source: nationalgeographic.co.id |
Sudah
sebulan, kalau saya tidak salah menghitung, sejak Hugo Chavez
mangkat. Pada 5 Maret lalu maut menggiringnya ke haribaan Illah,
meninggalkan jutaan rakyat yang memenuhi jalanan, tersedu sedan.
Pada
akhir perang dingin, ketika Gorbachev akhirnya memutuskan membubarkan
Sovyet dan segala sistemnya (kemenangan terselubung Amerika Serikat)
Francis Fukuyama menuturkan sebuah nubuat, begini kekira bunyinya:
bahwa kapitalisme pada akhirnya menjadi sistem paripurna, tujuan dari
segala daya upaya, revolusi sosial manusia. Beberapa tahun kemudian
kata-katanya seolah beroleh justifikasi dari tanah yang tidak diduga.
Kuba yang pernah menjadi personifikasi perlawanan atas hagemoni barat
mengeluarkan kebijakan seorang hamba atas modal. Dibawah rezim Raul
Castro, Kuba memberlakukan dua macam mata uang, CUC dan CUP, yang
menggambarkan jurang kelas yang menganga. Memiliki CUP berarti akses
atas segala kebutuhan hidup ketiga: restoran mewah, perbelanjaan
mewah, lukisan mewah, mewah, mewah dan mewah. Rakyat berlomba-lomba
untuk menjadi bagian dari gerombolan yang haus. Tapi masih ada
beberapa negeri yang menimba dari masa lalu Kuba, bertahan sebagai
slilit, antitesis.
Venezuela
sebelum Hugo Chavez adalah gambaran semiskin-miskinnya negara,
kandidat failure state.
Inflasi merajarela, kemiskinan merebak ibarat panu di punggung mereka
yang jarang mandi. Iya, kemiskinan dalam arti seluas-luasanya.
Masyarakat tidak hanya sulit menghidupi jasmani pribadi dan kerabat
anak pinaknya, namun ruang-ruang kebatinan mereka kosong dan dingin.
Negara tidak mencintai mereka. Negara sibuk memperkaya kerabatnya.
Chavez, seorang perwira yang telah banyak berguru mazhab kiri di
Kuba, jengah. Sebuah upaya kudeta dilakukannya, dan gagal. Jadilah
dia pesakitan.
Lalu
Chavez memenangkan pemilihan umum beberapa tahun sesudahnya,
merekonstruksi gagasan kenegaraan Venezuela, menginjeksi semangat
revolusi sosialisme kedalamnya, sebagaimana Bolivar, Guevara dan
gurunya Castro.
Venezuela
dewasa ini menjadi satu dari sedikit negara yang tidak menjadikan
pajak sebagai sumber pendapatan utama. 80% kas negara diperoleh dari
pengolahan emas hitam dan disalurkan sepenuhnya untuk kemakmuran
rakyat. Kutukan sumber daya alam diterabas. Chavez bahu membahu
bersama Castro, Ahmadinejad, Gaddafi, menjadi sisa makanan bandel di
sela taring kapitalisme Amerika Serikat. Chavez menjelma pula menjadi
karib rakyat, berpidato selama berjam-jam di televisi, menyediakan
layanan telepon khusus untuk bertegur sapa dengan siapa saja. Rakyat
bersuka cita dan jatuh hati. Siapa peduli, bahwa di akhir hayatnya
pemerintahan Chavez
mewariskan utang
95,6 miliar dollar AS, inflasi 20 persen, kriminalitas, serta
kekurangan pangan.
Angka-angka ini tidak mampu menghalangi ribuan manusia mengarak
jenazahnya dari rumah sakit ke akademi militer, hingga jarak 8
kilometer harus ditempuh dalam 7 jam. Jalanan dipenuhi hati yang
terlihat kaya.
Jose
Mujica berujar bahwa orang miskin adalah mereka yang bekerja hanya
untuk menjaga gaya hidup mewahnya dan selalu menginginkan lebih.
Dan
lawan Chavez sesungguhnya adalah “orang-orang miskin” ini. Mereka
katai Chavez otoriter, tiran, tidak berperi kemanusiaan. Lebih
kongkrit lagi, pada April 2002 Caracas dibuat mencekam oleh upaya kup
gabungan militer dan borjuis. Garis bawahi borjuis. Sebuah
dokumenter, Inside
the Revolution: A Journey Into the Heart of Venezuela sempat
menyentil sejumlah nuansa yang tidak terjamah mata selama kudeta
terjadi. Ada sekelompok orang yang tengah berpesta karena yakin bahwa
rezim Chavez telah tumbang, bahkan lebih jauh mereka telah mengangkat
seorang presiden baru sebagai pengisi jabatan (mereka ini, yang
kehilangan banyak oleh kebijakan-kebijakan pemerintah pro akar
rumput). Puji syukur, Chavez kelewat dicintai rakyatnya. Upaya
pemakzulan hanya berusia dua fajar, segera berakhir ketika rakyat
turun ke jalan guna mengembalikan sang commandante
ke tempatnya. Pada pemilu keduanya Chavez menang sekali lagi, dominan
dengan 56% suara. Pada pemilu ketiganya juga.
Dan
kini Tuhan mengakhiri kepemimpinannya dengan caraNya, melalui sebuah
fitrah, keniscayaan. Chavez dan rezimnya tumbang oleh sisa
zarah-zarah pemberontak yang menggerogoti jasad. Lepas
wafat Chavez,
“orang-orang miskin” itu barangkali tengah bersiap berpesta lagi.
Tapi
revolusi belum usai, duhai “orang-orang miskin”. Kehidupan sejati
Chavez justru baru dimulai, dalam tataran batiniah, dipupuk oleh
gagasan-gagasannya. Wakilnya Nicolas Maduro berujar “Saya bukan
Chavez, tapi saya adalah anaknya, dan kita semua adalah Chavez”.
Maka
Tuhanku, di pemilu Venezuela nanti, menangkanlah Maduro (saya agak
ragu dengan doa yang terakhir ini, entah mengapa).
0 komentar:
Posting Komentar