Fiat Lux

Jumat, 20 Januari 2017

Thukul yang Tak Bisa Bilang “R”

02.54 Posted by Arasy Aziz , , , , 2 comments
Kapankah sebuah dialek, atau cara bertutur, menjadi patahan baru dalam lanskap sinema Indonesia? Beberapa tahun silam, Reza Rahardian menunjukkan pendekatan wicara yang brilian dalam perannya sebagai Habibie muda. Cara Habibie berbicara kerap kali terdengar khas; bahasa Indonesia dari rongga yang seolah terisi penuh, berat dan dihela-hela. Reza meniru, bahkan menduplikasinya, seolah ia Habibie yang baru saja kembali dari mesin waktu. Kita jadi cenderung mengabaikan fakta bahwa perawakan keduanya sama sekali tak mirip. Reza menjulang dengan hidung sedikit mancung, sementara Habibie tampak kate dengan hidung hampir tenggelam khas orang Timur. Pencerminan yang berhasil ini melahirkan puja-puji dan ketiban deretan penghargaan.

Namun sampai sejauh mana akting Reza yang memukau ini berkontibusi atas bangunan sinematurgi “Habibie dan Ainun”, film itu sendiri, secara keseluruhan? Baru saja, saya menemukan pembanding yang lain. Terhitung sejak 19 Januari kemarin, Istirahatlah Kata-kata tayang serentak di beberapa bioskop Indonesia. Sebuah kepulangan yang ditunggu-tunggu, mengingat film ini telah lebih dahulu dikenal publik lintas negara setelah diputar di sejumlah festival.

Sumber: rollingstone.co.id

Sentrum cerita Istirahatlah Kata-kata adalah sosok Wiji Thukul, khususnya dalam fragmen pelariannya ke Pontianak, Kalimantan Barat. Kita tahu, melarikan diri adalah konsekuensi dari kesenangannya untuk membikin aparatus Orde Baru terbakar, khususnya pada periode senjakala rezim. Senjatanya, sajak. Senjatanya adalah kata-kata.

Ketika Reformasi berlangsung pada tahun 1998, usia saya notabene masih 5 tahun. Saya hampir tak punya memori apapun tentang peristiwa akbar ini. Ingatan tentangnya sungguh tersamar, sebagian besar bersumber dari buku-buku yang saya baca di kemudian hari. Berbagai literatur cenderung menempatkan sejumlah nama babon politik sebagai pelakon utama peristiwa. Narasi sejarah menyederhanakan perwatakan hanya kepada nama-nama yang berulang tercetak di media massa.

Wiji Thukul selama beberapa waktu lebih banyak menghuni catatan kaki. Pada kenyataannya, ia adalah penghujam rezim yang konsisten. Mata kanannya pernah lebam akibat dipopor senjata ABRI kala turut mengorganisasi aksi mogok buruh PT Sritex di Solo. Pada era Orde Baru, “mogok” adalah sebuah gangguan sensitif atas hasrat stabilitas nasional. Ini adalah serangan telak atas usaha puluhan tahun menjinakkan gerakan buruh. Buruh-buruh Sritex kembali pada khittahnya, sebagai agen revolusi.

Thukul mendirikan Jaringan Kebudayaan Rakyat (Jaker), sebuah wadah pengorganisasian seniman-seniman dengan keberpihakan kepada akar rumput. Tidak sedikit diantara mereka, termasuk Thukul sendiri, datang dari kawula yang sama; buruh, kaum tani, rakyat miskin kota. Pada akhirnya, ia menggabungkan diri dan Jaker dengan organ politik yang lebih praktikal, Partai Rakyat Demokratik (PRD). Dan sebagaimana mogok, mendirikan partai politik adalah tindakan yang sama subversifnya. Kata subversif semakin identik dengan PRD seiring popularitasnya yang menanjak, hingga dihancurkan sementara oleh pergerakan jejaring militer Soeharto

Pasalnya adalah peristiwa 27 Juli 1996, yang diketahui sebagai tanggal penyerangan atas kantor pusat Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pada saat itu, partai dipimpin oleh Megawati Soekrnoputri. Menyandang nama Soekarno membuat banyak orang menaruh harap. Seolah ada kesepakatan umum untuk menjadikannya simbol, personifikasi atas harapan. Thukul, bersama PRD, berada dipihaknya. Tentu saja, sebagai partai yang notabene “didirikan” sebagai strategi politik pengusaan total a la Soeharto, tak semua anggota PDI sepakat dengan kepemimpinan Mega. Kerusuhan pada 27 Juli akhirnya pecah oleh serangan faksi yang nelangsa ini.

Ketika kekerasan di Jalan Diponegoro pecah, 3 orang tewas dan puluhan lainnya hilang. Tudingan provokator segera di arahkan kepada PRD. Thukul, dan kawan-kawannya, segera ditetapkan sebagai buronan.

Runtut cerita ini adalah konteks permulaan bagi film Istirahatlah Kata-kata.

Menariknya, Istirahatlah Kata-kata tidak segera dibuka dengan perkenalan langsung dengan Wiji Thukul. Yang justru ditampilkan pertama kali dengan jelas adalah sosok polisi yang sibuk menginterogasi keluarga Thukul. Pembawaannya tenang, dengan bahasa Jawa yang kalem, dan mulut sibuk mengunyah lemper kehijauan hingga tandas. Ruangannya tampak sempit dengan latar Fitri kecil, hanya tampak pundaknya membelakangi kamera, dibiarkan berdiri, terus menerus diam selama sesi tanya jawab. “Anak permepuan yang pemberani,” tutup si polisi hampir putus asa.

Bagi saya, scene ini memberikan titian yang menyambung jitu antara film dengan konteks yang tengah ia ekplorasi. Dalam situasi dikejar-kejar oleh intelejen rezim, dapat saya bayangkan semesta Thukul dan keluarganya tetiba menciut. Volume hidup mereka menyempit dalam kategori ruang dengan panjang, lebar, dan tinggi tersisa beberapa jengkal. Eksistensi mereka menjadi terbatas pada apa yang didefinisikan hanya melalui data-data dalam lembaran arsip. Area di luarnya adalah zona merah yang menolak sepenuhnya memberi rasa aman, sekaligus diacuhkan oleh penyelidik. Sebuah kurungan rumah kaca.

Ini di luar atmosfer menekan yang coba dibangun, kemudian dihidangkan kepada pemirsanya. Sampai berakhirnya adegan, sosok memasing tokoh tetaplah anonim. Yang dapat diidentifikasi dengan jelas hanyalah jaket kulit hitam lusuh, pertanyaan-pertanyaan menyelidik dalam nada datar, yang dapat dengan mudah diasosiasikan pada sosok intel melayu. Bagaimanapun, profesi ini adalah aparatus represi negara, barangkali dalam wajah terburuknya di bawah rezim yang otoriter.

Thukul baru hadir setelahnya, melihat ke luar jendela sebuah bus yang tengah melaju membelah hutan gambut. Wajahnya sengaja ditenggelamkan di bawah topi pancing, menghindari kontak mata dengan liyan. Masih membisu. Masih tanpa kata-kata. Hingga suaranya kemudian terdengar membahana dari balik layar lewat cara yang tak biasa.

Istirahatlah kata-kata
Jangan menyembur-nyembur
orang-orang bisu

Kembalilah ke dalam rahim
segala tangis dan kebususkan
dalam sunyi yang mengiris
Tempat oran-orang mengingkari
menahan ucapannya sendiri

Tidurlah kata-kata
kita bangkit nanti
menghimpun tuntutan-tuntutan
 yang miskin papa dan dihancurkan

Dibacakan terbata-bata, lirih oleh Gunawan Maryanto. Dengan nafas yang serba tertahan. Huruf-huruf “r” terdengar hampir absen, berbelok dan menggantung di udara, meniru lidah Thukul yang cadel. Saya mendadak dilanda rasa merinding hebat, tercekat. Separuh tubuh saya tampak terbang mengeluyur ke ruang bioskop, menunggu nafas saya yang sempat tertahan kembali. Pembukaan yang intens. Kata-kata yang mengalir serta-merta menjadi kalis dengan ketidakmampuan Thukul mengeja huruf “r” dengan baik. Dalam situasi ini, puisi-puisi Thukul yang ambil bagian di dalam naskah menjadi tersampaikan dengan baik. Terhindar dari bahaya menjadikannya sekadar sempalan. Pembacaannya terasa khidmat, sekaligus membangunkan.

Bagi saya, kecadelan ini adalah kunci mimikri Gunawan yang membuat sosok Thukul menjadi hidup, dan terasa kontekstual. Dengan acting yang hampir tanpa cela ditambah kemiripan fisik, Thukul justru diturunkan derajatnya sebagai manusia biasa dengan ketidakpurnaannya. Sebuah biopik tentang wajah orang kebanyakan.

Dalam banyak hal, ketepatan ini tentu tak dapat dicapai tanpa keterlibatan elemen lain. Perwatakan para tokoh diseputar Thukul, ditambah ketidakmampuannya mengucap “r” dengan tajwid yang benar,  mampu melahirkan humor tak terduga.  Alih-alih menjadi film serius yang menjaring kantuk, Istirahatlah Kata-kata sesekali menghadirkan lelucon yang membuat saya betah untuk tetap terjaga; renyah, alami dan tidak berlebihan. Simak misalnya, percakapan antara Thukul dengan seorang mahasiswa tempatnya menumpang. Dalam momen berdua, mereka memperbincangkan aktivitas membaca yang membikin Thukul dikejar-kejar. “Makanya saya ngga usah membaca,” ujar si mahasiswa sembari tertawa berderai, hingga berhenti sendiri karena respon Thukul yang dingin. Momen canggung ini, sebaliknya, membikin seluruh penonton yang bersama saya tak dapat menahan tawa.

Pilihan pengambilan gambar yang hampir selalu close-up mampu menangkap perubahan mimik dan mikroekspresi Gunawan yang terus terjadi dalam berbagai situasi. Ada distingsi yang jelas sekaligus tersamar ketika Thukul berada di tengah kawan-kawannya dibanding kala berdekatan dengan sosok perwira yang tengah bercukur.  Pada situasi yang satu, ada keberanian dan rasa aman. Pada situasi yang lain, ia adalah sosok yang ketakutan. Teramati hanya lewat getar bibir di bawah gigi tonggos (buatan)nya.

Istirahatlah Kata-kata pada akhirnya adalah pembalikan serius atas arah pengkultusan yang selama ini berkelindan di seputar nama Thukul. Sejak hilang hampir 20 tahun silam, ia telah menjelma menjadi sosok yang abstrak dan mengawang. Absensinya membuat saya dan jutaan generasi millennial Indonesia yang lain hanya mampu mengenalnya dari sajak-sajaknya yang melulu dibaca ulang. Di kafe-kafe hingga diatas aspal panas, di tengah aksi. Menerbangkan karya-karya Thukul dalam derajat nubuat, sementara hal-hal yang diperbincangkan di dalamnya kadang-kadang remeh dan teramat dekat. Gambaran dari wajah Indonesia, wajah akar rumput, suara yang tak terdengar pada sebagian besar periode waktu. Lewat medium layar perak, Wiji Thukul mendadak terasa dekat saja. (*)

Istirahatlah Kata-kata
Sutradara    :    Yosep Anggi Noen
Pemain       :    Gunawan Maryanto, Marissa Anita, Eduard Manalu
Rating        :    9/10

2 komentar: