Fiat Lux

Sabtu, 23 Maret 2013

Efek Rumah Kaca: Merayakan Intelektualitas

06.11 Posted by Arasy Aziz , No comments

Foto kurang baik, diambil via kamera hp.
Saya bukan penggemar Efek Rumah Kaca (selanjutnya saya sebut ERK) yang giat. Cerminnya, tidak banyak lagu mereka yang bisa saya eja dengan benar. Paling-paling Cinta Melulu, sebuah anthem yang kami gunakan untuk menangkal banjir lagu melankolik di zaman madrasah dulu. Tapi berita konser mereka di Malang terdengar amat menyegarkan. Tak boleh dilewatkan. Beberapa hari belakangan saya cukup disibukkan dengan urusan pra-kompetisi adu gagasan tingkat nasional. Bantu sana, bantu sini. Menyusun dan mengadu argumen. Menyenangkan, namun manusia tetap manusia. Pelarian. Lagipula kota kita rasanya, sepanjang saya bermukim disini, amat jarang disinggahi musisi sekelas ERK. Andaipun ada, diadakanlah dia di venue yang jauh dari kontrakan dan sulit dijangkau angkutan umum. Kali terakhir saya menonton konser terjadi setahun lalu. Iya, setahun lalu, dan di ibukota negara. Maka terpujilah anak-anak Psikologi UM.

Di Graha Cakrawala, deret gerbong pagelaran dimulai oleh A Strong Boy yang mengajak cicak berjalan dilantai dan nyamuk seolah terbang terbalik. Selanjutnya elektronika ATLESTA yang genit (terima kasih untuk additional vokalis dari Kobra) dan pop menyenangkan My Beautiful Life. Sebuah band ska yang paling memancing keringat justru saya lupa namanya. Unit ini memaksa saya berdansa buta. Seorang wanita kemudian menegur saya bercanda: kalau lari, kamu udah nyampe Rampal kali. Maklum mahasiswa, udah lama gak olahraga, balas saya. Kami tertawa bersama. Sayang tidak ada perkenalan. Dansa berlanjut.

Unit paling ditunggu akhirnya kebagian giliran. Konon ERK selalu tampil santun, tidak berlebihan. Malam itu juga. Muncul dari balik panggung sembari bersedekap, sumbu dinamit yang telah disulut sejak awal acara langsung meletup binal. Tanpa kata ERK mengawali jatah tampil mereka dengan Desember. Aku selalu suka sehabis hujan di bulan Desember, di bulan Desember. Crowd menjadi kesulitan mengontrol diri untuk tidak membantu Cholil menyanyi sepanjang set. Suaranya hilang diantara histeria.

ERK tampil tanpa setlist, dan tanpa banyak sapa pula. Sesekali Cholil tertangkap menengok ke belakang untuk bertanya pada Akbar yang duduk dibalik drum. Irama demi irama berlalu, Cinta Melulu, Insomnia, Hilang, hingga Di Udara tiba, ode untuk senior Munir Said Thalib. Saya tak kuasa mengepal-ngepalkan tangan ke atas, menirukan gestur demo, mambangun bola semangat Dragon Ball. Hampir 10 tahun Munir mati diracun arsenik namun keadilan belum sampai. Ku bisa tenggelam di lautan, ku bisa diracun di udara, ku bisa terbunuh di trotoar jalan. Setelahnya saya kehabisan tenaga, kecuali untuk bergumam. ERK sempat membawakan sebuah lagu baru, namun tidak terdengar jelas judulnya. Suara vokalis memang tidak terdengar baik sejak awal acara.

Pukul 23.40 ERK memutuskan mengakhiri konser. Jatuh Cinta Itu Biasa Saja masih belum dibawakan dan kiranya akan jadi penutup yang manis. Namun keputusan yang dipilih Cholil cs jauh diluar dugaan. Intro Desember kembali dimainkan. Hati yang dingin semakin gila.

ERK dan Intelektualitas

Gramsci meyakini bahwa setiap orang memiliki potensi sebagai seorang intelektual, namun hanya sedikit yang mampu menjalankan fungsinya. Terjadi perluasan makna disana, kala 'intelektual' kemudian digunakan untuk menyebut individu maupun individu-individu yang mampu menjadi organisatoris, dinamo, domino pertama dari semua lapisan masyarakat. Tesis yang meyakini bahwa akar rumput dengan peran teknis juga memiliki kemungkinan ini. Gramsci menolak batasan ortodoks bahwa hanya filsuf, sarjana, negarawan, sastrawan, hingga seniman yang dapat berperan intelektual. Dimana letak ERK? Gramsci membagi intelektual model tradisional yang masih mengenyampingkan peran akar rumput dalam dua kelompok besar: intelektual politik dan intelektual budaya. Hakikatnya, ERK berada pada posisi yang saya sebut kedua. Namun beberapa formula lirik mereka kemudian menjadikan identitas ERK mengawang.

Bob Dylan berujar tentang lagunya dalam sebuah wawancara dengan Rolling Stone, “Orang-orang akan berkata, ini tidak sesuai kenyataan. Tapi seorang penulis lagu tak peduli dengan apa yang nyata. Dia peduli dengan apa yang seharusnya terjadi”. Bisa jadi benar, namun analisis kacangan saya mengatakan bahwa ERK bukan sepenuhnya penganut teori ini. Yang dirumuskan ERK dalam lagu-lagu mereka adalah refleksi dari apa yang berlalu-lalang di masyarakat. Mari menyimak Hilang, singel lepas yang bertutur penantian untuk manusia yang raib dari muka bumi pada masa reses. ERK juga tidak melulu mengkritisi pemerintah. Kenakalan Remaja di Era Informatika, misalnya. Siapa saja akan segera sadar bahwa substansi lagu ini adalah sindiran gila-gilaan atas keberanian pamer tubuh remaja kita dewasa ini (dan jika berpikir cukup progresif, naif rasanya jika tidak mengakui bahwa lagu ini ditujukan untuk kita penikmatnya juga. Narsisme selalu membutuhkan perhatian, dan menjadi hidup atasnya). Ada pergeseran muatan entri apabila kita menelusuri kata 'SMA' di mesin pencari internet: 3gp yang amat banyak. Semuanya disampaikan dengan gaya ERK, dengan pilihan kata mereka.

Dalam konsepan ultrademokratis dikenal sebuah model dunia cita-cita bernama masyarakat madani (civil society). Model ini dibangun atas sinergi dan simbiosis trigunal antara pemegang kuasa, pemilik modal, dan obyek (korban) keduanya, masyarakat umum. Diluar itu, terdapat kelompok yang dianugerahi kewenangan sebagai pranata ekstra-model untuk fungsi pengontrol kesetimbangan ketiga unsur tersebut. Pressure Group, kelompok penekan. Dalam tataran ini kemudian intelektualitas politik ERK dan banyak band protes lain mekar. Musik protes menjadi katalis, kompor, bujuk rayu sekaligus jembatan antara intelektual tradisional dan intelektual organik yaitu kelas-kelas masyarakat sipil yang memiliki potensi organisatoris tertidur. Berlebihankah? Sekali lagi Dylan menunjukkan skeptisme atas potensi peran ini “Ini bukan lagu protes sosial atau sejenisnya, karena menulis lagu semacam itu bukan urusan saya”. Namun sejarah mencatat, Rage Against the Machine pernah mengambil peran sebagai pemantik badai huru-hara di Seattle tahun 1999. Musik, layaknya produk budaya literasi, selalu memiliki potensi sebagai media propaganda dan kritik. Masalahnya, apakah setiap penyimak ERK, atau setidak-tidaknya mereka yang hadir di Graha Cakrawala malam itu pulang dengan sekeranjang saripati semangat ini? Jika tidak, keyakinan sejumlah orang bahwa musik kritik tak lain merupakan dagangan cemilan dalam bungkusan baru telak memperoleh pembenaran.

Dan, andai lahir dibawah rezim godam paku Orde Baru, masihkah ERK bertutur sebaik kini?

Esai ini setidak-tidaknya saya tujukan untuk menjawab pertanyaan mengenai semangat intelektual apa yang hendak kita bawa. Hal ini berangkat dari adanya kecenderungan membatasi makna 'intelektual' berdasarakan sudut pandang tradisional yang dikemukakan Gramsci. Dan mengapa kadang kita butuh konser musik, dalam koridor yang sesuai.

Minggu, 17 Maret 2013

Makam

20.49 Posted by Arasy Aziz 2 comments
Berapa banyak tanah yang manusia butuhkan? Di Bashkirs, para tetua desa mengimingi siapa saja dengan tanah seluas-luasnya mereka mau. Syaratnya: calon tuan harus mengukur sendiri dari sebuah titik, dan kembali sebelum terbenam matahari. Mudah sekali, kira Pakhom si tuan tanah. Dia berlari, berjalan, hingga titik mula-mula hilang dari pandangan. Aku akan menjangkau sejauh-jauhnya, hingga serusak-rusaknya sendi. Pakhom berhasil kembali, dengan luka. Luka dalam luka luar. Sesegera kemudian mati dia serupa babi, serakah.

Para tetua memberi hak terakhir Pakhom. Sepetak bilik tanah enam kaki untuk tempatnya berleha menanti pengadilan tinggi. “Itulah sebanyak-banyaknya tanah yang dapat kau peroleh”. Selesai perkara? Rasanya belum. Pakhom, bagaimanapun, telah tuntas menunaikan misinya. Kembali sebelum matahari tandas. Jika Pakhom pada akhirnya tidak dapat menikmati peluh yang dia alirkan, bagaimana dengan pewarisnya?

Tolstoy tidak cukup tertarik menambah beberapa karakter sebagai pendamping Pakhom dalam kisahnya Hanya ada pekerja-pekerja terkejut yang tiba-tiba muncul di akhir. Tapi Pakhom seorang manusia. Andai bisa serakah, harusnya dia punya birahi juga. Patut diduga si tuan tanah memiliki istri dan anak, atau setidak-tidaknya orang tua, atau keluarga semenda. Di Bashkirs lepas maghrib, sekelompok manusia patut diduga itu tergopoh menyusul. Lalu mendapati isyarat duka. Dia sudah tiada, ujar para tetua. Benarkah. Bagaimana dengan tanah yang kalian janjikan? Tetua-tetua menggerutu memble, dan menyerahkan tanah maha luas itu. Tiba-tiba kebingungan menyergap para pewaris. Pakhom kelewat kalap meluaskan dan meluaskan tanah hingga lupa mengajari siapapun cara menggarap dan memanfaatkan. Hendak diapakan tanah ini?

Ada pengetahuan tua yang diajari gagak-gagak kepada nenek moyang manusia, sama tuanya dengan seni menghabisi nyawa. Memakamkan. Pengetahuan asli yang menjadi rahim bisnis properti hari akhir menggiurkan. Makam menjadi aset, seperti blok-blok apartemen di utara ibukota. Jangan jauh-jauh membayangkan San Diego Hills jika sepetak di Tanah Kusir dewasa ini dihargai jutaan. 

Baiklah, ujar salah seorang pewaris memutus hening. Tanah maha luas ini, kita jadikan mega proyek pemakaman saja, amat banyak petak enam kaki, biar Pakhom punya banyak kawan.

Yang elit sekalian, tandasnya.


Terinspirasi dari cericit Goenawan Mohamad @gm_gm. Dan cerpen 'Seberapa Banyak Tanah yang Manusia Butuhkan' oleh Leo Tolstoy.

Kamis, 14 Maret 2013

Dari Sebuah Jamuan Hukum Islam

05.11 Posted by Arasy Aziz No comments
Saya bangun dengan cara biasanya pagi ini. Maksud saya, agak terlambat seperti hari-hari sebelumnya, tidak tergesa Pagi yang menyenangkan semestinya disesap dengan pelan, menurut saya. Ibarat  menikmati gorengan pisang yang baru dirajang dari periuk sembari mengawinkannya dengan teh hangat. Perlahan. Bibir dan lidah kamu bisa melepuh jika kelewat nafsu.

Ada tugas jamuan pagi ini, mata kuliah hukum islam. Kami menghidangkan tema sumber hukum islam dan Al Quran. Jamuan berjalan kelewat lancar dan tidak menarik. Mahasiswa-mahasiswa yang malas-malasan menyimak dipaksa bertanya. Enam pertanyaan, dua sesi. Namun ada satu yang benar-benar mengusik.

"Kita mengenal dua macam sumber hukum, sumber hukum materiil dan sumber hukum formil. Apakah hukum Islam juga mengenal pembagian ini?"

Awalnya saya mengira jawabannya sederhana: "Tidak, pemahaman kita atas hukum Islam dengan menggunakan kacamata doktrin hukum barat telah sampai pada tahap memuakkan. Intinya, pembagian ini tidak bisa dipakai". Sekelebat kemudian saya bertanya lagi, masa' sih?

Beberapa pemikir berpendapat bahwa setiap agama, Islam termasuk tentu saja, memiliki dua dimensi yang  berbeda namun melekat, dimensi esoterik dan eksoterik. Dimensi esoterik terkait dengan sifat agama yang transdental, malampaui ruang waktu, abstrak, melangit. Yang satunya sebagai dimensi kebalikannya: agama memiliki struktur, kongkrit, relatif, membumi. Kedua dimensi ini, menurut hemat saya, kemudian dapat digunakan untuk menjawab masalah pembagian sumber hukum Islam berdasarkan sumber hukum materiil dan formil a la barat tadi. 

Sumber hukum materiil secara sederhana dapat dipahami sebagai tempat dimana nilai-nilai hukum itu digali mula-mula, umumnya bersifat abstrak. Dalam konteks hukum Islam, nilai-nilai ini adalah nilai-nilai universal yang diajarkan oleh semua agama, (saya mencomot pendapat Faetullah Gullen) antara lain kasih sayang dan cinta kasih. Bisa jadi hal ini berlaku pula dalam sistem hukum Kanonik dan lain-lain yang berasal dari kedaulatan Tuhan. Hukum Islam kemudian menambahkannya dengan nilai tauhid.

Nilai-nilai abstrak ini kemudian diturunkan dalam bentuk sumber hukum formil, sumber hukum yang berupa. Mewujudlah partikel-partikel nilai tersebut dalam kristal-kristal primer Al Quran, Al Hadits, hingga atribut sejenis Al Urf. Kristal-kristal ini menyusun mineral eksoterik hukum Islam, membumikannya, dan dalam lapangan sisi yang lebih luas, menciptakan dikotomi bernama agama.

Jamuan kami tiba-tiba jadi menarik beberapa detik. Ada yang berdansa-dansi di kelas yang lain. Wallahu'alam.