Fiat Lux

Senin, 24 Oktober 2016

Surga Nasi Kuning

01.33 Posted by Arasy Aziz , No comments

Tanpa ragu, saya menganugerahi kota Tual sebagai sepotong surga kecil saya, khususnya dalam urusan makan-memakan. Di dalam sepiring nasi kuning favorit, ada jejak dari seorang wanita rantau yang menempuh perjalanan jauh demi cinta. Di tanah yang lain, olahan tangannya menjadi favorit tetangga-tetangga barunya. 

Satu porsi nasi kuning di salah satu warung di Tual

Sahut-menyahut berkumandang adzan maghrib dari menara-menara masjid kota Tual, penanda bahwa malam telah tiba. Tirai gelap dikerek naik perlahan dari horizon di timur hingga menutupi seluruh kubah langit. Pemandangan awan putih yang memantulkan terik matahari di siang hari mulai berganti gemintang yang terbit satu demi satu. Titik, kemudian titik berpendar yang lain. Polusi cahaya belum benar-benar serius di kota ini. Kecuali di rumah-rumah, penerangan masih teramat minim sehingga kegelapan masih memenuhi jalan-jalan kota ini. Dekorasi langit di atas kepala saya notabene jadi tak punya saingan berarti.

Situasi ini meleluasakan saya untuk mendongak sebagai pengamat yang antusias. Pengalaman yang terasa mewah disbanding kala berhadapan dengan langit di kota-kota di pulau Jawa. Semakin melenakan mengingat tidak mengenakan helm saat berkendara merupakan pemandangan yang lazim di Tual. Berboncengan di atas motor omprengan milik Larson, kami beradu melawan laju angin laut berbau garam. Tidak terlalu kencang, namun meneduhkan kepala.

Saya sendiri baru saja mendarat kembali di Tual lepas perjalanan hampir seharian dari Malang, kota saya bermukim. Melelahkan, mengingat dalam prosesnya melibatkan perjalanan darat dini hari menuju bandar udara Djuanda. Bersambung dengan pesawat langsung ke Ambon, untuk kemudian transit beberapa jam menunggu penerbangan lanjutan ke Tual. Dari Pattimura, saya berganti menumang pesawat kecil dengan baling-baling selama satu jam setengah. Bagian terburuknya, penumpang di sebelah saya memilih tidak mematikan telepon genggam. Di tengah menit-menit persiapan mendarat, gawai tersebut sempat berbunyi tanda telepon masuk. Beruntung tidak terjadi apa-apa hingga kami mendarat sempurna di bandara Karel Satsuitubun, kepulauan Kei. Udara panas khas kepulauan nusa ina langsung terasa.

Waktu menunjukkan lewat pukul setengah tujuh malam ketika saya tiba di pemondokan. Belum tuntas merapikan barang-barang, rasa lapar telah menyergap saya duluan. Saya segera mengajak Larson yang menjemput saya untuk makan bersama. Jauh di kala tubuh saya masih melanglang di udara, saya telah memutuskan hendak makan apa malam ini. 

“Cari nasi kuning, bang!”

Menjelajah berbagai penjuru Indonesia, kita barangkali akan bisa menemukan nasi kuning di mana saja. Tidak ada label “endemik” atau “khas” dari penganan ini. Apalagi di kepulauan Kei, Maluku Tenggara, dimana sawah-sawah musykil untuk digalakkan. Beras di pasar Tual atau Langgur, ibukota Maluku Tenggara, sepenuhnya didatangkan dari Jawa, Sulawesi atau pulau Seram di utara. Bisa ditebak bahwa nasi kuning termasuk olahan yang baru dikenal seiring dengan masuknya beras. Orang-orang Kei telah terlebih dahulu memangan embal sebagai makanan pokok.

Namun ada saja yang membikin beda nasi kuning satu daerah dengan daerah yang lain. Barangkali terletak pada cara ia dihidangkan, dan jejalin interaksi antar manusia yang hidup di seputarnya.

Bagi saya yang kerap menasbihkan diri sebagai penggemar nasi kuning nomor wahid, kepulauan Kei adalah surga dunia. Ia tak hanya unggul dengan pantai-pantai eksotisnya yang selalu menawarkan porsi sunyi yang terukur untuk anjangsana. Di sini, nasi kuning dapat ditemukan tumpah ruah di seluruh pelosok wilayah. Sekalipun, tentu saja, tak gratis. Sepanjang jalan-jalan utama di kota Tual maupun Langgur, lapak-lapak kecil nasi kuning berdiri menunggu pembeli. Dari sekadar tersusun dari satu unit meja kecil, hingga bangunan permanen lengkap dengan kursi bagi tetamu.

Yang juga menarik, nasi kuning-nasi kuning di kepulauan Kei hanya dapat ditemui di malam hari. Ia seolah hadir untuk mengakomodasi kecenderungan orang-orang Kei untuk bersantap di luar rumah.  Larson, kawan saya, mengamini pengamatan saya. Meskipun memiliki banyak saingan, memasing lapak agaknya tak takut merugi karena kebiasaan ini. Lepas maghrib, jalan-jalan dan pedestrian dipenuhi orang-orang yang berderap mencari makan, baik sendiri-sendiri maupun dengan keluarga. Pun tak ditemani orang dewasa, anak-anak kecil mendatangi warung nasi kuing dengan menggenggam lembaran puluhan ribu merupakan pemandangan yang lumrah. Dengan bersemangat, mereka mengutarakan porsi pesanan mereka dalam satuan rupiah kepada mama-mama yang berjualan. Dialog berbalas dengan tangan-tangan cekatan perempuan-perempuan yang meracik nasi kuning beserta lauk tambahannya.

Saya sendiri telah memiliki warung nasi kuning langganan, dikelola oleh seorang ibu separuh baya bernama Hadija bersama anak-anaknya. Meskipun memiliki perawakan, penciri fisik dan cara bertutur yang mirip dengan penduduk setempat, Hadija berasal dari belahan bumi yang sama dengan tempat saya berdomisili saat ini.

“Saya aslinya orang Jawa,” ujarnya.

Hadija tepatnya berasal dari salah satu desa di pelosok Gunung Kidul, Yogyakarta. Kebetulan yang ganjil mengingat alam kepulauan Kei memiliki nuansa yang hampir serupa dengan daerah asalnya; tandus dan berbatu. Struktur tanah Gunung Kidul didominasi oleh batuan gamping, yang notabene merupakan hasil sedimentasi lanjutan dari batuan karang sebagaimana penyusun tanah Kei. Situasi ini, sedikit banyak, memudahkan Hadija menyesuaikan diri dengan alam barunya.
 
Hadija tengah melayani pelanggan-pelanggannya.

Ketibaan Hadija di tanah Kei lepas tiga puluh tahun silam semata-mata untuk merunut kepulangan suaminya. Sejak saat itu, ia menyandang identitas baru sebagai bagian dari orang-orang Kei. Di belakang namanya kini tersemat marga Rhumra. Sebuah marga yang besar di Banda Eli, pulau Kei Besar. Dari namanya, kita bisa menebak muasal keluarga ini. Marga Rhumra memiliki jejak yang jauh pada penguasaan atas tanah pulau Rhun di kepulauan Banda. “Kami adalah keturunan orang Banda yang melarikan diri ke selatan untuk menghindari penjajahan Jepang.” Selain keluarga Rhumra, sebagian besar penjaja nasi kuning di tepian jalan menuju pasar Tual memang memiliki tautan darah yang kental dengan orang-orang Banda. "Saya sepenuhnya orang sini sekarang."

Tiga puluh tahun silam, Hadija kemudian berkenalan dengan apa yang kemudian menjadi sumber penghidupan utamanya hari ini. Untuk pertama kalinya, ia mulai memasak nasi kuning.

Sebagaiamana nasi kuning di negeri-negeri timur nusantara pada umumnya, penciri utama nasi kuning ibu Hadija adalah baluran kunyit yang berani. Ini menjadikan nasi kuning benar-benar “kuning”, menyala-nyala dengan menggoda. Komposisi kunyit yang dilebihkan membuat rasa nasi menjadi lebih tajam dan gurih. Belum lagi jika menghitung santan segar yang diolah di dapur sendiri, diperas dari parutan kelapa yang dipetik di belakang rumah. Dengan lemak kelapa yang bersisa di dalam campurannya, ada perbedaan rasa yang signifikan dibanding nasi berbalur santan instan pabrikan.

Kemewahan terbesar dari nasi kuning di Tual barangkali adalah fillet dari daging ikan yang “hanya mati sekali”. Sebuah anekdot yang secara tepat menggambarkan kesegaran ikan di Tual yang tiada dua. Ikan-ikan tongkol yang baru diangkut dari kapal-kapal nelayan segera berpindah ke dapur milik mama-mama penjual ikan, diolah dengan ragam bumbu dan resep.  

Fillet tongkol dihidangkan beriringan dengan taburan tumis ikan teri kering. Di daerah asal saya, teri adalah jenis ikan musiman yang hanya dapat ditemui pada periode bulan gelap. Sementara di Tual, pasokannya melimpah sepanjang tahun. Membuat saya takjub, mengingat betapa saya dan adik-adik saya kerap bergembira kala perkedel ini terhidang di meja makan keluarga kami.

Agaknya, bukan saya semata yang menjadi pemuja kenikmatan nasi kuning olahan Hadija. Ada tanda air yang terjanjur ia tinggalkan di dalam resepnya, sesuatu yang barangkali tak akan terganti. Sembari melayani pelanggan yang mengerumuni lapaknya, ia mulai berkisah tentang betapa orang-orang merasakan kehilangan ketika ia absen berjualan beberapa hari. Singgasananyadiisi oleh anaknya secara tunggal, sementara sang ibu bepergian ke Ambon menghadiri hajatan keluarga. Selang beberapa hari ketika ia kembali, Hadija harus terlebih dahulu berhadapan dengan pelanggan yang mencecar protes. “Rasanya beda,” tirunya, sembari menyembunyikan rasa bangga tertahan di dalam nada suara.  

Jauh di dalam hati saya mengamini kegelisahan pelanggan-pelanggannya. Namun perut kenyang dan rasa rempah yang tertinggal di lidah menahan saya untuk berkomentar lebih jauh. Saya memilih menikmati pemandangan dihadapan saya; orang-orang Kei yang berkerumun, lauk yang terhidang di dandang-dandang mini, dan setermos besar nasi kuning merona menyala. (*)

Sekelumit tentang Nasi Kuning Ibu Hadija:
Ibu Hadija berjualan di tepi jalan Yos Sudarso, Kota Tual, mulai lepas maghrib hingga pukul 3 dini hari. Satu porsi lengkap nasi kuning dengan fillet ikan tongkol, tumis teri kering, mie goreng, oseng tempe dan telur ayam dijual seharga Rp. 15.000. Selain nasi kuning Tual, racikan nasi kuning a la masyarakat pulau Seram dengan dendeng daging rusa juga patut dicoba.

Minggu, 16 Oktober 2016

Komunitas Terbayang

21.45 Posted by Arasy Aziz , 6 comments

Di tengah siraman terik matahari pukul 11 siang, kelengangan menjadi pemandangan yang lazim di salah satu kantor pemerintahan di Maluku Tenggara. Selain jumlah pegawai yang umumnya dapat dihitung dengan jari, sistem presensi yang ketat juga belum benar-benar berlaku di tempat ini. Masing-masing orang hanya diwajibkan membubuhkan tanda tangan pada selembar kertas dengan daftar nama tercantum di dalamnya. Dua kali sehari pada waktu apel pagi dan sore hari jelang kepulangan ke rumah.

Jam kerja berlaku dari pukul 8 hingga 2 siang, atau 12 pada hari Jumat, tanpa waktu istirahat. Berlangsung selama enam  hari, dari Senin hingga Sabtu.

Apabila tak ada dokumen yang harus digarap atau hal lain yang perlu diurus, pegawai-pegawai ini bisa saja mengeluyur. Memilih kembali ke rumah, menunggui anak di sekolah atau mencari penganan ringan, sebelum kembali ke kantor untuk mengisi absen dan benar-benar pulang. Jika malas beradu dengan sengatan sinar surya dan udara panas khas kepulauan, mereka akan memilih berkumpul di ruang tamu kantor, di depan sebuah televisi. Duduk-duduk bersama, sesekali berceloteh satu sama lain mengomentari gambar-gambar yang bergerak di dalam kotak 21 inci. Siang itu, saya tengah duduk di tengah mereka. Menunggu giliran untuk menghadap salah satu pejabat setempat.

Kanal demi kanal, program demi program yang terus berganti. Berita tentang pemilihan kepala daerah DKI Jakarta memenuhi ruangan ketika saya tiba.

Sebelumnya pada hari- hari yang tak berselisih jauh, calon-calon yang diajukan memasing partai baru saja diumumkan. Persiapan pesta rakyat memunculkan tiga pasang nama yang akhirnya benar-benar memasukkan berkas pendaftaran ke meja Komisi Pemilihan Umum Daerah; Ahok-Djarot sebagai petahana, bersaing dengan Anies-Sandiaga dan Agus-Sylvi. Ada narasi berbau ulasan yang terdengar bertutur dari balik layar, disertai sejumlah prediksi berlandaskan hasil penjajakan berbagai lembaga survey.

Pada adegan berita selanjutnya, nama Ahok kembali muncul, diketengahkan dalam posisinya sebagai seorang gubernur yang menjabat. Yang disorot kali ini adalah kebijakan gusur-menggusur yang terus ia jalankan, terlepas dari kontroversi yang menggelayut di seputarnya. Termasuk, keberaniannya untuk melawan putusan sela peradilan tata usaha negara yang memerintahkan penundaan sementara seluruh aktivitas perataan hunian warga tepian Ciliwung di Bukit Duri. Tak butuh waktu lama bagi rumah-rumah tak beruntung itu menjadi rata digaruk bulldozer. Tidak ada perlawanan berarti, kabarnya, kecuali aksi damai yang digalang warga setempat.

Seluruh pemirsa di ruang tengah kantor itu mematung, agaknya sibuk dengan benak masing-masing, sebelum salah satunya berceletuk memecah kesunyian.

“Ahok ini memang ee. Dia mau dapa ini.” Ada nada seorang pendukung di dalam suaranya, sejenis kekaguman konstituen yang telah yakin dengan pilihannya jauh-jauh hari dan secara swadaya menunjukkannya kepada publik.  Para pegawai lain di ruang yang sama tak tergerak untuk menanggapi. Berita-berita pada jedanya berganti iklan. Salah satu pegawai yang terdekat dari layar berinisiatif untuk memindahkan kanal.

Kini, layar televisi menampilkan wajah yang sangat ikonik. Kehadiran yang identik dengan sebuah produk kapitalisme mutakhir, digadang sebagai investasi paling aman dan menguntungkan. Kini, layar televisi menampilkan Fenny Rose yang tengah berjualan apartemen. Gedung-gedung megah puluhan lantai yang notabene masih berupa purwarupa dan pondasi dasarnya bahkan belum berdiri. Ditawarkan dengan harga yang sesungguhnya membikin dompet mengkerut namun tampak ringan saja oleh cicilan menggiurkan. Kredo-kredo tentang keuntungan yang dijanjikan terus-terusan bersemat. Berbagai fasilitas yang eksistensinya masih tertunda ditambahkan di dalamnya. Kolam renang di puncak atap, hutan mini, kanal-kanal serupa Venesia, hingga akses dekat ke pusat perbelanjaan. Lampu-lampu berkilat dan terang benderang diantara gelap-gelap pekat langit Jakarta. “Senin, harga naik.”

Saya kembali memerhatikan wajah-wajah di sekitar saya. Masing-masing masih mematung, dengan mata yang terpaku di layar. Bedanya, ada mimik yang berubah kecil-kecilan. Dari penyimak khidma,t menjadi wajah-wajah yang separuh terpana. Barangkali terkagum-kagum. Barangkali di dalam senyap, tengah membiarkan imajinasi beradu untuk memiliki salah satu kapling di sana. Dari sebuah kantor di kepulauan Kei, puluhan ribu kilometer jauhnya dari Jakarta.

Imajinasi sesunguhnya adalah perkakas paling tepat guna untuk menjangkau hal-hal yang jauh. Di dalamnya, apa-apa yang tidak lazim dapat terjadi begitu saja di bawah kontrol alam pikir. Televisi dengan segala kemungkinan di dalam kotak kecilnya member stimulasi lebih lanjut terhadap hasrat melanglang itu. Pun kadang-kadang, ia lebih banyak mematikannya.

Namun dalam konteks keindonesiaan, imajinasi menjelma menjadi kata kerja yang asasi. Berpuluh tahun silam, ia adalah modal dasar untuk mengalih bentuk masyarakat remah-remah kolonialisme, menjadi negara yang mandiri. Di dalam zona antaranya, dikenal sebuah bentuk kolektivitas bernama “bangsa”.

Bangsa, oleh Benedict Anderson dirumuskan sebagai “komunitas terbayang”; sebagai sebuah “komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan.” Disebut imajiner, karena antara satu anggota dengan anggotanya yang lain hanya dapat membayangkan eksistensi masing-masing. Mereka mengenali sebuah identitas bersama, tanpa benar-benar mengetahui siapa liyan yang meyandang keterangan-keterangan serupa. Secara faktual diri-diri tersebut terpisah oleh ruang dan waktu, namun  memasing merasa cukup terikat pada identitas tersebut, tanpa benar-benar mengetahui pencirinya.

“Bangsa Indonesia” sendiri adalah sebuah kategori yang dirumuskan untuk menyebut orang-orang yang menghuni kepulauan nusantara. Membentang dari Sumatera hingga Nuu Waar. Ada budaya yang amat majemuk disana. Roman budaya manasuka dari orang-orang Batak, Minang, Minahasa, Kei, Betawi, Sunda dan Dayak,. Satu-satunya yang mengikat mereka adalah rasa solidaritas sebagai komune-komune yang pernah tertindas di bawah kolonialisme, meskipun pada kenyataannya bisa jadi berlangsung pada derajat yang berbeda-beda. Belum lagi jika menghitung dan mengelompokkan dengan jeli siapa yang pernah melawan dan siapa-siapa yang justru mengambil keuntungan dari sana. 

Keterbayangan itu, dengan kata lain, mensyarakatkan sebentuk asumsi keseragaman dan kesetaraan nasib. Akhirnya, ia menjadi janji yang perlu diajukan pula, terutama ketika “bangsa” ini beralih bentuk kepada komunitas yang lebih formal. Sebuah “negara”, dengan seluruh komponen dan daya jangkaunya yang dianggap menyeluruh. Pembentukan negara diidealkan mengakhiri daur imajinasi itu, menjadikan segala sesuatu serba kongkrit dan dapat diindera.

Namun, apa yang terjadi di ruang tamu sebuah kantor pemerintahan di Maluku Tenggara bagi saya adalah sebuah pertunjukan bagaimana elemen-elemen imajinasi itu masihlah  jauh dari menemui perwujudannya. Adegan ini, bagi saya, memuat banyak metafor mengenai proses membayangkan yang belum selesai. Alih-alih, justru menjangkau dimensi yang kian beragam dan rumit.

Yang kasat mata ialah perihal daya jangkau pengawasan pemerintah pusat terhadap aparat daerahnya. Melalui berbagai peraturan perundang-undangan, birokrasi Indonesia barangkali telah dirancang seefisien mungkin. Aparat diidealkan sebagai orang-orang yang siap mengabdi demi kepentingan masyarakat. Otonomi daerah digalakkan, dengan kewenangan yang besar dibebankan kepada daerah demi tercapainya tujuan negara. Namun itikad ini agaknya tidak diikuti dengan modal ekonomi dan sosial yang berkecukupan. Pemerintah pusat di ibukota bisa jadi mengklaim reformasi birokrasi tengah berjalan dengan baik, namun kenyataan di daerah kerap kali amatlah timpang. Aparat yang menonton televisi di tengah jam kerja hanyalah sebuah puncak gunung es.

Kita barangkali dapat menyalahkan jarak yang jauh dari pusat pemerintahan sebagai akar permasalahan. Namun bukankan itu semua sudah menjadi risiko ketika memutuskan membentuk sebuah negara yang wilayahnya mencakup kepulauan maha raksasa? Kita bisa jadi menekankan bahwa otonomi  menyebabkan pengawasan kinerja aparat harusnya selesai di level daerah. Namun apabila inefisiensi itu demikian sistematis hingga menjangkau petinggi-petinggi pemerintahan setempat, siapa lagi yang selayaknya kita harapkan untuk menegur?

Para pegawai yang menonton televisi di Maluku Tenggara adalah metafor dari masalah-masalah birokratis di atas yang belum selesai. Apa yang tengah mereka tonton, dan reaksi mereka terhadapnya, menunjukkan pergulatan proses mewujudkan imajinasi Indonesia pada aras yang berbeda.

 Televisi berhasil membuat jarak antara Kepulauan Kei dan Jakarta menjadi tak benar-benar berarti; apa yang terjadi di salah satu sisi seolah-olah menjadi milik sisi yang lain. Masalahnya, Jakarta an sich lebih banyak mengambil porsi pemberitaan, atau lebih tepatnya, melakukan monopoli. Apa yang terjadi disana adalah sebuah realitas yang diinjeksikan ke ruang keluarga, dan diterima secara sukarela. Televisi mengkonstruksikan sebuah dunia ideal, apa yang kemudian menjadi mimpi-mimpi yang tidak sepadan ketika dibicarakan dalam ruang hidup daerah. Mengapa, semisal, orang-orang Kei yang hidup berkalang laut membutuhkan apartemen? Apa pentingnya pemilihan gubernur DKI bagi alam demokrasi di Langgur?

Televisi menciptakan standar hidup dengan bercermin pada kelas menengah Jakarta, ditengah persebaran akses terhadap ekonomi dan sumber daya yang belum merata. Para pegawai yang menonton bersama saya menerima jejalan videografi promosional tentang apartemen di Jakarta, membayangkan kemungkinan perputaran uang diseputarnya. Membiarkan diri alpa menengok kemungkinan peningkatan nilai guna di habitat hidupnya, yang menanti untuk dimanfaatkan bagi kemajuan daerah. Yang tertinggal, kemudian, tetap tertinggal.

Imajinasi di masa lalu boleh jadi berfungsi sebagai perajut jalinan sebuah bangsa. Namun pada hari ini, maknanya telah benar-benar harfiah untuk menggambarkan jurang yang tidak terjangkau antara warga Indonesia kebanyakan. Imajinasi tentang Indonesia justru telah menjauh dari alasan asali kenapa ia dimulai; sebagai wahana untuk mencapai kesetaraan hidup yang layak. Pada hari ini, ketimpangan tersebut justru dipertontonkan secara vulgar lewat hubungan satu arah televisi dan pemirsanya di daerah. Ketimpangan itu justru dirayakan, meskipun dengan malu-malu. Pada akhirnya, yang ditunjukkan secara lugas hanyalah sanggahan di depan kamera televisi. (*)

Minggu, 25 September 2016

Tidak Ada Qurban di Abean

22.18 Posted by Arasy Aziz , , No comments

12 September silam adalah tahun kedelapan saya absen merayakan Idul Adha di rumah. Tidak ada daging melimpah ruah, tidak ada hidangan coto makassar. Hanya berleha-leha di kosan dan sempat diganggu masalah pencernaan. Namun merayakan eid dalam sunyi bukanlah "kemewahan" saya seorang. Jauh di belahan nusantara yang lain, saya ditemani orang-orang Abean, kampung kawan karib saya di Maluku Tenggara. Bedanya, kesunyian mereka barangkali hanyalah puncak gunung es dari masalah bangsa Indonesia yang jauh lebih besar lagi.

Pada hari ini ada lebih dari 254 juta penduduk Indonesia, dimana kekira 85 persen diantaranya menjadi pemeluk agama Islam. Kita boleh jadi memandangnya sekadar sebagai angka-angka statistik yang menyederhanakan keadaan sebenarnya; betapa tidak semua naranya menjalankan syariat dengan ketat. Namun penyederhanaan di dalam angka mayoritas itu pada kenyataannya cukup untuk membuat perayaan dan ritus agama Islam mengintervensi denyut negara. Sebagai sebuah tatanan yang dirancang rasional, menjangkau keseluruhan dan memiliki tanda pengenalnya sendiri, negara justru memberi ruang kepada warganya untuk merayakan afiliasi sosial dan bentuk identitas lain.  Di dalam kalender, akan kita temukan setidaknya lima tanggal merah untuk memperingati hari besar umat Islam; Tahun Baru Hijriyah, Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, Idul Fitri dan Idul Adha. Aktivitas administrasi diliburkan agar tanggal-tanggal dapat dirayakan riuh, dengan wajah-wajah dan penanda festivalnya memasing. Tidak peduli apakah anda pemeluk yang teguh, atau semata-mata menjadikan Islam sebagai pengisi kolom kosong di KTP. Tidak ada demarkasi. Hari-hari besar dirancang sebagai milik semua.

Namun bagi sebagian orang, idealitas kegembiraan di dalam jeda yang disediakan negara itu masihlah menjadi sesuatu yang jauh. Ketika hari raya tiba, orang-orang ini tetap merasai hari liburnya. Mereka masihlah berbondong-bondong pergi ke masjid untuk menjalankan ibadah yang disunnahkan. Namun, ritus-ritus aksesoris justru absen dalam perayaan. Sesuatu yang kadang diposisikan lebih utama sehingga sebuah hari layak disebut “Hari Raya”.

Sebagaian orang dengan pengalaman yang tak lengkap ini bermukim di Abean, salah satu kampung di pulau Kei Kecil, kabupaten Maluku Tenggara. Disana bermukim keluarga Larson, tukang ojek karib saya. Pada 12 September pagi, Larson terbangun dari peraduannya kemudian bergegas mandi. Tanggal tersebut bertepatan dengan 10 Dzulhijjah 1437 H, dirayakan seluruh dunia sebagai hari raya Idul Adha. Sebuah peringatan bagi kerelaan Ismail untuk disembelih demi menyempurnakan aqidah ayahnya, Ibrahim. Larson kawan kita hendak bersiap melaksanakan shalat eid. Matahari sedikit terik, namun tak menyurutkan langkah orang-orang Abean menuju ke masjid. Jelang pukul 7, Larson bergabung dengan penduduk yang mulai memenuhi jalan kecil kampung. Sebagai besar tampak mengenakan baju yang lebih rapih. Pinggang berlilitkan sarung, dengan kemeja atau baju koko yang disetrika licin. Wajah-wajah liat dari mereka yang sehari-hari bekerja kasar tak tampak, berganti dengan kecerahan khas paras pagi berbasuh air wudhu.

Pukul 7, muadzin mulai mengumandangkan panggilan shalat eid, megajak jamaah yang sudah menekur di masjid untuk berdiri. Lepas dua rakaat, dengan memasing tujuh dan lima kali takbir, shalat sunnah eid tuntas didirikan. Tak lama setelah salam, khatib yang bertugas beregegas naik mimbar menyampaikan khutbah eid guna mengajak orang-orang Abean kepada hal-hal baik. Khutbah usai, para jamaah kembali berdiri, saling bersalam-salaman, lalu pulang ke rumah masing-masing. Melanjutkan aktivitas hariannya.

“Begitu saja?” Saya terburu menyergah cerita Larson.

“Begitu saja.”

“Tidak ada penyembelihan hewan qurban?”

“Tidak ada.”

Saya tercenung sejenak. Cerita satu orang yang luput kebagian jatah daging qurban merupakan seuatu yang jamak terdengar. Barangkali sang juru bayar dan pengantar daging alpa dengan daftar nama-nama penerima yang ia pegang. Dalam beberapa kasus, di media bahkan ramai diberitakan bahwa si miskin yang harusnya menjadi salah satu yang layak menerima, justru berhasil menyumbang satu sapi hasil kerja kerasnya sendiri. Namun kisah satu kampung yang tidak merayakan penyembelihan sama sekali merupakan kenyataan yang sepenuhnya baru bagi saya. Sesuatu yang menurut Larson sudah biasa terjadi di kampungnya dari tahun ke tahun.

Qurban bagi orang-orang Abean tak dapat disebut sebagai ibadah rutin. Datangnya tidak sepasti hari raya Idul Adha itu sendiri. Mereka bisa melaksanakannya pada suatu tahun, lalu absen pada tahun-tahun selanjutnya. Mendengar embik maupun lenguhan di pojok kampoug jelang Idul Adha menjadi sebuah kemewahan tersendiri. Hanya dua sumber yang memungkinkan sapi-sapi dan kambing-kambing sumber suara itu berkeliaran. “Kalo bukan sumbangan dari pemerintah, ya partai politik. Tidak ada orang mampu di Abean,” ujar Larson meneruskan ceritanya.

Bagi saya, ini merupakan sebuah sisi penuh ironi dari hari raya Qurban di Indonesia, sekaligus puncak gunung es dari sebuah masalah yang jauh lebih besar. Betapa akses terhadap ekonomi masih bertumpu pada segelintir tangan.

Ibadah qurban bermula sebagai monumen, lalu menjadi ritus untuk membahagiakan orang yang tidak berpunya. Idul Adha pada aras permukaannya bertujuan untuk menjadi jembatan bagi si miskin untuk merasakan kemewahan daging setidaknya setahun satu kali. Ia membawa pepesan tentang kerelaan orang-orang mampu untuk berbagi.

Masalahnya, “kerelaan” dan “berbagi” ini masih ditafisr terbatas antar rumput tetangga. Sementara di Indonesia, persebaran kategori “orang mampu” timpang angka-angkanya antara satu daerah dengan daerah yang lain. Beberapa masih menjadi kantong-kantong penumpukan kekayaan, meninggalkan daerah lain dengan kemelaratannya. Sebagian daerah ditinggali oleh orang-orang kaya sepenuhnya, sementara sebagian yang lain disesaki oleh orang-orang papa. Kemiskinan tersebar secara merata. Dalam satu hari Idul Adha, sebuah sekolah muslim berlabel internasional bisa jadi menjagal hingga belasan sapi. Sebagian memang disebar ke rumah-rumah papa di sekeliling pagarnya. Sementara sisanya disantap bersama di kantin. Di saat yang sama, orang-orang Abean kembali ke ladang dan laut di belakang rumahnya untuk memetik timun dan ikan sebagai lauk. Barangkali di Indonesia, orang-orang Abean tidak sendiri.

Syahdan Indonesia masihlah tanah yang sama yang  ketika “tongkat kayu dan batu” dilempar sekenanya akan berubah menjadi “tanaman”. Namun Indonesia mana yang sedang dimaksud penggalan lirik ini? Beberapa daerah otonom tidak cukup beruntung diberkahi sumber daya yang kaya. Maluku Tenggara, semisal, semata-mata mengandalkan usaha perikanan dan pertanian yang dikelola secara tradisional sebagai ujung tombak. Sumbangan kedua sektor terhadap pendapatan daerah menurut  statistik tahun 2014 mencapai 32,33 persen. Sementara jika ditotal, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Maluku Tenggara per Desember 2014 hanya mencapai 2,1 milyar rupiah.

Dalam perumusan hukum dan kebijakan, negara agaknya alpa menimbang kenyataan ini. Melalui kebijakan otonomi yang tidak sistematis, daerah-daerah dilepas untuk berpacu meningkatkan perekonomian secara “swadaya”. Masing-masing ditugaskan menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD) bermodalkan kekayaan alam setempat. Notabene sebuah bentuk liberalisasi terselubung di dalam negara kesatuan. Dalam situasi ini, tentu saja daerah-daerah dengan kapital yang baik akan melaju kencang; mereka yang tak hanya berlimpah sumber dayanya, melainkan juga yang didukung infrastruktur warisan kolonial hingga era Soeharto yang cenderung pilih kasih. Tidak ada skema serius dalam pengaturan di level konstitusi yang memungkinkan distribusi kekayaan dari daerah dengan tingkat pendapatan tinggi kepada yang rendah Satu-satunya akses hanyalah berbentuk Dana Alokasi Khusus (DAK) yang sepenuhnya bersumber dari APBN.

Saya membayangkan, dstribusi kekayaan secara pantas antara satu daerah kepada daerah lain dapat memungkinkan orang-orang seperti Larson menikmati daging qurban secara rutin setidaknya setahun satu kali. Yang dibutuhkan tak hanya sebuah sistem peraturan yang baik, melainkan juga “kerelaan” dari pelaksananya untuk berbagi, sebagaimana semangat qurban itu sendiri. Dalam hal ini, kita dapat belajar pada orang-orang Abean. Mereka boleh jadi merupakan salah sedikit diantara 23.970 jiwa penduduk miskin di Maluku Tenggara, namun secara sadar maupun tidak mampu memaknai Idul Adha dalam lelaku hariannya. Ada sebuah tradisi yang menurut Larson menjadi muasal ketidakmampuan penduduk kampungnya untuk membeli hewan kurban. Kadang-kadang membuatnya berat hati. Sebuah tradisi yang tidak memungkinkan penduduk kepulauan Kei untuk menumpuk kekayaan secara berlebih-lebihan.

Mereka menyebutnya sebagai “yelim”. Secara sederhana, merupakan bentuk gotong royong orang-orang Kei untuk memenuhi hajat tertentu. Acara gelaran sebuah keluarga menjadi milik seluruh kampung dan marganya. Tradisi yelim berlaku dalam seluruh rentang suasana, baik duka hingga huru-hara. Ketika ada seorang warga yang meninggal, semisal, menjadi kewajiban moral bagi orang-orang untuk turut hadir lalu memberikan bantuan dalam bentuk apapun. Baik sekadar tenaga untuk mengurus dapur hingga sejumlah uang. Yelim mengikat orang-orang Kei secara turun-temurun, demi menghindari cap buruk dan daftar hitam dari satu keluarga. Masing-masing berkewajiban untuk melakukannya sepanjang periode hajat tersebut. Yang terpanjang adalah 40 hari dalam ritus kematian orang-orang Kei.

Dengan demikian, “kalo ada orang kaya di kampung, pasti orangnya itu pelit,” lanjut Larson. Masyarakat Abean yang umumnya menggantungkan hidup sepenuhnya dari bertanam sayur-mayur menjadi pantang untuk sendirian berpunya. Ada dua model kepribadian yang tengah dicontohkan disana. Masing-masing daerah di Indonesia dapat memilih menjadi salah satunya. (*)

Selasa, 20 September 2016

Orang-orang Kei dan Embalnya

13.40 Posted by Arasy Aziz , , No comments

Berkenalan dengan embal dan posisi pentingnya di hati orang-orang Kei. Perlu dua kali uji coba bagi saya untuk memahami kejutan dalam rasa sepat olahan umbi beracun ini.
 
Dalam tahap yang paling primitif, makan-memakan boleh jadi sekadar perihal bertahan hidup, urusan mengisi perut hampa. Namun kelahiran suatu resep tak pernah berasal dari sekadar uji coba, melainkan melalui dialektika antara manusia dengan alam material di luar dirinya.  Penganan yang endemik menyimpan ingatan kolektif sebuah masyarakat tentang bagaimana mereka mengakali alam. Ia, sebagaimana bahasa dan produk-produk kebudayaan lain, layak diposisikan sebagai pembeda bagi satu kesatuan dengan kesatuan yang lain. Dengan kata lain, sebuah identitas.  

Tarikan konteks yang sama berderap dalam sebuah habitat kepulauan yang  memojok di ufuk tenggara Maluku. Tak jauh dari kaki-kaki Papua, diapit vista biru laut Banda dan laut Arafura.

Hingga awal tahun 2000-an, memasing pulau didalamnya masih berhimpun dalam kabupaten tunggal bernama Maluku Tenggara, baik Dullah, Kei Kecil, Kei Besar, Tayamdo, hingga Kur yang lebih utara. Namun satu demi satu wilayahnya merasa cukup mandiri dan mulai memisahkan diri. Beberapa disebabkan oleh pertimbangan politik dan keterbelahan sosial yang cukup pekat; sisa-sisa konflik yang memecah Maluku secara keseluruhan pada awal dekade. Sebagian yang lain dibentuk untuk mendekatkan pemerintahan kepada masyarakat, mengingat betapa jauhnya jarak antar pulau utama dengan pulau-pulau lain yang terpisah lautan. Masalah generik negara kepulauan.  Pada hari ini, tersisa dua pulau ukuran sedang sebagai ruang administratif daerah  induk.  

Namun  demarkasi Maluku Tenggara dan Tual pada akhirnya hanyalah perihal hukum dan administrasi. Dalam aras identitas yang lain, orang-orang yang telah terpisah dalam berbagai wilayah ini tetaplah berasal dari satu  identitas sosial yang sama. Mereka menyebut diri sebagai orang-orang Kei, sebagaimana nama kepulauan tempat mereka bermukim.

Syahdan, kata Kei diserap dari bahasa portugis “Kaios”; secara harfiah berarti batuan. Sebuah nama yang diberikan kolonial permulaan untuk menggambarkan secara singkat rupa muka bumi nusa ini. Sebagian besar tanah di kepulauan Kei, utamanya di pulau Dullah dan pulau Kei Kecil yang menjadi pusat konsentrasi penduduk, terbentuk dari jenis batuan kars, endapan karang dengan usia pembentukan tujuh puluh hingga satu  juta tahun.Amat sulit ditemui humus berwarna hitam kecokelatan. Kala tanah berusaha digenggam, yang terperangkap adalah  butiran putih bertekstur kasar.

Agaknya hanya tanaman-tanaman berakar keras, merambat atau cukup tahan uji yang dapat bertumbuh di atasnya. Tak akan kita temukan petak-petak sawah menguning siap panen di kepulauan Kei.  Dengan kata lain, padi yang menjadi makanan pokok jutaan masyarakat Indonesia menjadi mustahil dikembangbiakkan. Beras memang dapat ditemui, namun  ia datang  ke pulau dengan kapal-kapal dari tanah nun jauh. Maka orang-orang Kei beradaptasi guna pemenuhan kebutuhan karbohidrat yang layak. Masyarakat timur Indonesia dari rumpun Melanosoid pada umumnya mengenal papeda, olahan bubur sagu kental. Namun bagi orang-orang Kei, embal adalah primadona tak tergantikan di hati dan perut.

Satu porsi sajian Ikan Kuah Kuning bersama embal dan sayur campur di Warung Fadly, Kota Tual

Tanaman embal memiliki fisiologi yang serupa dengan singkong. Pembedanya barangkali hanyalah tebal tipis daun yang sulit dikenali kecuali dengan saksama. Sebagaimana singkong, embal menghasilkan umbi-umbian di penguhujung ruas batang tanamannya, yang kemudian diolah warga setempat sebagai penganan. Namun untuk dapat dikonsumsi, umbi embal  tak dapat digoreng atau direbus begitu saja. Ia perlu diolah terlebih dahulu untuk menghilangkan kandungan racun di dalamnya.

Benar, racun. Konsentrasi sianida yang konon cukup untuk membunuh seorang dewasa. Dengan demikian, sejak ribuan tahun orang-orang Kei telah bergelut dengan peregang nyawa agar dapat bertahan hidup. Pilihan amat terbatas di atas muka bumi yang kurang simpatik.

Ketika memilih mengolah embal, diperlukan keruntutan dan disiplin agar proses makan-memakan justru tak berujung maut. Butiran umbi diparut, kemudian diperas patinya beberapa kali hinga kering sepenuhnya. Dalam aliran sari itulah racun-racun dibiarkan mengelana sendirian dan meluruh. Sementara ampas yang tersisa kembali dianginkan hingga zat berbahaya tak lagi ada yang tinggal. Dari “tepung” inilah lahir olahan-olahan yang manasuka, baik bentuk dan campurannya.

Perkenalan pertama saya dengan embal sesungguhnya tak berlangsung dengan baik. Jelang akhir kunjungan pertama saya ke Maluku Tenggara pada Juni silam, saya memutuskan mengisi sore dengan mengeluyur ke pelabuhan kota Tual. Menurut informasi yang saya terima dari meja depan hotel tempat saya menginap, di sekitar pelabuhan berjejer warung-warung penjaja oleh-oleh bagi para pelancong. Di sana, kami bertemu dengan apa yang kami cari. Jelang gerbang pelabuhan, aneka ragam kudapan tampak semarak sebagaimana dituturkan orang-orang. Yang tampak cukup mencolok adalah kacang botol. Di daerah Sulawesi tempat asal saya, jenis cemilan ini lebih dikenal dengan nama kacang goyang. Diambil dari proses pembuatannya dimana kacang tanah dibaluri dengan gula halus berkesumba warna-warni, lalu digoyang hinggamembalur rata. Di Maluku, butir-butir kacang bersalut ini dimasukkan ke dalam botol kaca dari wadah bekas minuman keras atau sambal olahan.

Saya dan kawan saya memutuskan membeli beberapa ikat kacang botol untuk dibawa pulang. Tanpa kami minta, sang pedagang cukup berbaik hati memberi kami bonus. Satu plastik berisi jajanan berbentuk lembaran pipih. “Ini embal,” ujar sang bapak.

Sudah sejak lama saya mendengar tentang embal, namanya berseliweran di berbagai situs rekomendasi pariwisata kepulauan Kei. Namun ini adalah perjumpaan yang benar-benar pertama. Sesampainya di kamar, kami mencoba jajanan yang kami peroleh cuma-cuma ini. Sayangnya dalam beberapa gigitan, lidah saya menyerah. Rasa sepat yang ganjil segera memenuhi rongga mulut saya. Pun diperhatikan sepintas, embal di tangan saya dilengkapi taburan kacang tanah. Namun toping ini sama sekali tak banyak membantu memperkaya rasa embal tadi.  Setelah lembaran pertama saya habiskan dengan susah payah, saya memutuskan tak akan memakan embal kembali.

Namun serapah yang keluar dari mulut saya agaknya terlalu dini. Pada kesempatan kedua saya mencicipinya, pada waktu yang lain, saya justru dipaksa bertekuk lidah.

Semuanya bermula dari percakapan saya yang intens dengan Larson, seorang pengemudi ojek lokal, yang selama berminggu-minggu pekerjaan saya di Maluku Tenggara turut menjadi pemandu yang liat. Dalam perjalanan menelusuri jalanan Tual-Langgur (ibukota Maluku Tenggara) dari kantor ke kantor, kami kerap membicarakan apapun. Termasuk embal dan pengalaman kurang baik saya kala menyantapnya.  Demi mendengar cerita tersebut, Larson mulai mendebat dengan sengit. Saya dinilainya makan embal dengan cara yang salah pada momen tersebut. Embal kacang idelanya adalah kudapan serasi dari teh atau kopi di sore hari. Sehingga dimakan secara terpisah hampir-hampir membuatnya kehilangan konteks, dan tentu saja rasa.

Larson melanjutkan tuturannya tentang embal dengan sebuah ibarat, sekaligus lelucon, yang membuat saya tertarik.“Ibarat jika lagi makan embal, biar kata ibu mertua kecebur di sumur dan minta-minta tolong, kita akan berseru ‘tunggu dulu Mama, lagi enak makan ini!’” tuturnya dengan tawa tertahan diujung. Apa yang  tengah berusaha Ia gambarkan ialah, betapa nikmatnya sebuah makanan dapat membuat seseorang Kei melupakan hal-hal yang genting sekalipun. Barangkali sebuah lelaku paling asali untuk menunjukkan rupa rasa bersyukur. Hubungan keduanya, makanan dan lelaku, seolah berada pada lingkup siklikal yang saling memengaruhi. Kemengadaan embal dan olahannya mengondisikan sebuah kebiasaan, atau stereotip, sebagaimana sebuah habitus membentuk sebagai reaksi atas gejala alam. Embal, menurut Larson, memang merupakan makanan pokok ideal bagi orang-orang Kei yang disebutnya “suka sekali makan”.

Dalam memenuhi pengalaman ini, embal dianugerahi kandungan karbohidrat yang tinggi, sehingga Larson berani membandingkan bahwa “makan satu piring embal itu sama kenyangnya dengan tiga piring nasi.” Makan beberapa potong embal dapat membuatnya kenyang seharian. Sesuatu yang turut saya buktikan kemudian. Pun beras datang dari tanah-tanah yang jauh, romantisme orang-orang Kei terhadap embalnya tak kunjung lekang. Keduanya tetap bersanding, kemudian bersaing, di pasar-pasar.

Ingatan tentang embal ini pada kenyataannya bukanlah milik Larson seorang.  Celetukan-celetukan yang bersahutan di kios foto kopi membuat saya semakin menyadari pentingnya posisi embal dalam alam sosial orang-orang Kei. Pada tengah hari Jumat yang terik, saya bergegas menuju ke tempat tersebut untuk mengambil sejumlah besar berkas yang tengah diperbanyak. Bersama saya tengah menunggu beberapa orang dari berbagai usia, agaknya dengan kepentingan yang beragam. Foto kopi saya tuntas, saya membayar sejumlah besar bea. Ketika hendak mengembalikan sisa, sang pemilik bertanya dengan bahasa setempat yang tidak saya pahami. Ia mengulang beberapa kali, hingga orang-orang yang menunggu layanan akhirnya berlomba menjelaskan. Menggurau dengan kegagapan saya.

Seorang bapak berpakaian dinas pemerintah kabupaten berbahan khaki rupanya belum tuntas berkomentar.  Diantara kata-katanya yang berhasil saya tangkap, ia mengeluhkan tergerusnya penggunaan bahasa Kei dalam pergaulan pemuda setempat. Fenomena yang kemudian menyambung dengan, apa yang ia nilai, merupakan lelaku memadang sebelah mata penganan embal. Sebagaimana reka ulang sang bapak atas seruan kepada anak-anaknya. “Jangan kau hina itu embal, kalo nda makan itu bapak nda bisa jadi seperti sekarang.” Dua hal ini, bahasa Kei dan embal, tampak disandingkan sebagai ekspresi kebudayaan yang setara. Meluruh bersama darah dan daging orang-orang Kei dalam usaha membentuk dan mengejar identitas dan kelas sosial tertentu. Ada embal dalam setiap tangga yang didaki menuju standar kemapanan  dan idealitas. Barangkali menjadi Pegawai Negeri Sipil adalah salah satunya. Ironisnya, dalam pernyataan yang sama juga tergambar betapa dewasa ini, embal bagi sebagian orang juga merupakan wajah dari suatu kelas dalam maknanya yang peyoratif. Titimangsa yang terasing dan tertinggal di belakang sebagai ampas modernitas yang berderap menjauh.

Larson kemudian mengajak saya menuju ke salah satu pojokan pasar Tual. Ke pintu “Warung Rafly”, sebuah warung sederhana berdinding kayu kelapa namun tampak ramai dari luar. Sekurang-kurangnya, jejran kursi dan meja terisi penuh oleh pegawai pemerintah yang beristirahat siang pun warga yang pulang berbelanja. Di etalase tampak sejumlah lauk pauk yang familiar. Namun menu utamanya yang menjadi alasan saya tergoda untuk menuruti ajakan Larson. Sepiring ikan kuah kuning hangat dengan pilihan nasi atau embal sebagai “pelengkap”. Dengan mempertimbangkan kisah-kisah yang saya simak diseputar nama yang kedua, saya memutuskan memberikan embal kesempatan sekali lagi. Satu porsi ikan kuah kuning yang hendak saya santap disajikan dengan empat potong embal bubuhuk, jenis embal bercampur kelapa yang dimasak melalui proses pembakaran, ditambah piring kecil sayur campur.

Secara intuitif, saya mengambil satu potong embal terlebih dahulu kemudian mencelupkannya ke dalam kuah ikan yang kuning menyala. Membiarkan larutan kaya bumbu meresap melalui permukaan embal yang berpori. Sebelum terlampau pejal, saya terburu menyuapkannya ke mulut saya yang membuka tanda lapar. Pada gigitan pertama, alasan-alasan di balik ocehan Larson tetiba terasai dengan jernih. Di rongga mulut saya, embal yang sepat dan sedikit asam sibuk bergumul dengan ketajaman rasa jahe dan kunyit kuah kuning. Campuran parutan kelapa membuat adonan lebih gurih di lidah. Menyerang langsung ke pusat kontrol selera makan saya, meningkatkan produksi saliva secara dramatis. Peraduan diramaikan dengan cabikan daging lembut ikan kakap yang saya kunyah perlahan. Proses ini berujung pada godaan untuk segera merendam kembali potongan embal tersisa ke kuah ikan, ulang berulang, hingga seluruh porsi di meja saya tandas.

Di dalam pikiran saya, sebuah penerimaan tengah menelusup; tentang cerita-cerita Larson, tentang celetuk seorang pegawai di warung foto kopi, tentang embal mereka. Ikatan orang-orang Kei dengan embalnya tak lain merupakan pelabuhan ingatan akan rasa sebuah makanan yang penuh kejutan dan meliuk. Embal itu sendiri, dan ragam wajah cara peyajiannya. Sebuah rasa yang turut mengantar orang-orang Kei melampaui satu demi satu sejarahnya. Sebagai individu, maupun sebagai sebuah  kolektif yang menghidupi diri di atas bebatuan karang laut tenggara. (*)

Sekelumit tentang Kepulauan Kei dan Embal
Kepulauan Kei merupakan salah satu gugus kepulauan yang terletak di tenggara provinsi Maluku, dan terbagi atas dua daerah otonom; Kota Tual dan Kabupaten Maluku Tenggara. Dapat dicapai dengan pesawat udara tipe ATR maupun kapal laut dari Ambon. Ragam olahan embal pada umumnya sangat mudah ditemui di pasar maupun diolah secara terbatas di dalam rumah tangga-rumah tangga. Satu porsi embal bubuhuk maupun soami (embal kukus) dihargai Rp. 5.000 berisi empat potong. Di Warung Rafly, pasar Tual, embal disajikan dengan menu Ikan Kuah Kuning seharga Rp. 20.000 per porsi.

Selasa, 19 Juli 2016

Bumi yang Datar

05.10 Posted by Arasy Aziz No comments
Saya berusaha membayangkan sebuah Bumi yang pipih, datar seperti sekeping cakram piringan hitam. Atau pancake hangat dengan sirup gulali di atasnya. Lalu turut memercayai bahwa gravitasi adalah bualan yang dibikin-bikin negara adikuasa. “Segala sesuatu dapat bertahan di permukaan Bumi,” ujar salah satu sumber  “semata-mata karena bekerja dibawah hukum archimedes.” Dengan kata lain, yang memungkinkan kita berjalan, berlari dan berak sesekali  tanpa khawatir air besar melayang-layang di udara adalah perbedaan massa jenis. Manusia dikatakan memiliki rasio massa per volume di tingkat menengah, alias lebih “ringan” dari Bumi namun lebih “berat” daripada udara. Begitupun buah yang jatuh dari tanaman-tanaman, dedaunan, kijang dan kendara.

Namun, imajinasi terliar saya bahkan tak mampu membangun sebuah gambaran yang benar-benar layak dan masuk akal.

The Blue Marble (Sumber: 2013.spaceappschallenge.org)
Pemandangan yang terbit pada mulanya adalah sebuah hamparan lautan yang diatasnya mengapung benua-benua dan pulau-pulau yang kita kenali. Dari Asia hingga kepulauan Kei di Maluku. Lautan biru yang menyelimuti kedataran Bumi secara menyeluruh. Tapi ada apa di ujung lautan itu dan menjaganya agar tak meluber? Kelompok pengikut teori flat earth menyebut bongkahan-bongkahan es. Sebagaimana yang dapat kita ketemukan di kutub, dalam wujud barikade yang berkeliling. Serupa pagar halaman.

Namun, apa yang menahan bongkah itu tetap pada tempatnya? Tak ada yang benar-benar tahu, kecuali sejak dari sananya ia dirancang sebagai pengaman.

Lebih sensasional lagi, tak hanya bulan, melainkan matahari pun ikut berevolusi mengelilingi piringan biru ini dalam teori Bumi yang datar. Matahari disebut tergantung di langit setinggi beberapa puluh ribu mil. Kala hari berganti, ia hanya bersembunyi di sisi lain piringan Bumi.
Anehnya, setiap kali matahari berada dalam posisi terdekat dengan “pagar” Bumi, tak ada kabar bahwa es di tepian Bumi tadi mencair. Barangkali yang satu ini ditutupi dengan lihai oleh media-media agar masyarakat tetap bodoh. Lelaku mengisolasi ilmu pengetahuan baru, toh, pernah menjadi bagian dari sejarah.

Menariknya, martir di dalam peristiwa-peristiwa tersebut justru merupakan pioneer bagi paham kebulatan Bumi dan heliosentrisme. Berulang kita mendengar epos kepahlawanan Copernicus, kemudian Galileo Gallilei, yang mempertahankan kepercayaan ini dihadapan gereja. Atau bagaimana Christopher Colombus ditertawakan karena memilih menuju India dengan berlayar ke barat. Semata-mata karena percaya bahwa Bumi yang ia tinggali berbentuk bulat.

Belakangan popularitas keyakinan ketiganya, alih-alih melemah, justru semakin kukuh seiring dengan geliat eksplorasi umat manusia. Diajarkan secara formal di dalam kurikulum. Dari gambaran guru-guru kita mengenai kapal laut yang terlihat tiangnya lebih dahulu ketika mendekati pelabuhan, hingga teknologi yang relatif lebih mahal; memotret rupa Bumi dari luar angkasa. Pada masa Alfonso de Alburqueque satu-satunya rute yang dapat digunakan untuk mencapai India adalah memutari Tanjung Harapan. Kini, terusan Panama dibangun bagi kapal-kapal yang hendak menyeberangi Amerika untuk menuju Asia, maupun sebaliknya.

Meskipun tak pernah benar-benar terkubur, namun keyakinan akan Bumi yang datar pada kenyataannya tetap hidup dan kembali mengemuka dalam ruang diskusi akhir-akhir ini. Lewat berbagai platform, sejumlah orang menyebarluaskan video-video besutan kelompok Flat Earth Society. Dari namanya, kita bisa menebak dimana ketertarikan komunitas ini tertambat.

Sebagian besar argumen dan bukti sahih mengenai Bumi yang bulat ditolak mentah-mentah oleh kolektif ini. Potret tahunan blue marble rilisan ISS disebut sebagai reproduksi CGI. Pun demikian matahari yang jauh. Adapun visualisasi kapal yang mendekati pelabuhan dengan layar yang lebih dulu tampak, semata-mata dikarenakan keterbatasan visi manusia.

Kelompok Flat Earth pada umumya mengacu pada informasi dan kebijaksanaan masa lalu, monograf-monograf  dari peradaban bertitimingsa mula-mula. Nubuat dari berbagai kitab suci disinggung. Pada akhirnya, Bumi yang bulat tak lain merupakan konspirasi negara adidaya untuk menguasai dunia, setara upaya terselubung Illuminati dan Yahudi. Seiring dengan pertumbuhan pendapat yang mengamini ini, bantahan-bantahan yang keras pun mengemuka.

Namun, perdebatan perihal bentuk Bumi, atau hukum-hukum yang mengiringinya, bagi saya mubazir dan tidak berujung kemana-mana. Selain telah usang dalam rentang berabad-abad, kebenaran atasnya sesungguhnya tak tepat dinilai lewat proses diskursus. Diskursus itu sendiri dirancang untuk mewadahi kebhinnekaan pemahaman. Yang bertarung di dalamnya adalah perbedaan gagasan hingga menemukan konsensus, apa-apa yang disepakati oleh manusia. Diskursus berusaha menemukan kebenaran yang bersifat intersubyektif, menemukan titik temu antara kesadaran manusia yang beragam. Kebenaran adalah apa yang disepakati itu sendiri.

Masalahnya, kebenaran apakah Bumi itu datar atau bulat seperti bola tidaklah ditentukan oleh kesepakatan manusia. Ia merupakan kriteria fisik, dan harus dibuktikan dengan eksplorasi alih-aih sibuk berargumen.

Sains sebagai pengetahuan empirik bermain di ranah ini. Nilai kebenaran darinya tidak dicari dimanapun, melainkan konstitutif pada pengindraan manusia terhadap alam sekitarnya. Yang berusaha dieksplorasi adalah obyektifitas dari kenampakan-kenampakan. Kategori benda pada dirinya sendiri. Ia haruslah didasarkan pada sesuatu yang dapat dihitung. Sebuah informasi saintifik dapat masuk ke ruang diskursus dalam situasi yang amat terbatas.

Jika kita ingat, semisal, terdapat 9 planet yang menghuni tata surya kita, kesemuanya mengorbit matahari. Pluto sebagai yang termuda dalam daftar tersebut ditambahkan pada tahun 1931 seiring dengan penemuan oleh Clyde Tombaugh, astronom Amerika Serikat. Informasi ini mapan diajarkan di sekolah-sekolah selama puluhan tahun, hingga pada medio dekade 2000-an, satu demi satu penemuan mengguncang para pegiat astronomi. Pluto, pada kenyataannya, bukanlah satu-satunya obyek serupa planet di sisi terluar tata surya. Berturut-turut ditemukan Ceres, lalu Xena dengan bulannya, yang memiliki ukuran sama bahkan lebih besar dari sang planet kesembilan.

Penemuan-penemuan ini membuat para ilmuwan menjadi ragu akan status keplanetan Pluto. Pada akhirnya, astronom dari seluruh dunia berkumpul di Praha pada tahun 2006 untuk mendefinisikan ulang apa yang dapat disebut sebagai planet. Di akhir konferensi, ditelurkan keputusan yang diantaranya resmi mengeluarkan Pluto dari daftar planet di tata surya. Apakah dengan demikian Pluto hilang dari alam semesta? Pada kenyataannya, ia masih berada pada tempatnya dan mengorbit Matahari. Setahun silam, wahana antariksa New Horizon bahkan berhasil merekam Pluto dari jarak dekat. 

Satu-satunya hal yang berubah adalah kategori eksistensial Pluto di mata manusia. Dari sebuah planet, menjadi benda angkasa serupa planet (planetoid).  Ia kehilangan statusnya karena tak mampu memenuhi salah satu kriteria planet, yang tak boleh memiliki garis edar beririsan dengan kepunyaan planet lain. Dalam hal ini, Pluto rupanya bertemu di sejumlah titik dengan Neptunus.

Nasib Pluto adalah contoh pembedaan antara kebenaran konseptual dan kebenaran empirik di dalam sains. Pluto sebagai sebuah benda langit yang berbentuk bulat, beredar mengelilingi matahari dan memiiki suhu permukaan yang lebih dingin dari titik beku absolut, adalah fakta saintifik yang berasal dari pengamatan. Lebih lanjut, gaya-gaya yang bekerja di dalamnya dapat dihitung secara matematis. Dari percepatan gravitasi hingga kecepatan edarnya mengelilingi Matahari.

Namun perihal menentukan apakah Pluto dapat dikategorikan sebagai planet atau bukan adalah sepenuhnya urusan manusia yang bersepakat. Ia melibatkan proses dialog yang berkepanjangan antara insan yang berpikir, hingga mengerucut pada suatu rumusan yang padu. Dalam kasus ini, berujung pada perumusan definisi “Planet”.

Pun demikian dengan “Matahari”, “Bintang”, “Komet”, “Hewan” dan “Manusia” itu sendiri. Terhadap dua yang disebut belakangan, semisal, pergeseran definisi masing-masing tak akan mengubah kenyataan anatomi dan fisiologis yang melekat kepadanya. Manusia tetaplah manusia dengan dua tangan dan kaki, berjalan dengan tegak dan memakan apa saja. Memiliki daya mandiri untuk mengakali alam. 

Pada suatu saat nanti ketika Manusia sebagai konsep dinilai mengusang, ia dapat diganti dengan konsep baru yang dirumuskan bersama-sama.

Demikianlah bagaimana diskursus mengenai Bumi yang bulat menjadi mubazir. Yang tengah kita bicarakan adalah karakter fisik dari sebuah benda langit, yang pembuktiannya diidealkan dilakukan dengan pengamatan atas tanda-tanda alam. Ditambah, pemahaman yang holistik atas berbagai gaya yang bekerja didalamnya.

Terlebih ketika sebuah ayat dari kitab suci diacu sebagai basis argumen. Sejak semula, kebenaran ayat-ayat berdiam di ranah yang transenden dan harus diimani tanpa pertanyaan.  Menjadikannya suci dan sakral, pun dikemudian hari dihadapkan pada pertentangan dengan nalar. Keiman pada dasarnya tak perlu membuktikan apapun.

Suatu ayat bisa jadi menjabarkan hal-hal yang kemudian oleh sebagian penganutnya ditaut-tautkan pada kenampakan alam tertentu, lalu digunakan sebagai acuan bagi kebenaran ilmiah. Berbagai fenomena yang sesungguhnya bersumber dari penginderaan yang profan justru dijadikan pembuktian bagi kebenaran kitab. Sebagian dari kita kerap bersorak  atasnya lalu melipat tangan di dada, menunjukkan diri bahwa iniliah Iman yang superior. Inilah Iman yang berhasil membuktikan diri benar menurut sains.

Disaat sains hari ini terus bergerak dan tak diam, temuan demi temuan baru mengemuka hingga batas terjauh eksplorasi akal manusia. Jika suatu ketika sains membuktikan hal yang berkebalikan dengan terang benderang, cukup siapkah Iman yang empirik ini untuk menerimanya? Atau mempermalukan diri sendiri dengan menunjuk hidung sains sembari berpijak pada pembuktian yang abu-abu? (*)

Kamis, 28 April 2016

Masa Lalu yang Dijejalkan ke Hadapan Rangga

19.00 Posted by Arasy Aziz , 2 comments
Setelah 14 tahun meninggalkan tanah kelahirannnya, masa lalu tetiba dijejalkan begitu saja ke muka Rangga dalam satu, dua pukulan. Kilasan demi kilasan ingatan agaknya berlalu lalang di kepalanya sesibuk lalu lintas Manhattan. Satu per satu menuntut perhatian sang lelaki dingin, lalu menggerogotinya dari dalam.

Namun dia masihlah Rangga yang itu, Rangga yang memilih menekur di salah satu gudang sekolah di kala sebagian besar yang lain bersenang-senang di tepi lapangan basket. Rangga yang melampari dengan pensil sepasang kekasih yang membikin perpustakaan bising. Rangga masihlah sosok sinis dengan lidah yan kadang-kadang tajam. Jalan sunyi telah mengajarinya menjadi individu yang teguh dan belajar dengan kesendiriannya.
Maka Ada Apa Dengan Cinta 2 (AADC2) tak lain adalah pertunjukan upaya Rangga (Nicolas Saputra) untuk berdamai dengan keping-keping masa lalunya. Sebuah kesempatan untuk melakukan rekonsiliasi sembari menengok apa yang tersisa disana.
Memorabilia pertamanya, tentu saja adalah dia yang kepadanya tertaut janji pulang dalam satu purnama, “untuk mempertanyakan lagi cintanya.”
Cinta (Dian Sastrowardoyo) hari ini, di salah satu sudut kota Jakarta,  telah menjadi sosok wanita dewasa kelas menengah yang mandiri. Ia bertumbuh seiring waktu, bertemu dengan kemungkinan-kemungkinan baru, orang-orang baru. 
Namun ada ruang lebar yang disisakan untuk masa lalunya, mewujud dalam sekotak wadah sepatu bekas. Didalamnya tersimpan seluruh gairah dan hal-hal yang tak selesai. Ketika dibuka, bau Rangga selalu menguar pekat.
Bersama sahabat-sahabat sekolah menengahnya; Maura (Titi Kamal), Karmen (Adinia Wirasti), dan Milly (Sissy Priscillia), Cinta kemudian merencanakan liburan bersama ke Jogjakarta. Di kota ini, semesta kemudian menunjukkan kuasanya dengan mengiris kembali nasib sepasang kekasih. Bertahun-tahun silam keduanya saling memandang hanya lewat surat dan puisi, sebelum berakhir abu-abu.
Memorabilia kedua Rangga-lah yang memungkinkan pertemuan itu terjadi. Alasan yang membuatnya rela menempuh penerbangan berjam-jam Jakarta-New York. Kerinduan Cinta sekalipun bahkan tak mampu memungkinkan perjalanan itu. Ialah sosok Ibu yang puluhan tahun hilang dari kehidupannya, tetiba memanggilnya kembali.
Diantara gang demi gang kota Jogjakarta, langkah-langkah Rangga semakin dekat dengan Cinta. Ketika keduanya akhirnya bertemu kembali, nama yang disebut kedua tak dapat membendung amuk di dadanya.
Namun sebagaimana Rangga, ia masihlah Cinta yang dulu. Cinta yang senantiasa merawat kemenduaan di dalam hatinya. Percabangan perasaan-perasaan, yang kadang dengan selaras dengan apa yang ia ungkapkan.
Kali ini, ia memilih mendengar. Keputusan yang ia ambil kemudian barangkali membuat siapa saja yang menonton bersama saya bersyukur hingga nantinya layar ditutup.
Pekerjaan rumah terbesar AADC2 agaknya berkutat di seputar ekspektasi penonton. Bagaimanapun, prekuelnya telah melampaui level kultivasi tertentu. Cerita coming age yang sederhana, acting menawan dengan reaksi kimia yang presisi dari memasing actor, latar yang kontekstual; AADC telah terlanjur menjadi suara zamannya. Di level yang lain, film ini juga kerap digadang sebagai penanda bagi kembalinya film Indonesia layak simak ke layar perak.
Ada beban sejarah disana. Bagaimana kisah cinta monyet Cinta dan Rangga terbebas dari kesan picisan dalam latar kontemporer, 14 tahun kemudian. Saya termasuk golongan yang sempat meragu kala trailernya rilis pertama kali. Kecuali sebuah kalimat yang dinyatakan Cinta dengan dingin dan intonasi datar, sebagian besar tampak tak menggambarkan apapun.
“Rangga, yang kamu lakukan ke saya itu.. jahat.”
Belum lagi, saya bukanlah bagian yang menjadi saksi demam AADC secara langsung. Kala AADC rilis di tahun 2002, saya masihlah bocah kelas 4 SD di suatu kota yang bahkan tak memiliki fasilitas bioskop memadai. Hip film garapan Rudy Soedjarwo ini hampir tak terdengar. Kala sajak dan lelaki dingin menjadi perkawinan yang memabukkan dalam budaya pop, saya tak mengambil bagian. Saya beruntung, kemajuan teknologi memungkinkan persentuhan saya dengan AADC.
Namun, apa yang dikerjakan Riri Riza, Mira Lesmana, dan sederet arsitek dibalik film ini bahkan melampaui pertanyaan-pertanyaan saya.
Kekuatan utama AADC2 masihlah kemampuannya untuk mengelaborasi berbagai elemen seni di dalam satu bingkai. Apa yang menjadikan seni film, seni film. Dalam hal ini, kehadiran penyair dari Makassar Aan Mansyur dan perupa Nugroho, baik secara individu maupun dengan karya-karyanya tak sekadar sebagai sempalan. Benar-benar kuat.
Kita tahu bahwa struktur cerita AADC berdiri atas kegemaran kedua tokoh utama atas sajak. Hal ini kemudian coba diterjemahkan kembali, dan untungnya berhasil. Sebagaimana AADC pertama, salah satu sajak bahkan menentukan akan dibawa alur hidup Rangga dan Cinta pada akhirnya. Ia berhasil menggantikan peran scoring dan musik latar untuk membuat kisahnya tetap hidup.
Porsi adegan yang menghadirkan instalasi-instalasi dan sejumlah karya mural Eko Nugroho bahkan terasa lebih fundamental lagi. Kecuali menjadi latar dari salah satu adegan yang maha penting, kehadiran Cinta bersama anggota gengnya disana menggambarkan situasi psikologis mereka hari ini sebagai kelas menengah baru.
Elemen ini saya kira turut menjadi juru rawat bagi relevansi AADC2, dan membuatnya membersamai kehidupan penggemarnya. Bukankah apresiasi seni hari ini adalah simbol bagi prestise sosial tertentu? Perilaku dan pola pikir manusia berekonomi cukup ini kira-kira ini tergambar dalam perdebatan antara Sissy dan Maura dalam memaknai salah satu karya Eko. Sissy di satu sisi dengan polosnya mengakui ketidakmampuannya untuk memahami pekerjaan itu, sesuatu yang dibalas dengan Maura dengan “lo ngga bakalan negerti.”
Jogja secara keseluruhan pun sesungguhnya menjadi medium perilaku ini. Visi perjalanan yang mereka bawa terasa menempatkan kota ini semata-mata sebagai obyek pengamatan yang eksotis. Ada jarak. Di gang-gang seputaran pasar Bringharjo, apapun adalah obyek perekam gambar, termasuk ketika Cinta dan Maura berswafoto dengan salah satu ibu tua pedagang disana.
Sosok Rangga kemudian berusaha dihadirkan sebagai penggeser paradigma itu, jika tidak dapat dibilang sebagai otokritik. Scene demi scene perjalanan singkat yang ia habiskan bersama Cinta menjadikan AADC2 sebuah karya yang subtil. Disinilah Jogja benar-benar menunjukkan sisi magisnya. Di hadapan geng Cinta ia hanyalah vista yang menyajikan jeda bagi kesibukan ibukota. Sementara bagi Rangga dan Cinta, setiap inci Jogja terlibat sebagai ruang sosial tempat memasing bertukar makna secara segitiga. Keduanya bertransformasi, dari pelancong biasa menjadi apa yang disebut Walter Benjamin sebagi flaneur; pengeluyur. 

Dibawah atap mobil 4x4 yang dikendarai Rangga, Jogja berubah menjadi kota yang mengayomi sebuah pertemuan dari sepasang insan yang terlalu lama terpisahkan jarak. Tak hanya bagi keduanya, melainkan juga terhadap para penonton.
Tak terhitung berapa kali orang-orang yang mengeilingi saya di ruang bioskop melenguhkan “awwww” yang panjang tanda terenyuh, untuk adegan-adegan tanpa kata. Yang terpampang di layar hanyalah perubahan mikroekspresi dari Cinta dan Rangga. Senyum malu-malu yang terbit di wajah Dian Sastrowardoyo di kala mengenang momen-momen kebersamaan. Para penonton segera mengetahui bahwa keduanya masihlah sosok yang sama yang belasan tahun silam mereka idolakan. Dan mata kamera berhasil menangkap semuanya, meyajikan kembali dengan gaya lewat dominasi shoot yang close up.
Alur dan dialog pun disiapkan dengan matang hampir tanpa cela. Tim AADC2 berhasil memungkinkan nostalgia terbit tanpa harus menghadirkan kembali cuplikan-cuplikan film yang lama. Caranya dengan mengopi detil-detil penting percakapan Rangga dan Cinta ke dalam adegan dengan dibubuhi konteks baru. Gudang ingatan saya terhadap AADC serta merta terbuka. Semisal, adegan dikala Rangga berterima kasih kepada Cinta karena mengembalikan buku monumental “Aku” gubahan Syumandjaya. Potongan percakapan antara keduanya kembali muncul di dalam film dalam versi yang berbeda. Atau, tentu saja, dialog ikonik di gerbang keberangkatan Rangga menuju New York.
Pada akhirnya, Rangga berhasil mengentaskan misi untuk berdamai dengan masa lalunya. Segala pertanyaan yang terkubur bersama AADC (di dalam benaknya dan penonton) terjawab satu persatu; untuknya, untuk Cinta, untuk para penggemarnya. Saya dapat melihat kepuasan yang sama terbit dari wajah penonton yang beranjak setelah layar ditutup. AADC2 barangkali tak akan menginjeksikan tren baru dalam budaya pop Indonesia sebagaimana film perdananya. Namun, dalam urusan mewarnai kancah perfilman drama romantis Indonesia, film ini sedikit banyak berhasil. (*)
Ada Apa Dengan Cinta? 2
Sutradara: Riri Riza
Skenario: Mira Lesmana, Prima Rusdi
Pemain: Nicholas Saputra, Dian Sastrowardoyo, Titi Kamal, Adinia Wirasti
Rating: 8/10.