Berkenalan dengan embal dan posisi pentingnya di hati orang-orang Kei. Perlu dua kali uji coba bagi saya untuk memahami kejutan dalam rasa sepat olahan umbi beracun ini.
Dalam
tahap yang paling primitif, makan-memakan boleh jadi sekadar perihal bertahan
hidup, urusan mengisi perut hampa. Namun kelahiran suatu resep tak pernah berasal dari sekadar uji coba, melainkan
melalui dialektika antara manusia dengan alam material di luar dirinya. Penganan yang endemik menyimpan ingatan
kolektif sebuah masyarakat tentang bagaimana mereka mengakali alam. Ia,
sebagaimana bahasa dan produk-produk kebudayaan lain, layak diposisikan sebagai
pembeda bagi satu kesatuan dengan kesatuan yang lain. Dengan kata lain, sebuah
identitas.
Tarikan konteks yang
sama berderap dalam sebuah habitat kepulauan yang memojok di ufuk tenggara Maluku. Tak jauh dari
kaki-kaki Papua, diapit vista biru laut Banda dan laut Arafura.
Hingga awal tahun
2000-an, memasing pulau didalamnya masih berhimpun dalam kabupaten tunggal bernama Maluku Tenggara, baik Dullah, Kei
Kecil, Kei Besar, Tayamdo, hingga Kur yang lebih utara. Namun satu demi
satu wilayahnya merasa cukup mandiri dan mulai memisahkan diri. Beberapa
disebabkan oleh pertimbangan politik dan keterbelahan sosial yang cukup pekat;
sisa-sisa konflik yang memecah Maluku secara keseluruhan pada awal dekade. Sebagian
yang lain dibentuk untuk mendekatkan pemerintahan kepada masyarakat, mengingat
betapa jauhnya jarak antar pulau utama dengan pulau-pulau lain yang terpisah
lautan. Masalah generik negara kepulauan. Pada hari ini, tersisa dua pulau ukuran sedang
sebagai ruang administratif daerah induk.
Namun demarkasi Maluku Tenggara dan Tual pada akhirnya hanyalah perihal hukum dan administrasi. Dalam aras identitas yang lain, orang-orang yang telah terpisah dalam berbagai wilayah ini tetaplah berasal dari satu identitas sosial yang sama. Mereka menyebut diri sebagai orang-orang Kei, sebagaimana nama kepulauan tempat mereka bermukim.
Syahdan, kata Kei
diserap dari bahasa portugis “Kaios”; secara harfiah berarti batuan. Sebuah
nama yang diberikan kolonial permulaan untuk menggambarkan secara singkat rupa
muka bumi nusa ini. Sebagian besar tanah di kepulauan Kei, utamanya di pulau
Dullah dan pulau Kei Kecil yang menjadi pusat konsentrasi penduduk, terbentuk
dari jenis batuan kars, endapan karang dengan usia pembentukan tujuh puluh
hingga satu juta tahun.Amat sulit
ditemui humus berwarna hitam kecokelatan. Kala tanah berusaha digenggam, yang
terperangkap adalah butiran putih
bertekstur kasar.
Agaknya hanya
tanaman-tanaman berakar keras, merambat atau cukup tahan uji yang dapat
bertumbuh di atasnya. Tak akan kita temukan petak-petak sawah menguning siap
panen di kepulauan Kei. Dengan kata
lain, padi yang menjadi makanan pokok jutaan masyarakat Indonesia menjadi
mustahil dikembangbiakkan. Beras memang dapat ditemui, namun ia datang ke pulau dengan kapal-kapal dari tanah nun
jauh. Maka orang-orang Kei beradaptasi guna pemenuhan kebutuhan karbohidrat
yang layak. Masyarakat timur Indonesia dari rumpun Melanosoid pada umumnya
mengenal papeda, olahan bubur sagu
kental. Namun bagi orang-orang Kei, embal
adalah primadona tak tergantikan di hati dan perut.
Satu porsi sajian Ikan Kuah Kuning bersama embal dan sayur campur di Warung Fadly, Kota Tual |
Tanaman embal memiliki
fisiologi yang serupa dengan singkong. Pembedanya barangkali hanyalah tebal
tipis daun yang sulit dikenali kecuali dengan saksama. Sebagaimana singkong, embal
menghasilkan umbi-umbian di penguhujung ruas batang tanamannya, yang kemudian
diolah warga setempat sebagai penganan. Namun untuk dapat dikonsumsi, umbi embal
tak dapat digoreng atau direbus begitu
saja. Ia perlu diolah terlebih dahulu untuk menghilangkan kandungan racun di dalamnya.
Benar, racun.
Konsentrasi sianida yang konon cukup untuk membunuh seorang dewasa. Dengan
demikian, sejak ribuan tahun orang-orang Kei telah bergelut dengan peregang
nyawa agar dapat bertahan hidup. Pilihan amat terbatas di atas muka bumi yang
kurang simpatik.
Ketika memilih mengolah embal, diperlukan keruntutan dan disiplin agar proses makan-memakan justru tak berujung maut. Butiran umbi diparut, kemudian diperas patinya beberapa kali hinga kering sepenuhnya. Dalam aliran sari itulah racun-racun dibiarkan mengelana sendirian dan meluruh. Sementara ampas yang tersisa kembali dianginkan hingga zat berbahaya tak lagi ada yang tinggal. Dari “tepung” inilah lahir olahan-olahan yang manasuka, baik bentuk dan campurannya.
Perkenalan pertama saya
dengan embal sesungguhnya tak berlangsung dengan baik. Jelang akhir kunjungan
pertama saya ke Maluku Tenggara pada Juni silam, saya memutuskan mengisi sore
dengan mengeluyur ke pelabuhan kota Tual. Menurut informasi yang saya terima
dari meja depan hotel tempat saya menginap, di sekitar pelabuhan berjejer
warung-warung penjaja oleh-oleh bagi para pelancong. Di sana, kami bertemu
dengan apa yang kami cari. Jelang gerbang pelabuhan, aneka ragam kudapan tampak
semarak sebagaimana dituturkan orang-orang. Yang tampak cukup mencolok adalah
kacang botol. Di daerah Sulawesi tempat asal saya, jenis cemilan ini lebih
dikenal dengan nama kacang goyang. Diambil dari proses pembuatannya dimana
kacang tanah dibaluri dengan gula halus berkesumba warna-warni, lalu digoyang
hinggamembalur rata. Di Maluku, butir-butir kacang bersalut ini dimasukkan ke
dalam botol kaca dari wadah bekas minuman keras atau sambal olahan.
Saya dan kawan saya memutuskan membeli beberapa ikat kacang botol untuk dibawa pulang. Tanpa kami minta, sang pedagang cukup berbaik hati memberi kami bonus. Satu plastik berisi jajanan berbentuk lembaran pipih. “Ini embal,” ujar sang bapak.
Sudah sejak lama saya
mendengar tentang embal, namanya berseliweran di berbagai situs rekomendasi
pariwisata kepulauan Kei. Namun ini adalah perjumpaan yang benar-benar pertama.
Sesampainya di kamar, kami mencoba jajanan yang kami peroleh cuma-cuma ini.
Sayangnya dalam beberapa gigitan, lidah saya menyerah. Rasa sepat yang ganjil
segera memenuhi rongga mulut saya. Pun diperhatikan sepintas, embal di tangan
saya dilengkapi taburan kacang tanah. Namun toping
ini sama sekali tak banyak membantu memperkaya rasa embal tadi. Setelah lembaran pertama saya habiskan dengan
susah payah, saya memutuskan tak akan memakan embal kembali.
Namun serapah yang keluar dari mulut saya agaknya terlalu dini. Pada kesempatan kedua saya mencicipinya, pada waktu yang lain, saya justru dipaksa bertekuk lidah.
Semuanya bermula dari
percakapan saya yang intens dengan Larson, seorang pengemudi ojek lokal, yang
selama berminggu-minggu pekerjaan saya di Maluku Tenggara turut menjadi pemandu
yang liat. Dalam perjalanan menelusuri jalanan Tual-Langgur (ibukota Maluku
Tenggara) dari kantor ke kantor, kami kerap membicarakan apapun. Termasuk embal
dan pengalaman kurang baik saya kala menyantapnya. Demi mendengar cerita tersebut, Larson mulai
mendebat dengan sengit. Saya dinilainya makan embal dengan cara yang salah pada
momen tersebut. Embal kacang idelanya adalah kudapan serasi dari teh atau kopi
di sore hari. Sehingga dimakan secara terpisah hampir-hampir membuatnya
kehilangan konteks, dan tentu saja rasa.
Larson melanjutkan
tuturannya tentang embal dengan sebuah ibarat, sekaligus lelucon, yang membuat
saya tertarik.“Ibarat jika lagi makan embal, biar kata ibu mertua kecebur di
sumur dan minta-minta tolong, kita akan berseru ‘tunggu dulu Mama, lagi enak
makan ini!’” tuturnya dengan tawa tertahan diujung. Apa yang tengah berusaha Ia gambarkan ialah, betapa
nikmatnya sebuah makanan dapat membuat seseorang Kei melupakan hal-hal yang
genting sekalipun. Barangkali sebuah lelaku paling asali untuk menunjukkan rupa
rasa bersyukur. Hubungan keduanya,
makanan dan lelaku, seolah berada pada lingkup siklikal yang saling
memengaruhi. Kemengadaan embal dan olahannya mengondisikan sebuah kebiasaan, atau
stereotip, sebagaimana sebuah habitus membentuk sebagai reaksi atas gejala
alam. Embal, menurut Larson, memang merupakan makanan pokok ideal
bagi orang-orang Kei yang disebutnya “suka sekali makan”.
Dalam memenuhi pengalaman
ini, embal dianugerahi kandungan karbohidrat yang tinggi, sehingga Larson berani
membandingkan bahwa “makan satu piring embal itu sama kenyangnya dengan tiga
piring nasi.” Makan beberapa potong embal dapat membuatnya kenyang seharian.
Sesuatu yang turut saya buktikan kemudian. Pun beras datang dari tanah-tanah
yang jauh, romantisme orang-orang Kei terhadap embalnya tak kunjung lekang.
Keduanya tetap bersanding, kemudian bersaing, di pasar-pasar.
Ingatan tentang embal
ini pada kenyataannya bukanlah milik Larson seorang. Celetukan-celetukan yang bersahutan di kios
foto kopi membuat saya semakin menyadari pentingnya posisi embal dalam alam
sosial orang-orang Kei. Pada tengah hari Jumat yang terik, saya bergegas menuju
ke tempat tersebut untuk mengambil sejumlah besar berkas yang tengah diperbanyak.
Bersama saya tengah menunggu beberapa orang dari berbagai usia, agaknya dengan
kepentingan yang beragam. Foto kopi saya tuntas, saya membayar sejumlah besar
bea. Ketika hendak mengembalikan sisa, sang pemilik bertanya dengan bahasa setempat
yang tidak saya pahami. Ia mengulang beberapa kali, hingga orang-orang yang
menunggu layanan akhirnya berlomba menjelaskan. Menggurau dengan kegagapan
saya.
Seorang bapak
berpakaian dinas pemerintah kabupaten berbahan khaki rupanya belum tuntas berkomentar. Diantara kata-katanya yang berhasil saya
tangkap, ia mengeluhkan tergerusnya penggunaan bahasa Kei dalam pergaulan
pemuda setempat. Fenomena yang kemudian menyambung dengan, apa yang ia nilai,
merupakan lelaku memadang sebelah mata penganan embal. Sebagaimana reka ulang
sang bapak atas seruan kepada anak-anaknya. “Jangan kau hina itu embal, kalo
nda makan itu bapak nda bisa jadi seperti sekarang.” Dua hal ini, bahasa Kei
dan embal, tampak disandingkan sebagai ekspresi kebudayaan yang setara. Meluruh
bersama darah dan daging orang-orang Kei dalam usaha membentuk dan mengejar identitas
dan kelas sosial tertentu. Ada embal dalam setiap tangga yang didaki menuju
standar kemapanan dan idealitas.
Barangkali menjadi Pegawai Negeri Sipil adalah salah satunya. Ironisnya, dalam
pernyataan yang sama juga tergambar betapa dewasa ini, embal bagi sebagian
orang juga merupakan wajah dari suatu kelas dalam maknanya yang peyoratif. Titimangsa
yang terasing dan tertinggal di belakang sebagai ampas modernitas yang berderap
menjauh.
Larson kemudian
mengajak saya menuju ke salah satu pojokan pasar Tual. Ke pintu “Warung Rafly”,
sebuah warung sederhana berdinding kayu kelapa namun tampak ramai dari luar. Sekurang-kurangnya,
jejran kursi dan meja terisi penuh oleh pegawai pemerintah yang beristirahat
siang pun warga yang pulang berbelanja. Di etalase tampak sejumlah lauk pauk
yang familiar. Namun menu utamanya yang menjadi alasan saya tergoda untuk
menuruti ajakan Larson. Sepiring ikan kuah kuning hangat dengan pilihan nasi
atau embal sebagai “pelengkap”. Dengan mempertimbangkan kisah-kisah yang saya
simak diseputar nama yang kedua, saya memutuskan memberikan embal kesempatan
sekali lagi. Satu porsi ikan kuah kuning yang hendak saya santap disajikan
dengan empat potong embal bubuhuk,
jenis embal bercampur kelapa yang dimasak melalui proses pembakaran, ditambah
piring kecil sayur campur.
Secara intuitif, saya
mengambil satu potong embal terlebih dahulu kemudian mencelupkannya ke dalam
kuah ikan yang kuning menyala. Membiarkan larutan kaya bumbu meresap melalui
permukaan embal yang berpori. Sebelum terlampau pejal, saya terburu
menyuapkannya ke mulut saya yang membuka tanda lapar. Pada gigitan pertama, alasan-alasan
di balik ocehan Larson tetiba terasai dengan jernih. Di rongga mulut saya, embal
yang sepat dan sedikit asam sibuk bergumul dengan ketajaman rasa jahe dan
kunyit kuah kuning. Campuran parutan kelapa membuat adonan lebih gurih di
lidah. Menyerang langsung ke pusat kontrol selera makan saya, meningkatkan
produksi saliva secara dramatis. Peraduan diramaikan dengan cabikan daging lembut
ikan kakap yang saya kunyah perlahan. Proses ini berujung pada godaan untuk
segera merendam kembali potongan embal tersisa ke kuah ikan, ulang berulang,
hingga seluruh porsi di meja saya tandas.
Di dalam pikiran saya,
sebuah penerimaan tengah menelusup; tentang cerita-cerita Larson, tentang
celetuk seorang pegawai di warung foto kopi, tentang embal mereka. Ikatan
orang-orang Kei dengan embalnya tak lain merupakan pelabuhan ingatan akan rasa
sebuah makanan yang penuh kejutan dan meliuk. Embal itu sendiri, dan ragam wajah
cara peyajiannya. Sebuah rasa yang turut mengantar orang-orang Kei melampaui
satu demi satu sejarahnya. Sebagai individu, maupun sebagai sebuah kolektif yang menghidupi diri di atas bebatuan
karang laut tenggara. (*)
Sekelumit tentang Kepulauan Kei dan Embal
Kepulauan Kei merupakan salah satu gugus kepulauan yang terletak di tenggara provinsi Maluku, dan terbagi atas dua daerah otonom; Kota Tual dan Kabupaten Maluku Tenggara. Dapat dicapai dengan pesawat udara tipe ATR maupun kapal laut dari Ambon. Ragam olahan embal pada umumnya sangat mudah ditemui di pasar maupun diolah secara terbatas di dalam rumah tangga-rumah tangga. Satu porsi embal bubuhuk maupun soami (embal kukus) dihargai Rp. 5.000 berisi empat potong. Di Warung Rafly, pasar Tual, embal disajikan dengan menu Ikan Kuah Kuning seharga Rp. 20.000 per porsi.
Sekelumit tentang Kepulauan Kei dan Embal
Kepulauan Kei merupakan salah satu gugus kepulauan yang terletak di tenggara provinsi Maluku, dan terbagi atas dua daerah otonom; Kota Tual dan Kabupaten Maluku Tenggara. Dapat dicapai dengan pesawat udara tipe ATR maupun kapal laut dari Ambon. Ragam olahan embal pada umumnya sangat mudah ditemui di pasar maupun diolah secara terbatas di dalam rumah tangga-rumah tangga. Satu porsi embal bubuhuk maupun soami (embal kukus) dihargai Rp. 5.000 berisi empat potong. Di Warung Rafly, pasar Tual, embal disajikan dengan menu Ikan Kuah Kuning seharga Rp. 20.000 per porsi.
0 komentar:
Posting Komentar