Fiat Lux

Minggu, 23 Juli 2017

Dunkirk: Tubuh Abu-abu Sang Ruang-Waktu-Bunyi

00.02 Posted by Arasy Aziz , , , No comments

Sumber: Joblo

Kita semua tahu, ada cela dalam 20 tahun karir penyutradaraan Christopher Nolan yang mengilap dan benderang itu. Di dalam 20 tahun karir penyutradaraan yang mengilap dan benderang itu, Christopher Nolan belum pernah sekalipun mencicipi anugerah piala Oscar.

Padahal sang sutradara Inggris sesungguhnya telah membuktikan diri sebagai salah satu kreator film terhebat di abad 21. Ia adalah representasi terkini dari kecerdasan dan sentuhan endemik seorang ateur yang berhasil berdamai dengan tuntutan kapital Hollywood. Di dalam setiap film Nolan kita akan menemukan penciri yang khas; penokohan yang berpusat pada karakter yang kuat namun tak kunjung tuntas dengan dirinya sendiri. Narasi yang tidak linear, penuh lapisan, dengan tone gelap dan set yang kolosal kemudian disusun dengan berpusat di dalam pakem penokohan tadi.

Suatu hari nanti, ketika kita diuji dengan film-film Nolan yang disajikan tanpa kredit sekalipun, kita barangkali akan dengan mudah berujar, “ini film Nolan.”

Saya sendiri telah memutuskan ‘mengimani’ Christopher Nolan sejak The Dark Knight (2008). Siapapun pasti bersepakat, bahwa karakterisasi Batman yang dihadirkan Nolan di dalam film itu, beserta prekuel dan sekuelnya, telah menghadirkan standar yang sangat tinggi bagi film-film pop superhero. Pertarungan Batman dan Joker tidak dihadirkan secara kontras sebagai wakil-wakil sisi gelap dan terang kota Gotham. Batman ditelanjangi sebagai manusia biasa dengan sisi-sisinya yang paling rikuh, yang justru membantunya mengarungi krisis.

Bagi saya, The Dark Knight adalah sentuhan dengan level intelektualitas sebuah nubuat. Hingga hari ini, DC Cinematic Universe sebagai ibu kandung semesta Batman sendiri tampak kepayahan untuk menyamai pencapaian artistik film ini. Dua film DCU yang dirilis tahun 2016 bahkan flop di pasaran dan di ujung pena kritikus.

Di dalam karyanya yang lain, Nolan kerap meminjam trivia-trivia dari ragam semesta sebagai bahan mentah untuk dikembangkan menjadi landasan bertutur. Di dalam Inception (2010), Nolan mengeksploitasi lapisan-lapisan di dalam alam bawah sadar manusia yang berproyeksi di dalam mimpi. Struktur mimpi kemudian dimanfaatkan sebagai instrumen untuk melakukan tindakan spionase dan sabotase tingkat tinggi. Para infiltrator menyusup ke mimpi korban untuk menanamkan atau mencuri ide tertentu. Empat tahun kemudian, Nolan menggubah masterpiece-nya yang berikutnya; Interstellar (2014). Tak lain sebuah upaya ambisius menyederhanakan algoritma dan hukum rumit di balik ruang dan waktu ke dalam kisah perjalanan antar galaksi.

Namun demikian, kedua film yang saya sebutkan belakangan rupanya belum mampu menghadirkan pengisi cela dalam 20 tahun karir penyutradaraan Christopher Nolan yang mengilap dan benderang itu. Inception berhasil masuk nominasi film terbaik Oscar pada tahun 2010, namun harus takluk di tangan King’s Speech. Sementara Interstellar justru tidak masuk sama sekali di dalam daftar nominee film terbaik tahun 2014. Banyak orang menuding kerumitan cerita dan temanya-lah yang menjadi biang kegagalan. Padahal setahun sebelumnya, Gravity (Alfonso Cuaron, 2013) yang notabene bergenre serupa berhasil menjadi penantang serius dalam gelaran Oscar.

Nolan dipaksa untuk mencoba sekali dua lagi. Betapapun buruknya integritas Oscar hari ini, saya yakin, diam-diam Nolan memimpikan kehadiran salah satu piala itu di dalam lemari koleksinya. Dan pada tahun ke-20 karir penyutradaraannya, pemecahan rekor itu terasa tinggal menunggu waktu. Kali ini, Nolan mencoba “berdamai” dengan Oscar dengan menggarap film yang ramah juri.

Jalan itu diretas melalui resital operasi penyelamatan terbesar selama Perang Dunia II, di pantai Dunkirk, Prancis, tahun 1940.

Sumber: Indiwire

Evakuasi Dunkirk, Evakuasi Oscar?  
Dalam kurun 1939-1945, fokus seluruh dunia terpusat di Eropa, demi menyaksikan salah satu peperangan terburuk dan terbesar sepanjang masa.

Upaya ekspansi besar-besaran Jerman di bawah NAZI dan Adolf Hitler ke seluruh Eropa telah memicu kemarahan bangsa-bangsa lain, memantik Perang Dunia II. Kita tahu pada akhirnya perang ini melahirkan sekutu, yang terdiri atas Amerika Serikat, Inggris, Prancis dan Uni Sovyet, sebagai pemenang. Perlawanan Jerman berakhir seiring dikepungnya Berlin yang berujung bunuh diri Hitler, pada 1945. Namun selama 6 tahun peperangan, dewi fortuna lebih sering berpindah-pindah pihak. Keberuntungan di dalam Perng Dunia II tidak melulu menetap dan bernaung di bahu salah satu yang terlibat. Perpindahan itu dapat saja terjadi dalam sekali pembalikan koin.

Pada pertengahan 1940, pasukan sekutu yang pada saat itu masih belum diperkuat Amerika, mengalami kekalahan demi kekalahan di sejumlah garis depan Perang Dunia. Misi menggagalkan upaya Jerman mengokupasi Belanda justru menjadi awal malapetaka. Pasukan sekutu belum tiba tiga perempat jalan, ketika bala tentara Jerman telah jauh melewati perbatasan negara Belanda, bahkan terus meringsek hingga ke selatan Belgia. Di perbatasan , terjadi pertempuran antar kedua kubu yang dengan mudah dimenangkan Jerman.

Upaya serangan balik yang disusun kemudian pun tidak membuahkan hasil. Jerman justru semakin meringsek ke Selatan, mengepung pasukan sekutu yang tersisa di Dunkirk, sebuah kota pantai di Prancis utara. Para tentara yang telah kalah secara moril itu terjebak antara laut lepas di balik punggung mereka, dan moncong senjata pasukan Jerman. Sesekali, pesawat tempur Jerman pun membombardir pantai dengan hujan bom. Pilihannya adalah menyerah atau menunggu bala bantuan dari tanah air mereka, Inggris, yang notabene berada di seberang pantai Dunkirk. Konon pada hari-hari yang cerah, pucuk-pucuk daratan Inggris Raya bahkan sesekali terpantau di kaki langit.

Rumah yang terasa dekat itu, ibarat jutaan liter air asin bagi mereka yang terjebak dahaga di tengah samudra. Dekat, namun membunuh harapan perlahan.

Menariknya, tentara sekutu justru memilih mengambil risiko dari harapan yang terbunuh perlahan itu. Alih-alih menyerah kepada pasukan Jerman, sekutu memilih untuk mengevakuasi seluruh armada yang tersisa di pesisir Dunkirk ke seberang lautan, kembali ke Inggris. Padahal di pantai, menyemut hampir 400.000 perwira yang hampir kehilangan daya hidup. Pertanyaannya, bagaimana manusia sebanyak itu dapat diangkut menyeberangi lautan?

400.000 adalah jumlah yang signifikan untuk dirayakan di dalam sebuah pesta besar di Berlin, sementara di seberang lautan, bangsa Inggris akan menanggung malu seumur hidup.

Pada titik ini, keajaiban pun terjadi. Dari kaki langit, dari tempat di mana daratan Inggris diukir Tuhan, perlahan muncul kapal-kapal nelayan. Pada mulanya satu, dua, kemudian menjadi ribuan jumlahnya, memenuhi perairan dangkal pantai Dunkirk. Hujan bom dan senapan masih terdengar sesekali, sementara para prajurit yang tersisa itu melangkahkan kakinya tergesa, menyeret seragamnya yang basah, menggapai kapal-kapal nelayan. Satu demi satu mereka naik, sebelum kapal memutar kemudi kembali ke tanah Inggris. Pantai Dunkirk akhirnya kosong sama sekali.

Sumber: Indiwire

Christopher Nolan, 77 tahun kemudian,  kemudian berusaha menerjemahkan narasi kolosal lagi maha dramatis di pantai Dunkirk itu ke layar perak.

Pekerjaan rumah pertamanya adalah bagaimana menangkap emosi peristiwa evakuasi di Dunkirk dengan baik dan menyeluruh. Dunkirk, bagaimanapun, adalah contoh peristiwa yang dalam sekejap mengubah paras Perang Dunia II. Perang itu tak lagi menjadi adu kekuatan antara militer dengan militer. Perang itu tetiba menjadi miliki seluruh manusia manapun yang berakal, tanpa membedakan mereka yang mengenakan seragam dan mereka yang tidak. Di dalam peristiwa Dunkirk terjadi dialog antara latar sosiologis yang berbeda di dalam satu waktu. Antara yang perwira dan yang sipil. Antara yang korsa dan yang dinamis. Ada arketip, sebuah pola kejiwaan umum, yang dapat menjelaskan setiap lelaku dan drama yang terjadi di pantai itu.

Pola kejiwaan yang berdialog di antara subyek-subyek itulah yang kemudian dieksploitasi di dalam film Dunkirk. Pada permulaan film, Nolan telah lebih dahulu membagi dan mengidentifikasi masing-masing fragmen dalam tiga perspektif, berdasarkan tiga kategori ruang, waktu, serta sedikit banyak latar sosiologis sang tokoh. Sudut pandang itu kemudian dijahit satu persatu mengisi layar di dalam sebuah narasi sepanjang 106 menit. Nolan kembali menggunakan pakem yang telah dianutnya dengan setia; menciptakan plot berlapis yang disusun tidak linear. Persepsi mengenai waktu sengaja ditumpuk dan dimain-mainkan, terkadang dipepatkan dan terkadang direntang lebih lebar, menciptakan kesan disorientatif. Pada pertengahan film, pembagian waktu tak lagi relevan, mulai beririsan, hingga melebur sepenuhnya.

Nolan kemudian bermain-main dengan multisiplitas ruang untuk menyempurnakan interpretasi yang tidak bersetia terhadap waktu itu. Melalui pendekatan ini, Nolan beritikad untuk tidak berlebihan menggunakan pakem film-film perang blockbuster yang dipenuhi ledakan, reruntuhan palsu dan desingan peluru. Efek-efek generik itu justru digantikan dengan shot-shot lanskap pada lingkungan yang berbeda-beda; di pantai, di lautan, dan di udara. Nolan memaksimalkan kapasitas kamera IMAX 15/70 mm dan Panavision 65 mm untuk menangkap detil-detil, dan lebih jauh lagi, memungkinkan keterlibatan belarasa pemirsanya atas situasi petempuran yang sejati.

Ledakan dan desingan peluru kemudian dimunculkan secara terukur sebagai jembatan antara ruang-ruang, yang lapang ke dalam semesta yang serba sempit dan gaduh. Bukan sekali adegan-adegan para tokoh yang terjebak di dalam ruang sempit dan mengancam nyawa dihadirkan. Ledakan terjadi sekadar untuk menenggelamkan kapal-kapal atau pesawat yang sepenuhnya asli. Ruang-ruang sempit yang perlahan terisi air, atau tampak pengap itulah, yang menghadirkan teror perang sesungguhnya di dalam Dunkirk. Sebuh klaustrofobia yang multi dimensi.

Sumber: Indiwire

Dalam kekacauan memukau ini, hadirlah elemen ketiga yang menjadikan Dunkirk paripurna; bunyi. Pada salah satu wajahnya, Dunkirk adalah film yang lebih banyak berkutat dengan kesenyapan. Dengan script setebal 76 halaman, tidak banyak dialog yang berlalu-lalang sepanjang durasi film. Adegan demi adegan lebih banyak diisi dengan kekosongan, suara-suara alami, sebelum ditimpali scoring gubahan Hans Zimmer. Nama yang disebut belakangan, adalah kolaborator setia Christopher Nolan yang sekali lagi menunjukkan kelasnya, melalui Dunkirk. Salah satu favorit saya adalah ketika filler dari string section menggantikan bunyi derap langkah seorang tokoh dan kawannya yang berlarian membawa tandu, semata-mata agar dapat terangkut kapal yang hendak bertolak ke Inggris.  Bunyi menggantikan emosi yang kadang tak tertangkap ketika tokoh-tokoh itu berlari membelakangi layar.

Bagi saya, sang ruang, waktu dan bunyilah yang justru menjadi tokoh utama di dalam Dunkirk. Tanpa bermaksud mengenyampingkan acting brilian Tom Hardy, Mark Rylence, Fionn Whitehead, bahkan Harry Styles, namun keseluruhan cerita Dunkirk seseungguhnya berpusat pada ketiga elemen tadi. Ruang, waktu dan bunyi-lah yang memungkinkan film ini tetap bercerita dengan baik, tanpa satupun tokoh dengan karakter yang kuat sebagai episentrum cerita, sebagaimana film-film Nolan sebelumnya. Ketiga elemen itu telah menjelma menjadi satu karakter tersendiri, satu tubuh imajiner, sebagai pengontrol sekaligus penutur dari balik layar.

Ketiadaan protagonis utama menjadikan Dunkirk sekaligus berhasil menghindarkan diri dari jebakan lain film-film perang, yakni heroisme penuh pretensi dan motif terselubung, Kita tahu bahwa peristiwa Dunkirk sendiri adalah sebuah peristiwa yang dikatalisasi oleh orang-orang yang hampir kalah dan menyerah. Upaya evakuasi itu tak lain untuk mencegah Inggris dipermalukan lebih jauh. Filmya kemudian bersetia kepada realitas ini, dengan menggambarkan wajah asali dari mereka terdesak di dalam peperangan. Sebagai serigala bagi manusia yang lain. Di pantai Dunkirk, setiap individu sibuk berusaha menyelamatkan dirinya sendiri, menggunakan segala cara.

Keacuhan akan nasib kolektif itu tidak hanya tampak di dalam wajah tokoh-tokoh pentingnya, namun di dalam ribuan pemeran tambahan asli yang disiapkan Nolan untuk menyemuti Dunkirk. Tentu saja butuh kemampuan pengarahan yang luar biasa untuk memastikan seluruhnya dapat menghadirkan keresahan yang sama. Mereka harus menampilkan ekspresi yang seragam, semisal, ketika ratusan diantaranya berjalan berpepatan di dermaga, lalu mendengar suara pesawat tempur, mendongak ke langit, menunduk, lalu berjalan kembali seolah tidak terjadi apa-apa. Ribuan orang menampilkan paras yang sama, yaitu kepasrahan akan kehadiran ajal yang datang sewaktu-waktu.

Penolakan konsisten Nolan pada narasi yang kelewat heroik akhirnya ditunjukkan dengan melekatkan sifat itu kepada sosok perwira Prancis tanpa nama yang terus-menerus berhasil menyelamatkan tentara Inggris dari kematian. Si Prancis akhirnya mengenakan identitas curian dari perwira Inggris yang telah wafat, dengan nama Gibson. Berkali-kali, “Gibson” mengabaikan keselamatan dirinya untuk menyelamatkan orang-orang, yang belakangan justru berusaha membunuhnya. Selepas kematiannya yang benar-benar, Gibson akhirnya segera terlupakan. Lelucon mengenai heroisme hadir pula pada scene yang lain, ketika seorang bocah yang notabene tidak banyak melakukan apa-apa sepanjang film, justru menerima sekolom kecil penghargaan di surat kabar.

Pun demikian dengan pihak Jerman, yang sepanjang film dihadirkan tanpa wajah. Kehadirannya semata-mata diwakili oleh pesawat tempur dan peluru. Ketiadaan sosok antagonis aktual menghindarkan Dunkirk dari narasi biner antara yang jahat dan yang baik. Di dalam narasi resmi mengenai Dunkirk, Jerman sesungguhnya memiliki peran besar dalam upaya evakuasi 400.000 orang yang terjebak itu. Dari Berlin, pasukan Jerman diperintahkan untuk berhenti 8 mil dari garis pantai, demi memberikan kesempatan bagi tentara sekutu untuk menyelamatkan diri. Serangan dilancarkan semata-mata berbentuk gertakan sesekali. Keputusan ini konon diambil Hitler untuk menunjukkan itikad baik kepada Inggris, agar mau bernegosiasi. Catatan kaki seperti ini hampir tak dapat dinilai dalam perspektif baik-buruk, kecuali diarsipkan secara abu-abu.

Demikianlah, “identitas hanya untuk orang mati,” ujar Sartre suatu ketika. Dalam konteks Dunkirk, heroisme itu akhirnya tidak dapat diklaim oleh siapapun, bangsa manapun, karena hampir-hampir tidak dapat dikenali. Ia tidak memiliki identitas.

Bagi saya, pilihan politik Nolan ini menjadi signifikan apabila kita mempertimbangkan situasi politik dalam negeri negara asalnya selama periode produksi film ini. Pada tahun 2016, rakyat Inggris melalui sebuah referendum memutuskan untuk keluar dari keanggotaan Uni Eropa. Sekalipun lebih banyak dilatari oleh motif ekonomi, para konstituennya pun tergerak oleh sentimen irasional yang menyerempet ujaran supremasi kebangsaan Inggris. Ada ketakutan diam-diam dari gelombang pengungsi dan orang-orang Eropa daratan. Satu tambahan film heroik agaknya hanya akan menjadi bahan bakar segar bagi pertumbuhan populisme itu. Pergeseran selangkah akan menjadikannya iklan layanan masyarakat bagi negara tempat film itu diproduksi.  Dunkirk kemudian menunjukkan, bahwa di dalam peristiwa yang gemilang itu, selalu ada ruang bagi rasa gentar dan inferioritas. Ada sisi-sisi manusiawi, sikap pengecut demi bertahan hidup, yang akan menahan dagu siapapun agar tidak mendongak kelewat tinggi.

Segala segi itu telah membawa Nolan pada satu tingkat yang lebih tinggi. Ia telah membuktikan diri sebagai sutradara yang tidak hanya dapat bermain-main dengan kejiwaan manusia dan eksploitasi kegilaan. Lebih dari itu, Dunkirk justru berhasil melakukan personifikasi terselubung terhadap pengetahuan yang selama ini a priori, hal-hal yang eksistensinya hanya dapat dipersepsikan sebelum panca indera digunakan. Ruang, waktu, dan bunyi telah menjelma menjadi satu tubuh politis yang menyuarakan sebuah tuntutan akan kewaragaan dunia yang tidak terjebak pada nasionalisme sempit. Bahkan pada tahap ini, perdebatan mengenai pantas tidaknya Dunkirk dan Christopher Nolan diganjar Oscar tak lagi benar-benar penting. Ketika sebuah entitas telah berada pada ujung lelaku penciptaan, kita tahu sebutan apa yang selayaknya disematkan kepadanya. Kita tahu sebutan apa yang selayaknya disematkan pada Christopher Nolan kali ini. (*)

Dunkirk
Sutradara     : Christopher Nolan;
Pemain        : Fionn Whitehead, Harry Styles, Tom Hardy, Mark Rylence;
Rating          : 10/10

0 komentar:

Posting Komentar