Fiat Lux

Kamis, 28 April 2016

Masa Lalu yang Dijejalkan ke Hadapan Rangga

19.00 Posted by Arasy Aziz , 2 comments
Setelah 14 tahun meninggalkan tanah kelahirannnya, masa lalu tetiba dijejalkan begitu saja ke muka Rangga dalam satu, dua pukulan. Kilasan demi kilasan ingatan agaknya berlalu lalang di kepalanya sesibuk lalu lintas Manhattan. Satu per satu menuntut perhatian sang lelaki dingin, lalu menggerogotinya dari dalam.

Namun dia masihlah Rangga yang itu, Rangga yang memilih menekur di salah satu gudang sekolah di kala sebagian besar yang lain bersenang-senang di tepi lapangan basket. Rangga yang melampari dengan pensil sepasang kekasih yang membikin perpustakaan bising. Rangga masihlah sosok sinis dengan lidah yan kadang-kadang tajam. Jalan sunyi telah mengajarinya menjadi individu yang teguh dan belajar dengan kesendiriannya.
Maka Ada Apa Dengan Cinta 2 (AADC2) tak lain adalah pertunjukan upaya Rangga (Nicolas Saputra) untuk berdamai dengan keping-keping masa lalunya. Sebuah kesempatan untuk melakukan rekonsiliasi sembari menengok apa yang tersisa disana.
Memorabilia pertamanya, tentu saja adalah dia yang kepadanya tertaut janji pulang dalam satu purnama, “untuk mempertanyakan lagi cintanya.”
Cinta (Dian Sastrowardoyo) hari ini, di salah satu sudut kota Jakarta,  telah menjadi sosok wanita dewasa kelas menengah yang mandiri. Ia bertumbuh seiring waktu, bertemu dengan kemungkinan-kemungkinan baru, orang-orang baru. 
Namun ada ruang lebar yang disisakan untuk masa lalunya, mewujud dalam sekotak wadah sepatu bekas. Didalamnya tersimpan seluruh gairah dan hal-hal yang tak selesai. Ketika dibuka, bau Rangga selalu menguar pekat.
Bersama sahabat-sahabat sekolah menengahnya; Maura (Titi Kamal), Karmen (Adinia Wirasti), dan Milly (Sissy Priscillia), Cinta kemudian merencanakan liburan bersama ke Jogjakarta. Di kota ini, semesta kemudian menunjukkan kuasanya dengan mengiris kembali nasib sepasang kekasih. Bertahun-tahun silam keduanya saling memandang hanya lewat surat dan puisi, sebelum berakhir abu-abu.
Memorabilia kedua Rangga-lah yang memungkinkan pertemuan itu terjadi. Alasan yang membuatnya rela menempuh penerbangan berjam-jam Jakarta-New York. Kerinduan Cinta sekalipun bahkan tak mampu memungkinkan perjalanan itu. Ialah sosok Ibu yang puluhan tahun hilang dari kehidupannya, tetiba memanggilnya kembali.
Diantara gang demi gang kota Jogjakarta, langkah-langkah Rangga semakin dekat dengan Cinta. Ketika keduanya akhirnya bertemu kembali, nama yang disebut kedua tak dapat membendung amuk di dadanya.
Namun sebagaimana Rangga, ia masihlah Cinta yang dulu. Cinta yang senantiasa merawat kemenduaan di dalam hatinya. Percabangan perasaan-perasaan, yang kadang dengan selaras dengan apa yang ia ungkapkan.
Kali ini, ia memilih mendengar. Keputusan yang ia ambil kemudian barangkali membuat siapa saja yang menonton bersama saya bersyukur hingga nantinya layar ditutup.
Pekerjaan rumah terbesar AADC2 agaknya berkutat di seputar ekspektasi penonton. Bagaimanapun, prekuelnya telah melampaui level kultivasi tertentu. Cerita coming age yang sederhana, acting menawan dengan reaksi kimia yang presisi dari memasing actor, latar yang kontekstual; AADC telah terlanjur menjadi suara zamannya. Di level yang lain, film ini juga kerap digadang sebagai penanda bagi kembalinya film Indonesia layak simak ke layar perak.
Ada beban sejarah disana. Bagaimana kisah cinta monyet Cinta dan Rangga terbebas dari kesan picisan dalam latar kontemporer, 14 tahun kemudian. Saya termasuk golongan yang sempat meragu kala trailernya rilis pertama kali. Kecuali sebuah kalimat yang dinyatakan Cinta dengan dingin dan intonasi datar, sebagian besar tampak tak menggambarkan apapun.
“Rangga, yang kamu lakukan ke saya itu.. jahat.”
Belum lagi, saya bukanlah bagian yang menjadi saksi demam AADC secara langsung. Kala AADC rilis di tahun 2002, saya masihlah bocah kelas 4 SD di suatu kota yang bahkan tak memiliki fasilitas bioskop memadai. Hip film garapan Rudy Soedjarwo ini hampir tak terdengar. Kala sajak dan lelaki dingin menjadi perkawinan yang memabukkan dalam budaya pop, saya tak mengambil bagian. Saya beruntung, kemajuan teknologi memungkinkan persentuhan saya dengan AADC.
Namun, apa yang dikerjakan Riri Riza, Mira Lesmana, dan sederet arsitek dibalik film ini bahkan melampaui pertanyaan-pertanyaan saya.
Kekuatan utama AADC2 masihlah kemampuannya untuk mengelaborasi berbagai elemen seni di dalam satu bingkai. Apa yang menjadikan seni film, seni film. Dalam hal ini, kehadiran penyair dari Makassar Aan Mansyur dan perupa Nugroho, baik secara individu maupun dengan karya-karyanya tak sekadar sebagai sempalan. Benar-benar kuat.
Kita tahu bahwa struktur cerita AADC berdiri atas kegemaran kedua tokoh utama atas sajak. Hal ini kemudian coba diterjemahkan kembali, dan untungnya berhasil. Sebagaimana AADC pertama, salah satu sajak bahkan menentukan akan dibawa alur hidup Rangga dan Cinta pada akhirnya. Ia berhasil menggantikan peran scoring dan musik latar untuk membuat kisahnya tetap hidup.
Porsi adegan yang menghadirkan instalasi-instalasi dan sejumlah karya mural Eko Nugroho bahkan terasa lebih fundamental lagi. Kecuali menjadi latar dari salah satu adegan yang maha penting, kehadiran Cinta bersama anggota gengnya disana menggambarkan situasi psikologis mereka hari ini sebagai kelas menengah baru.
Elemen ini saya kira turut menjadi juru rawat bagi relevansi AADC2, dan membuatnya membersamai kehidupan penggemarnya. Bukankah apresiasi seni hari ini adalah simbol bagi prestise sosial tertentu? Perilaku dan pola pikir manusia berekonomi cukup ini kira-kira ini tergambar dalam perdebatan antara Sissy dan Maura dalam memaknai salah satu karya Eko. Sissy di satu sisi dengan polosnya mengakui ketidakmampuannya untuk memahami pekerjaan itu, sesuatu yang dibalas dengan Maura dengan “lo ngga bakalan negerti.”
Jogja secara keseluruhan pun sesungguhnya menjadi medium perilaku ini. Visi perjalanan yang mereka bawa terasa menempatkan kota ini semata-mata sebagai obyek pengamatan yang eksotis. Ada jarak. Di gang-gang seputaran pasar Bringharjo, apapun adalah obyek perekam gambar, termasuk ketika Cinta dan Maura berswafoto dengan salah satu ibu tua pedagang disana.
Sosok Rangga kemudian berusaha dihadirkan sebagai penggeser paradigma itu, jika tidak dapat dibilang sebagai otokritik. Scene demi scene perjalanan singkat yang ia habiskan bersama Cinta menjadikan AADC2 sebuah karya yang subtil. Disinilah Jogja benar-benar menunjukkan sisi magisnya. Di hadapan geng Cinta ia hanyalah vista yang menyajikan jeda bagi kesibukan ibukota. Sementara bagi Rangga dan Cinta, setiap inci Jogja terlibat sebagai ruang sosial tempat memasing bertukar makna secara segitiga. Keduanya bertransformasi, dari pelancong biasa menjadi apa yang disebut Walter Benjamin sebagi flaneur; pengeluyur. 

Dibawah atap mobil 4x4 yang dikendarai Rangga, Jogja berubah menjadi kota yang mengayomi sebuah pertemuan dari sepasang insan yang terlalu lama terpisahkan jarak. Tak hanya bagi keduanya, melainkan juga terhadap para penonton.
Tak terhitung berapa kali orang-orang yang mengeilingi saya di ruang bioskop melenguhkan “awwww” yang panjang tanda terenyuh, untuk adegan-adegan tanpa kata. Yang terpampang di layar hanyalah perubahan mikroekspresi dari Cinta dan Rangga. Senyum malu-malu yang terbit di wajah Dian Sastrowardoyo di kala mengenang momen-momen kebersamaan. Para penonton segera mengetahui bahwa keduanya masihlah sosok yang sama yang belasan tahun silam mereka idolakan. Dan mata kamera berhasil menangkap semuanya, meyajikan kembali dengan gaya lewat dominasi shoot yang close up.
Alur dan dialog pun disiapkan dengan matang hampir tanpa cela. Tim AADC2 berhasil memungkinkan nostalgia terbit tanpa harus menghadirkan kembali cuplikan-cuplikan film yang lama. Caranya dengan mengopi detil-detil penting percakapan Rangga dan Cinta ke dalam adegan dengan dibubuhi konteks baru. Gudang ingatan saya terhadap AADC serta merta terbuka. Semisal, adegan dikala Rangga berterima kasih kepada Cinta karena mengembalikan buku monumental “Aku” gubahan Syumandjaya. Potongan percakapan antara keduanya kembali muncul di dalam film dalam versi yang berbeda. Atau, tentu saja, dialog ikonik di gerbang keberangkatan Rangga menuju New York.
Pada akhirnya, Rangga berhasil mengentaskan misi untuk berdamai dengan masa lalunya. Segala pertanyaan yang terkubur bersama AADC (di dalam benaknya dan penonton) terjawab satu persatu; untuknya, untuk Cinta, untuk para penggemarnya. Saya dapat melihat kepuasan yang sama terbit dari wajah penonton yang beranjak setelah layar ditutup. AADC2 barangkali tak akan menginjeksikan tren baru dalam budaya pop Indonesia sebagaimana film perdananya. Namun, dalam urusan mewarnai kancah perfilman drama romantis Indonesia, film ini sedikit banyak berhasil. (*)
Ada Apa Dengan Cinta? 2
Sutradara: Riri Riza
Skenario: Mira Lesmana, Prima Rusdi
Pemain: Nicholas Saputra, Dian Sastrowardoyo, Titi Kamal, Adinia Wirasti
Rating: 8/10.