Pada
suatu masa halte dan stasiun adalah tempat dimana harapan-harapan bertumbuh
ulang berulang. Dan masih akan tetap begitu, selama ada yang datang dan pergi,
ada yang menunggu, ada yang tertinggal. Akan tetap begitu selama ada hal-hal
yang tak selesai.
“Suatu
hari nanti ketika aku kembali, aku tak akan segan untuk menghambur kepadamu
untuk peluk yang panjang”, kata seseorang.
Kata
yang lain, naïf, “Jangan pernah kembali. Disanalah hidupmu yang sebenar-benarnya”.
Namun
mereka bukan satu-satunya yang berhak. Kita tahu disana tempat bertemu manusia
dengan beragam urusan yang tak melulu berkutat dengan haru. Ada modernitas yang
berderap sejak semula ketika lokomotif uap ditemukan oleh Trevithick. Setelahnya,
manusia tak akan pernah lagi sama; menjadi sekrup, mur, baut kecil dari tatanan
pasca pencerahan. Disana bertemu manusia-manusia yang tak pernah lagi sama.
Kerumunan komponen.
Diantara
mereka mungkin ada seorang prajurit yang esok harus berlayar ke ujung
kepulauan. Di sana menunggu tugas di perbatasan negara, kadang-kadang menyapa
pelintas batas yang hendak berbelanja ke pasar. Lihatlah mereka tak menggunakan
rupiah, Dik, dan betapa fasihnya mereka bergaul dengan kami. Kadang-kadang aku
tak bisa membedakan pelintas batas negara sebelah dengan yang disini. Lagipula
disini nyamuknya besar-besar, Dik, tapi ku sudah biasa karena ku rajin meminum pil
kina tanpa perlu kau ingatkan. Cerita ini akan tertahan berbulan-bulan menunggu
di peron.
Entah
bagaimana imajinasi ku selalu menautkan stasiun dengan prajurit. Mungkin dari
cerita di majalah anak-anak tentang paman yang suka berteka-teki tentang meja
oval. Lagipula militer adalah dunia asing dengan lokomotif yang lain.
Prajurit
kita tadi memeluk istrinya yang, agar dramatis, tengah hamil delapan bulan;
“Ketika
aku kembali, ku harap dia mengenaliku. Pun ketika aku luput meniupkan adzan di
daun telinga kanannya.”, katanya. Agaknya ini masih keharuan yang lain.
Atau
seorang dokter yang menggerutu karena mobilnya mogok dan di rumah sakit ada
pasien mengantre yang harus dioperasi. Terpaksa ia naik kereta listrik yang datangnya
kadang-kadang tak dapat ditebak. Ia berdedikasi, dan gerutunya adalah gerutu
dedikasi.
Atau
seorang insinyur, pilot, pedagang cendol, ibu-ibu pengajian, mahasiswi.
Di
halte stasiun aku menunggu untuk sebuah pertemuan dengan masa lalu, yang
sayangnya tak datang dengan bus maupun kereta.
Pukul
satu masih beberapa menit lagi. Kemudian ingatan-ingatanku berderap mundur
tanpa bisa ku cegah. Ketika lima tahun silam, atau hampir enam tahun, menunggu
akhir pekan menjadi saat-saat yang kalut demi mengirim pesan singkat: “Aku
nelpon ya?”.
Kami
bertemu dalam momen yang tak jamak; di Bandung, ketika menebak-nebak dari ufuk
bumi mana mineral ini dimasak, menjilat batuan untuk merasai, menyimak dengan
takzim lapis-lapis bumi di bawah kaki kita dalam diagram tiga kali satu.
Mendedah patahan, lipatan setumpuk sedimen. Dalam ketika yang lain, berpindah
ke Balikpapan aku melihatnya dari jauh tanpa sekalipun ingin menyapa, seseorang
yang asing. Ketika akhirnya berhadapan dengan tes sebenarnya, yang ku takutkan
hanya tentang mesin hitung yang tetiba menghilang dari tas. Ketika berlari ke panggung
menyambut gempita perjuangan, tentangnya sama sekali tak terbesit. Ketika
pesawat membawaku pulang, dia tak ada.
“Akankah ia membunuhku pada kesempatan
pertama?”
Sebagaimana
beberapa pekan silam, ketika ku baca di koran-koran tentang seseorang yang ditemukan
mati mengambang di danau Universitas Indonesia. Syahdan ia mengisi tasnya
dengan batu-batu sebelum terjun ke pelimbahan. Kita mengira ini semata-mata
agar ia tak perlu menghadap lagi ke dunia kita yang fana setelah bunuh diri. Bahkan
memutuskan mati dengan sepihak membutuhkan laku dan prinsip yang tak putus.
Namun
terselip surat perpisahan yang tak ikut basah. Justru sebuah titik terang; ini
tak lain merupakan pembunuhan yang amat jali. Di Indonesia, yang membuat kerja
polisi menjadi berlipat seperti ini sungguh tak banyak. Yang biasanya ku baca
dari novel-novel detektif, tiba-tiba meloncat ke laman-laman warta.
Pembunuhan-pembunuhan
yang rapi, dan berbagai kasus lain, yang menghubungkan aku dan dia kembali pada
lima, hampir enam tahun silam. Hanya Sherlock Holmes yang agung dan deduksinya.
Kami berbincang tentangnya pada permulaan, dan mengular pada apapun yang
remeh-remeh.
Aku
memutuskan untuk mengikatnya.
Lewat
sambungan telepon selundupan, hal-hal yang tertahan dapat kulihat mengawang ke langit-langit
kamar mandi, terbang ke menara air. Terbawa angin hingga ke laut Jawa, diam-diam
menumpang kapal feri ke Bakauheuni, hingga tiba ke suatu tempat yang asing dan
belum pernah ku jejak. Setelahnya, menunggu akhir pekan menjadi saat-saat yang
kalut demi mengirim pesan singkat: “Aku nelpon ya?”. Akhir pekan adalah waktu
untuk Adler-ku.
Aku
memanggilnya Adler, kau tahu. Betapa noraknya.
Di
halte stasiun, penjaja tahu sumedang agaknya sedikit khawatir ketika aku mulai
tersenyum sendiri. Ia bergeser perlahan ke ruang yang sebelumnya diduduki
seorang ibu yang sedari tadi sibuk menampik tawaran ojek. Jemputannya telah
tiba.
Yang
membuatnya bertahan dari hubungan tanpa kehadiran ini agaknya adalah
janji-janji. Bahwa suatu ketika kita akan dipertemukan kembali, barangkali
mengenyam kuliah di universitas yang sama. Sampai saat itu kita akan menjadi sepasang
individu yang bersabar.
Namun
suatu hari ia bertanya hal-hal yang terlalu jauh, aku menjadi ragu. Sejak
semula harusnya mudah ditebak ujungnya; aku akan berdiri di pihak yang ingkar.
Bukankah kau bukan seorang pemufakat yang baik?
Liburan
yang sedikit panjang yang seharusnya kami rayakan berubah menjadi saat-saat
perpisahan. Ba’da Isya, aku meringkuk di luar pintu agar sebisanya tiada
siapapun yang mendengar percakapan kami. Sejak perlombaan itu aku ketinggalan
pelajaran, kataku. Dia diam. Setelah ini seluruh perhatianku akan terpusat pada
hasil ujian nasional yang baik, kataku. Dia diam. Aku ingin masuk universitas
negeri di Jawa, kataku. Dia diam. Dan kau, mengganggu, kataku diam-diam. “Semoga
kita bisa bersahabat baik”. Tak ada lagi pesan singkat di akhir pekan setelahnya.
Ini
agaknya adalah cara yang buruk untuk putus cinta; menyisakan pertanyaan yang
belum dijawab, kenapa? Kepada kosmos ada hutang yang harus dibayar pada suatu
hari nanti. Pada lima, hampir enam tahun silam hal-hal seperti itu agaknya tak
terpikirkan.
“Akankah
aku kembali ke kota kecilku dengan sebagian tubuh yang tak genap?”
Maju
pada titimangsa yang lebih dekat, tiga tahun silam. Akhirnya aku punya ingatan
sendiri tentang stasiun. Sesungguhnya tak ada kejadian apapun. Hanya di dunia
antar-dunia, kubayangkan ada yang diam-diam mendorong tubuhku jatuh ke gerigi rel
yang curam.
Pada
akhirnya kesempatan pertama untuk bertemu kembali hadir ketika aku memutuskan
ke Jakarta untuk sebuah urusan. Kali ini kita bisa bertemu, ujarku melalui
pesan singkat setelah diam yang lama. Kita bisa bertemu di stasiun sesampainya
aku di ibukota, segera setelah urusanku selesai, pada Ahad kepulanganku. Namun di
hari keberangkatanku Matarmaja tak pernah benar-benar sampai ke Senen. Di
pantai utara dekat Cirebon, gerbong-gerbong berbelok, berpindah rel menuju ke
kegelapan yang tak putus. Seluruh penumpang berteriak. Aku berteriak! Hei, hei,
masinis!! Di Senen menunggu Adler-ku!!
Ketika
berkas-berkas matahari membuatku terbangun, mataku mengenali langit-langit pondokan
di kota kecilku. Aku berlari ke perempatan jalan untuk koran pagi, meneliti
baris demi baris, satu demi satu kolom-kolom. Tak ada berita tentang Matarmaja
yang lenyap ke dalam kegelapan, rupanya. Kesinilah keheningan pantura berujung,
kepada mereka-mereka yang tak percaya magisnya. Pukul tiga sore nanti aku harus
kembali ke stasiun mengejar Matarmaja yang berangkat sekali setiap hari.
Matarmaja hampir tak mengenal kesempatan kedua. Tak hanya bagi
penumpang-penumpangnya, namun juga pengasong yang pada suatu ketika adalah
nyawa gerbong. Ada yang ganjil ketika pada akhirnya kuhempaskan tubuhku ke
salah satu kursinya yang hampir tegak lurus itu. Riuh tak ada lagi.
Matarmaja
tak mengenal kesempatan kedua. Tak ada tempat
untuk kesempatan kedua.
Diantara
Solo dan Semarang aku mulai menimbang-nimbang kembali; apakah ini waktu yang
tepat? Tidak, kataku. Momentum yang dipilih secara salah bisa berakibat buruk.
Ketika di Jakarta, maka; Kita jadi ketemu kan? Tidak. Aku udah di Matraman,
beberapa kilometer dari Senen, sangat dekat. Tidak. Keretamu pukul dua kan?
Sepertinya masih sempat kok. Tidak, Ay. Ini belum saatnya. Selamat tinggal.
Sekali
lagi, pada waktunya, aku berkhianat. Aku mulai menebak-nebak, apa yang akan
dilakukannya ketika kami berhadap-hadapan. Menenggelamkan aku ke danau?
Mendorong ke haribaan kereta komuter yang menderu dari Bogor? Satu peluru dilepaskan
dari senapan burung? Tikaman yang lamat-lamat? Menampar dalam slowmotion?
Pukul
satu lebih sepuluh, ketika aku menyadari bahwa seseorang hadir. Disanalah dia
berdiri.
Dan ada kebahagiaan di dalam senyumnya, penanda bagi jiwa
yang telah bergerak jauh. Hari ini, menjelma teror itu sendiri. Menjatuhkan
vonis di dalam diam; Mampus kau, aku hari ini adalah perempuan dengan hati
merdeka! Dan kau! Kau pada akhirnya dikutuk untuk membayar setiap serpih remuk
kerakal yang kau tebar! Mampus kau, untuk usahamu melarikan diri dari masa
lalu! Penolakan untuk mengakui bahwa pada suatu ketika kau jatuh cinta oleh cara-cara
Tuhan yang jenaka! Kau yang rumit hari ini dan penimbang omong-omong kosong tak
lain adalah cara semesta menghadirkan karma!
Namun
senyumnya, aku segera tahu, adalah sekaligus senyum pembebasan. Di halte
stasiun, yang terakhir ku dengar adalah riuh yang dulu hilang dari Matarmaja.
“Hai,
Dan.
“Apa
kabar?”
**
Slowdive - Here She
Comes
Saya
mulai mendengar Slowdive baru sekali, dan segera merasa terganggu oleh album Souvlaki
(1993). Diantara isi-isinya, Here She Comes saya tempatkan dalam posisi yang agak
spesial. Ada keheningan yang ganjil setiap kali track ini terputar. Semacam representasi yang ditunda dari obyek
imajiner sang penggubah di dalam durasi lagunya yang singkat, dan terselip.
Ketika
mereka menobatkan unit asal Manchester ini sebagai pionir dream pop, saya
kira-kira jadi tahu mengapa.
jatah mantaaaan
BalasHapusDisclaimer: dramatisasi.
HapusWahh ketemu juga sama penikmat lagu slowdive :)))
BalasHapusSalam kenal!
Hapus