“Kemenangan
di palagan Ambarawa menuntut kita memenangkan dipalagan pembangunan.”
Soeharto,
pada sebuah dinding di museum Isdiman.
“Kamu
harus percaya, insting saya selalu benar”, ujar Novada. Saya
mengangguk. Beberapa menit sebelumnya, kami terduduk didepan sebuah
jaringan mini market, sedikit kelelahan, hampir penat menunggu,
hingga tiba-tiba si mesum mengajak berdiri. Sebuah bus merah yang
kami cari kemudian melintas pada detik yang sama. Bus yang kemudian
membawa kami menuju Ambarawa. Barangkali kebetulan, namun insting
Novada memang seolah terbukti.
Salah satu bagian relief monumen Palagan Ambarawa |
Sedikit
yang terlintas tentang Ambarawa, awalnya, adalah museum kereta apinya
yang legendaris oleh lokomotif-lokomotif dan rel bergerigi. Atau Rawa Pening
yang dewasa ini dipenuhi gulma, atau senyap komplek candi Gedong
Songo. Belakangan, semua gambaran awal saya tentang Ambarawa tidak
mewujud. Trip ke Gedong Songo dan Rawa Pening yang kehilangan padu
antara jarak dan alokasi waktu kami batalkan. Dan yang lebih
menyebalkan: museum kereta api yang tutup. Lepas berjalan kaki
diantara panas yang membakar, kami hanya bisa meringis di hadapan
gerbang yang ditutupi bambu melintang. Museum sedang direnovasi.
Setidaknya, kami bisa menyimak sembilan lokomotif tua dari balik
pagar. Lumayan.
Lokomotif Uap sepuh yang masih aktif beroperasi. |
Hal lain
yang layak ditertawakan adalah, semua gambaran yang saya punya tadi
mendistorsi sebuah fakta penting mengenai sejarah kota ini. Hari
sebelumnya, Novada mengajak saya dan Marvey menyambangi sebuah pusat
perbelanjaan di Semarang untuk bersua dengan seorang kenalannya. Kami
memutuskan menunggu di sebuah toko buku. Diantara deret-deret kalam
terjilid, saya menemukan sebuah tulisan menarik terbitan Kompas
Gramedia mengenai sisi lain seorang Jenderal Besar Soedirman. Pada 12
November 1945 beliau dipilih melalui voting, amat berbeda dengan
model promosi jabatan dewasa ini. Sebulan kemudian, sang panglima
baru langsung dihadapkan pada salah satu pertempuran paling heroik
dalam sejarah: Palagan Ambarawa.
30 menit
lepas bus meninggalkan Semarang, kami mulai memasuki kota Ambarawa.
Satu per satu penumpang turun, menyisakan kami yang menengok ke kanan
ke kiri, sedikit khawatir kehilangan destinasi. Di sebuah pertigaan
kami meminta berhenti. Mata kami menangkap monumen Palagan Ambarawa
di salah satu pojokknya. Siang terik membuat monumen terlihat
lengang. Hanya ada seorang petugas tiket yang terduduk malas di balik
loket, dan beberapa anak-anak berseragam di depan gerbang. Kami
bergegas membeli tiket.
Kolonel Isdiman dan peringatan dari Soeharto. |
Di sudut
kiri, sebuah bangunan berdimensi mini berdiri. Museum Isdiman
namanya, mengenang seorang tokoh kunci yang tewas pada awal Palagan
Ambarawa. Museum ini menyimpan memoar-memoar seputar peristiwa saling
serang di bulan desember itu. Seragam-seragam militer, senjata, alat
perbekalan dipamerkan. Sayangnya tidak banyak keterangan yang
diserak. Informasi Palagan Ambarawa justru banyak saya temukan di
internet, melengkapi sisa ingatan masa sekolah. 12 Desember 1945,
para perwira TKR menyerbu Ambarawa yang dikuasai sekutu. Empat hari
tembak menembak, pada 15 Desember mereka berhasil merebut kembali
kota ini. Beberapa versi menyebutkan, adalah tentara sekutu yang
kehabisan perbekalan menyebabkan mereka menyerah dan memilih mundur
ke Semarang.
Vandal. Apalagi coretan tentang hubungan-hubungan, terkampunglah kalian. |
Pesawat yang berhasil di tembak jatuh TKR |
Matahari
yang menyengat diimbangi dengan baik oleh taman seputaran monumen
yang asri. Beberapa kendaraan sisa perang ditata apik, semisal
bangkai pesawat yang konon sukses ditembak jatuh oleh para TKR pada
hari-hari perang. Ambarawa barangkali perlu juga menasbihkan diri
sebagai kota lokomotif uap. Sejarah menutur, Ambarawa di masa
kolonial Belanda adalah sebuah kota militer. Stasiun kereta api
kemudian didirikan (tertua ke tiga di pulau Jawa) untuk memudahkan
mobilitas tentara. Pada 1976 stasiun dialih fungsikan menjadi museum
oleh PT KAI untuk melestarikan lokomotif-lokomotif uap. Dan salah
satu mesin kepala kereta ini terparkir pula di halaman monumen. Buatan Jerman. Dan ini yang mengecewakan, sebuah gerbong kayu
dibelakangnya yang pernah mengangkut para kusuma generasi awal
dipenuhi noda marker, pulpen, tipe-x yang tercecer di mana-mana.
Beruntung relief palagan tidak bernasib sama. Belajarlah tata krama,
manusia-manusia wau.
Sekelumit
tentang Ambarawa (Bea):
Ambarawa
dapat dicapai dari Semarang dengan waktu tempuh 30-45 menit
menggunakan bus. Biaya dalam kisaran Rp 6.000 (saya agak khawatir
kami ditipu, sila mencoba). Tiket masuk monumen Palagan Ambarawa
Rp 4.000. Beberapa destinasi di Ambarawa butuh biaya ekstra (seperti
wisata kereta berloko uap, Rp 50.000), kapan-kapan saya harus membawa
lebih banyak uang, barangkali.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus