontalo) ini saya pelajari dari orang-orang Gorontalo yang saya kenal mula-mula. Konon, hal ini mengundang mukjizat malam seribu bulan singgah ke rumah. Bau jelaga bercampur minyak tanah meruap sesegera saya membiarkan udara kembali mengisi paru-paru.

Saya tidak menemukan catatan yang dapat memberi penjelasan akurat mengenai kapan Tumbilotohe bermula. Kebudayaan Gorontalo cenderung abai akan pentingnya tradisi tulisan dalam merekam catatan sebuah peristiwa. Pengetahuan mengenai asal mula Tumbilotohe dapat diperoleh melalui tutur lintas generasi, dari mulut ke mulut. Perayaan ini konon dimulai untuk memberi penerangan bagi orang-orang yang hendak menunaikan ibadah sholat tarawih. Versi lain menyebutkan, deretan pelita-pelita digunakan guna menjadi penunjuk jalan bagi lailatul-qadr yang turun dari langit. Berfungsi serupa lampu-lampu suar pemandu pesawat terbang di bandar udara. Ini menjelaskan mengapa malam ke-27, 28, dan 29 Ramadhan dipilih sebagai malam-malam perayaan. Bersama Tumbilotohe didirikan miniatur gerbang-gerbang dari kayu dan bambu, alikusu. Diatasnya digantung hasil bumi dan buah-buahan sebagai sedekah dan ucapan syukur kepada Tuhan, untuk kemudian dapat dipetik siapa saja yang berlalu-lalang.

Hamparan Tohetutu dengan latar jembatan Talumolo II.
Di malam ketiga perayaan Tumbilotohe, saya bersama seorang kawan, Sarah, menyusuri jalan-jalan kota Gorontalo demi menemukan pemandangan Tumbilotohe terbaik. Beberapa ruas jalan tampak kesulitan menampung tumpahan kendaraan. Macet dimana-mana. Hal ini diperparah dengan adanya Pasar Senggol yang menggunakan sebagian jalan utama di jantung kota. Amat beruntung, salah satu tempat terbaik dalam menikmati perayaan Tumbilotohe tampak lengang. Dari hadapan hamparan tohetutu, saya dapat memandang bayang-bayang remang jembatan Talumolo II. Tiba-tiba, ada gelisah yang menyeruak.

Kita, sesungguhnya, tengah memasuki periode hitung mundur menuju padamnya cahaya sebuah pelita besar kebudayaan Gorontalo.

Tohetutu dalam Tumbilotohe telah menjejak jalur evolusi yang panjang sejak pertama kali dinyalakan oleh entah-siapa. Pada mulanya, pelita-pelita menggunakan minyak kelapa sebagai bahan bakar. Di masa lampau, masyarakat memproduksi sendiri olahan ini di rumah-rumah guna memenuhi kebutuhan domestik. Meluasnya distribusi kerosen hasil penyulingan minyak bumi menghadirkan varian lampu yang lebih memudahkan.

Padat. Ragam kendaraan menyesaki Jl. Bali yang sempit. Pemuda setempat membangun terowongan cahaya dari lampu berwarna senada nyala tohetutu.
Namun, ketergantungannya pada bahan bakar minyak menghadirkan sebuah tembok penghalang kongkrit. Beberapa tahun silam, ketika minyak tanah sempat menjadi langka di Gorontalo, pemerintah lokal khawatir malam-malam Tumbilotohe menjadi lesu, dan mengajukan model lampu berbahan dasar lilin kepada masyarakat. Gagasan ini kurang populer. Banyak pihak menganggap penggunaan lilin terlalu identik dengan tradisi keagamaan Nasrani, dan tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam tradisional-Gorontalo. Masyarakat lebih memilih mengganti pelita minyak tanah dengan lampu listrik LED warna-warni yang berkelip. Kini, setelah pemerintah benar-benar membatasi peredaran minyak tanah dan mencabut subsidi atasnya, setelah harga minyak tanah melangit dan sulit diterima akal sehat, perayaan Tumbilotohe semakin kehilangan semarak setiap tahunnya. Hingga suatu saat, ketika kerosen benar-benar punah dari daftar prioritas penyulingan minyak bumi, Gorontalo akan kehilangan salah satu hasil olah cipta rasa karsanya yang unik.

Pertentangan tak tampak yang sengit juga datang dari tataran idea. Gugatan atas tren perayaan tradisi ini belakangan hadir dari sejumlah cendekiawan Gorontalo, seperti Thoriq Modanggu (iya, Thoriq Modanggu yang itu) melalui salah satu artikelnya dalam buku Mengutuk Tuhan Yang Terkutuk. Waktu yang berderap, menyebabkan tumbilotohe mengalami pergeseran utilitas yang nyata. Orang-orang Gorontalo (termasuk saya, tentu saja) lebih suka berkeliling dan menikmati temaram, alih-alih memakmurkan rumah Allah. Dua hal ini selalu berdiri pada sisi-sisi yang berseberangan. Dua hal ini, mewakili nilai-nilai pragmatik dan ideal, duduk saling hadap-menghadap dalam arena.

Perayaan Tumbilotohe, dengan segala potensi kepariwisataannya, terlalu berharga untuk diabaikan. Suatu keunikan tersendiri melihat jutaan lampu botol menyala serentak, dari tepian jalan-jalan pos kota hingga pojok-pojok perkampungan. Dengan cara tertentu, Tumbilotohe menyajikan kehangatan, dan kadang-kadang romantisme yang tak terjelaskan. Pemandangan yang akan sulit ditemui di belahan bumi manapun. Tumbilotohe juga menggerakkan usaha kecil, dengan nilai menjanjikan dari transaksi jual-beli botol bekas minuman energi, dari sewa jasa angkutan bentor untuk berkeliling kota. Bunyi ladam sepatu kuda yang hampir senyap di jalanan Gorontalo juga kembali semarak.

Kawan saya, Sarah, menyalakan pelita yang padam.
Dari kacamata lain, Tumbilotohe telah menyimpangi esensi mula-mulanya. Budaya ini lahir dan bertahan hidup melalui serangkaian receptie adat istiadat Gorontalo terhadap agama Islam. Dia hadir sebagai prasarana ritual yang belakangan melembaga menjadi sebuah Urf, adat istiadat selaku sumber hukum. Urf setidak-tidaknya mensyaratkan dua hal untuk tetap diterima: pertama, dia tidak bertentangan dengan sumber-sumber hukum utama agama Islam dan kedua, memberi kemanfaatan umum dan meluas. Tumbilotohe dewasa ini, dengan segala implikasinya bagi jamaah mesjid, secara nyata kesulitan memenuhi syarat kedua. Masyarakat Gorontalo akhirnya dihadapkan pada sebuah persimpangan: mempertahankan sebuah tradisi sekarat yang terlanjur mapan, atau belajar menanggalkannya sebagai sejarah.

Sekelumit Tentang Tumbilotohe:
Tumbilotohe dirayakan pada malam ke-27, 28, dan 29 Ramadhan setiap tahunnya, yang secara umum mengacu pada penentuan penanggalan hijriyah milik pemerintah. Menikmati tumbilotohe tidak dipungut biaya dan dapat ditemukan di seluruh Gorontalo. Transportasi: Berkeliling menggunakan bentor dan bendi sangat direkomendasikan. Tempat terbaik untuk menikmati Tumbilotohe di seputaran Kota Gorontalo: Jl. Bali, jembatan Talumolo II, Danau Limboto sisi perbatasan Kota Barat-Batudaa, Kecamatan Tilango.