Obituari untuk Ganool agar tak mati selamanya.
Penyesalan
terbesar saya dalam pekan-pekan terakhir adalah tidak mengepul film
sebanyak-banyaknya dari ganool.video. Dibanding berbagai alternatif yang
tersedia untuk memirsa, apa yang ditawarkan Ganool adalah pilihan termudah. Yang
utama tentu saja karena ia tak berbayar. Mengunduh melalui aplikasi Torrent
yang berbasis jaringan peer-to-peer
sangat rentan ditunggangi malware dan
kecepatannya sulit ditebak. Direktori Ganool juga relatif lengkap (meskipun
tentu saja tak sekaya jejaring Torrent). Saya beruntung menemukan Metropolis (Fritz
Lang, 1927) edisi restorasi rilisan Criterion diantara tumpukan datanya. Koneksi
internet yang tak putus, hampir 24 jam sehari di rumah adalah jalan bebas
hambatan menuju surga itu.
Namun
saya tak mengantisipasi sebuah kenyataan pahit; portal unduh film gratis
favorit saya itu terpaksa tutup usia. Ini sesungguhnya bukan kematian yang
pertama, namun sepertinya tak ada kehidupan lagi setelahnya. Penutupan Ganool untuk
jangka waktu yang tak ditentukan secara resmi diumumkan oleh para pengelolanya
melalui akun Facebook pada postingan bertanggal 20 September 2015. Disini saya
kutipkan bulat-bulat, yang jika dibaca dengan seksama, lebih mirip manifesto
politik;
Pemerintah benar bro memblokir
Ganool dan situs sejenis, seharusnya kita memang bisa menghargai hasil karya
orang lain, tapi pembuat konten juga harus mengerti rakyat Indonesia kantongnya
tidak setebal mereka untuk membeli konten secara legal. Mereka masih tetap saja
tamak dengan menginginkan keuntungan sebesar-besarnya dari film-film mereka
yang ternyata mungkin hanya 1% yang memang bermutu, dan lainnya hanya sampah.
Kemarin pemerintah memblokir
situs-situs judi dan porno, hari ini mereka
memblokir Ganool dan situs sejenis, besok mereka akan memblokir situs-situs
agama dengan mengatakan mereka ekstrimis, besoknya lagi mereka akan memblokir
tulisan rakyat di media online karena tidak sejalan dengan pemerintah,
besok-besok-besoknya lagi bahkan mungkin Facebook rakyat akan dipantau oleh
pemerintah dan memidanakan bagi siapa saja yang status atau komentarnya
dianggap melanggar UU ITE.
But remember people power will always win. Pemerintah memblokir 1 Ganool dan situs sejenisnya, besok beberapa
situs sejenis akan bangkit. Akan saja selalu seperti itu. Entah sampai kapan
pemerintah dan pemilik konten melakukan pekerjaan sia-sia ini. Mungkin sampai
mereka bangun dan sadar bahwa zaman sudah berubah, bukan lagi zaman kaset pita,
tapi sudah zaman streaming online. Deal or Die.
Akhir kata kami ucapkan
terimakasih telah mendukung Ganool selama ini, tapi dengan sangat berat kami
putuskan untuk mematikan layanan Ganool.com dan
Ganool.Video dalam kurun waktu yang tidak ditentukan. Tetap dukung Ganool,
karena Kami akan kembali dengan sesuatu yg LEGAL, entah bagaimanapun itu
caranya.
Seperti
kebanyakan situs senasib, Ganool adalah korban dari jurus pemerintah untuk
menangkal pembajakan berbagai produk budaya yang beredar melalui internet. Sebuah
mekanisme yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri
Komunikasi dan Informatika Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan
Situs Internet Bermuatan Negatif. Jika sebelumnya menyasar berbagai situs
penyedia konten pornografi, maka kali ini 21 situs penyedia film gratis yang
jadi korban blokir Internet Positive. Ganool sempat kembali berkelit, namun
menemui jalan buntu.
Tapi benarkah pemerintah dapat seberwenang itu?
Pada tahun 2010, sekelompok penulis mengajukan pengujian Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dan Undang-Undang Nomor
4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan Yang Mengganggu
Ketertiban Umum ke Mahkamah Konstitusi sebagai respon
aksi pemusnahan buku oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Muatan beberapa
buku dinilai oleh lembaga tersebut bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan. Lekra tak Membakar Buku karya Muhidin M Dahlan dan edisi
Indonesia Dalih Pembenuhan Massal karya sejarawan John Roosa adalah beberapa
contoh yang terimbas, disebabkan tak mencantumkan PKI dibelakang singkatan
G30S.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi kemudian mengingatkan
kembali makna normatif sebuah konsep negara yang kita klaim di dalam
konstitusi: bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dalam negara hukum,
pembatasan-pembatasan hak konstitusional warga negara harus didasarkan pada
proses peradilan (due process to law).
Aksi Kejaksaan yang berlegitimasi pada kedua undang-undang diatas pada dasarnya
adalah praktik pelampauan kekuasaan administratif. Akibatnya, kewenangan
Kejaksaan untuk menetapkan sebuah buku tak layak edar dicabut. Mahkamah
Konstitusi dalam putusannya kemudian mengamanatkan pembentukan peradilan buku
sebagai wadah penyelesaian sengketa perbukuan.
Konstruk teoritik yang sama sesungguhnya berlaku pada kasus
Ganool dan kawan-kawan. Sebagai sebuah medium, situs-situs internet berhak
untuk menyebarluaskan informasi apapun hingga ada putusan pengadilan
berkekuatan hukum mengikat yang menyatakan sebaliknya. Meskipun secara kasat
mata apa yang dilakukan oleh para penyedia film gratis melanggar Undang-undang Nomor
28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta maupun Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang ITE, namun pelanggaran tersebut perlu dibuktikan terlebih dahulu dalam
proses peradilan yang jujur dan fair.
Konfigurasi penegakan hukum dalam Peraturan Menkominfo Nomor 19 Tahun 2014 menempatkan
kekuasaan pembentukan, eksekusi dan penegakan hukum di satu tangan. Fungsi-fungsi
ini seharusnya didistribusikan ke berbagai lengan kekuasaan untuk menjamin check and balances, sekalipun Kementerian
Kominfo berwenang membawahi segala urusan terkait telekomunikasi. Aturan tersebut bahkan melangkahi
prosedur peradilan Transaksi Elektornik yang diatur dalam Undang-undang ITE. Dengan
kata lain, praktik Internet Positive a la
pemerintah melalui Kementerian Kominfo adalah perwujudan apa yang disebut
oleh bapak-bapak pendiri negara sebagai machstaat,
negara yang otoritatif.
Kematian Ganool bukanlah akhir dari strategi pemerintah
dalam memberantas pembajakan. Badan Ekonomi Kreatif pimpinan Triawan Munaf
telah mempersiapkan perangkat hukum yang kali ini akan menyasar para pengunduh
materi illegal. Sistem penindakan yang konon diadopsi dari Perancis dan Korea
Selatan ini dirancang dengan sanksi bertingkat yang berujung pada pemutusan
internet untuk selamanya. Apa yang tampak disini adalah sebuah kebijakan yang mendemonisasi
masyarakat pengguna internet Indonesia, alih-alih mempersiapkan solusi
struktural. Gagasan ini sedikit banyak menunjukkan kegagalan pemerintah melihat
lanskap pasar perfilman negeri kita sebagai basis kontekstual pembentukan hukum.
Membincang lanskap perfilman dan pasarnya akan berujung
pada percakapan mengenai kecenderungan negara untuk merapat ke salah satu sisi.
Namun masyarakat bukan berarti akan selalu tanpa daya di hadapan persekongkolan.
Sebuah fragmen dalam sejarah perfilman Jerman barangkali adalah contoh terbaik
bagaimana arus balik dari hal-hal abstrak itu bekerja.
Kekalahan Jerman pada Perang Dunia I menyebabkan negara bangkrut
dengan setumpuk utang. Krisis sosial dan ekonomi yang terjadi berujung pada
penggulingan monarki Prussia. Sebuah republik baru kemudian mekar. Diam-diam
ada api yang hendak berkobar diantara sisa-sisa revolusi, sebuah harapan baru
bagi sinema Jerman.
Kemiskinan yang merebak menyebabkan vakansi ke luar kota
menjadi sesuatu yang mahal. Masyarakat Jerman kemudian beralih ke gedung-gedung
bioskop untuk mencari hiburan yang tak menghabiskan banyak waktu dan uang.
Industri perfilman menjadi salah satu yang berhasil bertahan hidup. Sineas
Jerman pada periode transisi berlomba-lomba mencipta film-film bermutu untuk
menarik minat penonton sebanyak-banyaknya.
Dalam priode yang getir ini kemudian lahir sebuah pakem
yang kelak dicatat sebagai awal-mula kecenderungan skena berbasis negara. Ekspresionisme
Jerman, sebuah gaya yang diinisiasi sebagai bentuk perlawanan atas tradisi seni
borjuis yang cenderung positivis melalui dramatisasi atas berbagai unsur teknis
film; tata latar, gestur hingga pencahayaan. Tercatat sejumlah karya produksi dari
masanya yang kemudian mencapai level kultivasi dan tetap menjadi buah bibir
hingga hari ini. Metropolis yang saya sebut dimuka adalah salah satunya, selain
Nosferatu: A Symphony of Horror (F W Murnau, 1922) atau The Cabinet of Dr.
Caligari (Robert Wiene, 1920).
Kemampuan perfilman Jerman untuk bertahan hidup di tengah
krisis bisa jadi disebabkan tingkat konsumsi yang meningkat pesat. Namun hal
tersebut agaknya bukanlah faktor yang tunggal. Dalam struktur kapitalisme,
mereka yang tercerabut dari jejaring besar arus modal memiliki potensi untuk
melawan balik. Kita tahu bahwa Ekspresionisme Jerman sebagai gerakan dirangkum
dari film-film dengan tema yang arbitrer. Metropolis menghadirkan sebuah
gambaran distopian mengenai dunia masa depan, mengambil simbol-simbol industrialisasi
dan menghadirkannya sebagai ejekan diam-diam. Sebaliknya Nosferatu adalah sebuah horror mula-mula, diadaptasi
dari kisah legendaris Dracula. Keanekaragaman tersebut hanya dimungkinkan dalam
kondisi hagemoni yang minim dari hubungan mutual negara dan pasar. Dalam
tataran ini, sistem kepemilikan pusat-pusat pemutaran film memiliki fungsi yang
signifikan. Bioskop-bioskop Jerman pada masanya dimiliki oleh perusahaan-perusahaan
pembuat film yang semarak dan beraneka ragam. Selain memangkas alur distribusi,
hal ini mengakibatkan sulitnya membentuk deskripsi tunggal terhadap komposisi pasar.
Tak ada satu pihak yang dapat mengklaim secara persis film apa yang ingin
ditonton orang-orang. Pun, bioskop bukan satu-satunya tempat dimana film
mungkin diputar. Nosferatu bahkan ditayangkan perdana di komplek kebun
binatang. Intervensi terhadap kreativitas pembuat film menjadi minim, dan
karya-karya tak lekang zaman kemudian lahir.
Bulan madu ini berakhir seiring dengan kebangkitan Reich
ketiga dibawah regulasi Nationalsozialistische
Deutsche Arbetreipartai pada 1933. Demokrasi yang jatuh diiringi pergeseran
fungsi sinema sebagai semata-mata alat propaganda program partai. Genosida
antisemit menyebabkan pionir-pionir Ekspresionisme Jerman berdarah Yahudi seperti
Fritz Lang memilih kabur ke negara lain, menghindari kematian.
Hagemoni adalah kata kunci yang menghubungkan kita dengan
alam sosial Ekpresionisme Jerman dari masa lampau. Di era Orde Lama hingga awal
Orde Baru, bioskop Indonesia pernah menjadi usaha yang semarak. Satu gedung
bioskop, utamanya di daerah-daerah, dirancang untuk menjangkau wilayah yang terbatas.
Di sebuah kecamatan kecil di bagian utara Sulawesi tempat kakek saya tinggal
bahkan pernah terdapat gedung bioskop yang dikelola sebuah keluarga lokal. Sebagian bioskop-bioskop yang lain secara spesifik
menyasar peminat khusus, untuk tidak menyebut film rating dewasa.
Pada era tersebut kontrol bukannya sama sekali tak ada. Pergeseran
kekuasaan kemudian mengubah kebijakan terkait distribusi film, menumpuk konsentrasi
sumber daya hingga hari ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa industri film
Indonesia bekerja dibawah oligopoli segelintir pemilik melalui perusahaan impor
dan jaringan bioskop berskala gigantis. Usaha distribusi film menjadi usaha yang
padat modal. Perlahan ia membunuh bioskop-bioskop kecil di daerah yang tak memiliki
cukup daya tawar atas harga sebuah rol film.
Kondisi yang monopolistik ini menciptakan delusi akan kuasa
selera; kita seolah-olah memiliki kebebasan untuk memilih secara sadar apa-apa
yang hendak kita tonton. Selalu ada pilihan-pilihan di dalam bioskop-bioskop, di
dalam beberapa studio yang terbuka. Yang terjadi sesungguhnya adalah kita
digiring untuk menelan mentah apa-apa yang telah dikelompokkan para pemilik jejaring
bioskop. Kuasa untuk memilih, menolak dan memutar suatu judul atau tema selalu ada
di tangan mereka. Di luar sana ada ribuan film diproduksi setiap tahunnya, sebagian
diantaranya memiliki kualitas avant-garde.
Namun yang benar-benar sampai ke hadapan publik hanyalah segelintir, bisa
jadi didominasi oleh film-film dengan level pelimbahan namun menjamin
keuntungan yang besar. Apa yang disebut sebagai pembeli tak lagi benar-benar
relevan dan kehilangan kontrol terhadap singgasananya.
Kuasa oleh segelintir orang lebih lanjut menyebabkan film
menciptakan label kelas melalui mahalnya harga tiket. Ironi ini menjadikan
dunia perfilman menjadi sesuatu yang jauh.
Di tataran ini kemudian apa yang dikerjakan Ganool dan
situs-situs sejenis tak lagi dapat dipandang sebagai aksi pembajakan biasa. Aksi
sepihak situs-situs tersebut telah menggeser subyektivitas kita dari sekadar
konsumen dalam pasar perfilman, menjadi bagian dari sebuah gerilya politik
berbasis kerumunan. Para pengunduh, disatukan oleh ketertarikannya, menggoyang
kemapanan yang diciptakan oleh perserongan kapital. Selain karena sifatnya yang
nirekonomis karena tak mencari keuntungan, Ganool dan kawan-kawan menyediakan alternatif-alternatif
memirsa melalui film-film yang tak tersedia di bioskop. Kita barangkali tak
akan mengenal film-film bernas Jean Luc-Godard, Alejandro González Iñárritu hingga
Lars von Trier, atau mengakrabkan diri dengan generasi ateur yang lebih tua seperti Akira Kurosawa dan Stanley Kubrick. Ada
nuansa perlawanan disana, sebuah kontrahagemoni untuk kembali memanusiakan
selera.
Kerugian yang ditimbulkan oleh mereka agaknya cukup untuk
membuat para pemain besar industri perfilman kelabakan, sehingga perlu
menggandeng tangan lain; negara. Monopoli dilanggengkan, bombardir diarahkan ke
rumah-rumah lebenswelt. Disini
semuanya menjadi terang benderang. Tindakan pemerintah, dimulai dengan
memblokir situs penyedia film gratis hingga menghukum pengunduhnya, tak lain
merupakan bentuk keberpihakan terhadap kepentingan kapital. Kita barangkali perlu menggalakkan kembali pemutaran-pemutaran di
kebun binatang agar tak tenggelam.
Menurut gue sih ini bukan soal miskin atau kaya, atau bermutu atau tidaknya. Tapi soal menghargai karya. Lagi pula, si pembuat film juga tidak pernah memaksa orang untuk nonton atau beli DVD-nya.
BalasHapusMenurut gue pribadi sih, orang-orang yang mendukung konten bajakan bisa didownload gratis, adalah orang-orang yang belum pernah: susah payah siang dan malam berkarya, lalu tau-tau karyanya dikopas, dibajak dan sebagainya tanpa sepengetahuan si pemilik asli.
Ya, bagaimana pun, gue tetap nggak setuju sih kalo konten bajakan masih dibiarkan begitu saja.
Sejak semula kritik saya berfokus pada kondisi monopolistis dalam perbioskopan kita, dan posisi-posisi politik yang muncul mengiringinya (dalam hal ini situs penyedia film gratisan). Menurut saya, dalam kondisi seperti ini bahkan apa yang kita klaim sebagai apresiasi kepada para kreator melalui membeli tiket bioskop, semisal, ngga sampai dengan proporsional kepada yang berhak.
Hapusgampang aja, jual aja lisensi nonton online dengan bayar rp 1000 satu filmnya, uangnya masuk ke pembuat filmnya, dan pengurus website pun dapet untung. sebetulnya, monopoli bisa dihancurkan oleh barang murah, bahkan cuma-cuma, monopoli ilmu bisa dihancurkan dengan pendidikan gratis, dan semangat berbagi itu harus ada. sama kaya karya seni, kalau memungkinkan dijual murah sekali dengan syarat dan ketentuan berlaku, itu lebih baik dari pada hanya ada dua pilihan mahal yakni, nntn di bioskop atau beli dvd.
BalasHapuspodo larenge brow. dengan jual murah rating bisa naik, dan supply sesungguhnya penonton film akan ketahuan.
Itu terlalu murah, apalagi untuk film dengan biaya yang sampai milyaran. Kalo di luar negeri mungkin masih akan lumayan pendapatannya. Kalo di dalam negeri, saya agak pesimis. You know why lah ya.
Hapus