Dalam
pencarian jawaban mengenai bagaimana pluralitas ditempatkan dalam
praktik, kami menjelajah sisa budaya peranakan di sebuah kota kecil. Tak lupa memenuhi rasa penasaran akan RA Kartini dan ditutup dengan
perburuan kulinari lezat. Inilah bagaimana Rembang diramu di mata kami.
Saya
awali pemilihan Lasem sebagai salah satu destinasi dengan sebuah
pertanyaan: bagaimana masyarakat pribumi dan tionghoa dapat berpadu
dengan serasi dalam sebuah bingkai bernama Kawedanan Lasem? Tanya ini
berangkat dari pemahaman ortodoks saya bahwa dalam kultur mayarakat
desa, yang dalam studi sosiologi kerap dikenal sebagai gessenschaft,
umumnya berciri adanya sentimen komunal terhadap perbedaan.
Menariknya, Lasem, sependek pengetahuan saya, nihil namanya dari pemberitaan
di Indonesia dewasa ini yang kerap dihiasi oleh kabar pertikaian
antar etnis yang mengundang miris. Kasus-kasus dengan pola berulang
pernah menghantui daerah serupa Poso, Ambon, Sampit bahkan Makassar,
yang notabene merupakan sebuah kota metropolitan, dengan suasana
mencekam oleh konflik SARA. Pertanyaan saya tadi membutuhkan jawaban,
meskipun sederhana.
Kami
menjejakkan kaki di Lasem diantara alunan pengajian jelang maghrib di
mesjid-mesjid. Usai beristirahat sejenak dan mendirikan kewajiban
tiga rakaat, kami bergegas mencari tempat menginap. Sejak awal
perjalanan kami tetapkan hanya ada tiga pilihan: mesjid, kosan teman
atau kantor polisi. Mengingat larangan tidur yang tertera di mesjid
besar Lasem dan tiadanya kenalan di kota kecil ini, kami memilih opsi
ketiga. Selama berkeliling saya masih dapat menerka detil
bangunan-bangunan tua diseputaran Lasem, meski gelap telah naik.
Aroma langgam arsitektural tionghoa terasa amat pekat dan masih
dibiarkan terawat oleh para penghuninya. Namun hadiah belum berakhir.
Kami mendapati bangunan kantor kepolisian sektor Lasem menganut
langgam yang sama, dipadu dengan beberapa aroma kolonial Belanda.
Usai meminta izin kepada petugas yang sedang berjaga, kami
beristirahat. Polisi yang baik, gedung-gedung tua, saya langsung
jatuh cinta dengan sukarela terhadap kewedanan ini.
Hotel Prodeo. Jangan maknai satir, saya serius soal gratisnya. |
Pagi
berikutnya, pukul setengah enam kurang, kami memutuskan meninggalkan
hotel prodeo kami. Lasem pagi terbuat dari rona lembut sinar matahari
yang menyapu bangunan-bangunan tuanya. Ciamik! Dengan semangat yang
telah terisi, kami memulai blusukan ke pelosok desa untuk mencari
batik tulis lasem yang merupakan cendera mata popular dari kawasan
ini (sayangnya tanpa niat membeli).
Ornamen Cina di mana-mana. |
Adalah
sebuah kesalahan awalnya memulai pencarian pada dini pagi, karena
umumnya rumah-rumah produksi batik lasem memulai aktivitasnya pukul
8. Kami berkeliling dan hampir kecewa oleh dealer-dealer batik
yang masih tutup. Siapa sangka, semesta tiba-tiba memberi jalan dari
sebuah rumah merangkap kios sederhana. “Mau kemana mas?” tanya
seorang bapak dari teras rumahnya. Kami menjelaskan tujuan kami, si
bapak mempersilahkan kami naik ke rumahnya. Bapak itu memperkenalkan
diri sebagai Pak Agus, seorang penerus usaha batik tulis lasem yang
telah diwariskan turun temurun. Tanpa segan beliau menggelar
lembaran-lembaran kain terajah siap jual, meskipun kami telah
mengungkapkan bahwa tidak akan membeli. Pak Agus menunjukkan kepada
kami motif paling tradisional yang didominasi biru dan merah darah
ayam sebagai warna utama. Beliau turut menjelaskan bahwa metode
pemesanan dan promosi batik Lasem rupanya telah cukup modern
(melebihi prakira saya), menggunakan Facebook, surat
elektronik dan Blackberry Messanger, dengan sebaran distribusi
yang mencapai sejumlah kota besar di Indonesia. Harga batik lasem
berada pada kisaran Rp. 150.00-Rp. 2.000.000 tergantung kerumitan
pola. Di akhir percakapan beliau merekomendasikan satu nama
legendaris untuk menambah khasanah kami: Pak Sigit Wicaksono.
Juru Selamat. Jangan nilai manusia dari parasnya, bapak ini menyelamatkan trip kami. Kain yang dibentangkannya bernilai Rp 2.000.000. |
Awalnya
kami agak sungkan bertamu, mengingat waktu masih menunjukkan pukul 7
dan kami tidak membuat janji terlebih dahulu. Kesungkanan kami
dibalas telak dengan sambutan hangat dari sang pemilik rumah, tak
lain Pak Sigit Wicaksono. Beliau yang tengah duduk santai di kursi
malasnya berdiri dan menyambut kami (setelah kami menjelaskan tujuan
terlebih dahulu) dengan sebuah pertanyaan jenaka “Ini masih muda
kok mau belajar batik? Ayo masuk, masuk. Duduk, duduk!” Beliau
bahkan memuji Gorontalo kota asal saya sebagai rahim gadis-gadis
manis (dalam hati saya berujar: Bapak mestinya tau alasan saya kuliah
di Jawa pak. Intinya saya cenderung kurang sepakat). Dari mulut
beliau kami menemukan sedikit demi sedikit potongan puzzle yang kami
cari, dengan ditemani segelas teh hangat.
Usia pak
Sigit telah mencapai kepala delapan, namun masih luwes dalam bertutur
(meski kadang kami harus berbicara dengan intonasi tinggi untuk
mengimbangi pendengaran beliau yang telah menurun). Secara umum kriya
batik di tanah Jawa terbagi atas dua kelompok besar, batik pesisir
dengan masukan budaya luarnya yang kental dan batik keraton. Batik
tulis lasem termasuk dalam kelompok pertama bersama batik dari
Madura, Cirebon, Pekalongan dan Tuban. Terdapat dua motif utama dalam
seni batik lasem dengan latar belakang sejarah masing-masing. Motif
pertama, latoan, terinspirasi dari sejenis tanaman laut yang
umum dimanfaatkan masyarakat pesisir untuk sayur mayur. Motif kedua
memiliki nilai sejarah yang menggugah. Watu pecah, adalah
ekspresi kemarahan masyarakat Lasem atas mega proyek jalan raya pos
Anyer – Panarukan besutan Deandles pada zaman kolonial Belanda.
Sebuah cara mengenang mereka yang gugur sebagai tumbal sebuah ambisi.
Persaingan dengan produsen batik yang lebih muda kemudian memberi Pak
Sigit sebuah ilham. Pada sebuah kesempatan beliau mulai melukiskan
sederet aksara Cina pada selembar kain batik. Awalnya hal ini
menimbulkan perdebatan dengan sang istri. Dewasa ini, motif baru ini
malah diakui umum sebagai hasil karsa cipta seorang Sigit Wicaksono.
Pak Sigit bercerita bahwa sejumlah muda-mudi kerap datang untuk
memesan sepasang seragam dengan kaligrafi yang lebih kurang berarti
kehangatan cinta. “Motifnya tidak dipatenkan pak?” tanya kami.
“Nggak usah, nanti juga dipakai produsen sini”.
Motif paling tradisional. |
Motif modifikasi dengan aksara Tiongkok. |
Beliau
juga turut menjelaskan mengapa klaim Malaysia atas batik tempo hari
layak ditertawakan. Pada 1923 orang tua Pak Sigit memulai usaha batik
tulis di Lasem. Beberapa tahun kemudian, pada medio 30-an, usaha ini
mendapat order raksasa dari negeri seberang. Bayangkan 500 potong
kain batik tulis dalam sebulan untuk sebuah industru rumahan! Dan
tebak asal order tersebut? Ya, Malaysia. Logika yang kemudian beliau
bangun adalah apabila batik merupakan produk budaya Malaysia,
bagaimana mungkin pada tahun 1930an mereka masih harus mengimpor dari
tanah air. Maka ketika 20 Oktober 2009 batik diakui oleh UNESCO
sebagai milik bangsa Indonesia, beliau senang bukan kepalang. Pak
Sigit kemudian berjanji untuk mengenakan batik pada setiap
kesempatan, dan memberi 10.000 rupiah bagi siapapun yang
mengingatkannya apabila beliau lupa mengenakan batik.
Ketika
disinggung tantang bagaimana pertemuan budaya di Lasem berlangsung
tanpa gesekan, beliau menjawab sederhana. Masyarakat Lasem, baik
pribumi maupun keturunan, bersikap santai soal masalah ini. Sikap
yang barangkali terbangun oleh waktu. Pak Sigit mencontohkan bahwa di
Lasem terdapat sebuah pesantren yang kental desain arsitekturalnya
dengan budaya tionghoa. Saya mendapati pula fakta bahwa Pak Sigit
menikahi seorang wanita Jawa, menjadi pelopor yang diikuti oleh
banyak masyarakat Lasem kemudian. Sependek pengamatan saya juga,
tidak terdapat gap mencolok antara kaum peranakan dan pribumi
di kota kecil ini. "Saya orang Indonesia!", kata Pak Sigit. Tentang pluralitas, masyarakat Indonesia rasanya
perlu belajar disini.
Museum
RA Kartini dan Sate Serapeh
Terlepas dari kontroversi kecil-kecilan di media sosial tentang
seberapa penting peran RA Kartini dalam gerakan emansipasi wanita
Indonesia, eksistensinya tetap layak kita kenang. RA Kartini
menyumbang sedikit banyak pemikiran tentang bagaimana seharusnya
wanita Indonesia diposisikan, mendobrak tatanan lama, dan terjun
langsung dalam praktek. Memoar-memoar tentang tokoh wanita ini
tersimpan rapi di museum RA Kartini, Rembang.
Museum
RA Kartini menempati bangunan bekas rumah dinas Bupati Rembang, yang
juga pernah digunakan beliau selama menjadi istri adipati Rembang di
masa itu, RM Adipati Ario Singgih Djojoadhiningrat. Dari museum ini
kami berhasil mengumpulkan fakta-fakta kecil terserak yang
membangun pribadi wanita ini. Menurut penjelasan pemandu museum,
Kartini merupakan putri adipati Jepara yang lahir dari rahim seorang
selir. Hal ini berimplikasi pada tata cara pergaulan antara Kartini
dengan ibunya. Dalam bercakap, sang ibu diharuskan bertutur dengan
bahasa jawa krama inggil,
sementara Kartini menggunakan tipe moko
yang
dalam tatanan bahasa jawa merupakan bentuk paling kasar.
Stratifikasi
bahasa berdasarkan status sosial ini menimbulkan trauma bagi Kartini
muda dan kelak menghasilkan gagasan ajaib. Dalam prosesi
pernikahannya kelak dengan adipati Rembang, Kartini menwajibkan
penggunaan bahasa belanda dalam semua rangkaian ritus sebagai bentuk
protes. Mengapa adipati Rembang, dengan segala kuasanya, memilih manut saja?
Konon, sang adipati demikian bangga karena dapat beristrikan seorang
Kartini yang kala itu telah terkenal di seantero tanah Jawa oleh
gagasan-gagasannya tentang wanita yang melamapaui zaman.
Surat untuk Abendanon yang tak pernah terkirim. Kartini didahului umur. |
Siapa sangka anak laki-laki yang didandani cantik ini kelak menjadi salah satu perwira TNI generasi awal yang paling disegani? |
Kartini selama mengandung anak pertamanya (dan terakhir. Kartini
meninggal empat hari lepas melahirkan) sangat menginginkan anak
perempuan. Sebagai permaisuri adipati Rembang, secara otomatis anak
yang lahir dari rahimnya akan meneruskan kepemimpinan berdasarkan
model pemerintahan feodal-monarki yang dianut masyarakat Jawa kala
itu. Berdasarkan keinginan itu anaknya yang lahir kemudian kerap
didandani mirip perempuan, meskipun terlahir sebagai laki-laki. Anak
laki-laki ini kemudian dikenal sebagai RM Soesalit Djojoadhiningrat.
Lepas dewasa Soesalit tidak melanjutkan kepemimpinan ayahnya, masuk
PETA dan sempat menjadi tangan kanan Jendral Soedirman.
Di salah satu ruangan kami disajikan sejumlah panel yang berisi
kutipan-kutipan surat Kartini kepada JA Abendanon yang belakangan
dihimpun dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Gagasan-gagasan
Kartini kambali mendirikan bulu roma. Saya kemudian iseng bertanya
kepada pemandu museum “Mbak, gedung ini nggak pernah dipakai buat
pengambilan gambar acara mistis abal-abal kan?”. Si pemandu
tersenyum dan memastikan hal tersebut belum pernah terjadi.
Eksploitasi berlebihan (dan layak diragukan kebenarannya) akan
eksistensi mahluk gaib dalam sebuah situs sejarah, yang kerap
ditayangkan di sebuah stasiun TV nasional telah sampai pada titik
mengkhawatirkan. Selain membodohi masyarakat, hal ini mencederai
semangat lestari yang dikandung sebuah situs.
Kami
mengakhiri tur di kabupaten Rembang dengan mencicipi Sate Serapeh.
Para pemandu museum merekomendasikan sebuah warung di selatan
alun-alun Rembang dengan nama menarik: Berry and Friends. Kami
mendapati bahwa sate serapeh disusun dari potongan-potongan daging
ayam lembut dengan aroma santan yang memikat lidah. Tentang
penjelajahan kami di Rembang, saya meniru jargon umum girlband
Cherrybelle: istimewa!!
Tanpa membuang waktu kami mengejar bis,
menuju Kudus..
Sekelumit
tentang Rembang (Bea):
Rembang
dan sekitarnya dapat dicapai dengan angkutan bus ekonomi dari
Surabaya dan Semarang dengan tarif Rp 20.000-25.000. Berpindah antar
kecamatan dapat menggunakan bis dua pintu dengan tarif sekitar Rp.
2.000-Rp. 5.000. Masuk museum RA Kartini
dikenakan biaya karcis Rp. 2.000. Satu porsi sate serapeh
dapat ditebus dengan harga sekitar Rp. 5.000, dengan harga tambahan
untuk varian lauk.
nice travel story, khasanah literasi yg kaya.
BalasHapuslasem emang terkenal perpaduan tionghoa-jawa nya ya.. mantab
makasih mbak :)
Hapus