Fiat Lux

Minggu, 16 Oktober 2016

Komunitas Terbayang

21.45 Posted by Arasy Aziz , 6 comments

Di tengah siraman terik matahari pukul 11 siang, kelengangan menjadi pemandangan yang lazim di salah satu kantor pemerintahan di Maluku Tenggara. Selain jumlah pegawai yang umumnya dapat dihitung dengan jari, sistem presensi yang ketat juga belum benar-benar berlaku di tempat ini. Masing-masing orang hanya diwajibkan membubuhkan tanda tangan pada selembar kertas dengan daftar nama tercantum di dalamnya. Dua kali sehari pada waktu apel pagi dan sore hari jelang kepulangan ke rumah.

Jam kerja berlaku dari pukul 8 hingga 2 siang, atau 12 pada hari Jumat, tanpa waktu istirahat. Berlangsung selama enam  hari, dari Senin hingga Sabtu.

Apabila tak ada dokumen yang harus digarap atau hal lain yang perlu diurus, pegawai-pegawai ini bisa saja mengeluyur. Memilih kembali ke rumah, menunggui anak di sekolah atau mencari penganan ringan, sebelum kembali ke kantor untuk mengisi absen dan benar-benar pulang. Jika malas beradu dengan sengatan sinar surya dan udara panas khas kepulauan, mereka akan memilih berkumpul di ruang tamu kantor, di depan sebuah televisi. Duduk-duduk bersama, sesekali berceloteh satu sama lain mengomentari gambar-gambar yang bergerak di dalam kotak 21 inci. Siang itu, saya tengah duduk di tengah mereka. Menunggu giliran untuk menghadap salah satu pejabat setempat.

Kanal demi kanal, program demi program yang terus berganti. Berita tentang pemilihan kepala daerah DKI Jakarta memenuhi ruangan ketika saya tiba.

Sebelumnya pada hari- hari yang tak berselisih jauh, calon-calon yang diajukan memasing partai baru saja diumumkan. Persiapan pesta rakyat memunculkan tiga pasang nama yang akhirnya benar-benar memasukkan berkas pendaftaran ke meja Komisi Pemilihan Umum Daerah; Ahok-Djarot sebagai petahana, bersaing dengan Anies-Sandiaga dan Agus-Sylvi. Ada narasi berbau ulasan yang terdengar bertutur dari balik layar, disertai sejumlah prediksi berlandaskan hasil penjajakan berbagai lembaga survey.

Pada adegan berita selanjutnya, nama Ahok kembali muncul, diketengahkan dalam posisinya sebagai seorang gubernur yang menjabat. Yang disorot kali ini adalah kebijakan gusur-menggusur yang terus ia jalankan, terlepas dari kontroversi yang menggelayut di seputarnya. Termasuk, keberaniannya untuk melawan putusan sela peradilan tata usaha negara yang memerintahkan penundaan sementara seluruh aktivitas perataan hunian warga tepian Ciliwung di Bukit Duri. Tak butuh waktu lama bagi rumah-rumah tak beruntung itu menjadi rata digaruk bulldozer. Tidak ada perlawanan berarti, kabarnya, kecuali aksi damai yang digalang warga setempat.

Seluruh pemirsa di ruang tengah kantor itu mematung, agaknya sibuk dengan benak masing-masing, sebelum salah satunya berceletuk memecah kesunyian.

“Ahok ini memang ee. Dia mau dapa ini.” Ada nada seorang pendukung di dalam suaranya, sejenis kekaguman konstituen yang telah yakin dengan pilihannya jauh-jauh hari dan secara swadaya menunjukkannya kepada publik.  Para pegawai lain di ruang yang sama tak tergerak untuk menanggapi. Berita-berita pada jedanya berganti iklan. Salah satu pegawai yang terdekat dari layar berinisiatif untuk memindahkan kanal.

Kini, layar televisi menampilkan wajah yang sangat ikonik. Kehadiran yang identik dengan sebuah produk kapitalisme mutakhir, digadang sebagai investasi paling aman dan menguntungkan. Kini, layar televisi menampilkan Fenny Rose yang tengah berjualan apartemen. Gedung-gedung megah puluhan lantai yang notabene masih berupa purwarupa dan pondasi dasarnya bahkan belum berdiri. Ditawarkan dengan harga yang sesungguhnya membikin dompet mengkerut namun tampak ringan saja oleh cicilan menggiurkan. Kredo-kredo tentang keuntungan yang dijanjikan terus-terusan bersemat. Berbagai fasilitas yang eksistensinya masih tertunda ditambahkan di dalamnya. Kolam renang di puncak atap, hutan mini, kanal-kanal serupa Venesia, hingga akses dekat ke pusat perbelanjaan. Lampu-lampu berkilat dan terang benderang diantara gelap-gelap pekat langit Jakarta. “Senin, harga naik.”

Saya kembali memerhatikan wajah-wajah di sekitar saya. Masing-masing masih mematung, dengan mata yang terpaku di layar. Bedanya, ada mimik yang berubah kecil-kecilan. Dari penyimak khidma,t menjadi wajah-wajah yang separuh terpana. Barangkali terkagum-kagum. Barangkali di dalam senyap, tengah membiarkan imajinasi beradu untuk memiliki salah satu kapling di sana. Dari sebuah kantor di kepulauan Kei, puluhan ribu kilometer jauhnya dari Jakarta.

Imajinasi sesunguhnya adalah perkakas paling tepat guna untuk menjangkau hal-hal yang jauh. Di dalamnya, apa-apa yang tidak lazim dapat terjadi begitu saja di bawah kontrol alam pikir. Televisi dengan segala kemungkinan di dalam kotak kecilnya member stimulasi lebih lanjut terhadap hasrat melanglang itu. Pun kadang-kadang, ia lebih banyak mematikannya.

Namun dalam konteks keindonesiaan, imajinasi menjelma menjadi kata kerja yang asasi. Berpuluh tahun silam, ia adalah modal dasar untuk mengalih bentuk masyarakat remah-remah kolonialisme, menjadi negara yang mandiri. Di dalam zona antaranya, dikenal sebuah bentuk kolektivitas bernama “bangsa”.

Bangsa, oleh Benedict Anderson dirumuskan sebagai “komunitas terbayang”; sebagai sebuah “komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan.” Disebut imajiner, karena antara satu anggota dengan anggotanya yang lain hanya dapat membayangkan eksistensi masing-masing. Mereka mengenali sebuah identitas bersama, tanpa benar-benar mengetahui siapa liyan yang meyandang keterangan-keterangan serupa. Secara faktual diri-diri tersebut terpisah oleh ruang dan waktu, namun  memasing merasa cukup terikat pada identitas tersebut, tanpa benar-benar mengetahui pencirinya.

“Bangsa Indonesia” sendiri adalah sebuah kategori yang dirumuskan untuk menyebut orang-orang yang menghuni kepulauan nusantara. Membentang dari Sumatera hingga Nuu Waar. Ada budaya yang amat majemuk disana. Roman budaya manasuka dari orang-orang Batak, Minang, Minahasa, Kei, Betawi, Sunda dan Dayak,. Satu-satunya yang mengikat mereka adalah rasa solidaritas sebagai komune-komune yang pernah tertindas di bawah kolonialisme, meskipun pada kenyataannya bisa jadi berlangsung pada derajat yang berbeda-beda. Belum lagi jika menghitung dan mengelompokkan dengan jeli siapa yang pernah melawan dan siapa-siapa yang justru mengambil keuntungan dari sana. 

Keterbayangan itu, dengan kata lain, mensyarakatkan sebentuk asumsi keseragaman dan kesetaraan nasib. Akhirnya, ia menjadi janji yang perlu diajukan pula, terutama ketika “bangsa” ini beralih bentuk kepada komunitas yang lebih formal. Sebuah “negara”, dengan seluruh komponen dan daya jangkaunya yang dianggap menyeluruh. Pembentukan negara diidealkan mengakhiri daur imajinasi itu, menjadikan segala sesuatu serba kongkrit dan dapat diindera.

Namun, apa yang terjadi di ruang tamu sebuah kantor pemerintahan di Maluku Tenggara bagi saya adalah sebuah pertunjukan bagaimana elemen-elemen imajinasi itu masihlah  jauh dari menemui perwujudannya. Adegan ini, bagi saya, memuat banyak metafor mengenai proses membayangkan yang belum selesai. Alih-alih, justru menjangkau dimensi yang kian beragam dan rumit.

Yang kasat mata ialah perihal daya jangkau pengawasan pemerintah pusat terhadap aparat daerahnya. Melalui berbagai peraturan perundang-undangan, birokrasi Indonesia barangkali telah dirancang seefisien mungkin. Aparat diidealkan sebagai orang-orang yang siap mengabdi demi kepentingan masyarakat. Otonomi daerah digalakkan, dengan kewenangan yang besar dibebankan kepada daerah demi tercapainya tujuan negara. Namun itikad ini agaknya tidak diikuti dengan modal ekonomi dan sosial yang berkecukupan. Pemerintah pusat di ibukota bisa jadi mengklaim reformasi birokrasi tengah berjalan dengan baik, namun kenyataan di daerah kerap kali amatlah timpang. Aparat yang menonton televisi di tengah jam kerja hanyalah sebuah puncak gunung es.

Kita barangkali dapat menyalahkan jarak yang jauh dari pusat pemerintahan sebagai akar permasalahan. Namun bukankan itu semua sudah menjadi risiko ketika memutuskan membentuk sebuah negara yang wilayahnya mencakup kepulauan maha raksasa? Kita bisa jadi menekankan bahwa otonomi  menyebabkan pengawasan kinerja aparat harusnya selesai di level daerah. Namun apabila inefisiensi itu demikian sistematis hingga menjangkau petinggi-petinggi pemerintahan setempat, siapa lagi yang selayaknya kita harapkan untuk menegur?

Para pegawai yang menonton televisi di Maluku Tenggara adalah metafor dari masalah-masalah birokratis di atas yang belum selesai. Apa yang tengah mereka tonton, dan reaksi mereka terhadapnya, menunjukkan pergulatan proses mewujudkan imajinasi Indonesia pada aras yang berbeda.

 Televisi berhasil membuat jarak antara Kepulauan Kei dan Jakarta menjadi tak benar-benar berarti; apa yang terjadi di salah satu sisi seolah-olah menjadi milik sisi yang lain. Masalahnya, Jakarta an sich lebih banyak mengambil porsi pemberitaan, atau lebih tepatnya, melakukan monopoli. Apa yang terjadi disana adalah sebuah realitas yang diinjeksikan ke ruang keluarga, dan diterima secara sukarela. Televisi mengkonstruksikan sebuah dunia ideal, apa yang kemudian menjadi mimpi-mimpi yang tidak sepadan ketika dibicarakan dalam ruang hidup daerah. Mengapa, semisal, orang-orang Kei yang hidup berkalang laut membutuhkan apartemen? Apa pentingnya pemilihan gubernur DKI bagi alam demokrasi di Langgur?

Televisi menciptakan standar hidup dengan bercermin pada kelas menengah Jakarta, ditengah persebaran akses terhadap ekonomi dan sumber daya yang belum merata. Para pegawai yang menonton bersama saya menerima jejalan videografi promosional tentang apartemen di Jakarta, membayangkan kemungkinan perputaran uang diseputarnya. Membiarkan diri alpa menengok kemungkinan peningkatan nilai guna di habitat hidupnya, yang menanti untuk dimanfaatkan bagi kemajuan daerah. Yang tertinggal, kemudian, tetap tertinggal.

Imajinasi di masa lalu boleh jadi berfungsi sebagai perajut jalinan sebuah bangsa. Namun pada hari ini, maknanya telah benar-benar harfiah untuk menggambarkan jurang yang tidak terjangkau antara warga Indonesia kebanyakan. Imajinasi tentang Indonesia justru telah menjauh dari alasan asali kenapa ia dimulai; sebagai wahana untuk mencapai kesetaraan hidup yang layak. Pada hari ini, ketimpangan tersebut justru dipertontonkan secara vulgar lewat hubungan satu arah televisi dan pemirsanya di daerah. Ketimpangan itu justru dirayakan, meskipun dengan malu-malu. Pada akhirnya, yang ditunjukkan secara lugas hanyalah sanggahan di depan kamera televisi. (*)

6 komentar:

  1. Masalahnya, Jakarta an sich lebih banyak mengambil porsi pemberitaan, atau lebih tepatnya, melakukan monopoli.

    Kalimat itu bener deh kalo menurut saya. Jauhnya jarak memang membuat masyarakat di pelosok sulit dikontrol. Juga soal pemberitaan yang "nggak penting buat gue (red: masyarakat pelosok". Bingung harus gimana.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya kurang sepakat dengan kata "kontrol", mengingat bukan itu tujuan republik ini dibentuk. Sebuah cara yang bagi saya harus ditolak. Yang perlu diperjuangkan disini barangkali adalah akses terhadap ekonomi adil, dan sedikit pencerahan mengenai jalan untuk mencapainya sesuai alam hidup masyarakatnya.

      Hapus
  2. Antara angan dan realita, pada titik mana bisa bertemu dengan damai? God bless this beautiful country. Nice thought!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, Nida. Barangkali pembedanya adalah siapa yang akhirnya memilih beranjak.

      Hapus
  3. Dibahas juga tentang Ahok. pilkada rasa pemilu.

    Semakin dibahas semakin kontroversi yang menyebabkan salah persepsi dan berakibat adanya kontradiksi :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tenang saja, Bang. Nama Ahok kali ini cuma muncul sebagai riasan kok, haha

      Hapus