Tentang ikon toleransi berabad di pusat kretek Jawa.
Jafar Shoddiq, seorang bumiputra
yang tengah menjaring ilmu di timur dekat, menyelamatkan tanah Palestina dari
sebuah wabah pada abad ke-16 M. Atas usahanya ini, oleh amir tanah
perjanjian beliau diberi wewenang untuk menguasai wilayah yang diinginkannya,
sebagai bentuk penghargaan. Jafar Shoddiq belakangan meminta wewenang ini
dipindah ke tanah kelahirannya. Tanah Jawa. Beliau kemudian mendirikan sebuah
mesjid bernama Al-Aqsa, meniru mesjid legendaris bernama serupa, untuk
mengenang eksistensinya di Baitul Maqdis. Daerah tempat mesjid ini berdiri
kemudian disebut Kudus, terinspirasi dari julukan Yerusalem, Al-Quds, kota yang
suci. Semua momen ini berputar pada kisaran tahun 1549 M. Siapa Jafar Shoddiq?
Belakangan beliau lebih dikenal sebagai Sunan Kudus, salah satu tokoh kunci
penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Bersama delapan juru dakwah lainnya lebih
dikenal sebagai Wali Sanga, wali yang sembilan. Sadar tidak sadar, kota Kudus
berputar dalam eksistensinya, dari zaman ke zaman.
Mendung menggelayut diatas komplek mesjid Al-Aqsa. |
Mesjid Al-Aqsa terletak di
perkampungan Kauman, tengah kota Kudus. Kami cukup beruntung karena sempat
mengejar sholat dzuhur tepat waktu di mesjid ini. Sejak bisa membaca, mesjid
Al-Aqsa, yang lebih dikenal sebagai Mesjid Menara Kudus, saya masukkan dalam
daftar favorit. Menaranya yang menganut langgam arsitektural Hindu menjadi penciri
kota. Merunut sejarahnya, menara ini merupakan salah satu cara bagi Sunan Kudus
guna membumikan ajaran Islam bagi masyarakat lokal yang umumnya menganut agama
Hindu. Versi lain menambahkan, sang wali demikian terkesan oleh kebaikan
seorang juru Weda yang memberinya beberapa teguk air. Jejak panjang
toleransi beragama memang telah lama terpatri dalam sejarah kota ini. Selain
menara mesjid yang ikonik, ragam tradisi kuliner turut pula terimbas. Alkisah,
Sunan Kudus melarang kaum muslimin untuk menyembelih sapi, pun dalam momen hari
raya ied kurban. Motifnya tak lain untuk menghindari luka di hati umat Hindu
yang mengkultuskan hewan ini sebagai kendaraan suci salah satu trimurti. Kerbau
direkomendasikan kemudian sebagai pengganti sumber protein hewani. Implikasi
yang paling nyata adalah tidak adanya menu tradisional Kudus berbahan daging
sapi. Belakangan Kudus menjadi legendaris oleh Soto Kerbaunya, dan tentu saja,
Soto Kudus yang menggunakan potongan daging-daging ayam sebagai komponen
utama.
Gerbang menuju tempat kanjeng sang pelopor terbaring abadi. |
Semangkok Soto Kudus yang disajikan lepas hujan itu ... |
Satu cela dalam trip ini adalah
tidak terpenuhinya tujuan awal dan utama kami. Kami menyambangi Kudus dalam
niat melihat dari dekat denyut industri sigaret di kota ini. Kudus memang
terkenal sebagai kota kretek, dan cukup bangga dengan julukan ini. Di
jalan-jalan yang kami lewati aroma tembakau dirajang amat tajam tercium. Sejak
tahun 1870 pengusaha-pengusaha Kudus memproduksi kretek, atas jawaban dari
perpindahan-perpindahan poros industri batik Jawa. Lepas dua abad, statistik
terakhir menunjukkan angka fantastis: 78,14% dari total angkatan kerja kota
Kudus terserap dalam industri kretek. Dengan landasan deret angka-angka tadi,
sepintas kami dapat melihat implikasi propaganda seputar PP Tembakau yang masih
hangat melantai bagi kota ini, meski secara pribadi saya belum menetapkan
sikap. Amat disayangkan, kurangnya riset terhadap niat dan medan membuat tujuan
ini gagal terpenuhi. Akhirnya kami sibuk berburu bis, menuju Semarang.
Terlarang. Gembok terpasang kukuh memastikan siapapun tidak menaiki menara sembarangan. |
Sekelumit tentang Kudus (Bea):
Kudus dalam trip kami
dapat dicapai dari Surabaya (dan Semarang) dengan bus ekonomi dengan tarif
lebih kurang Rp. 35.000. Sholat di mesjid Al-Aqsa atau mesjid Menara
Kudus tidak dipungut biaya (ya iyalah). Pengunjung tidak diperbolehkan
untuk naik ke puncak menara mesjid. Soto Kerbau dan Soto Kudus
dihargai pada kisaran Rp. 5.000-Rp. 10.000.
0 komentar:
Posting Komentar