Fiat Lux

Rabu, 04 Januari 2017

Di Atas Kapal Kertas

02.58 Posted by Arasy Aziz , 2 comments

Saya gelisah. Saya gelisah sendirian di atas KM Tidar yang bergerak perlahan membelah laut Banda. Sebidang laut yang tak kurang 500.000 km2 luasnya, dengan titik terdalam mencapai 6,5 km. Menoleh ke kanan, lautan biru. Menoleh ke kiri pun, hanya ada jutaan kubik air dalam jarak pandang tak hingga. Jam digital di smartphone saya telah menunjukkan pukul 8 pagi, namun belum ada tanda-tanda kapal akan segera merapat. Belum tampak daratan.

Sekali lagi saya merogoh dompet, mengecek detil-detil perjalanan yang tercantum pada tiket kapal yang terselip di dalamnya. “Sialan,” ujar saya dalam hati, “jam segini harusnya saya sudah sampai,” mengacu pada waktu ketibaan ideal yang tertera di sana.

Umpatan ini bahkan telah meluncur berjam-jam sebelumnya, terus kembali ke selisih bibir saya ulang berulang. Pun tindakan sia-sia mengecek tiket perjalanan. Mengeluarkannya, sebentar membiarkan mata saya meneliti, kemudian memasukkannya kembali. Di atas KM Tidar, tindakan-tindakan sederhana nan repetitif semacam itu pun tetiba jadi bermutu. Sekurang-kurangnya bagi upaya mengusir jenuh. Lebih dari 10 jam telah berlalu sejak kapal meninggalkan pelabuhan Tual tempat saya naik. Kesalahan terbesarnya, saya tak membawa satupun buku untuk dibaca sebagai teman perjalanan.


Bagaimanapun ini adalah kali pertama, setelah belasan tahun saya kembali menumpang kapal Pelni. Dalam selang waktu yang lama itu, saya lebih banyak bepergian dengan moda transportasi yang lain, menawarkan durasi perjalanan yang lebih efisien. Semisal ketika menuju Tual, kota tempat saya bekerja beberapa bulan silam. Dalam situasi normal, perjalanan pulang pergi Malang-Ambon-Tual dapat ditempuh dengan pesawat udara. Total durasi bersih perjalanan kurang dari 3,5 jam.

Namun kali ini sedikit pengorbanan  perlu dilakukan. Jauh hari saya memutuskan mengalihkan budget transportasi udara ke dalam perjalanan dengan kapal laut. Legenda dari sebuah kepulauan terasing di tengah laut Banda telah mengerek sesuatu dari sanubari saya. Mendengar namanya berulang di dalam benak, berkali-kali mendirikan bulu roma. Sebuah perasaan rindu akan tanahnya seumur hidup tak pernah terjejak. Fernweh.

Banda Naira memanggil saya pulang. Kebosanan ini akan segera terbayar beberapa jam lagi.

***

Malam sebelumnya di pelabuhan Tual.

Saya gelisah. Sebuah kegelisahan permulaan yang menjelaskan kegelisahan yang lain. KM Tidar yang hendaknya membawa saya ke Banda Naira tak kunjung datang. Terlambat berjam-jam dari jadwal keberangkatan yang ditetapkan pukul 17. Beruntungnya, kali ini saya gelisah tak sendirian. Larson, tukang ojek kawan saya di Tual, berkali-kali berusaha menenangkan. Ia telah menemani saya sejak siang hari, dan belum beranjak. “Wajar ini. Biasanya kapal memang belum datang jam segini.”

Saya tersenyum padanya, berterima kasih atas upayanya. Diam-diam, tatapan mata saya kembali menaut kepada dermaga pelabuhan. Masih belum ada tanda-tanda kapal merapat.


Kegelisahan saya yang berkali-kali ini agaknya beralasan, mengingat betapa rencana perjalanan saya di Banda Naira terentang pada waktu yang amat terbatas. Kurang dari sehari semalam, terhitung sejak kapal tiba (apabila tepat waktu) di pelabuhan Banda di hari Jumat, hingga waktu keberangkatan kapal Pelni berikutnya yang akan membawa saya ke Ambon pada Sabtu subuh. Di luar itu, tak ada alternatif kendara lain yang mampu bersinergi dengan jadwal pesawat saya di hari Minggu.

Saya sempat berharap pada pilihan kapal cepat Banda-Ambon yang tersedia dua kali seminggu. Salah satunya akan berangkat di hari Minggu dengan estimasi waktu 5 hingga 6 jam. “Tepat sekali!”, cetus saya, sebuah kegembiraan yang terlalu dini. Belakangan saya ketahui, kapal cepat diberangkatkan sekira pukul 10. Artinya, saya akan berkejaran dengan waktu ketika check in. Belum lagi menimbang lokasi pelabuhan tujuan di Tulehu, sebuah kecamatan yang berjarak 1 jam dari kota Ambon. Pilihan ini saya kubur dalam-dalam. Mungkin lain kali.

Saya mulai khawatir tak dapat menjangkau seluruh detil Banda Naira yang jauh bergelayut di dalam imaji. Setidak-tidaknya pada apa-apa yang telah saya sesuaikan dengan waktu yang amat terbatas. Keseluruhan kepulauan, saya sadari sejak semula, tentulah tak akan cukup dijelajahi dalam sehari.

Pukul 9 kurang, suara parau teramat kencang tetiba membelah udara dari laut sebelah utara kota Berulang tiga kali, mengencang dan terasa semakin dekat sumbernya. Suara terompet kapal. Terbit cahaya dari wajah-wajah putus asa calon penumpang yang barangkali telah menunggu jauh lebih lama dari saya. Memutuskan bangun dari duduk panjang, lalu mulai menyiapkan barang bawaan. Sebagian yang lain, termasuk saya dan Larson, memilih mendekat ke celah yang sedikit terbuka di dinding pelabuhan, memberi vista pada lautan yang gelap. “Kapal so datang,” ujar Larson. Dimulai dari haluannya, lalu anjungan tujuh lantai yang terang benderang dan tampak kukuh mencakar langit. Kontras dengan latar langit malam di belakangnya yang pekat. Antusiasme saya akan perjalanan ini segera terisi kembali. Beberapa menit kemudian, seluruh calon penumpang akhirnya dipersilakan untuk naik ke kapal.


Pada momen ini, nuansa di seputar saya tetiba menjadi sentimental. Sebelum masuk ke ruang tunggu, saya berbalik kepada Larson, yang sedari tadi tampak tenang-tenang saja, untuk meyampaikan salam perpisahan. Entah kapan kami berdua dapat bertemu kembali, mengingat perjalanan ke Tual barangkali adalah jenis perjalanan sekali seumur hidup. Melalui lampu pelabuhan yang menerangi wajahnya samar-samar, saya melihat kedua mata Larson memerah. Ia menangis diam-diam.

“Saya menyesal nda bisa ngasih kamu bekal apa-apa,” ujarnya lirih. Saya berusaha meyakinkan ia bahwa bekal yang saya bawa lebih dari cukup. Kami berjabat tangan erat. Sosok di hadapan saya ini, bagaimanapun, telah menjadi kawan setia selama perjalanan saya di Maluku Tenggara. Rutin menjemput saya ke bandara, lalu mengantar ke kantor-kantor tanpa bosan. Kadang-kadang tanpa diduga, ia membawakan saya sekantung jambu air dari pohon belakang rumahnya. Darinya, saya memperoleh sudut pandang yang sederhana, namun layak simak, tentang hidup di kepulauan Kei. Sosok polos yang, bersama keluarganya, lebaran idul adha tahun silam luput menyantap daging kurban. Beberapa bulan terakhir, ia adalah tokoh penting dalam cerita saya.

Usai memberikan ongkos untuk ojeknya hari ini, saya mempersilakan dia untuk pulang terlebih dahulu. Sekali lagi ia mengingatkan agar saya berhati-hati dengan barang bawaan, sebelum berlalu pergi. Di tengah kerumunan yang berdesakan, ia menyempatkan diri untuk berbalik, lalu melambai kembali. Saya membalasnya dengan anggukan kecil dan senyum selebar mungkin. Sebentar kemudian saya  telah melangkah menyambut dermaga. Pintu masuk kapal terbentang beberapa meter di depan sana.

Di muara tangga naik ke KM Tidar, saya mendadak harus berjuang. Ketiadaan sistem antrean yang jelas menciptakan pertempuran kecil-kecilan antara ibu-ibu brutal, manula, kardus-kardus serta barang bawaan yang oversize, dan saya terjebak ditengah-tengahnya. Dorong mendorong terjadi, kadang-kadang dalam tenaga yang cukup membuat nyeri. Butuh usaha ekstra agar tetap dapat bernafas dengan baik, sembari tetap awas atas keselamatan ransel saya. Kalau-kalau ada anak kecil yang terjepit di tengah pun perlu diantisipasi. Situasi kaeos ini bahkan tak dapat ditangani oleh seorang perwira Angkatan Darat yang, ganjilnya, tengah berjaga. Amukannya tenggelam, menjadi tak signifikan di tengah seruan riuh rendah bernada putus asa dalam bahasa lokal. Lima menit kemudian, akhirnya saya berhasil membebaskan diri dari kerumunan. Di pintu kapal, seorang Anak Buah Kapal (ABK) menunggu sembari sesekali mengawasi tumpukan manusia di dermaga. Kepadanya saya bertanya lokasi ruangan tempat saya menginap.


Saya sedikit beruntung karena telah membeli tiket jauh sebelum tanggal keberangkatan, sehingga memperoleh kamar di atas KM Tidar. Terhitung sejak pertengahan tahun 2015, Pelni sejatinya memberlakukan sistem baru dengan menghapus kelas-kelas di atas kapal. Kini, tiada lagi hierarki berbentuk kelas 1, 2, 3 dan Ekonomi melalui penggolongan kamar tidur. Namun, masih ada celah kenyamanan. Beriring sistem kelas tunggal, diperkenalkan mekanisme ticketing baru dengan prinsip first come, first serve. Mereka yang membeli tiket lebih dahulu berkesempatan tidur di ruangan yang dulunya merupakan kamar kelas 1, 2 maupun 3.  Sementara mereka yang membeli tiket belakangan masih harus mengadu diri untuk mencari kasur di kabin ekonomi yang serupa barak. Alasan sesungguhnya di balik pertempuran kecil di dermaga. Apabila tak mendapat tempat, pojok manapun yang tersisa dan tampak luas terpaksa diokupasi untuk sekadar meluruskan badan. Gelaran tikar, tubuh-tubuh manusia yang terlelap tenang di tengah tumpukan barang adalah pemandangan yang jamak di berbagai sudut kapal.

Di kamar, saya berbagi ruang dengan seorang pemuda yang turut naik dari pelabuhan Tual, dengan tujuan Ambon. Beberapa menit kemudian, dua orang lain yang ia sebut adiknya masuk ke ruangan mengisi kasur-kasur yang kosong. Sekalipun, tiket masing-masing menunjukkan kategori yang berbeda. Kedua orang yang menyusul tampak jauh lebih muda. Salah satunya seorang pemuda lain, mengenakan singlet dengan  potongan leher rendah. Yang lainnya adalah seorang gadis dengan paras khas kepulauan. Kami menyempatkan bercakap sebentar, mengajukan pertanyaan retoris tentang tujuan masing-masing.

“Saya turun di Banda Naira.”

Di antara ketiganya, si gadis mengaku pernah menghabiskan seminggu dua di sana, dalam rangka Kuliah Kerja Nyata. Ia mulai bercerita dengan antusias tentang tempat-tempat yang ia kunjungi. Sebagian besar diantaranya telah masuk daftar saya, sebagian yang lain baru pertama kali saya dengar namanya. Tak luput peringatan akan sejumlah hal yang pantang dilakukan selama berkelana di Banda. “Kalo naik tangga-tangga, nda boleh mengeluh.” Tangga-tangga yang ia maksud, mengacu pada situs berbentuk ratusan anak tangga vertikal yang berlokasi di desa Lonthoir, Banda Besar. Gadis itu tak lupa menunjukkan foto-foto dalam beragam pose berlatar tempat-tempat yang ia acu dalam ceritanya. Belakangan saya ketahui namanya Maria (jika saya tak salah ingat). Saya berterima kasih untuk cerita yang penuh semangat dari gadis yang sejatinya berasal dari Timor Leste ini.

Kapal telah jauh lepas sandar. Tidak ada guncangan berarti terasa di dalam kabin, pertanda air laut tenang. Hampir tengah malam, saya memutuskan untuk beristirahat. Saya terbangun cukup dini keesokan paginya, dan mulai melakukan kegiatan yang semalaman saya tunda. Banda Naira masih jauh. Saya mulai mengelilingi isi KM Tidar, dari lambung hingga ujung-ujung geladak.


Kadang-kadang, perasaan nostaligis menyeruak kala saya mulai menangkapi satu persatu detil-detil kapal. Pada kantin-kantin yang menyempil di pojokan. Pada lorong-lorong kapal. Pada orang-orang yang menatap nanar, barangkali terlalu capai untuk tidur sementara kota tujuan masih berjarak berhari-hari. Pada jeda antar lantai dengan lukisan-lukisan besar di dindingnya. Ingatan masa balita menyembur dari salah satu sudut gelap. Pada suatu masa saya pernah tidur bergelar tikar pada sudut yang serupa, pun dalam kapal yang berbeda, tergeletak disela-sela tubuh Papadan Mama.

Sejak era 80-an awal mula operasi, hingga hari ini, agaknya memang tak banyak yang berubah dari Tidar dan kapal-kapal sejenis. Tikar ekonomis yang terserak di lantai kapal pun rasanya memiliki model yang serupa dengan satu yang saya gunakan belasan tahun silam. Terbuat dari anyaman plastik bekas karung dengan alas karton cokelat.  Modernisasi baru benar-benar kasat ketika kaki melangkah ke bagian buritan. Saya mendapati satu unit Indomaret Point berdiri di sana.


Di selasarnya, saya menghabiskan sisa waktu perjalanan dengan memandangi hamparan biru laut Banda yang tertinggal di belakang. Akhirnya, sebuah sudut tenang hanya bagi diri saya sendiri. Memutari mixtape yang telah saya siapkan jauh-jauh hari, hingga pengumuman yang saya tunggu-tunggu akhirnya bergema. Saya bergegas mengalun tubuh ke haluan kapal. Di kejauhan, gunung api Banda yang kesohor mulai tampak. Agung menyembul ditengah-tengah biru samudra. Saya mengecek jam digital di telepon genggam. Hari jelang siang, saya berdoa diam-diam agar masih tersisa cukup waktu untuk mencumbui seisi kota.

“Penumpang yang terhormat, sebentar lagi KM Tidar akan merapat di pelabuhan Banda Naira. Para penumpang yang akan mengakhiri perjalanan di pelabuhan Banda Naira diharapkan untuk mempersiapkan diri.”

Sekelumit tentang KM Tidar:
KM Tidar merupakan kapal penumpang besar yang dikelola oleh PT Pelni. Perjalanan dari Tual ke Banda Naira ditempuh dengan durasi lebih kurang 12 jam. Tiket kapal dapat dibeli di kantor cabang PT Pelni dengan harga Rp. 141.000 plus bea administrasi. Harga tiket termasuk makan tiga kali sehari, tergantung pada rute yang  ditempuh. Kapal tersedia di pelabuhan Tual setiap dua minggu sekali.

P.S:   Judul "Di Atas Kapal Kertas" terinspirasi dari salah satu lagu unit folk nelangsa Banda Naira. Sayang sekali, band keren ini tak berumur panjang. RIP.

2 komentar:

  1. Seru sekali perjalannya, tapi melelahkan pasti. Ke Banda Neira sambil denger lagu2 dr Banda Neira mungkin jadi impian setiap org yg suka dengan duo nelangsa folk tsb. :))
    Salam kenal

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal Bang Johanes. Diam-diam, itu jadi cita-cita saya juga :))

      Hapus