Fiat Lux

Rabu, 11 Maret 2015

TAP MPR XXV: Daging Tumbuh Dalam Hukum Positif Kita

00.48 Posted by Arasy Aziz , No comments
Sejenak, kita perlu mengingat ini; pada 11 Maret 1966, Soekarno di ujung kekuasaannya menandatangani surat berisi perintah bagi seorang jendral yang tersisa dari gegar di awal Oktober tahun sebelumnya untuk melakukan tindakan yang dinilai perlu untuk melakukan stabilisasi. Jenderal tersebut, Soeharto, belakangan dimandatkan MPR sebagai presiden dan memulai era kepemimpinan otoriter di bawah kakinya. 

Pada periode tersebut lahir sejumlah peraturan yang bersifat reaksioner atas peristiwa G30S. MPR mengeluarkan Ketetapan MPR No. XXV/MPRS/I966 tentang Pembubaran Partai Kornunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme/Leninisme yang secara umum berisi larangan bagi penyebaran ajaran-ajaran Marxisme dan turunan-turunannya. Ketetapan tersebut juga menurunkan pengaturan yang secara gamblang membatasi hak-hak kewarganegaraan anggota Partai Komunis Indonesia dan keluarga keturunannya.

Ketetapan MPR
MPR sendiri merupakan pranata yang dirancang sebagai perwujudan nilai musyawarah mufakat sebagai spirit kenegaraan bangsa Indonesia. Sebelum amandemen pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa (k)edaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR.” MPR berfungsi sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia; Die gessamte Staatsgewalt liegt allein bei der Majelis (AM Fatwa, 2009; 265). MPR diposisikan sebagai lembaga tertinggi negara melampaui konstitusi itu sendiri.

Sebagai lembaga tertinggi negara, MPR berwenang menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar dari pada haluan negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Dasar 1945. Garis-garis besar dari pada haluan negara mencakup dua pengertian, yaitu garis besar haluan negara dalam arti luas dan dalam arti sempit (Asshiddiqie, 2010; 266). Yang dipahami dalam arti sempit adalah Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang ditetapkan setiap 5 tahun sekali sebagai acuan untuk presiden untuk melaksanakan tugas-tugas pembangunan lima tahunan. Adapun yang dipahami dalam arti luas adalah segala arahan bagi haluan negara yang diperlukan selain naskah GBHN itu. Oleh karena itu, haluan negara selain GBHN itu perlu ditetapkan juga dalam bentuk Ketetapan-Ketetapan MPR dengan kedudukan dibawah Undang-Undang Dasar. Kewenangan ini kemudian melahirkan  banyak Ketetapan MPR yang terus dibentuk hingga amandemen konstitusi.

Namun, kewenangan yang maha besar kerap menjadi senjata di tangan orang yang salah. Sejak kemenangan telak Golongan Karya pada pemilu 1971 yang diikuti fusi dengan paksaan partai-partai politik, MPR pada era Orde Baru tak lebih dari sekadar boneka rezim dengan politik anti-komunisme sebagai raison d’etat.

Reformasi pada medio 1998 yang ditandai mundurnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan dan diikuti amandemen undang-undang dasar membawa harapan baru bagi demokratisasi dan kembalinya ruang publik. Amandemen ke-III pada tahun 2001 kemudian menghapuskan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.

Namun hal ini tidak menyebabkan Ketetapan MPR yang telah dibentuk sebelum amandemen kehilangan landasan legal-politiknya. Melalui Ketetapan MPR No. I/MPR/2003, MPR berupaya memberikan legitimasi bagi Ketetapan MPR-Ketetapan MPR yang dianggap masih sesuai dengan kondisi dan kebutuhan bangsa Indonesia. Di dalam pasal 2, sejumlah Ketetapan MPR dinyatakan masih berlaku dengan ketentuan masing-masing. Melalui hukum positif, keberlakuan Ketetapan MPR tersebut kemudian diperkuat melalui pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang memasukkan kembali Ketetapan MPR ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan setelah sebelumnya dihapuskan melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.

Salah satu Ketetapan MPR yang masih berlaku adalah Ketetapan MPR No. XXV/MPRS/I966. Hal ini juga berarti, diskrimasi atas keturunan anggota PKI (maupun mereka yang tertuduh) tetap dirawat. Dan politik rekonsiliasi kita tak bergerak kemana-mana.

Problematisasi
Eksistensi Ketetapan MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan telah bermasalah sejak kelahirannya. Hierarki perturan perundang-undangan merupakan sistem yang disusun berdasarkan stuffentheorie Hans Kelsen. Menurut Kelsen dalam The Pure Theory of Law, suatu norma dikatakan absah apabila dibentuk otoritas yang memperoleh kewenangan untuk membentuknya dari norma lain yang berkedudukan lebih tinggi. Undang-Undang Dasar 1945 tidak menyebutkan secara spesifik adanya kewenangan MPR untuk membentuk jenis peraturan perundang-undangan ini. Produk ini lahir dari penafsiran sepihak MPR atas konstitusi, meskipun hal tersebut dimungkinkan mengingat kedudukan MPR yang melampaui hukum. Posisi melampaui hukum bersifat ambivalen dengan pengakuan dalam penjelasan yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) dan bukan negara kekuasaaan (machstaat).

Dengan diamandemennya pasal 3 Undang-Undang Dasar 1945, kewenangan MPR untuk membentuk Ketetapan MPR hilang. Hal ini menyebabkan Ketetapan MPR-Ketetapan MPR yang dibentuk sebelum amandemen sesungguhnya telah kehilangan keabsahannya dalam rezim hukum positif hari ini.

Disisi lain, substansi Ketetapan MPR XXV/MPRS/1966 memuat sejumlah sesat pikir akibat pembacaan yang tak utuh. Ketetapan tersebut berupaya mendudukkan Marxisme dan turunannya dalam posisi yang bertentangan dengan alinea ke-IV pembukaan undang-undang dasar. Syahdan, bangsa Indonesia dibangun berdasarkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan Indonesia, kerakyatan dan keadilan sosial guna mencapai cita-cita besar memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Marxisme yang dibangun atas fondasi filsafat materialisme dituduh membawa kita kepada ketakbertuhanan.

Apa yang tak pernah diurai adalah bagaimana konsepsi Marxian atas materialisme berangkat dari putusan bahwa realitas mendahului subyek, bahwa materi mendahului bentuk, bahwa ada mendahului kesadaran. Dalam The German Ideology, Marx dan Engels memulai bangunan epistemologinya dengan mendefinisikan kerja atau produksi sebagai kategori kemengadaan manusia. Kesadaran bukan merupakan faktor penentu yang membedakan antara manusia dan binatang. Perbedaan antara manusia dan binatang baru lahir ketika kesadaran tersebut digunakan untuk menjalankan produksi alat-alat untuk bertahan hidup, yang didasarkan atas alam material disekitarnya (Marx dan Engels, 2013; 11).

Disini tampak ketegori dialektika sederhana dalam materialisme Marx dan Engels. Marx dan Engels menempatkan fungsi kerja sebagai instrumen rekayasa atas materi. Kesadaran manusia menawarkan kemungkinan-kemungkinan alternatif atas suatu kondisi faktual di alam material. Kerja kemudian menjadi penyaluran atas kemungkinan alternatif tersebut. Dengan kata lain, titiberat materialisme dialektika terletak pada fungsi estetis ide atas suatu kondisi material yang dituangkan melalui kerja atau produksi. Bahwa (k)ebenaran obyektif (gegenständliche) bisa dianggap berasal dari pemikiran manusia bukanlah soal teori melainkan soal praktek. Dalam praktek manusia harus membuktikan kebenaran itu, yaitu, kenyataan dan daya, kesegian-ini (Diesseitigkeit) dari pemikirannya. Perdebatan mengenai kenyataan atau bukan kenyataan dari pemikiran yang terasing dari praktek merupakan soal skolastik semata-mata.”, sebagaimana ditegaskan Marx dalam naskah pengantar Theses on Feurbach.

Peran fundamental kerja atas realitas tersebut menimbulkan suatu konsekuensi logis, bahwa hukum-hukum materialitas Marxian sesungguhnya bergerak dalam ruang yang rigid: sejarah, era manusia berusia ratusan ribu tahun. Materialisme dialektika tidak dapat digunakan untuk memeriksa apa-apa yang bekerja di luar itu, sebagaimana kritik Georg Lukacs atas naskah Dialektika Alam Frederick Engels. Di sanalah konsepsi mengenai Tuhan yang esa menjadi mungkin, di metaruang yang tak dapat dicapai oleh kesadaran estetis manusia.

Dan sejarah juga menjadi medium bagi gerak dilektis yang lebih besar, perjuangan kelas, perjuangan untuk keadilan sosial, cita-cita yang sama yang hendak kita perjuangkan sebagai bangsa.

Pelarangan dalam penyebaran suatu paham dan ideologi juga bertentangan dengan konsep negara hukum yang demokratis yang dianut Indonesia sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pengakuan sebagai negara hukum mensyaratkan keharusan untuk memenuhi ciri-ciri dan kriteria negara hukum itu sendiri. Menurut Jimly Asshiddiqie, salah satu elemen penting dalam konsep negara hukum Indonesia adalah perlindungan hak asasi manusia (Asshiddiqie; 13). Salah satu hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi Indonesia adalah hak untuk berserikat dan berkumpul. Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) berbunyi “(k)emerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.” Sementara pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Jenis hak yang dibatasi secara vulgar di dalam Ketetapan MPR No. XXV/MPRS/1966.

Pelarangan ini diperparah dengan adanya diskriminasi bagi keturunan anggota Partai Komunis Indonesia. Diskriminasi telah dimulai sejak penggolongan mereka yang dituduh terlibat G30S dalam tiga label; A, untuk mereka yang harus menerima hukuman mati; B, untuk mereka yang dikirim ke pengasingan sebagai tahanan politik dan C, bagi mereka yang secara tidak langsung terlibat dalam G30S, termasuk keluarga. Hingga hari ini, mereka dengan label B dan C kerap kali menghadapi kesulitan-kesulitan dalam memenuhi hak-hak kewarganegaraannya. Negara pasca reformasi belum mampu memenuhi kewajiban untuk mendudukkan warganya secara sama dan setara dihadapan konstitusi.

Rekonsiliasi
Meskipun secara konseptual kedudukan Ketetapan MPR tak lagi dapat diterima, namun argumentasi tersebut tak dapat diterima secara formal hingga dibuktikan di dalam pengadilan sesuai asas praduga keabsahan. Sayangnya, sejumlah gugatan atas Ketetapan MPR yang membatasi hak konstitusional diajukan kepada Mahkamah Konstitusi membentur tembok tinggi mengingat konstitusi membatasai kewenangan mahkamah semata-mata untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar. Ketetapan MPR menjadi daging tumbuh dalam hukum positif kita; eksistensinya diakui, namun di sisi lain tidak tersedia mekanisme pengujian atasnya yang diatur secara eksplisit. MPR sebagai lembaga pembentuknya juga tak lagi dapat diharapkan mengingat konsekuensi penghapusan kewenangan membentuk Ketetapan MPR berarti ketidakmungkinan untuk mencabutnya.

Namun majelis dalam Mahkamah Konstitusi masih dapat mengambil putusan drastis dengan melakukan penafsiran ekstensif terhadap kewenangannya yang diatur dalam Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Posisi Ketetapan MPR yang terjebak diantara undang-undang dan undang-undang dasar menunjukkan bahwa perturan tersebut bersifat organik terhadap konstitusi meskipun dibentuk oleh lembaga yang juga membentuk konstitusi. Ketetapan MPR mengandung materi muatan yang seharusnya diatur dalam undang-undang, atau dengan kata lain sebagai undang-undang dalam arti material, wet in materiele zin. Apabila terdapat materi muatan yang bertentangan dengan konstitusi, seperti dalam Ketetapan MPR No. XXV/MPRS/1966, menjadi kewajiban Mahkamah Konstitusi untuk menegakkan asas lex superior derogate legi inferior.

Kita juga perlu mendesak eksekutif guna memengaruhi pendapat publik dan menyebarluaskan penyimpangan Ketetapan MPR di hadapan hak-hak konstitusional. Tindakan serupa pernah dilakukan pada era kepresidenan Abdurrahman Wahid namun berakhir dengan kontroversi. Hal ini bertujuan untuk mengendurkan daya ikat sosial Ketetapan MPR No. XXV/MPRS/1966 dan mengembalikan wacana-wacana kritis Marxian ke ruang publik. Setelah lima puluh tahun, setengah abad kebohongan-kebohongan sejarah, telah tiba saatnya bagi kita untuk sekali lagi memperbaiki kekeliruan.

Minggu, 08 Maret 2015

Solo: Roman Singkat Mengenai Rambut dan Pesta Perpisahannya

00.14 Posted by Arasy Aziz , No comments
Jalan lintas Surabaya-Yogyakarta berdasarkan statistik pribadi sepanjang tahun 2014 menjadi jalur trip favorit saya. Tiga kali tempuh bolak-balik, entah untuk tujuan Jogja atau Solo. Saya bahkan mulai hapal pukul berapa waktu yang tepat untuk berangkat dan berapa menit yang harus dihabiskan di kamar kecil agar tak ketinggalan bis yang tengah transit di terminal Madiun.

Dibanding sesamanya di utara, jalan-jalan yang melintangi  Jombang hingga Jogja tak banyak menyuguhkan keragaman yang menarik perhatian. Masyarakat Nganjuk-Madiun-Ngawi-Sragen-Solo-Yogya pada umumnya berbagi sebuah ide kultural yang sama, apa yang disebut budaya Mataraman. Bandingkan, misalnya, dengan masyarakat Pantura yang lebih kosmopolit dan berupa-rupa akibat pertemuan dengan berbagai ekspresi kebudayaan, ditambah megaproyek jalan raya pos yang menyintas sekat-sekat. Hal ini berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk pola pemukiman dan arsitektur yang kasat dari jendela bis.

Ketidaknyamanan ini ditambahi oleh pemandangan menyedihkan akibat kemarau yang berlarut-larut, terutama bagi pohon-pohon jati yang mencolok kebotakannya. Saya dapat merasakan betapa sulit dan menyebalkan musim angin yang membawa dahaga dari timur bagi mereka. Kekeringan memaksa menggugurkan daun sebagai mekanisme bertahan hidup, pemandangan yang tidak sedap dipandang. Mengingatkan pada masalah-masalah rambut panjang saya yang seringkali gugur karena patah, ditambah kulit kepala yang beregenerasi hebat gegara kegerahan akut.

Setelah 3,5 tahun, saya akhirnya memutuskan kembali memangkas rambut.

#

Wacana mengenai potong rambut pada dasarnya tak benar-benar baru, terutama jika menengok salah satu akun media sosial saya yang dipenuhi pertanyaan “kapan potong?” oleh sejumlah anonim. Sebagian lagi menanyakan alasan mengapa saya menjadi gondrong. Hal ini sangat sulit untuk saya jawab; sejak semula tak pernah terpikirkan akan memelihara rambut dan alasan-alasan, apalagi hingga sepanjang “ini”.

Sejarah membentuk makna spesial rambut panjang yang kepadanya dia ditautkan bagi laki-laki. Semua dimulai pada era 70’an dimana gerakan hippie menjadi wabah baru dunia, ditandai kampanye gaya hidup cinta damai, spritualitas timur, bohemian nan urakan. Di Indonesia, ini menjadi masalah pelik; gondrong sebagai salah satu elemen fashionnya berseberangan dengan retorika pemurnian Pancasila dan nilai ketimuran Indonesia yang ditabuh Orde Baru. Pemuda-pemuda gondrong dianggap sebagai penyakit yang kontra pembangunan bangsa. Gondrong belakangan menjadi kontras bagi potongan rambut cepak satu senti ala militer yang menggenggam rezim dengan disiplin dan kecurigaan. Kegondrongan tak sekadar gaya, melainkan ekspresi ketidaksepakatan terhadap status quo. Gondrong adalah politik perlawanan itu sendiri.

Pasca reformasi dimana ekspresi diri menjadi sesuatu yang banal, relasi tersebut semakin tenggelam oleh keragaman konteks. Gondrong hari ini memiliki signifikansi yang tak satu dan terlepas-lepas, sebagai fashion, sebagai perlawanan, sebagai kemalasan yang lain.

Pun demikian, perkawinan gondrong dan perlawanan bohemian tersebut bagaimanapun masih cukup kuat untuk membentuk kesadaran pribadi saya. Setelah sadar bahwa rambut semakin panjang, saya memutuskan mengganti potongan post-hardcore kid menjadi tampak lebih trash. Seiring dengan hilangnya poni yang menghalangi akses terhadap gerbang cakra di dahi, saya merasa semakin bebas dalam berpikir dari hari ke hari (perihal eksistensi satu dari delapan gerbang cakra di dahi, saya memercayai konsep ini, termasuk ketika menolak untuk turut dalam gerakan membotaki diri seangkatan zaman kelas 3 madrasah aliyah). Ini mengamini diktum eksistensialis a la Jean-Paul Sartre; bahwa Ada mendahului esensi, bahwa kesadaran di pengaruhi anasir-anasir historis di balik realitas kita. Ditambah mengenal Marx dan pengembangnya dari Frankfurt, dua puluh empat jam saya dipenuhi permen sunkist.

Namun, memanjangkan rambut tanpa perencanaan yang matang belakangan menjadi ide buruk. Jika situasi bagi pohon-pohon jati akan kembali baik-baik saja seiring kembalinya wewangi petrichor di udara (atau nasib baik, berujung menjadi perabot rumah tangga), rambut saya justru semakin tak tertangani.

Saya akhirnya tiba pada keputusan yang cukup berat dan sentimental. Ke-Gondrong-an bagaimanapun telah membentuk ke-Itu-an Arasy (Itu dengan I besar, menunjukkan saya sebagai obyek putusan bagi sang liyan) selama tahun-tahun di perguruan tinggi. Gondrong telah menjadi penanda bagi peralihan identifikasi Arasy-yang-unyu menjadi Arasy-yang-sangar (meskipun ini tak sepenuhnya benar mengingat betapa orang-orang kerap memanggil saya “mbak” di tempat umum). Dia telah menjadi mosi debat utama di rumah antara saya dan mama yang lebih banyak saya menangkan. Dia menjadi teman yang selalu siap dipelintir-pelintir di hadapan masalah yang tampak rumit. Bersamanya saya menemui orang-orang luar biasa yang turut mengubah hidup saya, menemui melankolia-melankolia dan keseruan-keseruan, kemudian patah hati. Di dalam rambut itu terdapat dokumen yang mencatat saya.

Dengan semua yang telah saya lalui bersamanya, sekadar berpisah dengan datang ke barbershop untuk lima belas menit kemudian keluar dengan gaya rambut baru merupakan tindakan yang luar biasa kurang ajar. Memotong rambut merupakan sebuah pilihan sunyi yang radikal, dan harus dirayakan besar-besaran.

#

Saya kembali ke bus Surabaya-Jogja demi memenuhi panggilan umrah Rock in Solo 2014. “Umrah” menjadi ibarat dengan makna yang hampir harfiah bagi saya; mengingatkan pada ibadah perjalanan singkat ke tanah suci Mekkah dengan tahallul sebagai salah satu rukunnya. Mereka yang tuntas melaksanakannya umumnya mudah didentifikasi berdasarkan potongan rambut gersang. Apa yang sebentar lagi akan saya tuntaskan.

Meskipun sempat ragu karena Watain yang diisyukan menjadi salah satu headliner terbukti tak masuk rundnown, saya pada akhirnya nekat menempuh perjalanan singkat demi memberikan penghormatan terakhir yang layak untuk rambut saya. Seorang kawan meyakinkan bahwa Carcass mempunyai sesuatu yang lebih dari cukup sebagai alasan. Album terakhir unit old-school death metal asal Inggris yang dirilis pada 2013, Surgical Steel memanen pujian, dipenuhi ritme putaran gergaji bedah di antara daging dan belulang.

Saya tiba di benteng Vastenburg tempat festival berlangsung jelang maghrib, dan selebihnya, kau tahu sendiri, adalah bagaimana sebaik-baiknya merayakan rambut panjang: headbang hingga encok dan lepas sendi leher (meskipun ketika Carcass naik panggung, crowd justru terasa dingin). Rock in Solo 2014 adalah konser metal pertama (dan terakhir) yang saya datangi dengan rambut kemana-mana, diurai sepenuhnya tanpa sekalipun terikat kunciran.

Hari minggu pukul empat sore saya tiba kembali di Malang. Ba’da maghrib saya menuntaskan janji kepada diri sendiri, setelah berjam-jam mematut-matut diri di depan cermin. Tak saya duga memangkas rambut merupakan tindakan yang amat berat, meskipun sebagai pemuja momentum, sangat penting untuk melakukannya diwaktu yang tepat dan penuh perhitungan sehingga jauh hari saya berusaha menyiapkan mental.

Di depan cermin, disaksikan abang-abang pangkas rambut, saya menyempatkan diri ber-selfie untuk terakhir kalinya. Diantara jari-jari abang-abang pangkas rambut terselip ingatan-ingatan yang gugur satu persatu.

Farewell, mein lof.

… dan dunia rupanya masih baik-baik saja setelah saya memangkas rambut.

Sekelumit tentang Rock in Solo 2014
Solo, sebuah kota di Jawa Tengah, dapat dicapai melalui jalur darat selama 6-8 jam dari kota Malang. Terdapat sejumlah penginapan super murah di belakang Terminal Tirtonadi seharga Rp 50.000 - Rp 60.000 yang lumayan untuk perjalanan singkat berdurasi semalam; Benteng Vastenburg berlokasi dekat dengan Keraton Surakarta Hadiningrat, terletak di tengah kota, merupakan benteng peninggalan era kolonial Belanda yang dibangun pada tahun 1741. Dapat dicapai dengan becak atau taksi dari Terminal Tirtonadi atau Stasiun Solo Balapan dengan bea Rp 15.000 - Rp 20.000; Rock in Solo 2014, harga tiket masuk Rp 150.000 (pre-sale) dan Rp 300.000 (normal).