Jalan lintas Surabaya-Yogyakarta berdasarkan
statistik pribadi sepanjang tahun 2014 menjadi jalur trip favorit saya. Tiga
kali tempuh bolak-balik, entah untuk tujuan Jogja atau Solo. Saya bahkan mulai
hapal pukul berapa waktu yang tepat untuk berangkat dan berapa menit yang harus
dihabiskan di kamar kecil agar tak ketinggalan bis yang tengah transit di
terminal Madiun.
Dibanding sesamanya di utara,
jalan-jalan yang melintangi Jombang hingga
Jogja tak banyak menyuguhkan keragaman yang menarik perhatian. Masyarakat
Nganjuk-Madiun-Ngawi-Sragen-Solo-Yogya pada umumnya berbagi sebuah ide kultural yang sama, apa yang disebut budaya Mataraman. Bandingkan, misalnya,
dengan masyarakat Pantura yang lebih kosmopolit dan berupa-rupa akibat
pertemuan dengan berbagai ekspresi kebudayaan, ditambah megaproyek jalan raya
pos yang menyintas sekat-sekat. Hal ini berpengaruh terhadap berbagai aspek
kehidupan, termasuk pola pemukiman dan arsitektur yang kasat dari jendela bis.
Ketidaknyamanan ini ditambahi oleh
pemandangan menyedihkan akibat kemarau yang berlarut-larut, terutama bagi
pohon-pohon jati yang mencolok kebotakannya. Saya dapat merasakan betapa sulit
dan menyebalkan musim angin yang membawa dahaga dari timur bagi mereka.
Kekeringan memaksa menggugurkan daun sebagai mekanisme bertahan hidup,
pemandangan yang tidak sedap dipandang. Mengingatkan pada masalah-masalah rambut
panjang saya yang seringkali gugur karena patah, ditambah kulit kepala yang beregenerasi
hebat gegara kegerahan akut.
Setelah 3,5 tahun, saya akhirnya
memutuskan kembali memangkas rambut.
#
Wacana mengenai potong rambut pada
dasarnya tak benar-benar baru, terutama jika menengok salah satu akun media
sosial saya yang dipenuhi pertanyaan “kapan potong?” oleh sejumlah anonim.
Sebagian lagi menanyakan alasan mengapa saya menjadi gondrong. Hal ini sangat
sulit untuk saya jawab; sejak semula tak pernah terpikirkan akan memelihara
rambut dan alasan-alasan, apalagi hingga sepanjang “ini”.
Sejarah membentuk makna spesial rambut
panjang yang kepadanya dia ditautkan bagi laki-laki. Semua dimulai pada era
70’an dimana gerakan hippie menjadi wabah baru dunia, ditandai kampanye gaya hidup cinta
damai, spritualitas timur, bohemian nan urakan. Di Indonesia, ini menjadi masalah
pelik; gondrong sebagai salah satu elemen fashionnya berseberangan dengan retorika
pemurnian Pancasila dan nilai ketimuran Indonesia yang ditabuh Orde Baru.
Pemuda-pemuda gondrong dianggap sebagai penyakit yang kontra pembangunan
bangsa. Gondrong belakangan menjadi kontras bagi potongan rambut cepak satu
senti ala militer yang menggenggam rezim dengan disiplin dan kecurigaan. Kegondrongan
tak sekadar gaya, melainkan ekspresi ketidaksepakatan terhadap status quo. Gondrong adalah politik perlawanan
itu sendiri.
Pasca reformasi dimana ekspresi diri
menjadi sesuatu yang banal, relasi tersebut semakin tenggelam oleh keragaman
konteks. Gondrong hari ini memiliki signifikansi yang tak satu dan
terlepas-lepas, sebagai fashion, sebagai perlawanan, sebagai kemalasan yang
lain.
Pun demikian, perkawinan gondrong dan
perlawanan bohemian tersebut bagaimanapun masih cukup kuat untuk membentuk kesadaran
pribadi saya. Setelah sadar bahwa rambut semakin panjang, saya memutuskan
mengganti potongan post-hardcore kid
menjadi tampak lebih trash. Seiring
dengan hilangnya poni yang menghalangi akses terhadap gerbang cakra di dahi,
saya merasa semakin bebas dalam berpikir dari
hari ke hari (perihal eksistensi satu dari delapan gerbang cakra di dahi, saya
memercayai konsep ini, termasuk ketika menolak untuk turut dalam gerakan
membotaki diri seangkatan zaman kelas 3 madrasah aliyah). Ini mengamini diktum
eksistensialis a la Jean-Paul Sartre;
bahwa Ada mendahului esensi, bahwa kesadaran di pengaruhi anasir-anasir historis
di balik realitas kita. Ditambah mengenal Marx dan pengembangnya dari
Frankfurt, dua puluh empat jam saya dipenuhi permen sunkist.
Namun, memanjangkan rambut tanpa
perencanaan yang matang belakangan menjadi ide buruk. Jika situasi bagi pohon-pohon
jati akan kembali baik-baik saja seiring kembalinya wewangi petrichor di udara (atau nasib baik, berujung
menjadi perabot rumah tangga), rambut saya justru semakin tak tertangani.
Saya akhirnya tiba pada keputusan yang cukup
berat dan sentimental. Ke-Gondrong-an bagaimanapun telah membentuk ke-Itu-an
Arasy (Itu dengan I besar, menunjukkan saya sebagai obyek putusan bagi sang liyan) selama tahun-tahun di perguruan
tinggi. Gondrong telah menjadi penanda bagi peralihan identifikasi
Arasy-yang-unyu menjadi Arasy-yang-sangar (meskipun ini tak sepenuhnya benar
mengingat betapa orang-orang kerap memanggil saya “mbak” di tempat umum). Dia
telah menjadi mosi debat utama di rumah antara saya dan mama yang lebih banyak
saya menangkan. Dia menjadi teman yang selalu siap dipelintir-pelintir di
hadapan masalah yang tampak rumit. Bersamanya saya menemui orang-orang luar
biasa yang turut mengubah hidup saya, menemui melankolia-melankolia dan
keseruan-keseruan, kemudian patah hati. Di dalam rambut itu terdapat dokumen
yang mencatat saya.
Dengan semua yang telah saya lalui
bersamanya, sekadar berpisah dengan datang ke barbershop untuk lima belas menit kemudian keluar dengan gaya
rambut baru merupakan tindakan yang luar biasa kurang ajar. Memotong rambut
merupakan sebuah pilihan sunyi yang radikal, dan harus dirayakan besar-besaran.
#
Saya kembali ke bus Surabaya-Jogja demi memenuhi panggilan umrah Rock in
Solo 2014. “Umrah” menjadi ibarat dengan makna yang hampir harfiah bagi saya;
mengingatkan pada ibadah perjalanan singkat ke tanah suci Mekkah dengan tahallul sebagai salah satu rukunnya. Mereka
yang tuntas melaksanakannya umumnya mudah didentifikasi berdasarkan potongan
rambut gersang. Apa yang sebentar lagi akan saya tuntaskan.
Meskipun sempat ragu karena Watain yang
diisyukan menjadi salah satu headliner terbukti
tak masuk rundnown, saya pada
akhirnya nekat menempuh perjalanan singkat demi memberikan penghormatan
terakhir yang layak untuk rambut saya. Seorang kawan meyakinkan bahwa Carcass
mempunyai sesuatu yang lebih dari cukup sebagai alasan. Album terakhir unit old-school death metal asal Inggris yang
dirilis pada 2013, Surgical Steel memanen
pujian, dipenuhi ritme putaran gergaji bedah di antara
daging dan belulang.
Saya tiba di benteng Vastenburg tempat
festival berlangsung jelang maghrib, dan selebihnya, kau tahu sendiri, adalah
bagaimana sebaik-baiknya merayakan rambut panjang: headbang hingga encok dan lepas sendi leher (meskipun ketika
Carcass naik panggung, crowd justru terasa
dingin). Rock in Solo 2014 adalah konser metal pertama (dan terakhir) yang saya
datangi dengan rambut kemana-mana, diurai sepenuhnya tanpa sekalipun terikat
kunciran.
Hari minggu pukul empat sore saya tiba
kembali di Malang. Ba’da maghrib saya menuntaskan janji kepada diri sendiri,
setelah berjam-jam mematut-matut diri di depan cermin. Tak saya duga memangkas
rambut merupakan tindakan yang amat berat, meskipun sebagai pemuja momentum,
sangat penting untuk melakukannya diwaktu yang tepat dan penuh perhitungan
sehingga jauh hari saya berusaha menyiapkan mental.
Di depan cermin, disaksikan abang-abang
pangkas rambut, saya menyempatkan diri ber-selfie
untuk terakhir kalinya. Diantara jari-jari abang-abang pangkas rambut terselip
ingatan-ingatan yang gugur satu persatu.
Farewell,
mein lof.
… dan dunia rupanya masih baik-baik saja
setelah saya memangkas rambut.
Sekelumit
tentang Rock in Solo 2014
Solo,
sebuah kota di Jawa Tengah, dapat dicapai melalui jalur darat
selama 6-8 jam dari kota Malang. Terdapat sejumlah penginapan super murah di
belakang Terminal Tirtonadi seharga Rp 50.000 - Rp 60.000 yang lumayan untuk
perjalanan singkat berdurasi semalam; Benteng
Vastenburg berlokasi dekat dengan Keraton
Surakarta Hadiningrat, terletak
di tengah kota, merupakan benteng peninggalan era kolonial Belanda yang
dibangun pada tahun 1741. Dapat dicapai dengan becak atau taksi dari Terminal
Tirtonadi atau Stasiun Solo Balapan dengan bea Rp 15.000 - Rp 20.000; Rock in Solo 2014, harga tiket masuk Rp
150.000 (pre-sale) dan Rp 300.000 (normal).
0 komentar:
Posting Komentar