Fiat Lux

Senin, 09 Desember 2013

Malang: Ikhtiar Melawan Lupa

06.13 Posted by Arasy Aziz No comments

Dimensi baru gerakan menolak lupa hadir melalui Omah Munir.

Benarkah kita perlu tugu?”. Dalam Tugu Kemakmuran, Prasetyohadi menyindir motif-motif dibalik kegemaran orang-orang Indonesia untuk mendirikan tugu, monumen: sebagai wakil-wakil kenangan, kultus dan mitos mereka, “Penting. Untuk mengenang kemakmuran desa, bukti kesejahteraan hidup”. Di sisi lain, tugu-tugu menjadi instrumen keangkuhan. “..Letak sangat strategis, di ujung belakang desa. Desa-desa lain akan melihat dari kejauhan kemegahan tugu kemakmuran kita itu. Nama desa kita akan terkenal dan berkibar.


Lalu, apakah tugu perunggu setengah dada Munir, dan Omah Munir secara keseluruhan yang baru saja dibuka, dibangun dengan semangat yang sama? Benarkah kita perlu tugu (dan tentu saja, museum), sementara Munir senantiasa hadir dalam tagar #menolaklupa?

Munir hari ini tidak lagi sekadar dikenang sebagai seorang martir HAM yang tewas oleh arsenik di udara Singapura-Den Haag pada 7 September 2004, yang menimbulkan kegemparan sebagai “a test of our history”, yang aktor intelektual dibalik kematiannya masih terselubung lembayung pekat. Dalam sambutannya, Suciwati menegaskan lebih lanjut bahwa “Omah Munir tidak ingin sekadar menjadi pengkultusan Munir. Munir masih hidup melalui kenangan tentang nilai-nilai keadilan HAM yang diyakininya lewat semangatnya yang tak pernah pupus dalam menegakkan keadilan. Nilai yang mungkin tak pernah dipelajari para pejabat kita, yang ingin saya kenalkan pada sebanyak mungkin masyarakat Indonesia. Agar suatu ketika, ketidakadilan HAM tak lagi terjadi”. Ini, lebih kurang, menjawab kegamangan Prasetyohadi.

-::-

Minggu, 8 Desember 2013, saya memutuskan mandi lebih awal untuk menghadiri prosesi soft opening museum Omah Munir.

Kabar yang beredar bahwa setiap warga kota Batu mengetahui lokasi pasti Omah Munir ternyata sekadar mitos belaka. Perjalanan saya untuk menghadiri pembukaan Omah Munir tampaknya akan lancar-lancar saja ketika seorang polisi lalu lintas yang tengah berjaga di pos polisi seputaran alun-alun Batu dapat memberikan alamat lengkap Omah Munir: Jalan Bukit Berbunga No. 2. Pada polisi lalu lintas yang sedang melakukan sweeping kendaraan roda dua, segera saya tanyakan kembali kepastian letak Omah Munir, yang dengan berbaik hati meyakinkan saya bahwa jalan yang saya pilih benar. Petualangan baru dimulai setelahnya. Nomor-nomor rumah di jalan Bukit Berbunga tidak disusun dengan cukup teratur. Saya bolak-balik di jalan utama menuju destinasi wisata Selecta dan Cangar ini, dan terpaksa kembali ke Batu Town Square untuk mendapati rumah yang salah (rumah yang ditunjukkan orang-orang adalah rumah saudara Munir, tempat jenazahnya disemayamkan sembilan tahun silam). Belakangan saya menemukan jalan Bukit Berbunga No. 2, dengan sekali lagi melewati sweeping, terletak setelah rumah-rumah dengan nomor 90-an.

Perca. Sepenggal bagian dari kliping raksasa yang menghimpun berita-berita tentang Munir di media cetak.

Sungguh beruntung, saya tiba ketika acara baru saja dimulai. Di podium, mbak Uci (panggilan akrab istri alm. Munir) baru saja mulai memberikan sambutan pertama. Saya segera menempati kursi yang kosong.

Rangkaian acara pembukaan Omah Munir dirancang sederhana, namun dihadiri individu-individu luar biasa. Saya segera mengenali Prof. Mukhtie Fadjar, Butet Kartaradjasa, hingga Faisal Basri membaur diantara ratusan hadirin. Usai sambutan-sambutan, panggung kecil yang disediakan menjadi semarak oleh pengisi-pengisi acara spesial. Kolektif Simponi dari Jakarta, yang menjadi salah satu pengisi album Frekuensi Perangkap Tikus, menjadi penampil pertama. Selanjutnya Butet Kartaradjasa menghadirkan monolog berdurasi 15 menit yang berhasil memancing hadirin untuk tergelak. Tawa itu semakin pecah ketika dalam suatu fragmen tentang subyektivitas kebenaran, Butet menghadirkan sosok Gus Dur yang menjawab pertanyaan perihal penilaiannya tentang ayam panggang sebagai representasi kebenaran. Gus Dur dalam imaji Butet menjawab “gitu aja kok repot, ..yang penting jangan pilih PKB-nya Muhaimin”. Seluruh tawa segera tertuju pada Sutiaji, wakil walikota Malang yang juga merupakan kader PKB.

"gitu aja kok repot, ..yang penting jangan pilih PKB-nya Muhaimin."

Penampil lain yang tak kalah spesial adalah kakak beradik putra-putri Widji Thukul, Nganthi Wani dan Fajar Merah, yang membawakan musikalisasi puisi-puisi sang pujangga protes. Momen ini menjadi menggetarkan demi menyimak gegar-gegar dalam seruan Nganthi Wani, demi melihat paras Fajar Merah yang mirip ayahnya yang raib hingga hari ini. Dan demi mendengar puisi-puisi Thukul yang masih saja menyimpan bara subversi yang selalu relevan.

Sebagai penampil penutup yang terselip diantara testimoni-testimoni, dihadirkan frontman kolektif grunge lokal yang datang jauh-jauh dari Bali, Roby Navicula. Dengan gitar kopong, Roby memanaskan suasana dengan, salah satunya, nomor sing-along-able Mafia Hukum. Saya kehilangan kuasa atas ujung sepatu yang mulai memainkan ketukan-ketukan, sembari mulut saya bernyanyi bersama. “Mafia hukum, hukum saja / Karena hukum tak mengenal siapa / Mafia hukum, hukum saja / Karena hukum tak mengenal siapa //”. Entah bagaimana ekspresi perwakilan Kementerian Hukum dan HAM yang turut hadir (saya sendiri mahasiswa hukum, namun belum (dan tidak akan pernah, InsyaAllah) menjadi mafia hukum).

Acara pembukaan Omah Munir diakhiri dengan kunjungan ke dalam museum Omah Munir. Omah Munir sendiri menggunakan rumah masa kecil Munir yang bergaya indies. Dibuka untuk umum bertepatan dengan dirgahayu Munir yang lahir pada 8 Desember 1965, dirayakan dua hari jelang hari HAM Internasional. Koleksi Omah Munir tidak terbatas pada memorabilia-memorabilia peninggalan Munir. Omah Munir juga didesain sebagai museum HAM pertama di Indonesia. Di ruangan utama tersaji panel-panel yang menjelaskan sejarah HAM di Indonesia hingga legasi Munir dalam upaya penegakannya. Sejumlah media interaktif disediakan untuk menambah informasi bagi pengunjung, sebagai sarana untuk mengajak pengunjung untuk menolak lupa untuk ketidakadilan dan sederet pelanggaran-pelanggaran HAM yang masih jauh dari tuntas.

Kalimat terakhir ini menjadi sejalan dengan tujuan Omah Munir. Dalam pamflet yang dibagikan, tertulis alasan mengapa bentuk museum dipilih, yaitu untuk “memberikan cara pembelajaran yang lengkap melalui tampilan audio-visual, tentang dimensi-dimensi penting figur Munir dalam memperjuangkan agenda penegakan HAM di Indonesia”. 

Suciwati dikerubungi wartawan.

Seorang hadirin menyimak buklet tentang para pegiat HAM.

Namun, ada masalah akut yang masih menghinggapi dunia permuseuman Indonesia. Masalah itu berwujud minat orang-orang Indonesia untuk mengunjungi museum yang sangat kurang. Hal ini coba disiasati oleh para pengurus Omah Munir. Sesuai tujuan Omah Munir, telah diprogramkan serangkaian diskusi dan kuliah mengenai HAM untuk mengkader bibit-bibit Munir baru yang akan diisi oleh aktivis HAM hingga akademisi. Patut ditunggu.

Lebih dari itu, Munir juga telah menjadi ikon yang bergerak melampaui batas-batas ekspresi bohemian, dari seni hingga sastra. Kita masih ingat senandung berderap Di Udara milik Efek Rumah Kaca yang dinobatkan sebagai salah satu lagu protes Indonesia terbaik sepanjang masa oleh Morgue Vanguard/Ucok Homicide. Munir juga masih menjadi obyek dari poster-poster hingga mural-mural agitasi dan propaganda yang mewarnai dinding-dinding kota. Beberapa diantaranya (hasil karya kelompok Nobodycorp) bahkan dipamerkan di salah satu ruangan Omah Munir. Dengan pertimbangan ini, kiranya Omah Munir dapat dikembangkan dengan memrogramkan diri sebagai rumah baru bagi bilik diskursus mengenai ide-ide realisme sosial, yang memberikan kehangatan ditengah hawa dingin kota Batu untuk tujuan yang sama: memakmurkan gagasan menolak lupa.

Poster-poster karya Nobodycorp.

Dengan adanya Omah Munir, gerakan menolak lupa memasuki dimensi baru. Dia tidak lagi sekadar menjadi hantu yang bergerak di linimasa dunia maya, tidak lagi sekadar pemahaman yang dipegang kuncinya oleh elit-elit. Seperti kata Butet dalam menutup monolognya, “ingatan kita mungkin memang pendek (juga masa kadaluarsa bagi keadilan prosedural untuk pembunuhan berencana terhadap Munir, saya tambahkan), namun kebenaran panjang umurnya”. Jika berbagai ikhtiar untuk menyemai kesadaran ini masih belum juga dapat membuka mata para pemimpin yang berjanji, “maka hanya ada satu kata: lawan!

Sekelumit Tentang Museum Omah Munir:
Omah Munir terletak di Jalan Bukit Berbunga No. 2, kota Batu, Jawa Timur, tepat di pinggir jalan raya menuju obyek wisata Selecta dan Cangar. Buka setiap hari Selasa-Minggu pukul 08.00-15.00 WIB. Transportasi: Omah Munir dapat dicapai dengan berkendara sekitar 45 menit dari kota Malang, atau menggunakan angkutan kota jurusan Landungsari-Batu, kemudian berpindah Batu-Selecta atau Batu-Cangar. HTM: Bersyukurlah, sepertinya tidak dipungut biaya untuk masuk museum.

Selasa, 01 Oktober 2013

Jalan Yang Tidak Dipilih Tuhan Untuk Bangsa Kami

03.52 Posted by Arasy Aziz No comments
Lapis-lapis udara kota Jakarta di bulan-bulan jelang pemberontakan 1 Oktober 1965 pekat oleh desas-desus tak kasat mata. Konon kabarnya, telah dibentuk Dewan Jendral yang hendak menggulingkan pemerintahan Soekarno dengan menggunakan momentum Hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober 1965. Hal ini menimbulkan kekhawatiran luar biasa dalam tubuh Partai Komunis Indonesia, dan menjadi perhatian utama dalam diskusi Dwipa Nusantara Aidit dan Sjam Kamaruzzaman pada sebuah senja merah di bulan Agustus 1964.

Kekhawatiran ini beralasan. Konfigurasi kekuasaan dibawah sistem Demokrasi Terpimpin menempatkan Presiden Soekarno, Partai Komunis Indonesia, dan Angkatan Darat sebagai tiang penyangga dalam hubungan yang saling curiga. Jika kudeta Angkatan Darat atas Soekarno jadi dijalankan, konfigurasi kekuasaan itu akan kehilangan keseimbangan, posisi Partai Komunis Indonesia terancam.

Terlebih lagi, rona dunia ketiga pada masa itu semarak oleh gurat-gurat revolusi korporatisme. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Amerika Serikat berusaha meraih kemungkinan sekutu-sekutu baru dalam menghadapi perang nirkata melawan simbol-simbol Komunisme. Mereka menyokong angkatan-angkatan bersenjata di bawah rezim-rezim yang berseberangan jalan untuk melakukan kup. Pun demikian dengan Indonesia. Posisi Indonesia yang “netral” dalam perang dingin, kampanye Ganyang Malaysia, juga upaya-upaya spionase terhadap Soekarno: faktor-faktor ini merenggangkan hubungan Jakarta-Washington. Sebaliknya, hubungan Gedung Putih dengan Angkatan Darat dibalik layar justru kian erat, diam-diam mereka membahas kemungkinan-kemungkinan penggulingan kekuasaan Soekarno. 

Satu-satunya cela dalam rencana Angkatan Darat ini adalah posisi Soekarno yang demikian kuat dan amat dicintai rakyat (dan banyak anggota militer). Kudeta langsung hanya akan menyebabkan Angkatan Darat kehilangan legitimasi publik, menimbulkan gejolak dan pembangkangan sipil maha-raksasa yang bahkan tak mampu ditangani dengan cara-cara totaliter sekalipun.

Belakangan, justru kecurigaan dua petinggi Partai Komunis Indonesia yang memberikan jalan bagi penggulingan itu, sedikit demi sedikit.

“Kup itu harus digagalkan”. Sjam Kamaruzzaman atas perintah Aidit bersama beberapa perwira tinggi angkatan bersenjata yang simpati pada gerakan kiri sekaligus loyalis-loyalis Soekarno merancang sebuah gerakan pendahuluan demi menyelamatkan pemerintahan Putra Sang Fajar. Namun, tanda-tanda kegagalan operasi ini bahkan telah tampak sebelum api disulut. Soepardjo, salah satu perwira tinggi militer yang terlibat, keheranan atas upaya gerakan pendahuluan yang tidak memenuhi kriteria sebuah kudeta dan gerakan perlawanan. Sjam yang keras kepala tidak menggubris peringatan kolega militernya. Pada malam 30 September operasi dimulai. Beberapa jendral memang berhasil diculik (dan tanpa diperintah, dibunuh). Sayangnya, ada seorang yang lain luput dari operasi, menyeruput kopi dan dengan taktis menekuk lutut para pembangkang sesegera gerakan itu dimulai. Jelang senja di 1 Oktober, gerakan pendahuluan, yang belakangan dinamai G30S(/PKI) ini, berhasil ditumpas.

Kegagalan ini menimbulkan konsekuensi teramat berat. “Seorang yang lain”, Soeharto, memperoleh mandat kontroversial untuk mengambil alih kekuasaan dan melakukan “tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk menjaga stabilitas negara”. Soekarno sendiri harus menerima kenyataan pahit disingkirkan Majelis Permusyawaratan Rakyat dari kursi kepresidenan, menandai berdirinya sebuah rezim totaliter kanan bernama Orde Baru yang bertahan selama 32 tahun. G30S, sebagaimana diistilahkan sejarawan John Roosa, menjadi sebuah dalih pembunuhan massal. Genosida atas mereka yang dianggap terlibat, langsung tidak langsung, dalam G30S dimulai secara sistematis. Para petinggi Partai Komunis Indonesia satu persatu menghadapi vonis mati di Mahmilub. Darah para kader dan simpatisan akar rumput, etnis Tionghoa, hingga petani-petani inosen menjadi halal ditumpahkan melalui eksekusi-eksekusi tanpa proses peradilan. Soedomo mengklaim jumlah pengikut Partai Komunis Indonesia yang harus meregang nyawa berada pada kisaran 1,7 juta jiwa. Hal ini menerbitkan rasa prihatin yang mendalam, mengingat risalah-risalah terbaru tentang G30S yang (akhirnya dapat) terbit pasca reformasi menjelaskan bahwa hanya dua orang petinggi Partai Komunis Indonesia, Aidit dan Sjam, yang mengetahui rencana ini secara menyeluruh. TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 dirumuskan. Dan hingga kini, efek berkelanjutan G30S masih terasa. Mereka yang keterlibatannya dalam gerakan 1 Oktober digolongkan dalam kategori B kehilangan sebagian hak-haknya sebagai warga negara. Ada tanda tertentu yang disematkan di kartu identitas mereka. Satu babak sejarah Partai Komunis Indonesia dan Komunisme Indonesia berakhir tragis.

Selanjutnya, kita tahu Orde Baru menyebarluaskan doktrin dan versi sejarah mereka perihal peristiwa G30S. Kita ingat bagaimana potongan-potongan film Pengkhianatan G30S/PKI yang selalu diputar pada malam-malam 30 September menggembarkan anggota Partai Komunis Indonesia yang keji. Kita ingat bahwa setiap tanggal 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Sangat sedikit antitesis beredar di masyarakat yang dapat memberikan pencerahan. Kita digiring untuk lupa dan turut menghalalkan pembantaian besar-besaran yang tidak dapat diterima hati nurani dan akal sehat. “Sejarah ditulis oleh pemenang”, pun demikian sari patinya yang tersedia untuk disesap.

Namun, bagaimana jika keadaan berbalik, gerakan 1 Oktober itu berhasil?

Partai Komunis Indonesia di bulan-bulan jelang pemberontakan 1 Oktober telah menjelma menjadi kekuatan politik sipil paling disegani. Hari ulang tahun mereka pada 23 Mei 1965 dirayakan besar-besaran di Stadion Utama Senayan. John Roosa menggambarkan bahwa “puluhan ribu orang memadati tribun yang mengelilingi lapangan stadion, sementara ribuan manusia lagi berdiri di lapangan yang terhampar di bawah. Di luar, di lapangan parkir dan jalan-jalan di sekitarnya lebih dari 100.000 orang saling berdesak-desakan.” Jumlah yang amat banyak di masa itu. Pada pemilihan umum sebelumnya, Partai Komunis Indonesia menduduki peringkat keempat pendulang suara terbanyak. Jumlah kader, simpatisan dan pendukung mereka terus bertumbuh. Partai Komunis Indonesia menjadi kekuatan komunisme terbesar ketiga di dunia, setelah Sovyet dan Tiongkok. Kondisi ini teramat timpang dibanding keadaan organisasi yang terlanjur tercoreng pasca pemberontakan di Madiun tahun 1948.

Kedekatan partai dengan Soekarno, utamanya dalam semangat anti-Nekolim, menjadikan posisi Partai Komunis Indonesia kian menyenangkan. Andai gerakan 1 Oktober berhasil, konfigurasi kekuasaan hanya menyisakan dualitas penyangga, Soekarno dan Partai Komunis Indonesia. Partai Komunis Indonesia akan semakin populer di mata rakyat melalui kesuksesannya menggagalkan upaya kudeta atas sang Panglima Besar Revolusi. Cepat atau lambat, kekuasaan atas pemerintahan Indonesia akan merapat ke gerakan kiri. Kemudian terjadi perombakan ketata-negaraan besar-besaran.

Salah satu kecurigaan terbesar orang-orang adalah adanya agenda Partai Komunis Indonesia untuk mengganti ideologi Pancasila dengan Komunisme. Posisi Pancasila sendiri pada masa itu telah digeser pelan-pelan oleh gagasan Soekarno tentang Nasakom sebagai upaya menyelaraskan tiga arus utama pemikiran politik Indonesia. Mendongkel Pancasila dari kedudukannya sebagai ideologi negara, sebagai staatfundamentalnorm, adalah perkara yang mungkin dilakukan tanpa perlu mengalirkan keringat dan darah oleh siapa saja yang berkuasa. Hans Nawiasky berpendapat, sebuah staatfundamentalnorm masih dapat berubah melalui cara-cara selain yang ditentukan sebuah tata hukum. Namun hukum itu sendiri adalah politik dalam baju lain. Sejarah Indonesia mencatat, perubahan staatfundamentalnorm tidak melulu tentang revolusi atau kudeta. Soeharto dan Orde Baru misalnya, membentuk tafsir dan pemaknaan Pancasila versi mereka sendiri, yang kemudian digunakan sebagai instrumen yang memberikan kemapanan. Staatfundamentalnorm bernama Pancasila itu resmi berganti substansi. Langkah serupa dapat dilakukan Partai Komunis Indonesia andai mereka mau.

Dan barangkali Indonesia hari ini, setelah puluhan tahun gerakan 1 Oktober 1965 itu berhasil, telah menjelma sebagai negara Komunis yang: seperti Cina, membiarkan “kapitalis-kapitalis” kecil tumbuh, atau sebuah negara yang jutaan rakyatnya sejahtera dari memegang arit. Atau negara yang tengah diisolasi dunia karena keras kepala. Atau tengah terlibat dalam Perang Dunia ke-III yang pecah belakangan. Ada terlalu banyak kemungkinan-kemungkinan. Tapi satu hal yang benderang adanya, bahwa itulah jalan-jalan yang tidak dipilih Tuhan untuk bangsa ini.

Senin, 19 Agustus 2013

Gorontalo: Nyala Terakhir Tohetutu

04.50 Posted by Arasy Aziz 2 comments
Inna anzalnahu fi lailatil-qadr(i) / Wa maa adraka maa lailatil-qadri(i) / Lailatul-qadri khairum min alfi syahr(i) / Tanazzalul malaa'ikatu war-ruuhu fihaa bi'izni rabbihim min kulli amr(in) / Salaamun hiya hattaa matla'il fajr(i). Pelita pertama telah dinyalakan, diantara sebait surat Al-Qadr yang saya baca dalam hati sembari menahan nafas. Tata cara menyalakan tohetutu (pelita minyak tanah dalam bahasa Gorontalo) ini saya pelajari dari orang-orang Gorontalo yang saya kenal mula-mula. Konon, hal ini mengundang mukjizat malam seribu bulan singgah ke rumah. Bau jelaga bercampur minyak tanah meruap sesegera saya membiarkan udara kembali mengisi paru-paru.

Saya tidak menemukan catatan yang dapat memberi penjelasan akurat mengenai kapan Tumbilotohe bermula. Kebudayaan Gorontalo cenderung abai akan pentingnya tradisi tulisan dalam merekam catatan sebuah peristiwa. Pengetahuan mengenai asal mula Tumbilotohe dapat diperoleh melalui tutur lintas generasi, dari mulut ke mulut. Perayaan ini konon dimulai untuk memberi penerangan bagi orang-orang yang hendak menunaikan ibadah sholat tarawih. Versi lain menyebutkan, deretan pelita-pelita digunakan guna menjadi penunjuk jalan bagi lailatul-qadr yang turun dari langit. Berfungsi serupa lampu-lampu suar pemandu pesawat terbang di bandar udara. Ini menjelaskan mengapa malam ke-27, 28, dan 29 Ramadhan dipilih sebagai malam-malam perayaan. Bersama Tumbilotohe didirikan miniatur gerbang-gerbang dari kayu dan bambu, alikusu. Diatasnya digantung hasil bumi dan buah-buahan sebagai sedekah dan ucapan syukur kepada Tuhan, untuk kemudian dapat dipetik siapa saja yang berlalu-lalang.

Hamparan Tohetutu dengan latar jembatan Talumolo II.
Di malam ketiga perayaan Tumbilotohe, saya bersama seorang kawan, Sarah, menyusuri jalan-jalan kota Gorontalo demi menemukan pemandangan Tumbilotohe terbaik. Beberapa ruas jalan tampak kesulitan menampung tumpahan kendaraan. Macet dimana-mana. Hal ini diperparah dengan adanya Pasar Senggol yang menggunakan sebagian jalan utama di jantung kota. Amat beruntung, salah satu tempat terbaik dalam menikmati perayaan Tumbilotohe tampak lengang. Dari hadapan hamparan tohetutu, saya dapat memandang bayang-bayang remang jembatan Talumolo II. Tiba-tiba, ada gelisah yang menyeruak.

Kita, sesungguhnya, tengah memasuki periode hitung mundur menuju padamnya cahaya sebuah pelita besar kebudayaan Gorontalo.

Tohetutu dalam Tumbilotohe telah menjejak jalur evolusi yang panjang sejak pertama kali dinyalakan oleh entah-siapa. Pada mulanya, pelita-pelita menggunakan minyak kelapa sebagai bahan bakar. Di masa lampau, masyarakat memproduksi sendiri olahan ini di rumah-rumah guna memenuhi kebutuhan domestik. Meluasnya distribusi kerosen hasil penyulingan minyak bumi menghadirkan varian lampu yang lebih memudahkan.

Padat. Ragam kendaraan menyesaki Jl. Bali yang sempit. Pemuda setempat membangun terowongan cahaya dari lampu berwarna senada nyala tohetutu.
Namun, ketergantungannya pada bahan bakar minyak menghadirkan sebuah tembok penghalang kongkrit. Beberapa tahun silam, ketika minyak tanah sempat menjadi langka di Gorontalo, pemerintah lokal khawatir malam-malam Tumbilotohe menjadi lesu, dan mengajukan model lampu berbahan dasar lilin kepada masyarakat. Gagasan ini kurang populer. Banyak pihak menganggap penggunaan lilin terlalu identik dengan tradisi keagamaan Nasrani, dan tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam tradisional-Gorontalo. Masyarakat lebih memilih mengganti pelita minyak tanah dengan lampu listrik LED warna-warni yang berkelip. Kini, setelah pemerintah benar-benar membatasi peredaran minyak tanah dan mencabut subsidi atasnya, setelah harga minyak tanah melangit dan sulit diterima akal sehat, perayaan Tumbilotohe semakin kehilangan semarak setiap tahunnya. Hingga suatu saat, ketika kerosen benar-benar punah dari daftar prioritas penyulingan minyak bumi, Gorontalo akan kehilangan salah satu hasil olah cipta rasa karsanya yang unik.

Pertentangan tak tampak yang sengit juga datang dari tataran idea. Gugatan atas tren perayaan tradisi ini belakangan hadir dari sejumlah cendekiawan Gorontalo, seperti Thoriq Modanggu (iya, Thoriq Modanggu yang itu) melalui salah satu artikelnya dalam buku Mengutuk Tuhan Yang Terkutuk. Waktu yang berderap, menyebabkan tumbilotohe mengalami pergeseran utilitas yang nyata. Orang-orang Gorontalo (termasuk saya, tentu saja) lebih suka berkeliling dan menikmati temaram, alih-alih memakmurkan rumah Allah. Dua hal ini selalu berdiri pada sisi-sisi yang berseberangan. Dua hal ini, mewakili nilai-nilai pragmatik dan ideal, duduk saling hadap-menghadap dalam arena.

Perayaan Tumbilotohe, dengan segala potensi kepariwisataannya, terlalu berharga untuk diabaikan. Suatu keunikan tersendiri melihat jutaan lampu botol menyala serentak, dari tepian jalan-jalan pos kota hingga pojok-pojok perkampungan. Dengan cara tertentu, Tumbilotohe menyajikan kehangatan, dan kadang-kadang romantisme yang tak terjelaskan. Pemandangan yang akan sulit ditemui di belahan bumi manapun. Tumbilotohe juga menggerakkan usaha kecil, dengan nilai menjanjikan dari transaksi jual-beli botol bekas minuman energi, dari sewa jasa angkutan bentor untuk berkeliling kota. Bunyi ladam sepatu kuda yang hampir senyap di jalanan Gorontalo juga kembali semarak.

Kawan saya, Sarah, menyalakan pelita yang padam.
Dari kacamata lain, Tumbilotohe telah menyimpangi esensi mula-mulanya. Budaya ini lahir dan bertahan hidup melalui serangkaian receptie adat istiadat Gorontalo terhadap agama Islam. Dia hadir sebagai prasarana ritual yang belakangan melembaga menjadi sebuah Urf, adat istiadat selaku sumber hukum. Urf setidak-tidaknya mensyaratkan dua hal untuk tetap diterima: pertama, dia tidak bertentangan dengan sumber-sumber hukum utama agama Islam dan kedua, memberi kemanfaatan umum dan meluas. Tumbilotohe dewasa ini, dengan segala implikasinya bagi jamaah mesjid, secara nyata kesulitan memenuhi syarat kedua. Masyarakat Gorontalo akhirnya dihadapkan pada sebuah persimpangan: mempertahankan sebuah tradisi sekarat yang terlanjur mapan, atau belajar menanggalkannya sebagai sejarah.

Sekelumit Tentang Tumbilotohe:
Tumbilotohe dirayakan pada malam ke-27, 28, dan 29 Ramadhan setiap tahunnya, yang secara umum mengacu pada penentuan penanggalan hijriyah milik pemerintah. Menikmati tumbilotohe tidak dipungut biaya dan dapat ditemukan di seluruh Gorontalo. Transportasi: Berkeliling menggunakan bentor dan bendi sangat direkomendasikan. Tempat terbaik untuk menikmati Tumbilotohe di seputaran Kota Gorontalo: Jl. Bali, jembatan Talumolo II, Danau Limboto sisi perbatasan Kota Barat-Batudaa, Kecamatan Tilango.

Minggu, 19 Mei 2013

Yang Dicatat: Tengah April-Tengah Mei

17.25 Posted by Arasy Aziz No comments

Dalam kurun pertengahan bulan April hingga pertengahan bulan Mei ini saya menemukan beberapa objek yang mengesankan.

Menemukan Kembali Sans Familie (Nobody's Boy)

Saya berpaling sejenak dari karya-karya penulis utara untuk membaca salah satu legenda sastra romantisme ini.

Di era 2000-an awal, SCTV menjadi kanal televisi nomor satu perihal serial kartun berkualitas yang ditayangkan harian. Salah satu yang terasa berbeda karena lebih banyak menimbulkan haru sore-sore adalah kisah petualangan Remi, saya lupa judulnya. Di sebuah toko buku saya menemukan ceritanya kembali dalam rupa asalnya, Sans Familie (Penerbit Gramedia, 2010).

Remi kecil didera kisah pilu yang seolah tak habis-habis. Sejak kecil diasuh oleh orang tua angkat yang menemukannya, Remi kemudian dibeli Signor Vitalis, dan bersama-sama berkeliling Perancis-Italia dalam sebuah kolektif sirkus mini beranggotakan keduanya dan binatang-binatang jenaka. Dalam perjalanan derita pun masih berlanjut. Anjing-anjing yang dimangsa serigala hingga sang Signor yang menemui ajal Namun diakhir kisah Remi menemukan kebahagiaannya.

Yang saya ingat, seri animenya menyajikan kisah ini dalam penggambaran yang lebih naik-turun temponya.

Baik dibaca usia kita? Akhir yang bahagia, alur novel ini barangkali klise dan menjadi formula umum dalam menyusun sebuah drama dalam berbagai dimensi dunia hiburan. Ditambah Hector Malot menulis Sans Familie dalam gaya bahasa yang sederhana, sehingga roman ini jamak (dan memang layak) dikategorikan sebagai bacaan anak-anak. Namun, nostalgia kadang mengajak kita untuk sengaja acuh atas tepi-tepi.

Akhir Kisah Death Notice

Sebagai gambaran bagi yang tidak membacanya, Death Notice mengisahkan 24 jam terakhir dari mereka yang 'dibunuh' demi negara. Tentang apa yang kalian lakukan jika tahu harus mati besok. Seri manga yang saya kenal sejak Madrasah Aliyah ini akhirnya menemui akhir, dan Mase Motoro memilih hamparan sejumlah gimmick dan fakta mengejutkan, rumit dan meledak-ledak sebagai penutup. Tagline: drama yang akan mengguncang jiwa, dibuktikan dengan telak. Epic.

Wiji Thukul Hidup Kembali

Wiji Thukul hidup kembali, dalam majalah Tempo edisi 13-19 Mei 2013, edisi khusus tragedi Mei 1998. Tidak ada pengungkapan hasil penelusuran yang mengejutkan, seperti dimana Thukul berada saat ini (atau setidak-tidaknya dimana makamnya). Kecuali pelarian-pelarian sang penyair, dan hal-hal yang simpang siur. Tempo menghamparkannya detil.

Tidak ada pengkultusan berlebihan terhadap sosok Wiji Thukul. Semuanya dipaparkan apa adanya, termasuk proses kreatif Thukul, termasuk romansanya, termasuk cela-cela. Tempo juga berbaik hati menyisipkan kumpulan puisi Thukul yang tidak sepopuler teriakan hanya ada satu kata: lawan!

Siapa pula tim Mawar yang memburu Thukul dan kawan-kawan PRDnya. Adalah mereka yang telah menghabisi nyawa sang penyair? Termuat pula ulasan hal tersebut dalam Tempo edisi ini. 

Tunggu, sebagian dari kita percaya, entah di ufuk langit mana, bahwa sang biji masih bertumbuh dan hidup, bukan?

Bully

Telah menjadi rahasia umum, bahwa penindasan, baik fisik maupun mental,nyata dan hidup diantara anak-anak sekolah. Tapi siapa mengira masalahnya separah apa yang digambarkan dokumenter ini. Film mengambil latar sebuah negara yang mengaku modern dalam berbagai lini, termasuk hukum, namun apa yang tampak adalah kebalikannya. Dan pengangkangan-pengangkangan atas hukum itu dilakukan oleh manusia-manusia dini usia.

Saya belum pernah semarah ini dalam menonton film. Ada individu-individu di sekolah yang dipermainkan layaknya bola sepak, di-bully setengah mampus, dan mereka yang seharusnya melindungi berujar dengan santai bahwa ini bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan, atau menawarkan penyelesaian yang tidak solutif. Tidak ada aturan, supremasi hukum dalam lingkungan bernama sekolah kandas dalam ruang omong kosng.

Dan reaksi dari mereka yang ditindas itu menjadi pembeda. Sebagian melawan (dan ini keren), sebagian menerima seolah tidak ada apa-apa, dan sebagian lainnya memilih akhir meringis: bunuh diri.

Banyak dari kalian sudah menonton dan menganggapnya biasa saja? Iya, saya memang aneh.

Naif, Dalam The Nevasca 2013

Puji Tuhan untuk SMA 1 Malang yang membawa Naif ke kota kami, ke hadapan saya. Kecuali masalah sound system yang menjengkelkan, penampilan unit ini luar biasa dan mengesankan, pun crowdnya.

Saya mengenal Naif sejak kanak-kanak, di era dimana David masih berambut lebih sepipi dan tidak gemar membuka baju. Di awal 2000-an klip-klip Naif, seperti Possesif yang mempopulerkan gestur almarhum Avi, sempat merajai televisi bersama Sheila on 7, Club 80's dan lainnya. Lama sekali, menimbulkan kerinduan tersendiri. Dan semakin berdahaga mengingat kondisi layar kaca kita dewasa ini didominasi pria-pria (bahkan diantaranya belum cukup umur) yang gemar bernyanyi berjoget.

David bersama rekan-rekannya menuntaskan haus malam itu, meski dengan catatan yang bertebaran. Naif membuka rangkaian gerbong dengan Cuek, lagu mid-tempo dari album Planet Cinta. Sesi ajojing berjamaah langsung disulut. Bersamaan masalah yang juga mulai terdengar. Berulang kali koor penyimak mengisi bagian vokal utama ketika suara David tidak terdengar. Awalnya cuma microphone yang kerap mati, namun diujung lagu ketiga seluruh instrumen, kecuali drum, kehilangan bunyi. Penampilan harus ditunda untuk perbaikan. Naif kembali ke balik panggung, penyimak kecewa dan memanggil-manggil sang penampil utama.

15 menit berlalu dan Naif kembali, set dilanjutkan. Sepanjang penampilan paduan suara massal bergema kencang mengisi ruang. Ber-asoy geboy ria misalnya, dalam Mobil Balap. Dan Graha Cakrawala semakin pecah ketika berturut-turut lagu-lagu andalan sendu dibawakan: Dimana Aku Disini, Benci Untuk Mencinta, dan tentu saja, Possesif. Saya tak kuasa bernyanyi gila (Ini lagu favorit dan memorable tentu saja).

Diujung penampilan Naif menyajikan Air dan Api dari album bertajuk sama, lalu berlalu begitu saja setelah salam perpisahan. Tidak ada encore (karena penonton tidak meminta, aneh untuk sebuah crowd yang super). Beruntungnya, saya telah meminum tembang-tembang yang dibawakan dalam dosis yang tepat. Tandaslah dahaga.

Jakarta: Hammer-so-sick

17.23 Posted by Arasy Aziz No comments
Sebuah pelajaran mengenai pentingnya menjaga kesehatan sebelum bepergian dan menghadiri konser.

Repetisi. Ingat pengaturan panggung ini?
Dan sakit bisa datang kapan saja, meringkus tiba-tiba.

Marhaban yaa Hammersonic Metal Festival 2013. Persiapan menyambutnya sudah saya lakukan jauh-jauh hari, termasuk menghemat absensi perkuliahan dan menyelesaikan bagian pembahasan karya ilmiah yang hendak dilombakan dalam beberapa hari. Tanpa gangguan berarti. Malam hari sebelum keberangkatan ke Jakarta, saya masih merasa baik-baik saja, hingga paginya terbangun dengan terbatuk kecil dan limbung. Ada yang tidak beres. Saya kira berangkat ke kampus ditambah perjalanan dengan Matarmaja sore harinya akan membuat segalanya kembali normal. Saya salah besar.

Matarmaja yang sejak awal didesain tidak manusiawi ini coba dinaikkan tarafnya sedikit, dan menjadi momok yang baik (saya bahas kapan-kapan). Kondisi saya memburuk. Menjejakkan kaki di Senen, saya bergegas mencari metromini, menuju Cikini. Di Jakarta saya telah bersepakat dengan Papa untuk menginap bersamanya beberapa malam. Pilihan ini menjadi tepat dan menyenangkan. Tepat, sehingga saya dapat beristirahat dengan nyaman, bersama obat-obatan yang beliau uruskan. Menyenangkan, karena hotel Papa hanya berjarak sepelemparan batu dari Taman Ismail Marzuki (TIM), hadap menghadap. Di sore hari ruang-ruangnya terasa penuh oleh kemerdekaan. Ada bocah yang berapi-api dalam orasinya menyambut hari buruh (dan hampir tidak didengar siapapun, kecuali kawan-kawannya). Ada anak-anak IKJ yang berlatih, sebagian yang lain minum kopi.

Sabtu pagi, kondisi telah cukup membaik, kecuali paru yang masih gemar bergetar. Papa telah kembali ke Gorontalo, saya bergegas merapat ke Ecopark Ancol, bergabung dalam rombongan massa hitam-hitam. Luasnya kawasan Ancol sedikit menyulitkan saya menemukan vanue, sehingga harus rehat beberapa kali sebelum menyentuh gerbang utama.

Hammersonic tahun ini dirundung masalah khas Indonesia yang pada gelaran sebelumnya absen: terlambat, molor. Positifnya, panitia cukup berbaik hati membenahi hal-hal menyebalkan seperti buruknya mekanisme antre. Pemilihan Ecopark sebagai vanue dengan penataan yang baik (kali ini panitia menyediakan mushola), dua panggung serupa tahun lalu, menjadikan Hammersonic 2013 sebuah even piknik yang menyenangkan, dalam gempuran metal 200.000 watt nir-problem.

Kraken menjadi pembuka festival, dan berturut-turut disusul Kapital, Sil Khannaz, Sensory Amusia, Whoretopsy, Outright, dan Belligerent Intent. Ethereal Sin, unit dari Jepang kemudian membuai dalam nomor-nomor symphonic black metal dan dandanan heboh (ditambah kemben keyboardist wanitanya, yang sore itu berdandan dalam baju pengantin berlenggam gothic, berkali-kali melorot minta diperbaiki). Penampilan dilanjutkan unit death metal muda menjanjikan Revenge, Burgerkill yang bermain “seperti biasa”, gerinda Dead Vertical, hingga band lawas Power Metal. Lalu jeda.

Ba'da maghrib Voyager dari Australia lyang rajin menyapa crowd angsung memancing orang-orang untuk kembali ke pit. Dari Sonic Stage, Edane menggempur, dilanjutkan Dyscarnate dan Hour of Pennance. Salah satu penampil yang paling saya tunggu, Dying Fetus, kemudian naik panggung dan secara kurang ajar memilih lagu-lagu headbangable untuk mengisi keseluruhan setlist, beberapa diantaranya dari album terbaru Reign Supreme. Cukup puas mengangguk (dan mengingat kondisi badan yang belum fit benar), saya memutuskan pulang, mengejar TransJakarta terakhir, terpaksa melewatkan Lock Up, Epica, dan Obituary. Siapa mengira, Dying Fetus juga menutup lebih awal Hammersonic saya tahun ini.

Pagi berikutnya rasa hangat di pelipis bersama limbung itu kembali. Kondisi saya tidak cukup baik dan kuat, sehingga terkapar saja seharian di tempat menumpang. Tiket hari kedua dengan muatan Seringai, Destruction, As I Lay Dying dan Cannibal Corpse-nya terpaksa hangus seketika, mubazir. Menyesal dan mengesalkan. Satu-satunya hiburan hari itu datang dari seorang mahasiswa program pascasarjana ilmu hukum di Salemba yang sedang mengerjakan tugas (suaranya cukup keras untuk membangunkan saya dari tidur) dan membawa saya dalam diskusi dan tukar pengalaman yang menarik (termasuk kisah magangnya di Mahkamah Konstitusi, ini menimbulkan iri serius). Selebihnya, dengan getir menyimak band demi band di Hammersonic 2013 dari linimasa.

Izinkan saya menulis jancuk untuk kekacauan-kekacauan ini.

Sekelumit tentang Hammersonic Metal Festival 2013:
Hammersonic memilih Ecopark di kawasan Ancol sebagai vanue. Harga tiket masuk tahun ini berada pada kisaran Rp 150.000-Rp 300.000 (1 day pass) dan Rp. 300.000-Rp 500.000 (2 day pass). Hidangan di food court festival mahal minta ampun. Masuk kawasan Ancol dikenai bea Rp 15.000. Ancol dapat diakses dari Senen menggunakan layanan TransJakarta koridor 5 Ancol-Kampung Melayu.

Kamis, 04 April 2013

Chavez

21.41 Posted by Arasy Aziz No comments
source: nationalgeographic.co.id

Sudah sebulan, kalau saya tidak salah menghitung, sejak Hugo Chavez mangkat. Pada 5 Maret lalu maut menggiringnya ke haribaan Illah, meninggalkan jutaan rakyat yang memenuhi jalanan, tersedu sedan.

Pada akhir perang dingin, ketika Gorbachev akhirnya memutuskan membubarkan Sovyet dan segala sistemnya (kemenangan terselubung Amerika Serikat) Francis Fukuyama menuturkan sebuah nubuat, begini kekira bunyinya: bahwa kapitalisme pada akhirnya menjadi sistem paripurna, tujuan dari segala daya upaya, revolusi sosial manusia. Beberapa tahun kemudian kata-katanya seolah beroleh justifikasi dari tanah yang tidak diduga. Kuba yang pernah menjadi personifikasi perlawanan atas hagemoni barat mengeluarkan kebijakan seorang hamba atas modal. Dibawah rezim Raul Castro, Kuba memberlakukan dua macam mata uang, CUC dan CUP, yang menggambarkan jurang kelas yang menganga. Memiliki CUP berarti akses atas segala kebutuhan hidup ketiga: restoran mewah, perbelanjaan mewah, lukisan mewah, mewah, mewah dan mewah. Rakyat berlomba-lomba untuk menjadi bagian dari gerombolan yang haus. Tapi masih ada beberapa negeri yang menimba dari masa lalu Kuba, bertahan sebagai slilit, antitesis.

Venezuela sebelum Hugo Chavez adalah gambaran semiskin-miskinnya negara, kandidat failure state. Inflasi merajarela, kemiskinan merebak ibarat panu di punggung mereka yang jarang mandi. Iya, kemiskinan dalam arti seluas-luasanya. Masyarakat tidak hanya sulit menghidupi jasmani pribadi dan kerabat anak pinaknya, namun ruang-ruang kebatinan mereka kosong dan dingin. Negara tidak mencintai mereka. Negara sibuk memperkaya kerabatnya. Chavez, seorang perwira yang telah banyak berguru mazhab kiri di Kuba, jengah. Sebuah upaya kudeta dilakukannya, dan gagal. Jadilah dia pesakitan.

Lalu Chavez memenangkan pemilihan umum beberapa tahun sesudahnya, merekonstruksi gagasan kenegaraan Venezuela, menginjeksi semangat revolusi sosialisme kedalamnya, sebagaimana Bolivar, Guevara dan gurunya Castro.

Venezuela dewasa ini menjadi satu dari sedikit negara yang tidak menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama. 80% kas negara diperoleh dari pengolahan emas hitam dan disalurkan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat. Kutukan sumber daya alam diterabas. Chavez bahu membahu bersama Castro, Ahmadinejad, Gaddafi, menjadi sisa makanan bandel di sela taring kapitalisme Amerika Serikat. Chavez menjelma pula menjadi karib rakyat, berpidato selama berjam-jam di televisi, menyediakan layanan telepon khusus untuk bertegur sapa dengan siapa saja. Rakyat bersuka cita dan jatuh hati. Siapa peduli, bahwa di akhir hayatnya pemerintahan Chavez mewariskan utang 95,6 miliar dollar AS, inflasi 20 persen, kriminalitas, serta kekurangan pangan. Angka-angka ini tidak mampu menghalangi ribuan manusia mengarak jenazahnya dari rumah sakit ke akademi militer, hingga jarak 8 kilometer harus ditempuh dalam 7 jam. Jalanan dipenuhi hati yang terlihat kaya.

Jose Mujica berujar bahwa orang miskin adalah mereka yang bekerja hanya untuk menjaga gaya hidup mewahnya dan selalu menginginkan lebih.

Dan lawan Chavez sesungguhnya adalah “orang-orang miskin” ini. Mereka katai Chavez otoriter, tiran, tidak berperi kemanusiaan. Lebih kongkrit lagi, pada April 2002 Caracas dibuat mencekam oleh upaya kup gabungan militer dan borjuis. Garis bawahi borjuis. Sebuah dokumenter, Inside the Revolution: A Journey Into the Heart of Venezuela sempat menyentil sejumlah nuansa yang tidak terjamah mata selama kudeta terjadi. Ada sekelompok orang yang tengah berpesta karena yakin bahwa rezim Chavez telah tumbang, bahkan lebih jauh mereka telah mengangkat seorang presiden baru sebagai pengisi jabatan (mereka ini, yang kehilangan banyak oleh kebijakan-kebijakan pemerintah pro akar rumput).  Puji syukur, Chavez kelewat dicintai rakyatnya. Upaya pemakzulan hanya berusia dua fajar, segera berakhir ketika rakyat turun ke jalan guna mengembalikan sang commandante ke tempatnya. Pada pemilu keduanya Chavez menang sekali lagi, dominan dengan 56% suara. Pada pemilu ketiganya juga.

Dan kini Tuhan mengakhiri kepemimpinannya dengan caraNya, melalui sebuah fitrah, keniscayaan. Chavez dan rezimnya tumbang oleh sisa zarah-zarah pemberontak yang menggerogoti jasad. Lepas wafat Chavez, “orang-orang miskin” itu barangkali tengah bersiap berpesta lagi.

Tapi revolusi belum usai, duhai “orang-orang miskin”. Kehidupan sejati Chavez justru baru dimulai, dalam tataran batiniah, dipupuk oleh gagasan-gagasannya. Wakilnya Nicolas Maduro berujar “Saya bukan Chavez, tapi saya adalah anaknya, dan kita semua adalah Chavez”.

Maka Tuhanku, di pemilu Venezuela nanti, menangkanlah Maduro (saya agak ragu dengan doa yang terakhir ini, entah mengapa).

Sabtu, 23 Maret 2013

Efek Rumah Kaca: Merayakan Intelektualitas

06.11 Posted by Arasy Aziz , No comments

Foto kurang baik, diambil via kamera hp.
Saya bukan penggemar Efek Rumah Kaca (selanjutnya saya sebut ERK) yang giat. Cerminnya, tidak banyak lagu mereka yang bisa saya eja dengan benar. Paling-paling Cinta Melulu, sebuah anthem yang kami gunakan untuk menangkal banjir lagu melankolik di zaman madrasah dulu. Tapi berita konser mereka di Malang terdengar amat menyegarkan. Tak boleh dilewatkan. Beberapa hari belakangan saya cukup disibukkan dengan urusan pra-kompetisi adu gagasan tingkat nasional. Bantu sana, bantu sini. Menyusun dan mengadu argumen. Menyenangkan, namun manusia tetap manusia. Pelarian. Lagipula kota kita rasanya, sepanjang saya bermukim disini, amat jarang disinggahi musisi sekelas ERK. Andaipun ada, diadakanlah dia di venue yang jauh dari kontrakan dan sulit dijangkau angkutan umum. Kali terakhir saya menonton konser terjadi setahun lalu. Iya, setahun lalu, dan di ibukota negara. Maka terpujilah anak-anak Psikologi UM.

Di Graha Cakrawala, deret gerbong pagelaran dimulai oleh A Strong Boy yang mengajak cicak berjalan dilantai dan nyamuk seolah terbang terbalik. Selanjutnya elektronika ATLESTA yang genit (terima kasih untuk additional vokalis dari Kobra) dan pop menyenangkan My Beautiful Life. Sebuah band ska yang paling memancing keringat justru saya lupa namanya. Unit ini memaksa saya berdansa buta. Seorang wanita kemudian menegur saya bercanda: kalau lari, kamu udah nyampe Rampal kali. Maklum mahasiswa, udah lama gak olahraga, balas saya. Kami tertawa bersama. Sayang tidak ada perkenalan. Dansa berlanjut.

Unit paling ditunggu akhirnya kebagian giliran. Konon ERK selalu tampil santun, tidak berlebihan. Malam itu juga. Muncul dari balik panggung sembari bersedekap, sumbu dinamit yang telah disulut sejak awal acara langsung meletup binal. Tanpa kata ERK mengawali jatah tampil mereka dengan Desember. Aku selalu suka sehabis hujan di bulan Desember, di bulan Desember. Crowd menjadi kesulitan mengontrol diri untuk tidak membantu Cholil menyanyi sepanjang set. Suaranya hilang diantara histeria.

ERK tampil tanpa setlist, dan tanpa banyak sapa pula. Sesekali Cholil tertangkap menengok ke belakang untuk bertanya pada Akbar yang duduk dibalik drum. Irama demi irama berlalu, Cinta Melulu, Insomnia, Hilang, hingga Di Udara tiba, ode untuk senior Munir Said Thalib. Saya tak kuasa mengepal-ngepalkan tangan ke atas, menirukan gestur demo, mambangun bola semangat Dragon Ball. Hampir 10 tahun Munir mati diracun arsenik namun keadilan belum sampai. Ku bisa tenggelam di lautan, ku bisa diracun di udara, ku bisa terbunuh di trotoar jalan. Setelahnya saya kehabisan tenaga, kecuali untuk bergumam. ERK sempat membawakan sebuah lagu baru, namun tidak terdengar jelas judulnya. Suara vokalis memang tidak terdengar baik sejak awal acara.

Pukul 23.40 ERK memutuskan mengakhiri konser. Jatuh Cinta Itu Biasa Saja masih belum dibawakan dan kiranya akan jadi penutup yang manis. Namun keputusan yang dipilih Cholil cs jauh diluar dugaan. Intro Desember kembali dimainkan. Hati yang dingin semakin gila.

ERK dan Intelektualitas

Gramsci meyakini bahwa setiap orang memiliki potensi sebagai seorang intelektual, namun hanya sedikit yang mampu menjalankan fungsinya. Terjadi perluasan makna disana, kala 'intelektual' kemudian digunakan untuk menyebut individu maupun individu-individu yang mampu menjadi organisatoris, dinamo, domino pertama dari semua lapisan masyarakat. Tesis yang meyakini bahwa akar rumput dengan peran teknis juga memiliki kemungkinan ini. Gramsci menolak batasan ortodoks bahwa hanya filsuf, sarjana, negarawan, sastrawan, hingga seniman yang dapat berperan intelektual. Dimana letak ERK? Gramsci membagi intelektual model tradisional yang masih mengenyampingkan peran akar rumput dalam dua kelompok besar: intelektual politik dan intelektual budaya. Hakikatnya, ERK berada pada posisi yang saya sebut kedua. Namun beberapa formula lirik mereka kemudian menjadikan identitas ERK mengawang.

Bob Dylan berujar tentang lagunya dalam sebuah wawancara dengan Rolling Stone, “Orang-orang akan berkata, ini tidak sesuai kenyataan. Tapi seorang penulis lagu tak peduli dengan apa yang nyata. Dia peduli dengan apa yang seharusnya terjadi”. Bisa jadi benar, namun analisis kacangan saya mengatakan bahwa ERK bukan sepenuhnya penganut teori ini. Yang dirumuskan ERK dalam lagu-lagu mereka adalah refleksi dari apa yang berlalu-lalang di masyarakat. Mari menyimak Hilang, singel lepas yang bertutur penantian untuk manusia yang raib dari muka bumi pada masa reses. ERK juga tidak melulu mengkritisi pemerintah. Kenakalan Remaja di Era Informatika, misalnya. Siapa saja akan segera sadar bahwa substansi lagu ini adalah sindiran gila-gilaan atas keberanian pamer tubuh remaja kita dewasa ini (dan jika berpikir cukup progresif, naif rasanya jika tidak mengakui bahwa lagu ini ditujukan untuk kita penikmatnya juga. Narsisme selalu membutuhkan perhatian, dan menjadi hidup atasnya). Ada pergeseran muatan entri apabila kita menelusuri kata 'SMA' di mesin pencari internet: 3gp yang amat banyak. Semuanya disampaikan dengan gaya ERK, dengan pilihan kata mereka.

Dalam konsepan ultrademokratis dikenal sebuah model dunia cita-cita bernama masyarakat madani (civil society). Model ini dibangun atas sinergi dan simbiosis trigunal antara pemegang kuasa, pemilik modal, dan obyek (korban) keduanya, masyarakat umum. Diluar itu, terdapat kelompok yang dianugerahi kewenangan sebagai pranata ekstra-model untuk fungsi pengontrol kesetimbangan ketiga unsur tersebut. Pressure Group, kelompok penekan. Dalam tataran ini kemudian intelektualitas politik ERK dan banyak band protes lain mekar. Musik protes menjadi katalis, kompor, bujuk rayu sekaligus jembatan antara intelektual tradisional dan intelektual organik yaitu kelas-kelas masyarakat sipil yang memiliki potensi organisatoris tertidur. Berlebihankah? Sekali lagi Dylan menunjukkan skeptisme atas potensi peran ini “Ini bukan lagu protes sosial atau sejenisnya, karena menulis lagu semacam itu bukan urusan saya”. Namun sejarah mencatat, Rage Against the Machine pernah mengambil peran sebagai pemantik badai huru-hara di Seattle tahun 1999. Musik, layaknya produk budaya literasi, selalu memiliki potensi sebagai media propaganda dan kritik. Masalahnya, apakah setiap penyimak ERK, atau setidak-tidaknya mereka yang hadir di Graha Cakrawala malam itu pulang dengan sekeranjang saripati semangat ini? Jika tidak, keyakinan sejumlah orang bahwa musik kritik tak lain merupakan dagangan cemilan dalam bungkusan baru telak memperoleh pembenaran.

Dan, andai lahir dibawah rezim godam paku Orde Baru, masihkah ERK bertutur sebaik kini?

Esai ini setidak-tidaknya saya tujukan untuk menjawab pertanyaan mengenai semangat intelektual apa yang hendak kita bawa. Hal ini berangkat dari adanya kecenderungan membatasi makna 'intelektual' berdasarakan sudut pandang tradisional yang dikemukakan Gramsci. Dan mengapa kadang kita butuh konser musik, dalam koridor yang sesuai.

Minggu, 17 Maret 2013

Makam

20.49 Posted by Arasy Aziz 2 comments
Berapa banyak tanah yang manusia butuhkan? Di Bashkirs, para tetua desa mengimingi siapa saja dengan tanah seluas-luasnya mereka mau. Syaratnya: calon tuan harus mengukur sendiri dari sebuah titik, dan kembali sebelum terbenam matahari. Mudah sekali, kira Pakhom si tuan tanah. Dia berlari, berjalan, hingga titik mula-mula hilang dari pandangan. Aku akan menjangkau sejauh-jauhnya, hingga serusak-rusaknya sendi. Pakhom berhasil kembali, dengan luka. Luka dalam luka luar. Sesegera kemudian mati dia serupa babi, serakah.

Para tetua memberi hak terakhir Pakhom. Sepetak bilik tanah enam kaki untuk tempatnya berleha menanti pengadilan tinggi. “Itulah sebanyak-banyaknya tanah yang dapat kau peroleh”. Selesai perkara? Rasanya belum. Pakhom, bagaimanapun, telah tuntas menunaikan misinya. Kembali sebelum matahari tandas. Jika Pakhom pada akhirnya tidak dapat menikmati peluh yang dia alirkan, bagaimana dengan pewarisnya?

Tolstoy tidak cukup tertarik menambah beberapa karakter sebagai pendamping Pakhom dalam kisahnya Hanya ada pekerja-pekerja terkejut yang tiba-tiba muncul di akhir. Tapi Pakhom seorang manusia. Andai bisa serakah, harusnya dia punya birahi juga. Patut diduga si tuan tanah memiliki istri dan anak, atau setidak-tidaknya orang tua, atau keluarga semenda. Di Bashkirs lepas maghrib, sekelompok manusia patut diduga itu tergopoh menyusul. Lalu mendapati isyarat duka. Dia sudah tiada, ujar para tetua. Benarkah. Bagaimana dengan tanah yang kalian janjikan? Tetua-tetua menggerutu memble, dan menyerahkan tanah maha luas itu. Tiba-tiba kebingungan menyergap para pewaris. Pakhom kelewat kalap meluaskan dan meluaskan tanah hingga lupa mengajari siapapun cara menggarap dan memanfaatkan. Hendak diapakan tanah ini?

Ada pengetahuan tua yang diajari gagak-gagak kepada nenek moyang manusia, sama tuanya dengan seni menghabisi nyawa. Memakamkan. Pengetahuan asli yang menjadi rahim bisnis properti hari akhir menggiurkan. Makam menjadi aset, seperti blok-blok apartemen di utara ibukota. Jangan jauh-jauh membayangkan San Diego Hills jika sepetak di Tanah Kusir dewasa ini dihargai jutaan. 

Baiklah, ujar salah seorang pewaris memutus hening. Tanah maha luas ini, kita jadikan mega proyek pemakaman saja, amat banyak petak enam kaki, biar Pakhom punya banyak kawan.

Yang elit sekalian, tandasnya.


Terinspirasi dari cericit Goenawan Mohamad @gm_gm. Dan cerpen 'Seberapa Banyak Tanah yang Manusia Butuhkan' oleh Leo Tolstoy.

Kamis, 14 Maret 2013

Dari Sebuah Jamuan Hukum Islam

05.11 Posted by Arasy Aziz No comments
Saya bangun dengan cara biasanya pagi ini. Maksud saya, agak terlambat seperti hari-hari sebelumnya, tidak tergesa Pagi yang menyenangkan semestinya disesap dengan pelan, menurut saya. Ibarat  menikmati gorengan pisang yang baru dirajang dari periuk sembari mengawinkannya dengan teh hangat. Perlahan. Bibir dan lidah kamu bisa melepuh jika kelewat nafsu.

Ada tugas jamuan pagi ini, mata kuliah hukum islam. Kami menghidangkan tema sumber hukum islam dan Al Quran. Jamuan berjalan kelewat lancar dan tidak menarik. Mahasiswa-mahasiswa yang malas-malasan menyimak dipaksa bertanya. Enam pertanyaan, dua sesi. Namun ada satu yang benar-benar mengusik.

"Kita mengenal dua macam sumber hukum, sumber hukum materiil dan sumber hukum formil. Apakah hukum Islam juga mengenal pembagian ini?"

Awalnya saya mengira jawabannya sederhana: "Tidak, pemahaman kita atas hukum Islam dengan menggunakan kacamata doktrin hukum barat telah sampai pada tahap memuakkan. Intinya, pembagian ini tidak bisa dipakai". Sekelebat kemudian saya bertanya lagi, masa' sih?

Beberapa pemikir berpendapat bahwa setiap agama, Islam termasuk tentu saja, memiliki dua dimensi yang  berbeda namun melekat, dimensi esoterik dan eksoterik. Dimensi esoterik terkait dengan sifat agama yang transdental, malampaui ruang waktu, abstrak, melangit. Yang satunya sebagai dimensi kebalikannya: agama memiliki struktur, kongkrit, relatif, membumi. Kedua dimensi ini, menurut hemat saya, kemudian dapat digunakan untuk menjawab masalah pembagian sumber hukum Islam berdasarkan sumber hukum materiil dan formil a la barat tadi. 

Sumber hukum materiil secara sederhana dapat dipahami sebagai tempat dimana nilai-nilai hukum itu digali mula-mula, umumnya bersifat abstrak. Dalam konteks hukum Islam, nilai-nilai ini adalah nilai-nilai universal yang diajarkan oleh semua agama, (saya mencomot pendapat Faetullah Gullen) antara lain kasih sayang dan cinta kasih. Bisa jadi hal ini berlaku pula dalam sistem hukum Kanonik dan lain-lain yang berasal dari kedaulatan Tuhan. Hukum Islam kemudian menambahkannya dengan nilai tauhid.

Nilai-nilai abstrak ini kemudian diturunkan dalam bentuk sumber hukum formil, sumber hukum yang berupa. Mewujudlah partikel-partikel nilai tersebut dalam kristal-kristal primer Al Quran, Al Hadits, hingga atribut sejenis Al Urf. Kristal-kristal ini menyusun mineral eksoterik hukum Islam, membumikannya, dan dalam lapangan sisi yang lebih luas, menciptakan dikotomi bernama agama.

Jamuan kami tiba-tiba jadi menarik beberapa detik. Ada yang berdansa-dansi di kelas yang lain. Wallahu'alam.