Fiat Lux

Senin, 09 Desember 2013

Malang: Ikhtiar Melawan Lupa

06.13 Posted by Arasy Aziz No comments

Dimensi baru gerakan menolak lupa hadir melalui Omah Munir.

Benarkah kita perlu tugu?”. Dalam Tugu Kemakmuran, Prasetyohadi menyindir motif-motif dibalik kegemaran orang-orang Indonesia untuk mendirikan tugu, monumen: sebagai wakil-wakil kenangan, kultus dan mitos mereka, “Penting. Untuk mengenang kemakmuran desa, bukti kesejahteraan hidup”. Di sisi lain, tugu-tugu menjadi instrumen keangkuhan. “..Letak sangat strategis, di ujung belakang desa. Desa-desa lain akan melihat dari kejauhan kemegahan tugu kemakmuran kita itu. Nama desa kita akan terkenal dan berkibar.


Lalu, apakah tugu perunggu setengah dada Munir, dan Omah Munir secara keseluruhan yang baru saja dibuka, dibangun dengan semangat yang sama? Benarkah kita perlu tugu (dan tentu saja, museum), sementara Munir senantiasa hadir dalam tagar #menolaklupa?

Munir hari ini tidak lagi sekadar dikenang sebagai seorang martir HAM yang tewas oleh arsenik di udara Singapura-Den Haag pada 7 September 2004, yang menimbulkan kegemparan sebagai “a test of our history”, yang aktor intelektual dibalik kematiannya masih terselubung lembayung pekat. Dalam sambutannya, Suciwati menegaskan lebih lanjut bahwa “Omah Munir tidak ingin sekadar menjadi pengkultusan Munir. Munir masih hidup melalui kenangan tentang nilai-nilai keadilan HAM yang diyakininya lewat semangatnya yang tak pernah pupus dalam menegakkan keadilan. Nilai yang mungkin tak pernah dipelajari para pejabat kita, yang ingin saya kenalkan pada sebanyak mungkin masyarakat Indonesia. Agar suatu ketika, ketidakadilan HAM tak lagi terjadi”. Ini, lebih kurang, menjawab kegamangan Prasetyohadi.

-::-

Minggu, 8 Desember 2013, saya memutuskan mandi lebih awal untuk menghadiri prosesi soft opening museum Omah Munir.

Kabar yang beredar bahwa setiap warga kota Batu mengetahui lokasi pasti Omah Munir ternyata sekadar mitos belaka. Perjalanan saya untuk menghadiri pembukaan Omah Munir tampaknya akan lancar-lancar saja ketika seorang polisi lalu lintas yang tengah berjaga di pos polisi seputaran alun-alun Batu dapat memberikan alamat lengkap Omah Munir: Jalan Bukit Berbunga No. 2. Pada polisi lalu lintas yang sedang melakukan sweeping kendaraan roda dua, segera saya tanyakan kembali kepastian letak Omah Munir, yang dengan berbaik hati meyakinkan saya bahwa jalan yang saya pilih benar. Petualangan baru dimulai setelahnya. Nomor-nomor rumah di jalan Bukit Berbunga tidak disusun dengan cukup teratur. Saya bolak-balik di jalan utama menuju destinasi wisata Selecta dan Cangar ini, dan terpaksa kembali ke Batu Town Square untuk mendapati rumah yang salah (rumah yang ditunjukkan orang-orang adalah rumah saudara Munir, tempat jenazahnya disemayamkan sembilan tahun silam). Belakangan saya menemukan jalan Bukit Berbunga No. 2, dengan sekali lagi melewati sweeping, terletak setelah rumah-rumah dengan nomor 90-an.

Perca. Sepenggal bagian dari kliping raksasa yang menghimpun berita-berita tentang Munir di media cetak.

Sungguh beruntung, saya tiba ketika acara baru saja dimulai. Di podium, mbak Uci (panggilan akrab istri alm. Munir) baru saja mulai memberikan sambutan pertama. Saya segera menempati kursi yang kosong.

Rangkaian acara pembukaan Omah Munir dirancang sederhana, namun dihadiri individu-individu luar biasa. Saya segera mengenali Prof. Mukhtie Fadjar, Butet Kartaradjasa, hingga Faisal Basri membaur diantara ratusan hadirin. Usai sambutan-sambutan, panggung kecil yang disediakan menjadi semarak oleh pengisi-pengisi acara spesial. Kolektif Simponi dari Jakarta, yang menjadi salah satu pengisi album Frekuensi Perangkap Tikus, menjadi penampil pertama. Selanjutnya Butet Kartaradjasa menghadirkan monolog berdurasi 15 menit yang berhasil memancing hadirin untuk tergelak. Tawa itu semakin pecah ketika dalam suatu fragmen tentang subyektivitas kebenaran, Butet menghadirkan sosok Gus Dur yang menjawab pertanyaan perihal penilaiannya tentang ayam panggang sebagai representasi kebenaran. Gus Dur dalam imaji Butet menjawab “gitu aja kok repot, ..yang penting jangan pilih PKB-nya Muhaimin”. Seluruh tawa segera tertuju pada Sutiaji, wakil walikota Malang yang juga merupakan kader PKB.

"gitu aja kok repot, ..yang penting jangan pilih PKB-nya Muhaimin."

Penampil lain yang tak kalah spesial adalah kakak beradik putra-putri Widji Thukul, Nganthi Wani dan Fajar Merah, yang membawakan musikalisasi puisi-puisi sang pujangga protes. Momen ini menjadi menggetarkan demi menyimak gegar-gegar dalam seruan Nganthi Wani, demi melihat paras Fajar Merah yang mirip ayahnya yang raib hingga hari ini. Dan demi mendengar puisi-puisi Thukul yang masih saja menyimpan bara subversi yang selalu relevan.

Sebagai penampil penutup yang terselip diantara testimoni-testimoni, dihadirkan frontman kolektif grunge lokal yang datang jauh-jauh dari Bali, Roby Navicula. Dengan gitar kopong, Roby memanaskan suasana dengan, salah satunya, nomor sing-along-able Mafia Hukum. Saya kehilangan kuasa atas ujung sepatu yang mulai memainkan ketukan-ketukan, sembari mulut saya bernyanyi bersama. “Mafia hukum, hukum saja / Karena hukum tak mengenal siapa / Mafia hukum, hukum saja / Karena hukum tak mengenal siapa //”. Entah bagaimana ekspresi perwakilan Kementerian Hukum dan HAM yang turut hadir (saya sendiri mahasiswa hukum, namun belum (dan tidak akan pernah, InsyaAllah) menjadi mafia hukum).

Acara pembukaan Omah Munir diakhiri dengan kunjungan ke dalam museum Omah Munir. Omah Munir sendiri menggunakan rumah masa kecil Munir yang bergaya indies. Dibuka untuk umum bertepatan dengan dirgahayu Munir yang lahir pada 8 Desember 1965, dirayakan dua hari jelang hari HAM Internasional. Koleksi Omah Munir tidak terbatas pada memorabilia-memorabilia peninggalan Munir. Omah Munir juga didesain sebagai museum HAM pertama di Indonesia. Di ruangan utama tersaji panel-panel yang menjelaskan sejarah HAM di Indonesia hingga legasi Munir dalam upaya penegakannya. Sejumlah media interaktif disediakan untuk menambah informasi bagi pengunjung, sebagai sarana untuk mengajak pengunjung untuk menolak lupa untuk ketidakadilan dan sederet pelanggaran-pelanggaran HAM yang masih jauh dari tuntas.

Kalimat terakhir ini menjadi sejalan dengan tujuan Omah Munir. Dalam pamflet yang dibagikan, tertulis alasan mengapa bentuk museum dipilih, yaitu untuk “memberikan cara pembelajaran yang lengkap melalui tampilan audio-visual, tentang dimensi-dimensi penting figur Munir dalam memperjuangkan agenda penegakan HAM di Indonesia”. 

Suciwati dikerubungi wartawan.

Seorang hadirin menyimak buklet tentang para pegiat HAM.

Namun, ada masalah akut yang masih menghinggapi dunia permuseuman Indonesia. Masalah itu berwujud minat orang-orang Indonesia untuk mengunjungi museum yang sangat kurang. Hal ini coba disiasati oleh para pengurus Omah Munir. Sesuai tujuan Omah Munir, telah diprogramkan serangkaian diskusi dan kuliah mengenai HAM untuk mengkader bibit-bibit Munir baru yang akan diisi oleh aktivis HAM hingga akademisi. Patut ditunggu.

Lebih dari itu, Munir juga telah menjadi ikon yang bergerak melampaui batas-batas ekspresi bohemian, dari seni hingga sastra. Kita masih ingat senandung berderap Di Udara milik Efek Rumah Kaca yang dinobatkan sebagai salah satu lagu protes Indonesia terbaik sepanjang masa oleh Morgue Vanguard/Ucok Homicide. Munir juga masih menjadi obyek dari poster-poster hingga mural-mural agitasi dan propaganda yang mewarnai dinding-dinding kota. Beberapa diantaranya (hasil karya kelompok Nobodycorp) bahkan dipamerkan di salah satu ruangan Omah Munir. Dengan pertimbangan ini, kiranya Omah Munir dapat dikembangkan dengan memrogramkan diri sebagai rumah baru bagi bilik diskursus mengenai ide-ide realisme sosial, yang memberikan kehangatan ditengah hawa dingin kota Batu untuk tujuan yang sama: memakmurkan gagasan menolak lupa.

Poster-poster karya Nobodycorp.

Dengan adanya Omah Munir, gerakan menolak lupa memasuki dimensi baru. Dia tidak lagi sekadar menjadi hantu yang bergerak di linimasa dunia maya, tidak lagi sekadar pemahaman yang dipegang kuncinya oleh elit-elit. Seperti kata Butet dalam menutup monolognya, “ingatan kita mungkin memang pendek (juga masa kadaluarsa bagi keadilan prosedural untuk pembunuhan berencana terhadap Munir, saya tambahkan), namun kebenaran panjang umurnya”. Jika berbagai ikhtiar untuk menyemai kesadaran ini masih belum juga dapat membuka mata para pemimpin yang berjanji, “maka hanya ada satu kata: lawan!

Sekelumit Tentang Museum Omah Munir:
Omah Munir terletak di Jalan Bukit Berbunga No. 2, kota Batu, Jawa Timur, tepat di pinggir jalan raya menuju obyek wisata Selecta dan Cangar. Buka setiap hari Selasa-Minggu pukul 08.00-15.00 WIB. Transportasi: Omah Munir dapat dicapai dengan berkendara sekitar 45 menit dari kota Malang, atau menggunakan angkutan kota jurusan Landungsari-Batu, kemudian berpindah Batu-Selecta atau Batu-Cangar. HTM: Bersyukurlah, sepertinya tidak dipungut biaya untuk masuk museum.